Rona jingga di langit sore hari ini mulai memudar, menandakan hari akan segera beranjak malam. Aku masih saja betah duduk berlama-lama di teras depan kosanku. Koran-koran yang kubeli tadi pagi masih tergeletak berantakan di meja bundar, di hadapanku. beberapa bagian sudah penuh kutandai dengan stabilo merah mudaku. Ya, bagian koran yang menampilkan info lowongan pekerjaan sudah kuwarnai semua sebagai incaranku.
"Masih belum ada kemajuan juga?" tanya Della yang datang dari dalam rumah.
Aku menggeleng tak bergairah.
"Udah dilanjut nanti aja, gih." Della duduk di sampingku dan melipat koran-koranku.
Aku beralih dengan ponselku.
"Udah, nanti aja." Della merebut ponselku.
"Iiih," gerutuku.
"Lo lagian dari pagi, dari gue berangkat kerja, sampe sore, masih betah aja di sini."
"Ya, namanya juga pengangguran, Del," aku menghela napas panjang,"gue kan, lagi usaha cari info loker, dari koran, medsos juga."
"Iya, gue tau. Tapi, lo harus ngurusin diri lo juga, harus jaga kesehatan. Terus, jangan sampe telat makan lagi, nanti sakit."
"Rasanya mau nyerah aja, Del," aku menyandarkan tubuhku ke kursi,"cari kerja di Jakarta susah."
"Yah, jangan nyerah gitu, dong. Kan, lo masih punya banyak cita-cita yang mau lo wujudin." Della menggenggam tanganku.
Aku mencoba memaksakan senyumku.
"Gini deh. Nanti, lo coba kirimin CV lo ke email gue, terus nanti lanjut gue yang kirimin ke email perusahaan tempat gue kerja," ucap Della dengan penuh semangat,"soalnya, gue lupa alamat lengkap email tempat gue kerja. Biar nanti sekalian gue cek, pas lo udah kirimin ke email gue."
"Tapi kan, gue udah pernah kirim CV yang tulis tangan beberapa bulan lalu. Udah enam bulan malah, gak ada respon," kataku ragu.
"Ya, namanya juga usaha, Ta."
"Lagian, perusahaan kayak tempat lo kerja, emang mau, nerima orang yang cuma lulusan SMA kayak gue, Del?"
"Lo gimana, sih," Della menatapku sinis,"kan, biasanya yang paling semangat diantara kita tuh, diri lo. Kenapa jadi pesimis gitu?"
"Ya abisnya, udah hampir satu tahun gue di Jakarta nganggur, belum dapet kerjaan. Gue gak enak selalu nyusahin lo di sini."
"Ya ampun, Ta. Gue udah anggap lo kayak ade gue sendiri, bukan sekedar temen aja. Jadi, gak usah berpikiran kayak gitu."
"Tetep aja gue gak enak, Del. Kan, lo juga punya keperluan sendiri yang harus dipenuhi, bukan sekedar bantuin hidup gue."
"Gue bantuin lo dengan ikhlas, Ta."
"Iya, gue percaya," kataku sambil tersenyum,"tapi, kalo bulan depan gue belum dapet kerja juga, mungkin gue bakal balik ke kampung, Del."
"Hmmm... tega banget lo sama gue. Terus akhirnya, ninggalin gue sendirian di kosan ini?"
"Mau gimana lagi, Del, daripada gak ada progress di sini."
"Oke, semua keputusan sih, ada di tangan lo. Yang penting, malam ini juga, lo harus kirimin CV lo ke email gue. Biar cepet prosesnya. Nanti, gue terusin ke tempat gue kerja."
"Iya."
"Yaudah, sana. Mandi, makan." Della tertawa.
"Iya," ucapku sambil berlalu pergi ke dalam rumah.
Saat malam tiba, aku menuruti perkataan Della untuk mengirimkan CV-ku ke alamat emailnya. Setelah itu, aku memutuskan beranjak tidur lebih awal. Aku merasa lelah setelah hampir seharian tadi berkutat dengan koran-koran dan internet untuk mencari info lowongan pekerjaan.
***
Pagi ini, alarmku berbunyi pukul lima. Aku segera beranjak bangun untuk menunaikan sholat lalu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah di kosan ini seperti biasanya.
Della adalah temanku sejak satu tahun silam. Aku bertemu dengannya di kosan ini, saat masih sama-sama berjuang mencari pekerjaan di Ibukota. Nasibnya lebih baik dariku, dia beruntung karena mendapatkan pekerjaan lebih dulu daripadaku. Setelah tiga bulan kos di sini, dia mendapatkan panggilan kerja di sebuah perusahaan properti di pusat Ibukota. Aku tidak pernah iri dengannya atas kesempatan kerja itu. Karena dia memang layak mendapatkannya. Lagipula, rezeki kan, sudah ada bagiannya masing-masing. Walaupun Della seorang Sarjana Ekonomi, sedangkan aku hanya lulusan SMA, namun Della tak pernah menyombongkan dirinya sama sekali di depanku. Della adalah sosok yang ramah, baik hati, bahkan kepadaku, orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengannya.
Selama ini, selama aku belum mendapatkan pekerjaan, kurang lebih tiga bulan terakhir semenjak aku kehabisan uang tabungan yang kupersiapkan untuk tinggal di Jakarta, Della selalu membantuku. Dia yang membayar biaya kosku, biaya makan, dan segala keperluan lain. Tak jarang pula, setelah gajian, Della mengajakku makan di restoran atau membelikanku barang-barang lain di mall. Berulang kali aku ingin balik ke kampung halamanku, tapi Della selalu menahan kepergianku. Namun keputusanku telah bulat, jika bulan depan aku belum mendapatkan pekerjaan, aku akan tetap pergi dari sini. Kemudian, untuk sedikit membalas kebaikan hatinya, aku selalu memasak makanan untuknya, dan pekerjaan lainnya di kosan ini. Walau tak seberapa, Della terkadang justru memarahiku untuk tidak melakukan hal itu. Seperti menyiapkan sarapan untuknya pagi ini.
“Harus berapa kali gue bilang sih, Ta? Lo itu temen gue, bukan pembantu gue!” bentaknya.
“Kalo gue temen lo, berarti lo harus makan nasi goreng buatan gue.” Aku menyodorkan sepiring nasi goreng padanya.
“Lo susah banget sih, dikasih taunya.”
“Sama kayak lo, susah banget buat biarin gue pulang kampung.” Aku tertawa.
“Kalo itu gak ada hubungannya.” Della memberengut kesal.
“Ya, jelas ada, Del. Ini sekedar balas budi gue atas kebaikan lo, walaupun gak seberapa.”
“Ta…”
“Udah, cepet sarapan. Nanti telat kerja, lho,” sergahku.
“Makasih banget atas semuanya, Ta. Tapi, jangan pernah berpikir kalo gue minta imbalan ini semua atas apa yang gue lakuin ke lo.”
“Iya, gue tau, udah cepet diabisin sarapannya.”
