Anak-Anak Dunia Mangkuk - Bab 1 ~ Dunia Mangkuk ~ oleh R.D. Villam
“Dunia ini seperti mangkuk yang biasa kalian pakai untuk makan dan minum. Kalian yang tinggal di lembah hidup di dasarnya, dan pegunungan batu yang mengelilingi lembah adalah dindingnya.”
Itulah pelajaran dari Kakek hari ini.
Mendengarnya, anak-anak terpana, lalu berebutan bertanya.
Bukannya menjawab, Kakek malah tertawa. Ia membiarkan mereka berteriak-teriak, sebelum berkata, “Akan Kakek jelaskan, setelah itu kalian boleh bertanya.”
Maka keseluruh penghuni lembah—tiga puluh tiga anak—duduk rapi di rerumputan, memandangi wajah Kakek tanpa berkedip. Dia adalah sosok yang biasa muncul di tepi sungai tak lama setelah sinar pagi datang, di atas batu datar di samping pohon karamunt.
Dari pohon rindang itu setiap paginya siulan lembut mengalun. Sebenarnya itu hanyalah suara ranting dan dedaunan yang saling bergesek, tetapi bagi anak-anak itu artinya panggilan dari Kakek. Mereka cepat-cepat bangun, meraih sulur-sulur yang menggantung di samping rumah pohon masing-masing, bergegas turun. Mereka berlarian ke tepi sungai dan menunggu. Permukaan batu datar itu lalu memendarkan cahaya putih. Serbuk-serbuk halus beterbangan, berputar-putar di atasnya. Kemudian, setelah putaran terhenti wajah Kakek muncul di tengah-tengah kabut. Bagi anak-anak, wajahnya tampak seperti mereka. Punya sepasang mata untuk melihat, hidung untuk bernapas dan mulut untuk berbicara. Tetapi juga berbeda. Rambut putih tebal melintang di atas mata dan bibirnya. Rambut serupa menempel di dagunya, panjang dan lebat hingga menutupi leher—bahkan mungkin lebih panjang lagi, jika saja anak-anak bisa melihat seluruh bagian tubuhnya hingga ke mata kaki.
Dulu, pertama kali melihat wajah Kakek, anak-anak ketakutan. Selama berpuluh-puluh hari mereka tak pernah bertanya kenapa dia bisa punya rambut sepanjang itu. Tetapi suatu ketika, saat mereka semakin besar, mereka memberanikan diri bertanya.
Mendengarnya, Kakek tertawa. “Itulah kenapa aku dipanggil ‘Kakek’,” katanya.
Anak-anak bertatapan bingung mendengar jawaban itu.
“Suatu hari nanti anak laki-laki akan berwajah seperti ini juga.”
Sebagian anak tertawa sekeras-kerasnya, terutama yang perempuan. Sementara yang lain menjerit ketakutan.
Seorang anak berseru, “Aku lebih suka rambutku yang hitam, bukan putih!”
Yang tertawa berkata, “Tapi dagu berambut itu lucu juga!”
Lalu yang lain membalas, “Tidak mauuu!”
Begitulah, mereka tetap lebih suka wajah mereka saat ini, yang bersih tanpa rambut. Walaupun mereka senang juga memandangi Kakek saat ia membelai-belai rambut panjangnya. Seperti yang dilakukannya saat ini.
Tangannya yang berkeriput muncul dari bawah saat dia mengelus-elus rambutnya. Dia bertanya, “Siapa di antara kalian yang membawa mangkuk?”
Anak-anak senang makan buah-buahan yang dicampur dengan madu, dan juga senang minum. Hampir semuanya selalu membawa-bawa mangkuk ke mana pun mereka pergi. Tanpa ragu mereka mengacung-acungkan benda itu. “Aku! Aku! Aku!”
Kakek memandang berkeliling. Kemudian, tatapannya tertuju ke satu arah.
“Piri,” panggilnya, “kemarilah.”
Tubuh Piri kecil dan sebagian tertutup teman-temannya yang lebih besar di depan, tetapi tetap saja Kakek bisa melihatnya! Piri tak tahu, mungkin gara-gara mangkuknya. Piri selalu percaya ia harus makan lebih banyak supaya tubuhnya bisa jadi lebih besar, karena itu mangkuknya juga lebih besar dibandingkan dengan yang lain. Mungkin gara-gara itu Kakek mengenalinya!
Piri berdiri, lari ke depan lalu duduk di samping batu besar.
Kakek memintanya berbalik menghadap anak-anak yang lain.
“Ambil biji-biji ini, letakkan di mangkukmu,” Kakek berkata sambil melirik ke bawah. Piri pun mengambil sejumput butiran biji karamunt seukuran ujung kuku yang terserak di tanah, lalu meletakkannya di dalam mangkuk.
Tero, seorang temannya yang bertubuh besar dan jika sedang bersemangat suaranya bisa terdengar sampai ke seberang sungai, tertawa. “Itu kan pahit! Apa Piri harus memakannya?”
Anak-anak tertawa, dan Piri ikut tertawa.
“Kenapa tidak? Mungkin Piri suka.” Kakek tertawa pula. “Dengar, Kakek hanya ingin menunjukkan. Seperti halnya biji kecil di tengah mangkuk besar itu, kalian juga ada di tengah dunia yang luas, yang kebetulan bentuknya mirip dengan mangkuk.”
