“Rara ... sudah siang”, teriak Ibu di luar sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku terperanjat, suara Ibu seperti halilintar yang menggelegar keras sekali. Secepat kilat aku turun dari ranjang. Mengikat rambut yang kusut. Merapikan tempat tidur dan menyusun buku-buku yang berserakan di sana-sini ke rak sudut kamarku. Aku membuka pintu. Aku tongolkan kepala melihat Ibu yang sibuk mondar-mandir menjemur pakaian. Aku melangkah keluar kamar menghapiri Ibu. Haduuh udara pagi ini segar sekali. Cuacanya sangat cerah, pakaian yang di jemur pasti bisa kering dalam setengah hari.
“Pa’de mana bu?”, aku berdiri dekat pintu belakang rumah dan mengambil sapu lidi.
“Besok Pa’de mau ke Lampung. Jadi, tadi pagi-pagi sekali Ayah mengantar Pa’de-mu pesan tiket”.
“Cepat banget sih, padahal Rara belum sempat ngobrol sama Pa’de”.
Ibu menenteng ember lalu kembali masuk dapur. “Kamu pulangnya kemaleman tadi malam. Pa’de udah tidur duluan sebelum kamu pulang”.
“Iya ... tadi malam mata kuliah selesai, Rara ketemu Kajur dulu buat minta tanda tangan. Minta tanda tangan aja ngantri”, Aku mengambil sapu lidi di pojokan. “Sreeek ... sreeek ...”, bunyi seretan sapu lidi yang ku gunakan menghiasi pagi yang cerah. Kumpulan dedaunan yang berguguran mengotori halaman rumahku. Aku kumpulkan dan ku buang di bak sampah samping rumah.
Satu-satunya yang kuinginkan dalam hidup ini ialah selalu dapat merasakan udara sejuk di pagi hari. Melihat keindahan alam yang menyegarkan dan melakukan rutinintas lari pagi ditemani suara cuit-cuit burung yang ceria. Namun sayang, di daerah yang ramai dan berpolusi ini sudah tidak ada lagi suara burung yang membahana itu.
Tanganku meraih selang dari keran air di taman kecil halaman rumah yang mungil. Ku semprotkan air ke segala penjuru halaman membasahi rerumputan hijau yang subur. Hingga membasahi jalanan seberang rumah.
“Nyiram tanaman Neng?”, suara tidak asing dari abang-abang tukang roti.
“Eh iya bang!”, jawabku.
Pikulan dua kotak roti yang tersusun rapi. Goyangan kotak roti mengikuti sang pemikul yang kesana-kemari dengan bobot roti yang banyak dan berat. Ada roti donat, roti lapis, roti manis berbagai rasa, dan roti tawar yang tersusun paling bawah. Roti-roti itu masih fresh baru selesai di buat. Aku pernah beli roti donatnya dan masih hangat. Tukang roti itu terus berjalan dan menjauh.
“Rara, tukang rotinya sudah lewat?”, kata Ibu dari dalam dapur.
“Udah, Ibu bukannya dari tadi sih! tuh ... udah jauh”, aku menunjuk. Ku matikan keran air lalu menuju dapur.
“Rara lapar, mau makan. Ibu masak apa?”, ku ambil piring yang ada di rak, kemudian duduk di kursi meja makan.
“Nasi goreng”, jawab Ibu singkat. “Habis makan cuci piring”.
“Iya”.
Ibu berlalu dan masuk kamar.
Ku sendokkan dua centong nasi goreng dihiasi suiran telur dadar. Dua lembar potongan tomat merah dan lima buah kerupuk kuning.
Kakiku melangkah ke ruang tengah. Duduk di sofa menghadap layar televisi. Hari sabtu pagi begini acara di televisi bagus-bagus karena programnya menyangkut info tentang kewanitaan, infotaiment, fashion. Amat berguna bagi diriku yang akan beranjak menjadi wanita dewasa.
“Rara jaga rumah ya, Ibu mau ke rumah Bu’le Lina dulu”, Ibu nongol di belakangku dengan pakaian yang rapi.
“Jangan lama-lama Bu, hati-hati ya?”, kataku.
Ibu keluar rumah dan memanggil tukang ojek.
Dua jam sudah aku duduk di sini. Tak ada yang dapat ku kerjakan selain nonton TV. Aku cuci piring-piring yang kotor di dapur setelah makan sesuai perintah Ibu. Mandi, lalu nonton TV lagi.
