Bel panjang baru saja menggema beberapa menit yang lalu di setiap sudut SMA Alamanda. Ribuan siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas dan membentuk kelompok-kelompok kecil dengan berbagai kepentingan. Beberapa terlihat menonjol, dan beberapa lainnya hanya penghias bagi si populer.
Aku sendiri lebih suka menyingkir dari orang-orang itu lalu memilih menghabiskan waktu bersama Val, seperti hari ini. Pemuda itu berjanji akan mentraktirku di kafe kecil langganan kami sembari menikmati senja yang perlahan datang. Katanya, itu hadiah untukku karna kemarin baru saja membawa tim basket putri Alamanda atau yang lebih dikenal dengan nama AGT¹ ke babak semi final pertandingan daerah.
"Ayo, Val!" ajakku saat kulihat pemuda keturunan Jawa-Betawi itu duduk di bangku panjang depan kelasku–XI IPS 1.
"Tumben." Kulihat sudut bibir pemuda bernama lengkap Brian Rivaldo tersebut terangkat pelan.
Satu alisku ikut naik. "Apanya?"
"Tumben lo semangat, Mikayla Zee," tuturnya di dekat telingaku.
Aku terkekeh pelan kemudian melingkarkan kedua lenganku di tangan kiri Val tanpa berniat membalas kalimatnya. Pemuda itu sudah tahu jawabannya, 'kan? Rahasiaku tak lagi bernama rahasia saat kami bersama. Meskipun begitu, aku tidak pernah merasa takut dengan fakta tersebut.
Langkah kami bergema bersama riuh rendah berbagai macam obrolan di sepanjang koridor seraya sesekali bersenda gurau. Sejenak, aku menyadari orang-orang memandang kami dengan jenis tatapan berbeda. Campuran antara iri dan kagum, kurasa. Aku telah terbiasa menjadi sorotan di samping Val–atau mungkin lebih tepatnya semua gadis yang dekat dengannya.
Aku tidak terlalu ambil pusing mengingat Val adalah sahabatku. Hubungan kami berbeda dengan Val bersama gadis-gadis di Alamanda lainnya.
"Oh ya, jadinya kapan AGT tanding lagi?" Val bertanya di sela-sela perbincangan kami yang tanpa arah.
Pipiku mendadak panas kala ingat momen hari itu. Untuk pertama kalinya selama berstatus tim inti AGT, aku melakukan perubahan yang cukup signifikan. Basket putri Alamanda belum pernah masuk babak semi final, kami selalu berhenti di perempat final.
Tak sabar, pemuda itu mencubit pipiku pelan dengan kedua tangannya. "Dijawab jangan cuma bengong aja," sindirnya.
"Sebulan lagi sih, tapi you know lah, kita harus rajin latihan. So, mungkin nanti kita nggak bisa sering jalan kayak dulu."
Val mengangguk pelan. "Iya iya, mentang-mentang sekarang jadi orang penting jadi gue dilupain."
Aku memiringkan kepalaku ke kanan dan ke kiri hingga rambut kucir kudaku ikut bergoyang seirama. Gemas rasanya melihat pemuda itu tersinggung hanya karena hal sepele. Val biasa menjadi duniaku selama ini, dan mengetahui basket mungkin akan mendominasi, dia jelas tidak menyukainya. Namun di sisi lain, aku juga tahu dia akan ada di baris terdepan saat aku membutuhkan semangat untuk memperjuangkan passion-ku itu.
"Hai, Brian!" sapa seorang gadis ketika kami melintas gerombolan siswi di depan kelas XI IPA 2.
Kulihat Val tersenyum simpul ke arah mereka lantas berujar, "Menurut lo Vio gimana, La?"
"Vio? Cewek yang nyapa lo tadi?" tanyaku.
Val mengacak rambutnya, gemas dengan ketidaktahuanku. Aku memang tidak hafal siswa-siswi Alamanda. Seperti yang kukatakan, duniaku berporos pada Val dan basket. Jadi untuk hal di luar itu aku jelas nol besar.
"Bukan, tapi cewek di sebelahnya, yang pakai bandana biru."
Aku refleks berpaling ke belakang dan mengernyit. "Well, she's cute."