Della mulai menyantap nasi goreng buatanku. Kami sarapan berdua pagi ini dengan menu nasi goreng dan teh manis hangat. Begitu sederhana, namun terasa nikmat, khususnya buat pengangguran sepertiku ini. Di kosan ini memang hanya ada kami berdua, menempati satu rumah yang tidak begitu besar, namun lengkap dengan ruang tamu, dapur , kamar mandi dan dua kamar tidur. Serta tak ketinggalan pula, teras mungil yang lengkap dengan aneka tanaman hias serta rerumputan hijau yang menyejukkan mata. Tentu, semuanya dengan ukuran yang tidak terlalu besar.
“Oiya, Ta, CV lo udah gue kirimin ke email perusahaan tempat gue kerja, semoga aja cepet di proses ya, serta lo diterima.”
“Amin, semoga,” aku tersenyum kearahnya,”dipanggil aja dulu…”
“Iya, semoga.”
Aku menyeruput teh hangatku, begitu juga Della. Kulihat dirinya yang selalu gelisah melirik arlojinya.
“Gue berangkat dulu, ya.” Dia bangkit dari kursinya.
“Iya, hati-hati.”
Aku kemudian merapikan meja makan dan melanjutkan pekerjaan rumah lainnya. Seperti biasanya, ketika semua pekerjaan rumah telah selesai kubereskan, aku kembali berkutat dengan usahaku mencari info lowongan pekerjaan. Aku seperti lupa waktu, dari pagi, petang, kadang berlanjut hingga malam menjelang, banyak kuhabiskan waktuku untuk mencari lowongan pekerjaan dan mengirim CV-ku. Meskipun kenyataannya, belum membuahkan hasil yang baik dan memuaskan untukku.
Bola mataku seakan telah terlatih, begitu cekatan melihat setiap rangkaian kata yang tertera pada info lowongan pekerjaan. Satu-persatu deretan info itu kutandai dengan Stabilo yang dengan mantap kusangga pada jari-jemariku. Tak jarang, kusilangkan daftar itu ketika kualifikasi yang menjadi persyaratannya tidak ada pada diriku.
“S1,S1,S1,” kataku lirih, sambil memberikan tanda X pada info itu.
“Koran….”
Aku mendongak, lalu bergegas menuju ke gerbang rumah, untuk membeli koran dari penjual langgananku yang lewat di depan kosan setiap pagi. Setelah membayarnya, aku kembali duduk di teras, kembali mengecek info lowongan pekerjaan pada koran yang terbit di tanggal itu.
“Yang dibutuhin cowok,” gumamku melihat baris pertama pada info loker di koran yang baru saja kubeli.
Aku kini beralih pada ponselku, membuka sosmed, lebih tepatnya akun-akun yang menawarkan info lowongan pekerjaan. Beberapa, kucatat yang sekiranya, dari kualifikasi itu, sesuai denganku. Namun, lagi-lagi banyak lowongan kerja yang kutemui dengan kualifikasi minimal pendidikannya D3/S1, lengkap dengan pengalaman kerja di bidangnya masing-masing.
“Huh.” Aku menyandarkan tubuhku pada kursi, seraya beristirahat sejenak.
Kulirik jam pada ponselku, ternyata sudah pukul setengah satu siang. Akupun merapikan koran-koran yang berserakan di meja, lalu masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan sholat zuhur dan di lanjutkan memasak untuk makan sore nanti, ketika Della pulang kerja. Kali ini menu masakan yang kubuat adalah ayam goreng dan sayur sop. Selesai memasak, aku merebahkan tubuhku di sofa ruang tamu. Namun, nampaknya aku tertidur pulas setelahnya, saat aku melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul lima sore. Kulihat Della telah berada di sofa yang berseberangan denganku.
“Eh, Della udah pulang,” aku menegakkan tubuhku,”maaf ya, aku ketiduran.”
“Kenapa harus minta maaf sih, Ta. Ada juga gue yang harusnya minta maaf,” Della tertawa,”gue udah makan duluan masakan lo, gue laper banget pulang kerja.”
“Iya, gak apa-apa, Del. Itu kan, emang sengaja gue masak buat kita makan sore ini.”
“Yaudah makan gih, sana.”
“Nanti ajalah, gue belum laper.”
“Jangan telat makan, lho.”
“Iya.”
“Oiya Ta, tadi gue udah ngomong sama si-iceman buat ngecek email, ngecek CV lo. Siapa tau kan, memenuhi kriteria yang dibutuhin.”
“Si-iceman, siapa?” tanyaku heran.
“HRD di perusahaan gue.”
“Oooh… Kok, lo manggilnya iceman, sih?”
“Dia itu, cowok terdingin di kantor gue, Ta. Tapi gue naksir, sih.” Della tersenyum sumringah.
Aku balas tersenyum.
“Kayaknya sih, tuh cowok belum punya pacar, Ta.”
“Sok tau lo, kayak peramal.”
“Iyalah, mana ada cewek yang mau sama cowok dingin kayak Dia.”
“Lha, itu lo mau?” Aku tertawa meledek.
“Iya sih,” Della tertawa menimpali,”abis, gak tau kenapa gue jatuh hati, Ta. Sejak pertama ketemu Dia.”
“Emang, kira-kira umur berapa, Del?”
“Paling seumuran kayak lo, Ta. Ya, satu tahun di bawah gue.”
“Owh, berarti termasuk masih muda, ya?”
“Ya, begitulah.”
“Yaudah, lo gebet sana,” ledekku.
“Tapi gak tau, ah.” Della menggeleng,”tuh cowok kayaknya susah di deketin, gak bisa di tebak. Soalnya, sikapnya dingin ke cewek-cewek. Terutama di kantor.”
“Mungkin, karena lo belum kenal deket kali, sama dia. Jadi, dia lo anggap iceman.” Aku tertawa lagi.
“Gak taulah, Ta. Nanti lo juga bakal ketemu sama dia kalo lo dipanggil buat interview.”
“Oh, jadi ceritanya, seorang Della jatuh hati sama si-iceman-HRD itu?”
“Entahlah.”
Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Della.
Hari-hari setelah saat itu, aku masih mengerjakan aktivitas seperti biasanya, begitupun dengan Della.
***
Beberapa minggu setelah Della mengirimkan CV-ku ke perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba aku mendapatkan telepon untuk panggilan interview kerja.
“Halo, selamat pagi,” sapa suara seorang lelaki yang terdengar begitu ramah.
“Pagi.”
“Benar dengan Mbak Gita?”
“Iya, benar. Ada apa, ya?”
“Menanggapi CV yang Mbak kirimkan beberapa pekan lalu ke perusahaan kami, kami memgharapkan kedatangan Mbak besok pagi untuk melaksanakan proses tes dan interview kerja,” jelasnya.
“Iya, Pak. Jam berapa, ya?” tanyaku dengan semangat.
“Untuk lebih lengkapnya, saya akan kirimkan melalui email yang tertera pada CV Mbak. Mohon dicek dan diikuti persyaratannya. Saya rasa, hanya itu yang saya bisa infokan untuk saat ini.”
