Jeong-Min
Wanita paruh baya itu sudah menyambut kedatanganku di ruang tamu begitu aku memasuki rumah. Tatapannya tajam, menandakan bahwa ia sedang marah. Dan, jangan lupakan sebuah amplop putih di tangannya. “Mau sampai kapan kau akan seperti ini terus, hah?” tanyanya dengan nada marah.
“Sampai aku mati,” jawabku dingin, lalu melenggang pergi dari sana.
“Lee Jeong-Min!” seru wanita itu. “Kau itu seorang kakak! Harusnya kau memberikan contoh yang baik kepada adikmu!”
Aku langsung menghentikan langkah kakiku. “Adik?” gumamku. Aku lalu berdecak. “Maaf, tapi aku tidak pernah merasa memiliki seorang adik,” ucapku tanpa berbalik. Aku kemudian melanjutkan kembali langkah kakiku pergi menuju kamar.
“Lee Jeong-Min!” teriak wanita itu, namun aku mengabaikannya. “Dasar anak kurang ajar!” Aku mendengar ia mengumpat.
Ceklek
Blam!
Aku menutup pintu kamarku dengan kerasnya, sehingga menimbulkan bunyi yang mungkin saja membuat orang yang mendengarnya langsung tersentak. Aku berdiri di baliknya. Samar-samar, aku masih bisa mendengar teriakan wanita yang sudah kuanggap seperti nenek sihir itu di ruang tamu. Kebetulan, jarak antara kamarku dengan ruang tamu hanya dibatasi oleh ruang keluarga. Jadi, segala macam teriakan apa pun di sana masih bisa kudengar.
“Kalau kau tidak bisa memberi contoh yang baik kepada adikmu, contohlah dia! Apa dia seperti dirimu yang suka keluyuran tidak jelas? Apa dia suka mendapat surat teguran dari guru kesiswaan? Apa dia suka pulang sekolah larut malam? Tidak!”
Aku menutup mata dan telingaku. Kenapa selalu hal itu yang dibahas?
“Kau harusnya seperti Soo-Kyo! Dia tidak buruk sepertimu! Apa kau mendengarku, Lee Jeong-Min?!” seru nenek sihir itu, lagi.
“Arrrgghhh ...!” aku menggeram kesal. Selalu saja Soo-Kyo, Soo-Kyo, dan Soo-Kyo. Aku bukan Soo-Kyo, dan tidak akan pernah ingin seperti Soo-Kyo, gadis yang menutupi kelicikannya dengan topeng kebaikan.
Aku kemudian berjalan menuju laci meja belajar. Lalu, kubuka laci tersebut. Di sana, ada sebuah botol obat berwarna putih. Aku mendesah melihatnya. “Mungkin, jika aku tidak meminumnya lagi, aku akan cepat mati,” ucapku, lalu menutup laci tersebut.
Aku melempar tasku asal dan menghempaskan tubuh kurusku ke atas ranjang. Menatap lekat langit-langit kamarku yang catnya sudah mulai terkelupas. Pandanganku memang di sana, namun pikiranku jauh mengembara entah ke mana. Terlalu banyak masalah yang datang. Dan, aku sama sekali belum menyelesaikannya.
“Lee Jeong-Min!”
Entah sudah berapa kali aku mendengus kesal karena mendengar suara nenek sihir itu. Dia memang tidak ada bosan-bosannya memanggil namaku. Sepenting itukah aku sampai-sampai terus dipanggil sedari tadi? Jawabannya tentu saja tidak.
Aku adalah orang yang tidak penting. Keberadaanku baginya mungkin hanyalah sebuah beban. Sebenarnya, aku sangat ingin pergi jauh ... ke tempat mereka-mereka –orang yang tidak mengharapkan kehadiranku– tidak bisa melihatku lagi. Namun, entah kenapa masih ada saja orang lain yang selalu ada untukku. Orang-orang yang tidak rela jika aku pergi.
“Lee Jeong-Min!”
Suara itu lagi. Aku membencinya. Wanita tua yang kini berstatus sebagai istri appa¹. Wanita tua ‘kedua’ yang bertugas sebagai pengganti mendiang eomma². Tapi, aku tidak pernah rela jika posisi ibuku digantikan oleh siapa pun. Tak ada yang boleh menggantikannya, sekalipun appa menggantinya.
Namanya Choi Shin-Young, istri appa. Asal kalian tahu, appa sudah pernah menikah sebanyak tiga kali. Istri pertamanya adalah eomma. Seseorang yang sangat aku sayangi. Seorang yang kini sudah pergi jauh ke tempat yang tenang. Seseorang yang sangat aku rindukan saat ini.