"She's cute. She's beautiful. She's famous. Lo nggak punya komentar lain selain kata-kata itu ya?"
Kedua jariku membentuk huruf V ke arah Val. Memangnya aku harus berkomentar apa lagi? Semua gadis yang pemuda itu tanyakan rata-rata memiliki spesifikasi sama. Tidak salah memang mengingat Val pun memiliki semua hal yang diinginkan para gadis. Jadi bisa dipastikan hanya dalam hitungan hari pemuda tersebut berganti pacar dengan mudah. Well, itu satu hal yang kubenci darinya meski kami memiliki pemikiran sama tentang hubungan laki-laki dan perempuan–kami tidak percaya cinta.
Mengenai gadis tadi, kupikir dia akan jadi sasaran baru Val. Namun, setelah beberapa detik berlalu, pembicaraan tentang Vio hanya seperti angin lalu. Val tidak membanggakan gadis itu seperti biasa. Dia justru menjawat tanganku, meneruskan langkah yang sempat tertunda.
***
Pergi bersama Val adalah satu dari beberapa hal yang suka kulakukan di sela-sela rutinitas menjemukan. Namun, aku lupa ada harga yang harus dibayar untuk bisa berteman dengan Si Casanova Alamanda. Kata pemuda itu, "risiko ditanggung penumpang".
Seperti saat ini, bukannya menikmati sunset, aku justru terperangkap dalam lingkaran pertemanan Val yang orang bilang keren. Beberapa anak populer dari sekolah kami yang tak kukenal ada di sana. Bahkan gadis bernama Vio yang tadi dibicarakan Val juga datang. Kami duduk di meja yang sama dengan tiga orang lainnya.
Aku selalu menolak ketika Val bilang ingin mengenalkanku pada teman-temannya, dan itu bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Kalaupun kami menuju tempat yang sama, aku lebih memilih pergi. Pemuda itu tidak pernah protes meski aku tahu berat ada di posisinya. Namun kali ini berbeda ... Val yang awalnya duduk di depanku beralih di sampingku saat mereka datang. Seolah dia tidak memberiku kebebasan. Seolah pertemuan ini memang sudah direncanakan.
Aku memutar mata beberapa kali sembari menyibukkan diri dengan ponsel di tangan tatkala mereka mulai membicarakan hal klise tentang orang-orang di sekitar kami. Mataku memicing, melirik Val yang terang-terangan memandang Vio sedangkan satu tangannya meremas jemariku di bawah meja. Sejenak aku berpikir apa yang pemuda itu inginkan saat ini. Memintaku menilai gadis itu lebih dalam, atau apa?
Setengah jam berlalu dan aku sama sekali tidak tahu apa yang hendak Val lakukan. Kalau dia menyukai Vio, mengapa tidak mengatakannya saja, toh kelihatannya gadis itu tertarik pada Val. Aku sempat memelototi pemuda itu dan menunjuk Vio dengan gerakan kepala. Jujur saja aku mual melihat tingkah mereka berdua.
"Minggir Val, gue mau ke toilet," ujarku setelah kejenuhan mencapai batas.
Awalnya Val tampak terkejut dan mencoba melarangku dengan kerutan di dahinya, tapi kemudian dia bergeser–memberiku jalan saat Vio tersenyum ke arahnya dan pemuda itu bertingkah seperti orang bodoh. Baiklah, sepertinya menyingkir adalah keputusan terbaik saat ini. Mungkin ... saat ini Val tidak memerlukanku di sisinya.
Sepuluh menit berlalu ketika aku meninggalkan meja kami, tapi rasanya enggan kembali ke sana. Aku memutuskan keluar dari kafe dan duduk di salah satu meja kosong yang terletak di depan ruangan berukuran 10 x 7 meter tersebut. Mentari mulai tenggelam, menyisakan cahaya keemasan di ufuk barat. Aku memandanginya dengan satu tangan menyangga kepala serta pikiran kosong. Entah bagaimana caranya, aku merasa begitu terikat dengan senja. Rasanya seperti aku pulang ke rumah saat dunia tak lagi memihakku.