“Baik, Pak, terimakasih.”
Lalu sambungan telepon terputus.
Pukul dua belas lebih lima belas menit, aku menghubungi Della. Aku ingin memberitahukan kabar ini pada saat jam makan siangnya.
“Halo, Del. Tadi, gue dapet telepon dari kantor lo. Besok, gue disuruh dateng buat tes dan interview kerja.”
“Oh, bagus dong, syukurlah. Semoga lancar ya, besok.”
“Iya, makasih, Del.”
“Iya, sama-sama. Udah dulu ya, gue mau lanjut makan siang.”
“Oke, maaf ya kalo gue ganggu jam makan siang lo.”
“Engga, kok. Bye.”
“Bye.”
Aku kemudian menyalakan laptopku untuk mengecek email masuk. Benar saja, ada satu pesan masuk yang berisi persyaratan apa saja yang harus kubawa untuk melaksanakan tes dan interview besok, lengkap dengan tempat serta jam pelaksanaannya. Setelah mencatat hal yang kurasa diperlukan, aku mulai mempersiapkan apa aja yang akan kubawa besok, termasuk menyiapkan pakaian yang akan kukenakan pada proses seleksi esok hari.
“Selesai!” seruku dengan bahagia usai menyiapkan semuanya.
Aku kini melangkah ke teras depan ketika jam menunjukkan pukul lima sore. Sejenak, aku menikmati senja yang mungkin saja menjadi senja terakhirku di masa menganggur ini, semoga.
Langit sore ini begitu indah, seindah rasa bahagiaku untuk menyambut hari esok. Pengharapan yang begitu tinggi kugantungkan untuk beberapa jam ke depan. Lalu, mataku beralih ke depan gerbang. Beralih pada sosok yang semakin kukenal hingga sekarang. Della baru saja pulang kerja. Senyuman ramahnya telah kulihat dari kejauhan. Tiba di teras, Dia langsung menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Udah disiapin perlengkapan buat besok?” Della membuka heels hitam lima sentinya, yang digunakannya untuk bekerja.
“Udah semua, sih. Cuma, gue adanya heels tiga senti.”
“Ya, gak apa-apa, pake aja,” ucapnya santai,”oiya, jam berapa besok?”
“Jam 8.30.”
“Yaudah, bareng gue aja berangkatnya, jadi lebih awal lo tiba di sana.”
“Oke.”
“Sip. Kalo gitu gue mandi dulu ya, sekarang.” Della melangkah pergi ke dalam rumah.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Aku kembali menatap ke langit tinggi. Binar senja semakin memudar, digantikan dengan rona gelap yang mulai membayangi. Sore hari akan segera cepat berganti. Lampu-lampu di jalan depan mulai menyala. Tak banyak lagi orang berlalu lalang, bahkan hampir tak ada lagi, begitu sepi. Aku memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah.
Sesampainya di dalam rumah, Della mengajakku untuk segera menuju ke meja makan. Dia membawakan makanan untuk makan sore ini, nampaknya. Akupun duduk berhadapan dengannya.
“Ini, tadi gue beli teriyaki, dari resto jepang deket kantor. Abisin, ya.” Della menyodorkan makanan itu kearahku.
“Lo gak makan?”
“Gue udah makan di sana tadi bareng temen kantor gue, sebelum pulang. Terus ini gue beliin buat lo makan di rumah.”
“Makasih ya, Del.”
“Iya,” Della tersenyum memperhatikanku yang kini mulai menyantap makanan yang dibelinya untukku,”jangan lupa, dicek lagi nanti sebelum tidur perlengkapannya, biar besok pagi tinggal berangkat.”
Aku hanya mengangguk sambil mengunyah makanan.
“Jangan tidur terlalu malem juga. Istirahat yang cukup, biar besok fit.”
Lagi-lagi, aku hanya bisa menganggukkan kepalaku.
“Besok, kalo interview sama si-iceman, pake bahasa Indonesia yang baik dan benar, ya.” Della tertawa memberitahuku.
“Bahasa Indonesia gue belum seratus persen baik dan benar, tapi.” Aku tertawa menimpali.
“Ya, pokonya pake bahasa baku-lah, jangan kaya ngomong kita yang biasa.”
“Masa iya, gue ngomong ‘gue-elo’ pas interview sama HRD?” Aku menatapnya heran.
“Iya, tau,” Della tersenyum,”dia itu tipe cowok-cowok perfeksionis. Hati-hati aja lo dalam berbicara dan bersikap.”
“Iya, Bu Della.” Aku tersenyum.
“Kalo dia gak minta penjelasan, sebisa mungkin, jangan ngomong panjang lebar.”
“Oke, ada lagi?”
“Jangan telat. Walaupun gue gak pernah liat dia marah, tapi tuh cowok benci banget sama ketidakdisiplinan. Karyawan yang lain aja kena tegur sama dia, ngalahain bos-lah sikapnya,” jelasnya.
“Ya, bagus dong. Selama itu baik dan gak bertentangan sama peraturan dan kebijakan perusahaan?”
“Iya, sih. Tapi kadang-kadang, semuanya adem ayem aja kalo ada sedikit pelanggaran peraturan. Terus, tiba-tiba ada aja yang langsung di panggil bos. Kan, jadinya banyak karyawan yang berpikiran, pasti dia yang ngadu ke Pak Bos.”
“Jangan pada asal nuduh lo, kalo gak ada bukti, gak baik.”
“Lo belum ngerasain sih, Ta,” Della cemberut kearahku,”gue doain lo keterima di sana, biar lo tau dan ngerasain kerja satu kantor sama si iceman.”
“Jangan benci, nanti lo tambah cinta sama dia.” Aku tersenyum meledek.
“Gue gak benci, cuma kadang kesel aja.” Della kini tertawa.
“Oke-oke.” Kataku menyudahi pembicaran ini, juga menyudahi makanku.
“Yaudah, gue ke kamar duluan ya, mau istirahat, cape banget gue hari ini.” Della bangkit dari duduknya.
“Iya.”
“Jangan lupa besok, jangan telat.” Della mengingatkan sambil berlalu pergi.
“Iya.”
Aku kini merapikan meja makan dan segera beranjak istirahat untuk persiapan hari esok. Di kamar tidur, aku belum bisa sepenuhnya untuk terlelap tidur, aku membaca materi-materi dari beberapa buku dan internet, yang mungkin saja berguna untuk tes dan interview besok. Sebelum benar-benar beranjak tidur, aku mengecek perlengkapanku lagi. Dan akhirnya, dengan tak sadar, aku telah terlelap dengan sendirinya hingga pagi menjelang.
Keesokan paginya, usai menyantap sarapan pagi bersama Della, kami berangkat pukul tujuh menuju kantor. Kami menaiki angkutan umum bersama pagi itu.
“Waktu tempuh dari kosan ke kantor itu kurang lebih setengah jam kalo pake angkutan umum. Jadi, paling kita sampe setengah delapanan-lah nanti di sana. Masih ada waktu untuk istirahat sebentar di sana,” jelas Della.