Aku pencet tombol-tombol ponsel memainkan pulsa. Mengirimkan SMS kepada teman-teman yang namanya tertera di ponsel. Itu cukup membuatku terhibur dari kejenuhan. Ada yang membalas jadi sama-sama ngobrol lewat alat ini.
Aku mendengar suara motor di luar. Itu pasti Ibu yang pulang. Ku buka pintu ternyata bukan. Tukang Pos yang hendak mengantarkan surat. “Halo Rara”, sapanya ramah.
“Ya pak!”, aku menerima beberapa surat yang disodorkan oleh Pak Pos.
Dia memang sudah mengenalku karena bisa di bilang aku ini langganan terima surat darinya sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Aku tersenyum. “Kirain sudah pensiun Pak”, Aku melihat gurat wajahnya yang semakin tua. Rambutnya putih namun tertutup helm di kepala. Janggutnya pun mulai terlihat ada ubannya.
“Biar begini-begini masih seger buger lho”, candanya.
“Sehat terus ya pak”, kataku sebelum dia naik ke motornya.
Pak Pos pun pergi. Tiga buah surat ku terima, kembali aku masuk dan menutup pintu. Aku membaca sampul depan surat-surat yang ku terima. Dua dari sahabat penaku yang berada di Jawa Timur dan Sumatra Utara.
Tapi tunggu dulu! surat yang satu ini ditunjukan bukan untukku, sepertinya surat ini salah kirim. Di sini tertulis,
Kepada
Andrew Muhammad Nicosaputra
Jln. Raya Bougenville Blok E7/116
BOGOR
Pak Posnya salah kirim ini ... atau bisa jadi Pak Posnya gak sengaja surat ini terbawa pada saat mengambil surat dari dalam tasnya. Hemmm ... maklum saja lah si Bapaknya tadi juga kan sudah tua begitu. Aku bantu saja kali ya untuk mengantarkan surat ini ke pemillik sebenarnya.
Waduh dari rumahku jauh juga, harus melewati beberapa Blok. Jalan raya rumahku adalah Jalan Raya Melati. Berarti sekitar tiga puluh menit dari rumahku ke Jalan Raya Bougenville bila di tempuh dengan berjalan kaki. Di antar tidak ya??? aku bingung, pasalnya aku harus menunggu rumah sampai Ibu pulang.
Baca lagi sampul suratnya. Namanya bagus, Andrew Muhammad Nicosaputra. Agak kebarat-baratan tapi ada nama muslimnya. Kalau begitu dia pasti beragama Islam karena terlihat sekali dari kata nama Muhammad-nya. Tua atau muda ya ....
Ku palingkan perhatianku ke jam yang tergantung di dinding. Wah! sudah pukul 11.45 sedang panas-panasnya nih di luar rumah. Sinar mataharinya bikin silau mata sampai aku harus memincingkan mataku.
Ibu lama sekali, di saat seperti ini bila di nanti-nanti terasa lama. Tapi bila aku sedang ingin sendiri terasa cepat sekali. Namanya juga manusia. Pokoknya aku mau antar surat ini. Bagaimana kalau surat ini sangat penting. Menyangkut nyawa seseorang karena menantikan pertolongan orang yang dikirmi surat. Ihh ... kok jadi mikir begini sih. Oke deh!
Ku raih gagang telepon dan ku pencet nomor demi nomor yang tertera di buku telepon. Mau telepon siapa sih? ya Bu’le Lina. Terdengar nada nuts di dalam telepon, tak lama kemudian terdengar suara.
“Halo”, sapaku mengawali pembicaraan. “Bisa bicara dengan Bu’le Lina?”.
“Saya sendiri”.
“Bu’le, ini Rara”.
“Ada apa Rara? Ibumu masih di sini”.
“Iya Bu’le, Rara bisa bicara dengan Ibu sebentar tidak?”.
“Ya tunggu sebentar”.
Lama aku menunggu dan kemudian terdengar suara Ibu.
“Halo Rara”.
“Ibu, kapan pulang? soalnya Rara ada perlu nih, mau pergi”.
“Nanti sore Ibu sudah pulang sayang. Ya sudah kalau mau pergi, pergi saja. Jangan lupa di kunci pintunya”.
“Iya, nanti kalau pulangnya duluan Ibu, Rara taruh kuncinya di bawah Vas bunga ya?”.
“Ya, hati-hati”.