Anak-anak terdiam, belum bisa paham. Semuanya menunggu penjelasan Kakek, tetapi dia masih diam, seolah membiarkan setiap anak berpikir lebih jauh.
Satu anak perempuan lalu berkata, “Tetapi, Kakek, kami sudah pernah berjalan sampai ke kaki pegunungan yang sebelah sini, di seberang sungai, dan jaraknya tidak terlalu jauh.” Dia bernama Yara. Sorot matanya cemerlang dan dia memang tak pernah ragu berbicara. Dia lalu menunjuk ke arah berlawanan, jauh ke ujung lembah. “Jadi jarak ke kaki pegunungan di seberang sana mestinya juga tidak jauh. Artinya, dunia kita sama sekali tidak luas. Seperti halnya mangkuk, dunia kita kecil.”
Dia memang pandai meniru kata-kata Kakek, atau membolak-balikkannya sehingga membuat anak-anak lain bingung.
Kakek langsung memberinya pertanyaan, “Menurutmu, Yara, berapa jauh jarak ke pegunungan di seberang itu?”
“Lima hari. Bisa lebih cepat jika kita berjalan tanpa henti.”
“Tanpa henti? Aku tidak mau terus berjalan tanpa tidur,” Tero menukas dengan suara kerasnya, “atau tanpa makan dan minum.”
“Ya!” yang lain berseru. “Siapa yang mau?”
“Bukan. Bukan itu maksudku!” seru Yara kesal.
“Piri, bagaimana menurutmu?” tanya Kakek.
Piri tertegun sejenak. Setahunya ia lebih dikenal karena cekatan memanjat pohon, sehingga sering dimintai tolong mengambil buah-buahan oleh anak lain. Tetapi mestinya bukan itu yang membuat Kakek bertanya. Mungkin karena Piri jarang berbicara, tetapi jika berkata seringkali ia benar, dan yang benar itu seringkali berbeda dengan pendapat Yara. Ia balik bertanya, “Maksud Kakek, apa aku mau berjalan tanpa tidur? Aku tidak mau.”
“Bukan soal itu!” seru Yara kesal. “Tetapi soal jarak pegunungan dari tempat ini!”
Piri nyengir, senang karena bisa membuat Yara mendelik.
“Jarak dari sini ke Menara Hitam sekitar dua hari,” ujar Piri, “jadi …” Ucapannya terhenti begitu ia menatap menara berwarna hitam di kejauhan yang tinggi menjulang seolah mencakar awan. Serta-merta cengirannya padam. Semua anak menoleh ke arah yang sama dan ikut merinding. Kakek selalu berkata tak ada yang perlu dikhawatirkan dari Menara Hitam, tetapi mereka tahu, ada sesuatu di sana yang membuat mereka selalu takut.
Cepat-cepat Piri meneruskan, “Menara itu ada di tengah-tengah lembah, jadi … Yara mungkin benar. Lima hari lebih, jika kita mau pergi ke pegunungan seberang.”
Itu jawaban yang tampaknya cukup membuat Yara senang. Dia tersenyum manis.
“Tetapi siapa yang mau pergi ke pegunungan?” Tero menukas. “Memangnya ada apa di sana?”
“Kupu-kupu bintang!” sahut Yara tak terduga. “Kamu selalu mau mencari mereka, kan? Menurutku mereka ada banyak di sana.”
Senyumannya terkembang. Sekali lagi, terlihat manis, tetapi bagi Piri kali ini sepertinya ada yang disembunyikan di baliknya.
Namun Tero tak melihat itu. Ia malah tersenyum lebar. “Benar! Mereka selalu terbang ke sana.” Ia melirik, berpandangan dengan beberapa anak laki-laki, kemudian tertawa sendiri.
Tawa yang aneh. Piri yakin, pasti mereka merencanakan sesuatu.
Dan sepertinya bukan hanya mereka. Hampir semua anak kini saling berbisik hingga membuat suasana menjadi gaduh.
“Anak-anak!” Panggilan Kakek membuat mereka menoleh.
“Anak-anak,” suaranya melembut. “Kalian semua pandai. Hari ini Kakek hanya memberitahu soal biji karamunt di dalam mangkuk, ternyata kalian berpikir lebih jauh. Bagus. Tetapi, menjadi pandai bukan berarti kalian bisa bertindak sesuka hati. Justru setelah kalian tahu kalian harus memilih, mana yang baik buat kalian, mana yang tidak.”
Melihat anak-anak terdiam tak mengerti, Kakek melanjutkan dengan anggukan. “Itu saja, anak-anak, pelajaran hari ini. Tadinya Kakek mau mengajari caranya menanam dan merawat pohon allumint. Aku tahu kalian paling suka buahnya. Tetapi besok saja.” Ia melirik, seperti mempelajari mimik wajah setiap anak, lalu menutup, “Sampai jumpa.”
Perlahan wajahnya memudar, lalu menghilang bersama serbuk-serbuk halus yang berputar bersama titik-titik cahaya. Dengan satu kejutan serbuk-serbuk itu tertarik ke satu titik dengan kilau yang membuat semua anak menutup mata.
Saat mata anak-anak terbuka, tinggal tersisa batu di kaki pohon. Gesekan indah ranting dan dedaunan kembali terdengar, lalu lenyap tergantikan gemericik air yang mengalir di sungai.
Judulnya unik banget bikin penasaran. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1 ~ Dunia Mangkuk