Istri kedua appa adalah ibunya Soo-Kyo. Namanya Cho Jung-Ah. Appa menikah dengannya setelah setahun kepergian eomma. Namun, keduanya sudah bercerai sekitar dua tahun yang lalu karena adanya suatu masalah yang tidak aku ketahui. Entah apa yang ada di pikiran appa sehingga Soo-Kyo bisa tinggal di rumah ini. Padahal, Soo-Kyo bukanlah anak kandungnya. Mungkin karena Soo-Kyo yang menurut appa adalah seorang anak yang ‘baik’, makanya appa menginginkannya untuk tinggal bersama kami.
Setelah perceraian appa dengan Cho Jung-Ah, satu setengah tahun kemudian, appa menikah lagi dengan Choi Shin-Young –si nenek sihir. Seorang wanita pengatur hidup orang lain. Sangat menyayangi Lee Soo-Kyo seperti anak kandungnya sendiri. Ya, mungkin karena Soo-Kyo yang sangat penurut, dan ... sangat pandai mencari muka.
Merasa jengah dengan teriakan nenek sihir itu, aku pun merogoh ponsel dari dalam saku baju dan menghubungi Jong-In, laki-laki yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.
“Yeoboseyo³!” sahut Jong-In.
“Kau di mana sekarang?” tanyaku.
“Di rumah. Kenapa?”
Aku melirik ke arah jam dinding di sebelah kiriku. Pukul 19.34. “Jemput aku di rumah sekarang.”
“Apa?”
“Cepatlah! Nenek sihir itu mulai berisik,” ucapku tak sabaran.
“Baiklah-baiklah. Aku akan ke sana sekarang.”
Aku langsung bangun begitu panggilan dengan Jong-In kuakhiri. Saatnya berganti pakaian dan pergi dari rumah.
~bad~
“Kau mau ke mana?”
Baru saja sampai di ruang tamu, Nenek Sihir itu sudah menyodoriku dengan sebuah pertanyaan yang membuatku memutar bola mata karena bosan. “Bukan urusanmu,” jawabku dingin, lalu melangkah pergi dari sana.
“Lee Jeong-Min!” Aku mendengar Nenek Sihir itu memanggil namaku, namun aku tidak menghiraukannya sama sekali, dan tetap melanjutkan langkahku keluar dari dalam rumah.
Jong-In ternyata sudah menungguku di depan gerbang. Pemuda itu tengah asyik duduk-duduk di dalam mobil sport-nya sambil memainkan ponsel.
Aku pun masuk ke dalam mobil Jong-In, dan tak lupa menutup pintu mobil mahal itu dengan sedikit keras, sehingga membuat si empunya mobil langsung menatap ke arahku datar. “Wae⁴?” tanyaku pada Kai.
“Ada masalah apa lagi, hah?” Bukannya menjawab, Jong-In malah balik bertanya. Dia lalu melajukan mobilnya.
“Seperti biasa, wanita tua itu mulai berisik lagi,” jawabku. “Selalu saja menyuruhku agar seperti Soo-Kyo, Soo-Kyo, dan Soo-Kyo.”
Jong-In berdecak lidah. “Ya, Soo-Kyo memang berbeda denganmu. Dia jauh-jauh lebih baik daripada dirimu,” ucapnya yang langsung membuatku mendengus kesal.
“Jangan pernah membanding-bandingkan aku dengannya. Kami jelas beda,” kataku.
“Ya, ya, ya, kalian memang beda. Oh, ya, kita mau ke mana?”
“Terserah.”
Kulihat Jong-In tersenyum. “Baiklah, aku akan membawamu ke sebuah tempat yang mungkin akan membuatmu senang.”
Aku mengernyit. “Ke mana? Apa ke kelab malam?”
“Bukan. Aku berani jamin, kau pasti tidak akan kecewa.”
Aku menghela napas panjang. Tidak berniat lagi untuk bertanya, ke mana kira-kira Jong-In akan membawaku pergi. Yang penting, seperti yang dia katakan tadi, tidak membuatku kecewa.
~bad~
Begitu keluar dari dalam mobil, objek pertama yang kulihat adalah sekumpulan pemuda dan pemudi yang seperti sedang menonton sebuah pertunjukan. Mereka berkumpul di pinggir jalan –yang sama sekali tidak dilalui oleh kendaraan umum. Yang terlintas di kepalaku mengenai tempat ini adalah sebuah arena balapan liar.
Aku kemudian beralih menatap Jong-In, mengisyaratkan bahwa aku membutuhkan sebuah kejelasan mengenai tempat ini. Namun, pemuda itu malah tersenyum dan menarik tanganku agar ikut berkumpul bersama sekumpulan pemuda dan pemudi itu.