Aku hanya mengangguk mendengarkan penjelasannya di dalam bus.
“Hafalin nih, rute jalannya. Siapa tau nanti lo beneran keterima di sana dan lo pulang atau pergi kerja gak barengan sama gue.”
“Cuma satu kali naik bus, kan? searah ini...”
“Iya, sih,” Della tertawa,”gampang-lah.”
“Gue mau dengerin lagu dulu, ah, bete.” Della mengeluarkan earphone dari dalam tasnya.
Sementara aku hanya menatap keluar jendela bus, menatap sepanjang jalanan Ibukota yang mulai ramai dan macet pagi ini.
Tak terasa, hampir setengah jam berlalu, kami telah tiba di kantor tempat Della bekerja, tempat untuk melaksanakan tes interview hari ini. Kami turun dari bus dan mulai memasuki area perkantoran.
“Pagi, Pak,” Sapa Della pada seorang satpam paruh baya di depan gerbang kantor.
“Pagi, Bu Della,” balasnya.
Beberapa langkah kami melewatinya, aku mulai berbisik pada Della,”lo dipanggil Ibu?”
“Iya,” jawabnya santai.
“Gak marah?” ledekku.
“Enggaklah. Panggilan Ibu itu, biar lebih keliatan menghormati aja,” jelasnya,”semua gitu kok. Yang cewek dipanggil Ibu, yang cowok dipanggil Bapak.”
“Iya, gue tau.”
“Itu masih nanya aja.”
“Gue ngeledek lo doang, sih.” Aku tertawa.
“Rese emang, lo.”
Kami tertawa bersamaan.
Aku melihat gedung kantor yang menjulang tinggi, walau kutaksir tak lebih dari sepuluh lantai. Kami memasuki area Lobi kantor. Suasana di bawah sini masih terlihat sepi.
“Nanti, kayaknya lo bakal ditempatin di sini deh, kalo lo keterima,” celetuk Della ketika melewati meja resepsionis.
“Jadi resepsionis?” tanyaku penasaran.
“Kayaknya sih, gitu. Setau gue, di sini juga lagi butuhin resepsionis baru.”
“Tapi jujur, gue gak yakin bisa kerja di sini, Del,” kataku ragu.
“Kenapa?”
“Gue kan, cuma lulusan SMA. Kayaknya, posisi apapun yang dibutuhin di sini, gak akan sesuai sama kualifikasi pendidikan gue.”
“Jangan pesimis, lah,” Della berhenti di depan toilet,”masuk dulu, yuk, ngerapihin make-up.”
Aku masuk mengikutinya. Kami berdiri di depan cermin datar nan lebar, di area westafel kantor. Della sibuk merapikan make-up dan baju kerjanya, serta tak ketinggalan menyisir rambut pirang sebahunya. Sementara akupun tak mau ketinggalan merapikan pakaian dan rambutku, tidak dengan make-up. Aku memang tidak begitu suka, mungkin tidak bisa berdandan pula, bermain dengan hiasan make-up yang beragam. Hanya bedak bayi yang selalu menjadi senjataku ketika harus keluar rumah dan sedikit lipstick nude yang sedikit kupaksakan melekat di bibirku.
“Lo, nanti kalo keterima jadi resepsionis, harus pake make-up. Ya, natural make-up aja, kalo lo gak mau terlalu mencolok. Yang jelas, lebih tebel dari ini.” Della menunjuk area wajahku.
“Iya, nanti gue belajar dandan sama lo,” celetukku.
“Siap,” Della tertawa,”soalnya, di sini banyak dateng developer, investor, dan tamu-tamu lainnya juga, gak jarang dari luar negeri. Jadi, karyawan di sini harus keliatan menarik, gitu.”
“Iya, kalo gue keterima, tapi.”
“Ya, harus optimis dong, Ta. Harus semangat.”
“Semangat, sih. Tapi gak yakin aja, masalah keterimanya nanti.”
“Nih, ya, gue kasih tau,” Della beralih menatapku,”asal lo tau ya, Ta, di sini juga ada kok, yang lulusan SMA. Anak marketing sama Administrasi. Gak banyak, sih. Tapi kan, yang namanya rezeki orang kita gak pernah tau. Termasuk lo, siapa tau lolos.”
“Iya, sih.” Aku menghela napas panjang.
“Nah, intinya, lo lakuin aja yang terbaik. Masalah hasil, biar Tuhan yang tentuin,” Della memegang pundakku,”ibaratnya, inituh mimpi lo yang udah ada di depan mata, kalo lo keterima kerja di sini, lo masih mau lanjutin kuliah, kan?”
Aku mengangguk pelan.
“Yaudah, lo harus perjuangin itu. Tuhan udah ngebuka jalan sampe lo dipanggil ke sini sekarang. Masa lo mau nyerah, pesimis, sebelum hasil akhirnya diketahui pasti.?”
“Iya,” jawabku singkat.
“Sekarang, lo siapin diri buat ketemu si-iceman.” Della kini tertawa.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Kami kemudian keluar dari toilet.
“7.45,” Della melirik arlojinya,”kita ke lantai atas aja, yuk. Kebetulan, ruang gue kerja sama kaya ruang tempat lo tes interview, di lantai 4.”
“Yaudah,” kataku mengiyakan.
Kami kemudian menaiki lift menuju ke lantai 4 seperti kata Della. Aku menatap angka angka yang tertera di dalam lift, namun sepertinya pikiranku melayang entah ke mana. Semua rasa bercampur aduk kini. Rasa pesimis itu masih terlintas. Jantungku berdegup kencang seiring bergantinya setiap menit mendekati waktu tes interview-ku.
“Sampe!” seru Della dengan semangat.
Kami keluar dari lift. Della masih menjadi pemanduku, mengarahkanku harus kemana.
“Lo tunggu aja di sana.” Della menunjuk kearah deretan sofa mungil di sudut ruangan terbuka di lantai 4 ini,”itu ruang tunggu. Tunggu aja sampe waktunya tiba. Nanti juga dikasih tau lagi kok, kalo udah jamnya tes. Yang udah-udah kayak gitu.”
“Oh, oke.”
“Gue mau masuk ke ruangan gue dulu. Semoga berhasil, jangan nervous,” Della meraih tanganku,”semangat!”
“Iya, semoga,” ucapku lembut,”makasih.”
Della kemudian berlalu pergi dari hadapanku. Aku berjalan menuju ke sofa yang berada di ujung, untuk menunggu waktu tesku tiba. Dari tempatku berada, bisa kulihat banyak orang berlalu lalang menuju ke dalam ruangan di lantai 4 ini, beberapa menit mendekati jam kerja kantor.
Aku melihat arlojiku. Rupanya waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Aku masih menunggu sendiri, sementara keadaan di sekitarku telah berubah sepi. Mungkin karyawan di sini telah sibuk bekerja di ruangannya masing-masing. Hanya dering telepon yang seakan saling bersahut-sahutan, silih berganti berbunyi di sela-sela jam kerja. Suaranya sayup-sayup terdengar dari tempatku duduk. Tak sampai satu menit berlalu setelahnya, seorang wanita muda, yang kutaksir sebaya denganku, datang menghampiri.
