Aku memegangi perutku yang terasa keram selepas menertawakan Val. Beruntung tempat parkir sore itu tidak begitu ramai. Orang-orang masih setia duduk di tempatnya masing-masing. Omong-omong tentang Val, kupikir pemuda itu mungkin sudah kehilangan akal sehatnya karena mulai mempercayai hal bernama "cinta". Memang bagi sebagian manusia di muka bumi ini, cinta adalah sesuatu yang sakral, tapi tidak berlaku bagi kami berdua.
"Udah ketawanya?" sindirnya.
"Sorry." Aku menepuk pundaknya pelan lalu mendudukkan diri di atas motor Ninja kuning kebanggaan Val.
"Jadi gimana menurut lo?" Pemuda itu kembali bertanya.
Aku menumpukan kedua tanganku di atas kuda besi tersebut lalu kembali menatap Val lekat-lekat. "Lo tau kan apa pendapat gue?"
"Mungkin lo berubah pikiran. Sama kayak gue sekarang."
"Val ...," aku meraih tangannya dan menangkupkannya di antara sepuluh jariku, "believe me perasaan lo itu nggak nyata."
Pemuda itu maju selangkah hingga jarak di antara tubuh kami hanya satu jengkal saja. Bisa kurasakan aroma kayu-kayuan menguar dari tubuhnya, berpadu bersama pohon-pohon cemara dan mahoni di sekitar kami.
"Kadang sesuatu yang nggak nyata sebenarnya ada. Kita cuma butuh percaya. Dan gue bisa buat lo juga percaya, La," ucapnya sungguh-sungguh.
Kepalaku mendongak, merasakan embusan angin yang pelan-pelan sanggup menerbangkan dedaunan di sekitarnya. Mengartikan sebuah kepercayaan adalah cerita lama dari hidupku. Aku telah berhenti mempercayai apa pun yang berhubungan dengan kasih sayang. Bagiku, kasih sayang yang sesungguhnya ada hanya berasal dari mama–wanita tangguh yang berhasil menghadirkanku ke dunia ini.
Aku menyelipkan beberapa helai anak rambut ke belakang telinga dan berkata, "Kita nggak akan bisa bayar harga dari sebuah percaya. Oke, kalaupun lo jatuh cinta, apa lo yakin Vio memang pantas dapat perasaan lo ini?"
Val tak bersuara. Ia melengos ke arah jalanan yang tengah lengang lalu beralih pada sekumpulan muda-mudi di depan kafe. Hening tercipta begitu saja. Aku mengembuskan napas lelah.
"Lo punya banyak hal yang disukai cewek, lo masih inget 'kan Mr. Casanova? Gimana jadinya kalau fans elo kabur? Atau lebih parah lagi, cewek yang lo sayang itu dicakar abis sama mereka. Lagian juga, lo kan udah biasa ganti cewek tiap minggu, gue rasa mereka juga nggak ada yang protes tuh."
Pemuda itu tiba-tiba mengunci pandangannya padaku. Lalu perlahan mengikis sisa jarak dan beringsut ke arahku. Kepalanya bertumpu di bahuku sementara kedua tangannya melingkupi tubuhku yang masih terbalut seragam OSIS serta jaket kulit hitam.
"Rasanya nggak akan sama saat gue jatuh cinta. Gue capek, La, gue butuh seseorang yang bersedia ada di sisi gue saat lelah itu datang."
Aku mendebik punggung Val pelan. Aku mengerti pemuda itu tidak senang ada dalam situasi semacam itu setiap hari. Namun, seperti kata Val dulu, ia harus bertahan hanya untuk membentengi dirinya dari sisi gelap dunia. Ia perlu menjadi bersinar di antara ratusan bintang.
Trauma yang dimiliki Val sama besarnya dengan milikku. Kami telah sepakat untuk melupakan masa lalu dan melukiskan masa depan kami seindah mungkin. Namun cinta bukanlah salah satunya. Satu kata itu tidaklah sanggup menyelesaikan peliknya kehidupan.