“Permisi-permisi ... orang tampan ingin lewat,” ucap Jong-In kelewat narsis, mencoba menerobos orang-orang yang menghalangi jalan kami.
Sepertinya Jong-In adalah orang yang sudah terkenal di sini. Buktinya, mereka langsung minggir begitu mendengar ucapannya barusan.
Dugaanku tadi ternyata benar. Ini adalah sebuah arena balapan liar. Di depan sana, tepatnya di tengah jalan, aku melihat dua unit mobil mewah beserta pemiliknya yang sedang berdiri di depan masing-masing mobil tersebut.
“Kenapa kau membawaku ke tempat seperti ini?” tanyaku pada Jong-In yang berdiri di sebelahku.
“Kenapa? Apa kau tak suka?” tanya Jong-In balik.
“Bukan begitu. Sepertinya ini menarik,” jawabku.
“Apa kau tahu mereka berdua?” Jong-In menunjuk dua orang lelaki yang berdiri di depan masing-masing mobil itu.
“Aku hanya tahu namja¹¹ yang berdiri di depan mobil berwarna merah itu. Namanya Wu Yifan, ‘kan?” Aku lalu berdecak. “Dia cukup terkenal.”
“Yeah ... tentu saja kau tahu. Dia, ‘kan, mantan kekasih adik tirimu itu.”
Aku langsung mendengus kesal begitu mendengar Jong-In menyebut kata ‘adik tirimu’. “Aku tidak punya adik,” elakku.
Kulihat Jong-In menyeringai. Dia paling tahu apa yang bisa membuatku kesal. “Kalau namja yang di depan mobil warna putih itu, apa kau tahu?” tanya Jong-In kemudian, sambil menunjuk seorang pemuda bersurai kecokelatan di depan sana.
“Tidak,” jawabku singkat.
“Astaga. Padahal dia cukup terkenal.”
“Oh, ya? Tetapi kenapa aku tidak tahu?”
Jong-In mengendikkan bahunya. “Namanya Oh Sehun. Anak dari Oh Jungsoo, pemilik SJ Group yang terkenal itu,” jelas Jong-In.
“Ah ... aku tidak tahu. Maksudku, aku tidak tahu siapa itu Oh Jungsoo dan apa itu SJ Group,” sahutku. Aku terlalu malas untuk update mengenai apa-apa saja yang sedang terkenal di negara ini.
Jong-In langsung menatapku sembari melangah. “A-apa? Kau tidak tahu SJ Group? Sungguh? Astaga ... Jeong-Min~a ... benar-benar.”
“Kenapa? Tidak ada untungnya juga bagiku untuk tahu mengenai hal itu.”
Kulihat Jong-In menggeleng-gelengkan kepala. “Terserah kau saja.”
Aku kembali fokus pada objek di depan sana. Kulihat seorang wanita yang mengenakan pakaian yang bisa dibilang errrrr ... seksi mulai berjalan ke tengah-tengah jalan. Di tangannya terdapat sebuah bendera yang bermotif kotak-kotak. Sepertinya balapan akan segera dimulai. Suara sorakan dari para penonton juga sudah mulai riuh.
Kedua pemuda yang bernama Wu Yifan dan Oh Sehun itu mulai memasuki mobil masing-masing. Wanita berpakaian seksi itu juga mulai mengangkat bendera di tangannya.
“Tunggu!”
Aku langsung menoleh ke samping kiriku. Seorang Kim Jong-In tiba-tiba saja berteriak, sehingga membuat seluruh pasang mata langsung menoleh ke arahnya, termasuk dua pemuda yang ada di dalam mobil tadi.
Jong-In lalu maju beberapa langkah. “Maaf sebelumnya, tapi aku memiliki sebuah penawaran yang sangat menarik,” ucapnya, yang membuatku mengernyitkan dahi bingung. Jong-In kemudian menunjuk ke arahku. “Gadis itu!”
“Ya?” aku sedikit terkejut.
“Siapa pun yang menang malam ini, akan mendapatkan gadis itu secara cuma-cuma. Selama malam ini. Bagaimana?”
“Apa? Yak, Kim Jong-In!” Aku langsung mengumpat kasar. Apa-apaan itu? Jong-In berniat menjadikanku bahan taruhan? Yang benar saja. Hh! Dasar Jong-In hitam!
Seluruh penonton bersorak, menandakan bahwa mereka setuju. Kulihat dua pemuda di dalam mobil itu mengacungkan jari jempolnya, tanda bahwa mereka juga setuju.
Oke, sepertinya setelah pulang dari sini, Jong-In harus diberi pelajaran.
“Apa yang kau lakukan, hah?” amukku begitu Jong-In sudah berdiri di sebelahku lagi.