Aku tahu sensasinya, dan aku tahu bagaimana rasanya. Itu adalah satu hal yang selalu kurindukan sepanjang masa.
"Sendirian? Boleh gue duduk di sini?" Sebuah suara asing menyapa telingaku.
Aku menoleh dan mendapati sepasang manik coklat muda memandangku, lengkap dengan senyuman serta dua cangkir–entah minuman apa–di tangannya.
Aku menoleh ke sekeliling dan mendapati semua meja terisi penuh. Mau tidak mau aku mengangguk lantas tersenyum paksa.
Pemuda itu–si pemilik nama–menyorongkan gelas yang dibawanya ke hadapanku. Seketika aroma teh hijau menyeruak ke dalam indra penciumanku. "Suka matcha? Kebetulan temen gue nggak bisa datang, dan gue terlanjur pesan."
Aku berdeham, tapi tak urung menerima gelas itu di antara kedua tanganku yang bebas. "Thanks."
"Sega Alessandro."
Kepalaku mendongak ke arahnya. "Apa?"
"Nama gue," ujarnya dengan satu tangan terulur ke arahku.
Aku menjabatnya sebentar sebelum menyelipkan jemariku di antara gagang cangkir.
Tak berselang lama, ganti Sega yang berdeham. Aku menyapukan pandanganku ke arahnya lalu mendengar ia berkata, "Lo belum kasih tau nama lo."
"Mikayla," balasku cepat.
"Malaikat. Nama yang cantik, secantik pemiliknya."
Aku terbatuk sebentar dengan sorot tidak percaya. Sega menatapku dengan satu tangan di dagu dan bibir merekah. Pemuda itu tampak berkilau di bawah sinar matahari terbenam. Seperti terbius, aku hanya diam memperhatikan ciptaan Tuhan yang satu ini. Ada sesuatu dari diri Sega yang membungkamku.
Namun, hal itu tidak bertahan lama karena entah bagaimana Val sudah berdiri di sampingku lalu menepuk pundakku pelan.
"La, gue nyariin lo dari tadi," tuturnya pelan.
Kesadaran diriku berangsur kembali. Mendadak kurasakan sekujur tubuhku menggigil tanpa sebab. Susah payah aku menoleh ke arah Val sebelum kembali memperhatikan Sega. Pemuda itu menatap Val dengan pandangan terkejut yang kentara.
"Sorry, ini temen gue, Valdo," jelasku memperkenalkan Val.
Mereka berjabatan sejenak sebelum Val mengajakku pulang. Kami telah seperempat jalan menuju area parkir, meninggalkan Sega sendiri di meja tadi. Aku sempat menoleh ke belakang dan mendapati pemuda itu menatapku dengan wajah tanpa ekspresi.
Ketika aku kembali menghadap jalanan di depan, Val menggenggam tanganku dan menyisipkan jemarinya di antara jemari panjangku.
"Jangan dekat-dekat orang asing. Inget, selama kita sama-sama, lo ada di bawah tanggung jawab gue. Kalau lo diculik orang, nanti apa yang harus gue bilang ke mama?"
Refleks aku mendorong tubuh Val dan memasang wajah angkuh. "Lo pikir lo siapa pakai acara sok ngejagain gue? Daripada lo ngelarang ini-itu mending lo urusin tuh gebetan lo!"
"Oh jadi lo cemburu?"
"Dih, siapa juga yang cemburu sama cewek sok imut itu, jijik banget!" Aku menepuk-nepuk tangan dan bajuku, seolah Vio adalah debu yang menempel di sana.
Namun, Val justru tertawa. Pemuda itu mengalungkan lengannya di antara bahuku.
"Ya udah, iya iya. Tapi ... lo harus denger sesuatu."
Tubuhku berputar 90 derajat dengan kedua tangan di depan dada. Aku menatap Val dengan rasa keingintahuan maksimal. Pemuda itu selalu mengatakan semuanya secara gamblang, aneh rasanya mendengar Val mengatakannya dengan kalimat pembuka seperti itu.
"La ...," aku menaikkan sebelah alisku, "gue pikir, gue jatuh cinta."
What?
###
¹ AGT : Alamanda Girls Team (tim basket putri SMA Alamanda)