Wheatyley Street, London. Pukul 17.23
Seorang lelaki berkulit pucat turun dari taksi. Tingginya sekitar 188 cm dengan bahu lebar dan tubuh tegap. Rahangnya tampak kokoh dengan mata tajam dan hidung mancung. Rambut hitam lurusnya tertutup oleh topi fedora berwarna hitam dan mantel hitam panjangnya terbuka, menampilkan rompi hitam yang membalut kemeja putihnya.
Lelaki itu menatap flat kecil berpintu merah tua bertuliskan nomor 26. Ia membandingkan alamat yang ada di papan jalan dengan alamat yang diberikan padanya sebelum berangkat ke London.
“Jadi ini tempat tinggal barumu?” Suara seorang lelaki yang tampak familiar menyapa telinganya, membuat lelaki itu menoleh ke sumber suara. Anehnya, ia tidak menemukan sosok itu. Lelaki itu mengedarkan pandangan, berusaha mencari sosok yang barusan bicara padanya.
Tidak ada.
Ia menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk mengetuk pintu flat beberapa kali hingga seorang perempuan berusia lima puluhan dengan gaun klasik selutut berwarna merah tua muncul dari balik pintu. Nyonya Brealey, induk semangnya saat ini.
Lelaki itu tersenyum tipis, lalu menunjukkan kertas di tangannya. “26 Wheatley Street?”
Perempuan itu kemudian tersenyum ramah. Ia membuka pintu flat, mempersilakan lelaki itu masuk. “Jadi itu kau? Tak kusangka yang muncul adalah lelaki tampan sepertimu. Masuklah dan lihat kamarmu!”
Lelaki itu masuk mengikuti langkah Nyonya Brealey menuju sebuah kamar di lantai dua. Ia sendiri tidak menyangka ada flat yang cukup luas dengan harga yang murah. Flat dengan satu kamar tidur yang nyaman, sebuah ruang baca, dan perabot yang lumayan lengkap. Penerangan yang bagus karena cahaya masuk dengan bebas dari dua jendela besar berkusen putih. Perapian yang baik, meja makan yang bersih dan rapi.
Lelaki itu memutuskan untuk menyewanya. Ia membayarkan uang sewa, lalu memindahkan barang-barang yang ia letakkan di pintu depan ke kamar.
“Ngomong-ngomong, siapa namamu?” Nyonya Brealey menoleh sekilas pada lelaki itu dengan tangannya yang lihai membuka tirai merah penutup jendela.
“Noct Winnight.”
“AH! Kuharap kau suka berada di sini. Panggil aku jika kau memerlukan sesuatu.” Nyonya Brealey tersenyum, lalu menutup pintu kamar dengan tenang.
Noct mendengus, lalu melempar topi dan coat panjangnya ke sembarang arah. Ia membenamkan tubuh ke tempat tidur, lalu mulai memejamkan mata sesaat. Mengulang kembali beberapa ingatan yang tersisa sebelum ia berada di London. Tentang sahabat, keluarga, dan tragedi menyedihkan yang ia alami.
Lelaki itu kembali membuka mata, lalu merogoh saku celana. Ia mengambil foto hitam putih, kemudian bibirnya tersenyum tipis. Tampak tiga orang sedang berdiri dengan pakaian serba hitam. Dua lelaki dengan seorang perempuan berambut pendek di tengah-tengah. Noct mengisi bagian kanan foto seraya merangkul lelaki berambut pendek di sebelah kiri yang melipat tangan. Ibu jarinya bergerak mengusap foto itu dengan lembut, seakan foto itu akan rusak jika ia terlalu kasar mengusapnya.
“Kau masih belum bisa melupakan kami, ya?”
Suara itu terdengar lagi, memancing Noct untuk kembali duduk dan menemukan siapa yang berbicara. Matanya membulat ketika seorang lelaki berperawakan sedang dengan rambut hitam lurus yang sedikit melewati tengkuk itu sedang bersandar di pintu kamarnya.
“Min-Seok?”
Lelaki itu menggendikkan bahunya. “Kau masih ingat denganku? Wah, aku terharu kau masih mengingatku.”
“Kau sudah meninggal,” kata Noct berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Lelaki itu mengangguk seraya tersenyum tipis. “Ya, memang benar,” ujarnya sebelum menghilang.
Noct menarik napas panjang, lalu kembali membaringkan tubuhnya. Foto itu ia letakkan di atas dada, kemudian Noct memejamkan mata. Kata-kata atasannya kembali teringat.
Bahwa kali ini, misinya tidak boleh gagal.
@niel54 Makasihhhh
Comment on chapter Prolog