“Permisi, apa betul, anda Mbak Gita yang akan melaksanakan tes dan interview hari ini?”
“Iya,” jawabku singkat.
“Silahkan tunggu di dalam ruangan tes saja, Mbak,” Dia tersenyum ramah,”mari, saya antar.”
Aku berjalan mengikuti di belakangnya, menuju ke sebuah ruangan.
“Silahkan tunggu di dalam saja.” Dia membuka pintu ruangan itu.
“Oh, iya,” ucapku cepat,”terimakasih.”
Dia tersenyum dan berlalu pergi meninggalkanku. Pintu ruanganpun ditutupnya. Aku duduk di sebuah kursi, berhadapan dengan sebuah kursi lainnya, kursi utama untuk bekerja sepertinya. Aku hanya seorang diri di dalam ruangan ini. Kuperhatikan kesekeliling ruangan, begitu banyak buku-buku dan file-file kerja. Sementara, di meja tempatku bersangga kini, juga terlihat banyak tumpukan berkas-berkas kerja. Rasa penasaranku tak akan mungkin kuwujudkan untuk menyentuh barang-barang yang ada di ruangan ini. Kulihat lagi arlojiku, sudah pukul 8.38, tapi belum juga ada tanda-tanda kedatangan HRD, atau siapapun orang yang berwenang untuk melaksanakan tes dan interview-ku. Jantungku semakin berdegup tak karuan. Namun, tak lama berselang, pintu ruangan terbuka dan seorang lelaki masuk ke dalam.
“Maaf, saya terlambat,” Dia lalu duduk di kursi yang ada di depanku,” ada meeting sebentar, tadi.”
“Iya, gak apa-apa, Pak.”
Kulihat lelaki itu menaruh tas kerjanya di sebelah kiri tempatnya duduk. Dia menggunakan masker. Aku berpikir, mungkin dia sedang sakit. Dia mengenakan kemeja panjang berwarna biru muda, lengkap dengan dasi yang warnanya senada dengan kemejanya. Lelaki itu menggunakan kacamata. Dari tatap matanya, sepertinya lelaki ini tak asing buatku, tapi aku tak tau siapa. Mungkin hanya sebuah kemiripan dengan seseorang yang pernah ada dalam hidupku. Dia kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas dan menyerahkannya kepadaku. Ternyata soal-soal psikotes.
“Kita mulai saja ya, tesnya,” ucapnya dari balik masker.
Aku masih saja menatapnya, seakan aku benar-benar kenal dengan sosok lelaki di depanku ini. Andai saja dia membuka maskernya, mungkin aku tidak akan merasa penasaran lagi dengannya. Dia kini menyerahkan kembali lembaran kertas kepadaku, yang kulihat sekilas sepertinya soal-soal Bahasa Inggris yang dibuat secara terpisah. Dia berdiri di sampingku saat kembali menyerahkan lembar jawaban kepadaku. Aroma parfumnya bisa tercium dengan jelas di rongga hidungku. Seperti aroma peppermint, tidak begitu menyengat, namun bisa terasa pada indera penciumanku.
Walau mataku kini tertuju pada soal-soal di hadapanku, tapi pikiranku masih saja tertuju pada lelaki ini. Dia kini duduk kembali di kursinya, berhadapan dengan kursiku. Kemudian, dia membuka laptopnya. Dia telah membuka maskernya. Namun, tetap saja aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya yang sebagian tertutup oleh layar laptop dan juga karena aku lebih fokus memperhatikan soal-soal di hadapanku kini. Akupun mulai mengerjakan soal-soal itu.
“Waktunya satu jam.”
“Baik, Pak,” jawabku sambil mengerjakan soal.
Menit demi menit berlalu, aku masih saja belum selesai mengerjakan soal-soal ini semua. Aku merasa, Dia kadang memperhatikanku dari balik laptonya, tapi aku tidak peduli. Otakku kini hanya pusing memikirkan jawaban-jawaban pada tes kali ini. Hampir setengah jam, aku baru selesai mengerjakan soal psikotes, lalu berlanjut pada soal Bahasa Inggris. Semakin bertambah pusing aku dibuatnya. Rasanya ingin menyerah, tidak menyelesaikan tuntas soal-soal ini, atau aku isi secara asal, tapi aku harus melakukan yang terbaik, semampuku tanpa peduli hasilnya bagaimana. Aku kembali fokus, berpikir keras menjawab beberapa pertanyaaan yang tersisa, hingga akhirnya…
“Selesai, waktunya habis.”
Perkataannya mengagetkanku yang tengah terfokus pada soal-soal yang menyulitkan buatku ini. Aku merapikan lembar soal dan jawaban, lalu menyerahkannya pada lelaki itu. Dia menutup laptopnya, sehingga bisa dengan jelas kulihat wajahnya.
“Zyan?” tanyaku terkejut sambil memegangi lembaran kertas.
Ya, aku kenal dengannya, dia adalah Zyan, teman SMA-ku dulu. Perasaanku benar-benar bercampur aduk. Senang, malu, gugup, atau apapun itu, rasanya tak bisa kugambarkan dengan pasti. Dia hanya tersenyum sambil menerima lembaran kertas yang kukembalikan padanya.
“Apa kabar?” tanyanya dengan lembut.
“B-baik,” kataku terbata.
Padahal dalam hati kecilku mengatakan perasaan yang tidak baik pada saat ini.
Dia memisahkan lembar soal dan jawabanku lalu menaruh pada sebuah file di sebelah kanan meja kerjanya. Sementara aku merapikan alat tulisku. Aku sama sekali tidak menyangka hal ini akan terjadi, bagaimana takdir ini yang mempertemukanku kembali dengannya. Aku dites kerja oleh temanku sendiri dan akan segera beralih untuk interview. Untuk membayangkannya saja mungkin aku tak mau atau justru tak bisa, tapi ini semua malah menjadi sebuah kenyataan yang harus kuhadapi.
“Tegang banget mukanya, santai aja,” Dia tertawa menatapku,”kayak lagi ngeliat hantu aja.”
“Kaget aja, mungkin,” kataku sambil tersenyum.
“Maaf ya, baru bisa ngerespon CV lo yang lewat email, padahal lo pernah kirim dari setengah tahun lalu. Di perusahaan ini, lebih aktif merekrut karyawan lewat email, jadi lamaran lo yang ditulis tangan waktu itu gak kerespon.”
“Iya, gak apa-apa.”
“Ini yang dibilang Della harus bicara dengan bahasa baku? Tapi kenapa dia berbicara seperti bahasa antar teman padaku? Ini kan, dalam hal kerja, secara tidak langsung, aku menganggapnya atasanku? Harusnya tidak begitu gaya bicara serta bahasanya. Apa dia tidak peduli dengan hal itu?” batinku.