"Gue nggak sanggup kehilangan cewek yang gue sayang lagi. Hanya dengan cinta, seenggaknya gue yakin bisa pertahanin dia di sini. Di samping gue."
Aku tidak pernah mengerti bagaimana hukum alam dapat mengubah Val. Padahal, hari ini aku masih melihat pemuda itu menebar pesonanya kepada semua gadis, membuat mereka tunduk untuk bisa dipilihnya. Lalu sekarang, sekelebat pendapat aneh meracuni otaknya.
Namun meski begitu aku tidak mendebatnya lebih jauh. Kuyakin Val hanya sedikit emosional karena gadis bernama Vio tadi menghabiskan waktu bersama kami dan memperhatikannya. Sementara itu, aku masih tetap berharap, semoga Val tidak melangkah terlalu jauh.
***
"La, lo tau nggak, ternyata Vio suka nongkrong di Jingga. Kok selama ini gue nggak nyadar ya?"
Aku memutar bola mataku searah jarum jam. Pagi ini aku sengaja datang lebih awal ke sekolah hanya untuk menyantap nasi goreng Bu Darti yang konon katanya merupakan warung pertama di Alamanda. Jarum jam masih menunjukkan angka 06.20 tapi tempat itu sudah cukup riuh oleh beberapa kelompok siswa dengan piring menguarkan aroma khas rempah-rempah.
Sejenak, aku hanya diam tak menggubris Val yang masih saja menceritakan gebetannya itu. Wajah yang terkadang berekspresi seperlunya pun tampak berseri sementara manik coklat gelapnya tak membiarkanku makan dengan tenang. Hingga lima menit kemudian kudorong piringku ke hadapannya hingga benda pipih itu berpindah pada Val.
Detik berikutnya, pemuda itu terdiam sembari menyendokkan nasi gorengku ke mulutnya. Aku mengembuskan napas pendek lalu menyangga kepalaku dengan satu tangan bertumpu meja. Aku tidak ingin Val membicarakan Vio sepanjang hari ketika kami bersama.
"Oh ya, entar sore gue nggak bisa nunggu lo kelar latihan, ada janji sama Vio. Nggak apa-apa, 'kan?"
Refleks aku menegakkan tubuhku dan menatap Val heran. "Kok lo ninggalin gue sih? Kan tadi pagi lo sendiri yang bilang gue nggak usah bawa motor karna lo mau anter-jemput gue," kataku sewot.
Pemuda itu menahan benda logam yang hampir melewati bibirnya. Dia berdeham sambil menjambak rambutnya pelan. "Ya sorry, gue lupa, La," Val kembali menyuap nasinya dengan lahap, "Vio mau beli kado buat bokapnya, jadi dia minta gue temenin karna nggak tau mau ngasih apa."
Semudah itu. Aku mendengus dan tersenyum sinis. Dulu meski Val memiliki kekasih, dia tidak pernah lupa pada janjinya. Tanpa aling-aling, kulangkahkan kakiku menjauh darinya. Dia mau bermain-main? Tidak masalah, aku bisa melakukan segalanya sendiri tanpa pemuda itu.
Sayup-sayup kudengar langkah besar disertai teriakan pemuda itu bergema di telingaku. Aku tidak peduli.
Lagi pula siapa yang butuh laki-laki jika aku saja bisa melakukan semuanya sendiri.
***
"Jangan pikir dengan lo cetak skor di saat-saat terakhir kayak kemarin, lo udah ngalahin gue."
Aku yang saat itu tengah mengikat tali sepatu kets-ku mendongak. Tubuhku menegak hingga dapat melihat Gita yang saat ini bersedekap dengan punggung bersandar pada dinding yang memisahkan ruang ganti dan kamar mandi.