“Kenapa? Apa kau tidak mau? Yah ... padahal banyak gadis di luaran sana yang berharap bisa berkencan dengan salah satu pemuda itu. Kau seharusnya bersyukur, karena bisa mendapatkan apa yang mereka tidak bisa dapatkan.”
“Bersyukur? Kau bilang aku seharusnya bersyukur? Yak, Kim Jong-In, aku baru bersyukur kalau kau membawaku pergi dari sini sekarang juga.”
“Tidak mau. Acaranya baru akan dimulai.”
“Ya sudah, kalau kau tidak mau. Aku akan pergi sendiri.” Aku mulai melangkah pergi, namun gagal. Seorang Kim Jong-In langsung menahan lenganku. “Lepas!”
Jong-In menggeleng. “Tidak.”
“Yak, Jong-In~a!” Aku mencoba menghempaskan tangannya, namun sulit.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sekarang.” Jong-In tiba-tiba saja memelukku dari belakang. Sangat erat, sehingga menyulitkanku untuk melepaskan diri. Dasar Kim Jong-In demes!
Balapan pun dimulai. Kedua mobil di depan sana kini sudah mulai melaju. Tentunya dengan kecepatan di atas rata-rata. Para penonton kembali berseru. Menyebutkan nama Wu Yifan dan Oh Sehun dengan semangatnya, tapi tidak denganku.
Aku terus mengumpat kasar. Segala jenis binatang sudah kusebutkan untuk mengatai seorang Kim Jong-In yang saat ini masih saja menahan tubuhku. “Sampai kapan kau akan menahanku seperti ini, hah?”
“Sampai mereka kembali.”
“Apa? Berapa lama, hah?”
“Um ... biasanya sekitar lima menit.”
Aku mendesah. Itu berarti, Jong-In baru akan melepaskanku lima menit ke depan. Hh ....
Lima menit kemudian
Ternyata benar apa yang dikatakan Jong-In tadi. Setelah lima menit berlalu, aku melihat sebuah mobil berwarna merah yang melaju di depan sana. Itu mobil Wu Yifan. Berarti pemenangnya adalah pemuda itu? Mantan kekasih Soo-Kyo? Jadi aku akan bersama dia itu selama malam ini, begitu? Hh, yang benar saja.
“Wow, Wu Yifan. Bagaimana, Jeong-Min~a?” tanya Jong-In. Aku hanya diam saja. Terlalu malas untuk menjawab pertanyaannya itu. Tak lama kemudian, terlihat mobil berwarna putih yang baru tiba.
Pemuda bernama Wu Yifan itu keluar dari dalam mobilnya. Lalu, dia berjalan menghampiriku. Jangan lupakan suara sorakan yang terdengar memenuhi gendang telingaku.
“Hai, Jeong-Min~ssi,” ucap Yifan. Oh, sepertinya dia tidak melupakan namaku. Kami dulu pernah berkenalan saat dia datang ke rumahku –tentunya untuk mengajak Soo-Kyo berkencan.
Kai akhirnya melepaskan pelukannya, dan itu membuatku bisa bernapas lega. Namun, aku langsung kecewa saat melihat pemuda di hadapanku ini. Tidak jadi bernapas lega. Masih ada satu masalah lagi.
“Selamat, Wu Yifan. Kau pemenangnya,” ujar Jong-In sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Yifan. Kulihat Yifan menyeringai. Dia menerima uluran tangan Jong-In. “Sekarang, kau boleh memiliki dia.” Jong-In tiba-tiba saja mendorong tubuhku dari belakang, dan itu membuatku langsung menatapnya tajam. Kim Jong-In memang minta dimutilasi.
“Apa aku tidak mendapatkan hadiah sama sekali?” Seorang pemuda berperawakan tinggi tiba-tiba saja datang dan bergabung dengan kami. Itu adalah pemuda yang kuketahui bernama Oh Sehun.
“Tidak ada. Siapa suruh kau kalah,” sahut Jong-In.
“Yak, Jong-In~ssi! Meskipun aku tidak menang, seharusnya kau menyiapkan hadiah untukku juga!”
Jong-In berdecak lidah. “Diamlah anak kecil.”
“Mwo¹²? Apa kau bilang? Anak kecil?”
“Iya. Kenapa? Apa kau marah? Kau, ‘kan, masih SMA, jadi tidak masalah, ‘kan, kalau aku menyebutmu anak kecil?”
“Yak, Kim Jong-In!”
Grep!
Sebuah tangan tiba-tiba saja menarik lenganku. Itu Wu Yifan. Dia mengajakku pergi menuju mobilnya, mengabaikan dua orang yang masih asyik berdebat itu.
.
.
.
TBC
¹ : ayah
² : ibu
³ : halo
⁴ : kenapa
¹¹ : laki-laki
¹² : apa