“Sebelumnya, kerja di mana? Terus, bagian apa?” Dia menggeser kursinya lebih dekat dengan meja yang ada di hadapan kami. Kedua tangannya diletakkan sejajar di atas meja.
“Di perusahan penyedia jasa traveling, bagian marketing.”
“Oh, tapi di perusahaan ini, bagian marketing udah full.”
Aku hanya terdiam.
“Tapi, untuk informasi aja, kita sebenernya lagi ngebutuhin orang untuk posisi resepsionis baru, karena resepsionis yang lama dipindah-tugaskan ke luar kota.”
“Oh,” hanya kata itu yang bisa terucap dari mulutku.
“Apa alasannya ngelamar kerja di sini?”
“Butuh kerjaan,” jawabku polos dan jujur.
“Iya, setiap orang yang ngelamar juga pasti butuh kerjaan,” Dia tersenyum,”gak ada alasan tambahan?”
Aku hanya tersenyum. Aku tidak bisa berpikir jernih. Tidak tau harus berkata apa. Karena yang kupikirkan dan kata-kata yang kusiapkan sebelumnya, kalimat yang kurangkai sebagai persiapan interview sebelumnya, seakan berbeda keluar dari mulutku saat berucap dihadapannya.
“Oke,” Dia kembali tersenyum,”kalo gitu, apa alasannya, kelebihan lo misalnya, yang buat kita, perusahaan ini harus menerima lo jadi karyawan di sini?”
“Saya gak punya kelebihan apa-apa, Pak. Mungkin Bapak juga tau dari dulu,” kataku datar.
“Gak usah manggil Bapak. Aneh dengernya, kalo lo yang ngomong.”
“Tapi kan, ini dalam hal kerja…”
“Iya, gue ngerti. Tapi, selama gak ada yang tau, cuma kita berdua, santai ajalah,” Dia kini mengambil pulpen dan memainkannya,”lo masih anggap gue temen, kan?”
“Iya, tapi…”
“Udahlah, biasa aja. Gue gak apa-apa kok, gak gila dihormatin. Ya... Karena gue kenal lo.”
“Beneran, gak apa-apa? Nanti, gue dilaporin lagi. Pelamar yang gak sopan, gitu.”
“Iya, gak apa-apa. Ya, asalkan cuma kita yang tau.”
“Oke, sekalian kalo gitu. Mumpung sama temen, gue mau jujur.”
“Jujur apa?”
“Gue itu cuma lulusan SMA, mungkin lo juga udah baca CV gue. Sebenernya, gue ragu buat ngelamar di sini, secara rata-rata perusahaan itu minimal pendidikannya D3 atau S1. Gue ngelamar di sini karena saran dari temen gue. Gue ngerasa gak layak, pesimis untuk keterima,” jelasku dengan jujur,”mungkin, lo panggil gue sekarang juga, karena lo kenal gue aja, kan?”
“Lo niat ngelamar kerja gak, sih, sebenernya? Niat mau kerja, gak?” Dia kini menopang dagunya dengan kedua tangannya.
“Iya, sih. Tapi…”
“Lo itu kebanyakan tapi, deh,” Dia menatapku sinis,”lo, jadi orang, harus percaya diri, harus optimis. Apapun yang terjadi, gak boleh nyerah, gak boleh pesimis, gak boleh minder.”
“Gue cuma jujur sesuai realita hidup gue,” kataku lirih.
Jantungku kini berdegup kencang melihat ekspresi Zyan yang terlihat berubah dari sebelumnya.
“Asal lo tau, di sini juga ada beberapa karyawan yang lulusan SMA dan sekarang mereka kerja sambil lanjutin kuliah.” Zyan menatapku tajam,”yang gue liat, merereka sangat percaya diri, enggak kayak lo.”
Aku hanya terdiam.
“Yaudah,” Zyan menghela napas,”hari ini cukup sekian. Nanti, tunggu kabar aja. Kalo lo lolos, nanti dikabarin lagi.”
“Oke.” Aku bangkit dari kursiku.
“Terimakasih atas partisipasinya di perusahaan ini.” Zyan berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
“Terimakasih juga, Pak.”
Kami saling berjabat tangan. Aku beranjak pergi dan Zyan mengantarkanku hingga keluar ruangan, bahkan hingga ke pintu lift. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami, mengarahkan tatapannya kepadaku dan Zyan. Pintu lift terbuka dan aku mulai masuk untuk menuju ke lantai bawah dan menuju pulang ke rumah. Zyan masih berdiri memaku di depan pintu lift.
“Hati-hati.” Zyan tersenyum kearahku.
Aku lantas membalas senyumnya sambil menganggukkan kepala.
Pintu Lift tertutup kembali dan Zyanpun tak terlihat lagi dari pandangan mata ini. Di dalam lift, aku masih saja berusaha menenangkan hatiku atas peristiwa yang baru aku alami beberapa jam sebelumnya hingga tanpa sadar, aku telah tiba di lantai bawah. Aku keluar dari lift dan melewati lobi kantor menuju ke luar gedung. Tiba didekat gerbang, aku masih melihat satpam yang tadi pagi kutemui bersama Della. Dia lalu membukakan pintu gerbang saat aku tiba di sana.
“Lho, sudah pulang Mbak, jam segini?” tanyanya heran sambil melihat jam tangannya.
“Iya, Pak, saya hanya tes dan interview, tadi,” jelasku.
“Oh, begitu, saya kira sudah bekerja seperti karyawan lainnya.”
“Enggak, Pak. Permisi.” Aku berlalu pergi
“Iya, Mbak, hati-hati di jalan.”
Tak perlu menunggu lama, aku langsung menaiki bus yang lewat di hadapanku untuk langsung menuju pulang ke kosan. Di sepanjang perjalanan, aku memikirkan hal yang baru saja kualami tadi dan akan kuhadapi kedepannya.
“Jadi, selama ini, orang yang sering dibicarakan Della, si-iceman-itu, adalah Zyan? Teman satu sekolahku di SMA dulu? Orang yang di taksirnya adalah cinta pertamaku dulu, saat masa putih abu-abu? Dan mungkin, persasaanku pada Zyan-pun belum berubah hingga sekarang, masih sama seperti dulu,” batinku.
Aku masih menatap keluar jendela bus dengan pikiran yang masih menerawang entah kemana. Rintik hujan mulai membasahi jalanan Ibukota pada siang hari ini. Hingga akhirnya aku berdiri saat menyadari gang menuju ke kosanku telah terlewat beberapa meter.
“Berhenti, Pak!” teriakku.
Aku menuju kearah supir-paruh baya untuk membayarkan ongkos jalanku, karena tak ada kondektur saat itu. Akupun turun dari bus dan dengan cepat membuka payungku karena hujan semakin deras. Aku mulai menyusuri trotoar jalan dan memasuki area kosanku.
“Apa yang harus kukatakan pada Della nanti?” gumamku.
Aku membuka pintu gerbang dan melangkah masuk ke dalam kosan. Kuletakkan payungku di teras depan. Kunci segera kuambil dari dalam tas untuk membuka pintu kosan. Sepatu kutaruh pada rak yang telah tersedia di sudut ruang tamu. Aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian dan mandi.