Di wajahnya, gurat-gurat kebencian tak mampu ia sembunyikan meski gadis itu mencoba tersenyum sekalipun.
"Gue masih ketua AGT meskipun gue ditarik keluar di saat-saat terakhir." Ia kembali berkata.
Sudut bibirku melengkung ke atas. "Gue tau kok. Lo jangan khawatir karna gue nggak berniat ngerebut jabatan ketua lo itu."
Kulihat wajah Gita memerah. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Sedang manik coklat gelapnya memandangku dalam, seakan ia bisa membuat lubang di antara tubuhku.
Gita pasti marah karna aku menganggap remeh jabatannya. Meskipun aku tahu harusnya aku tidak melakukannya, tapi egoku menang. Aku ingin menunjukkan pada Gita bahwa jabatan Ketua AGT bukanlah sesuatu yang cukup besar untuk kupertaruhkan. Aku menginginkan posisi di salah satu klub daerah yang pelatih janjikan pada kami. Dan yang perlu kulakukan hanyalah menunjukkan bahwa aku mampu mengimbangi kemampuan Gita yang terbilang mengagumkan.
"Menyelamatkan AGT sekali ini nggak akan ngerubah banyak hal, Mikayla. Coach bakal milih gue karna tau gue cukup pantas ada di antara mereka."
"Dan jangan lupa kalau menjadi Ketua AGT bukan berarti lo bisa ngeremehin anggota yang lain. Kita punya kesempatan yang sama, Gita."
Aku berdecak kemudian bangkit. Begitu juga yang dilakukan gadis itu hingga kini kami saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat.
Atmosfer di sekitar kami meningkat tajam. Beberapa anak yang semula masih ada di sekitar kami berangsur pergi, memberi kami ruang lebih untuk berdiskusi.
"Denger ya, Nona Mikayla, lo tau basket Alamanda itu nggak cukup diperhitungkan buat masuk klub daerah. Tapi lo tau, coach bilang satu yang terbaik dari kita bakal masuk, dan lo harus tau kalau gue dipersiapkan untuk momen itu. Jadi gue peringati elo buat jaga sikap, ngerti?"
Aku terdiam dengan kedua tanganku terlipat di depan dada. Gadis itu menatapku sekali lagi sebelum berbalik dan melenggang kea rah pintu.
"Oh ya satu lagi, jangan lupain kalau lo masuk AGT karna Brian ngeyakinin Kepala Sekolah buat masukin elo di tim basket. You know what, Brian udah gila karna suka sama cewek sejenis elo."
Aku menaikkan sebelah alisku. "Val sahabat gue."
Tawanya berderai.
"Berani taruhan kalau Brian naksir elo?"
Sinar mataku menggelap, tertutup oleh kemelut perasaan yang tiba-tiba menguasai diriku. "He love someone else."
Lagi-lagi gadis berambut sebahu itu menyeringai. "Kalau gitu gue bisa bilang selain nggak tau diri, lo itu juga bodoh. Semua anak di Alamanda tentu tau kalau Brian itu tergila-gila sama lo."
Setelah dua kalimat tak bermakna itu, Gita meneruskan langkah meninggalkanku termenung di ruang ganti.
Bibirku terkatup rapat sementara otakku berpikir cepat. Tidak. Val sama sekali tidak melibatkan perasaan dalam hubungan kami, nyatanya saat ini pemuda itu lebih memilih menemani Vio dibanding menungguku latihan. Jangan lupakan juga fakta bahwa pemuda yang tengah kami perbincangkan adalah salah satu Cassanova sekolah—most wanted boy yang sering berganti pacar setiap ada kesempatan.
Sejenak aku mampu bernapas lega. Kuraih ranselku di dalam loker sebelum berjalan menyusuri koridor yang telah sepi menuju gerbang sekolah. Namun, sebelum benar-benar mencapai tempat itu, kudengar seseorang berteriak, "Kyla!"
Itu Val, sumber kecemasanku barusan.
To be continued