Perutku terasa lapar setelah kedinginan di jalan tadi. Hari ini aku tak sempat memasak ataupun membeli makanan di luar. Jadi, aku menuju dapur untuk sekedar memasak mie instan. Tak lupa ku tambahkan telur ayam dan potongan cabai. Beberapan menit menunggu, mie telah matang dan siap kusantap di tengah perut yang mulai keroncongan.
Aku duduk di ruang makan. Kuletakkan ponselku di sebelah kanan meja. Asap tipis masih mengepul ketika kutiup mie dengan rasa soto ini. Aku mulai menyantapnya perlahan. Ponselku bergetar, kulihat ada pesan masuk, WA dari Della.
“Gimana tadi?”
“Ceritanya nanti aja, kalo lo udah pulang kerja.”
Tak ada balasan lagi darinya setelah kukirimkan pesanku beberapa menit yang lalu. Makan siangkupun telah habis. Aku segera membereskan meja makan dan peralatan lainnya di dapur hingga rapi seperti sedia kala lagi.
Hujan belum juga reda di luar sana. Aku membaringkan tubuhku di sofa ruang tamu, seraya menunggu Della pulang kerja sore nanti. Kantuk mulai hinggap di kedua pelupuk mataku. Sepertinya aku telah terlelap tidur tak lama setelahnya. Ketika aku membuka mata, Della telah berada di sampingku.
“Udah sore, ya?” tanyaku sambil memicingkan mata menatap jam dinding di ruang tamu.
“Iya.” Della tertawa.
“Gue ketiduran abis makan siang tadi.” Aku balas tertawa.
“Tadi gimana tes interviewnya?” tanyanya dengan lugas.
“Susah,” jawabku apa adanya.
“Susah kayak gimana?”
“Ya, psikotes sih, kayak soal-soal pada umumnya,” Aku menegakkan posisi tubuhku di sofa,”paling Bahasa Inggrisnya tadi yang lebih susah.”
“Hmm… Gitu, ya?”
“Ya, kemampuan Bahasa Inggris gue kan, pas-pasan.”
“Ya, semoga aja lo keterima ya.”
“Pasrah sih, gue. Apapun hasilnya.”
“Sama si-iceman, kan?”
“Yang lo maksud Iceman itu, yang orangnya putih pake kacamata, kan?”
“Iya,” Della mendekat padaku,”Dia itu gimana menurut lo?”
“Gak gimana-gimana, sih,” jawabku singkat.
“Masa gitu doang jawabannya, Ta?” Della terlihat kecewa.
“Ya, menurut gue, dia orangnya baik, kok.”
“Iya, dia emang baik. Tapi, nyebelin juga sikapnya, menurut gue.”
Aku tak menanggapi apa-apa. Aku tak berkata panjang lebar karena aku takut salah berucap. Della masih terlihat kecewa. Aku kemudian berpikir keras, atas apa yang akan kukatakan lagi untuk membuatnya tak bertingkah seperti itu lagi, tapi tak mungkin kukatakan detail tentang Zyan yang kukenal dari masa lalu pada Della untuk saat ini.
“Awalnya sih, dia lebih banyak diem. Tapi setelah interview, kesan yang gue rasain, dia orang yang ramah.” Aku memulai kembali percakapan.
“Emang, lo ditanyain apa aja?” tanya Della datar.
“Ya, pertanyaan standar, sih,” Aku berusaha bersikap tenang,”ditanyain kerjaan sebelumnya, bagian apa, terus apa alasan ngelamar di sana.”
“Terus, lo jawab apa?”
“Ya, jawab yang sesuai pertanyaan aja, gue jawab jujur apa adanya.”
Della tak bertanya lagi.
“Kan, kata lo, sebisa mungkin gue gak usah ngomong panjang lebar,” lanjutku.
“Iya, sih. Baguslah.” Della kini tersenyum.
Aku juga ikut tersenyum lega.
“Terus, selanjutnya gimana?”
“Tunggu kabar lagi, nanti dihubungin lagi.”
“Ya, semoga aja lolos dan keterima.”
Aku hanya tersenyum tanpa berkata-kata.
“Yaudah, gue ke kamar duluan, ya.”
Aku mengangguk cepat.
***
Setelah hari itu, aku tetap menjalani aktivitas seperti biasanya sebelum aku mendapat pekerjaan. Akupun masih mencari info lowongan pekerjaan lain, sebagai cadangan jika aku tidak lolos diterima bekerja di perusahaan itu.
Hari demi hari berganti, namun belum juga ada titik terang, kabar bahagia akan harapanku diterima kerja setelah panggilan waktu itu. Waktu semakin mendekati awal bulan lagi, dimana aku telah memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku jika awal bulan nanti aku masih belum juga mendapat pekerjaan di Jakarta.
“Belum ada kabar dari perusahaan, Ta?”
“Belum, Del.”
“Yaudah, nanti gue ingetin si-iceman lagi deh, buat segera kabarin lo. Perihal lolos atau enggaknya.”
“Gak usah, Del.”
“Ya, kalo kayak gini kan, lo gak ada kejelasan, bakal diterima atau enggak.”
“Biarin ikut prosedur perusahaan aja, Del. Gue bakal nunggu, kok.”
“Sampe kapan, Ta?” Della duduk di sampingku.
“Sampe akhir bulan ini.”
“Terus, lo balik ke kampung, abis itu?” Della cemberut menatapku.
“Ya, kalo gue belum dapet kerjaan, mungkin langsung balik.”
“Tega banget sih, lo.”
“Ya, mau gimana lagi, Del. Itu jalan terakhir.”
“Terus, di sana lo mau ngapain? Nikah? Terima perjodohan dari orangtua lo, waktu itu?”
“Mungkin,” jawabku santai.
“Terus, lo mau ngubur mimpi-mimpi lo? Mimpi untuk bisa kuliah lagi, mimpi untuk jadi penulis terkenal? Mimpi untuk sukses di Jakarta?”
“Mimpi-mimpi itu masih tetap ada, Del,” Aku menatapnya dengan senyuman,”tapi, mimpi itu gak harus diwujudin di Jakarta, kan? Gak harus diwujudin di sini, mungkin.”
“Tapi, lo udah memulainya di sini, lo udah berjuang keras di sini. Jadi, harus tuntasin di sini juga.”
“Mungkin, bukan rezeki gue di sini.”
“Belum,” sergah Della.
“Mungkin ini karma buat gue, Del.” Aku tesenyum sendiri.
“Karma gimana?”
“Karena gue pergi ke Jakarta untuk menghindari perjodohan di kampung dengan alasan, gue mau kerja dan lanjutin kuliah di Jakarta. Gue bohong sama orangtua gue.”
“Tapi, kan, lo bener-bener cari kerja di sini dan belum punya kesempatan untuk kuliah juga.”
“Mungkin, jadinya tetap gak berkah karena awalnya gue berbohong. Makanya, sampe sekarang, gue belum dapet kerjaan.”
“Gue dukung aja deh, apapun keputusan akhir lo, nanti.” Della menggenggam tanganku,”semoga itu yang terbaik buat lo.”
“Amin. Makasih, Del.”
Untuk beberapa hari kedepan, aku masih sabar menunggu. Masih menggantungkan harapanku di Ibukota Negara ini. Meskipun tak lagi banyak seperti dulu, semangat dalam diri ini masih tetap ada, demi tujuan dan cita-citaku sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jakarta ini.
***
Pada sore ini, tepat di hari Minggu, Della mengajakku pergi ke taman kota, yang tak begitu jauh dari daerah tempat kosan kami berada. Dengan maksud untuk melupakan sejenak masalah pekerjaan, Della mengatakan jika hari-hari terakhir mendekati kepulanganku ke kampung, jika pada akhirnya aku benar-benar tidak lolos masuk kerja di perusahaan tempat Della dan Zyan bekerja, waktu ini ingin banyak dihabiskannya bersamaku.
“Keputusan lo gak berubah, Ta?”
Aku menggeleng pelan.
Kami kemudian meminum jus alpukat yang kami beli di area taman ini.
“Andai gue bisa bantu lebih, Ta…”
“Lo udah banyak bantu gue, Del. Udah lebih dari cukup.”
“Tapi, gue belum bisa bantu lo sampe bener-bener masuk kerja di tempat gue kerja.”
“Gak apa-apa. Bukan salah lo, kok,” Aku tersenyum menenangkannya,”itu kan, keputusan perusahaan, bukan tanggung jawab lo juga.”
“Ini emang gara-gara dia, si-iceman,” Della memberengut,”dia itu, terlalu perfeksionis, sampe hal perekrutan karyawan juga begitu.”
“Bukan salah dia juga, Del. Dia mungkin hanya menjalankan prosedur perusahaan.”
“Gue bener-bener kecewa sama diri gue sendiri, Ta. Gak bisa ngebantu temen gue sendiri yang lagi kesusahan cari kerja.”
“Udahlah, Del. Gak usah dipermasalahin lagi. Semua hal di dunia ini kan, udah diatur sama Tuhan. Lagian, lo udah banyak banget ngebantu gue selama di Jakarta. Gue berhutang budi atas kebaikan lo. Tapi, gue gak bisa bales apa-apa. Gue cuma bisa berterimakasih dan berdoa supaya segala kebaikan juga akan balik lagi sama lo.”
“Amin. Tapi, gue beneran ikhlas kok, Ta.”
“Iya, gue tau.”
Tak ada perbincangan lagi setelah itu. Kami berdua hanya menikmati senja yang menawan di taman ini. Udara begitu sejuk. Angin sepoi-sepoi berembus memanjakan setiap individu yang berada di tempat ini. Taman tak begitu ramai, namun tak terlalu sepi juga. Cocok dinikmati untuk insan yang mencari ketenangan sejenak, di tengah hiruk-pikuknya Ibukota.
Kuperhatikan kesekitar. Di satu sisi, ada sepasang lansia, lengkap dengan tongkat berjalannya yang sedang duduk di bangku taman, menikmati minuman teh dalam kemasan. Begitu mesra beradu pandang, berbincang bahagia, sangat terlihat jelas dari senyuman yang merekah di wajah mereka yang mulai dipenuhi garis-garis keriput khas usia senja.
Di sisi lain, kulihat anak-anak, laki-laki maupun perempuan, usia balita. Mungkin, sekitar umur 4 tahun, sedang asyik berlari kesana kemari. Saling berkejar-kejaran, bermain dengan gembiranya.
“Begitu bahagianya di usia mereka,” batinku.
Aku terus memperhatikan mereka yang saling tertawa lepas.
“Di usia seperti mereka, belum mengerti banyak hal. Belum memikirkan seberapa kerasnya kehidupan untuk dijalani. Tak perlu memusingkan masalah kerjaan, perdebatan antara orang-orang dewasa dan hal lainnya yang memuakkan di sebagian sisi kehidupan usia dewasa. Mereka lebih banyak bermain, tanpa pikiran yang menumpuk dan menyiksa. Penuh tawa canda dan segala macam kebahagiaan lainnya pada masa kanak-kanak.”
Kini mereka melemparkan bola plastik pada teman mainnya.
“Tapi, inilah siklus kehidupan. Masa-masa yang harus dilewati tahap demi tahap perjalanannya. Pengalaman setiap orang mungkin berbeda. Nasib dan Takdir setiap orang pasti tak sama. Sulit dan mudahnya hari-hari setiap orang tentu beragam. Satu hal yang harus kuyakini sekarang, untuk diriku sendiri misalnya, bahwa siklus hidup itu tetap berjalan dan aku harus tetap melaluinya, bagaimanapun akhirnya.”
“Pulang, yuk,” celetuk Della.
Aku mengiyakan perkataannya. Kamipun pergi meninggalkan taman.
Di kota ini, aku melakukan perjuangan yang tak mudah pada perjalanan hidupku. Dari kota ini, pelajaran yang paling mengena kudapat dalam hidupku adalah sebuah perjuangan. Bukan berjuang di medan perang, bersenjata dan berdarah-darah sepeti jaman penjajahan. Melainkan berjuang meraih tujuan dan cita-cita yang kutinggikan di kota ini, kota Jakarta.
Di Ibukota Negara ini, salah satu kota yang mungkin menjadi primadona, yang begitu dielu-elukan serta diharapkan oleh banyak orang, untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan. Oleh para perantau, dari orang sederhana sepertiku dan banyak orang lainnya. Aku, Dia, Kami, Kita, ataupun Mereka, mungkin sama-sama mengharapkan pencapaian yang baik di kota yang terlihat amat menjanjikan ini. Meskipun tak jarang, banyak kegagalan dan hal pahit serta menyakitkan lainnya yang didapat dari kota ini. Ya, apapun itu, apapun yang telah terjadi dan akan terjadi padaku, intinya adalah, aku akan segera meninggalkan kota ini, walau rasanya masih enggan beranjak pergi. Aku harus tetap bersyukur akan segalanya.
“Lo gak apa-apa, kan, Ta?” Della menghentikan langkahnya,”dari tadi diem aja.”
“Cuma ngerasa bakal kangen aja, sama kota ini. Terutama sama lo, temen baik gue di Jakarta.”
Della langsung memelukku,”gue juga bakal kangen banget sama lo, Ta, nantinya."
Kami kemudian berjalan pulang menuju kembali ke kosan.
Perasaanku lebih tenang sekarang. Jauh lebih ikhlas menyerahkan hasil yang akan kuterima pada akhirnya nanti. Walau aku harus meninggalkan impianku di kota ini, meninggalkan teman terbaikku di kota ini, dan meninggalkan seseorang yang sebenarnya amat kunanti selama ini. Dia. Dia, lelaki yang paling berkesan di hatiku. Dia, adalah cinta pertamaku. Dia. Ya, dia adalah Zyan.
***
judulnya unik banget kak. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Dia