Alisku naik turun. Cepat-cepat aku masuk kamar, mengganti baju. Harus jaga penampilan nih! walau satu komplek, tapi perumahan ini kan amat luas. Aku tengok jendela melihat keluar, waduh! panasnya ... pake payung? tidak mau, repot ah.
Ku kenakan celana jins, kaos tangtop hitam, sweter putih, rambut tergerai dan topi cubluk abu-abu. Sedikit polesan bedak tipis dan semprotan colone uhh, rapi deh! mau kemana Neng? jalan-jalan. Ku raih sandal tali warna hitam putih dan kunci pintu rapat-rapat. Tak lupa menaruh kuncinya di bawah Vas bunga Crysan warna kuning, dan yuk kita c’mon.
Baru kali ini aku jalan-jalan di siang hari. Biasanya pagi-pagi sekitar jam lima-an setelah adzan subuh. Ternyata suasana pagi dan siang hari itu berbeda. Kalau siang hari suasananya sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang itu juga para penjual makanan keliling. Kalau bukan tukang bakso ya tukang siomay. Kalau bukan Sales ya Sekurity.
Langkah kakiku menyusuri jalan raya komplek. Aku tengok ke kanan dan ke kiri kelak tidak terlewat. Jalan Raya Rawa Melati sudah jauh di belakangku dan kini yang ada di hadapanku adalah Jalan Raya Kaca Piring. Langkahku tidak cepat dan tidak lambat. Jalan Raya Flamboyan, Jalan Raya Dahlia, Jalan Raya Kamboja, dan Jalan Raya Bougenville. Akhirnya ... sampai juga. Aku berdiri sebentar melepas lelah dan keringat bercucuran. Haduuuh lelahnya, capek juga. Udaranya makin panas.
Ku perhatikan lagi blok yang tertera di amplop surat, Blok E7/116. Kalau cari-carian blok gini aku suka bingung sendiri. Pusing. Jalan Raya Bougenville, serupa dengan namanya. Jalan raya ini begitu banyak pohon-pohon Bougenville tinggi-tinggi di sepanjang jalan. Cantik sekali, bunganya berguguran dan bermekaran. Warna warni, ada yang putih, kuning, merah, orange, dan ungu. Coba saja kalau bunga Bougenville itu wangi ya ... pastinya bisa menghibur diri menikmati harumnya wangi bunga di tengah hari bolong gini. Tapi sayang, sungguh sayang, bunga Bougenville sangat-sangat tidak wangi. Jadi ... aku hanya bisa menikmati warnanya saja.
Blok A1/1, A1/3. Aku menengok ke kanan Blok B1/2, B1/4. Belok ke tikungan Blok C, ambil jalan ke kiri menemukan Blok D. Bloknya luas, sudah sejauh ini tapi bloknya belum ketemu juga, sebenarnya tinggal satu blok lagi tapi kerongkonganku sudah kering minta dibasahi. Aus nih! pengen minum, beli di mana ya ... arloji hitamku sudah menunjukkan pukul 13.02 ku lihat sebuah cafe di ujung jalan. Ku dekati cafe itu dan membaca nama cafe yang ada di atas pintu masuknya. Cafe Gaul. Aku mampir ke cafe yang ada di Blok D5/20. Sebuah cafe kecil nan asri, berinteriorkan Jawa namun ada sentuhan yang modern. Tiang kayu warna plitur dan kursi bambu.
Aku duduk di sebelah pojok dekat jendela, tempat yang strategis dan nyaman karena tidak jauh dari pintu utama dan dapat melihat pemandangan kolam ikan hias yang menakjubkan. Nyaman sekali berada di sini. Betah berlama-lama di sini, selain nyaman aku suka pemandangannya.
“Pesan apa?”, teguran pelayan wanita mengalihkan perhatianku dari ikan-ikan cantik yang berenang di kolam dekat jendela.
“Oh! Sebentar ya?”, ku buka satu persatu daftar menu Cafe Gaul Bougenville. “Hemm ... satu yogurt rasa melon dan roti vanilla”.
Pelayan itu mencatat dan pergi begitu saja. Tak lama kemudian pelayan wanita tadi kembali dengan nampan coklat berisi pesanan yang aku pesan. Baru kali ini kemari dan ternyata ada tempat sebagus ini, lumayan cukup jauh dan capek kalau berjalan kaki dari tempat tinggalku.
Selain ada aku di sini, ada beberapa pengunjung yang lebih dulu datang kemari. Ada lagi yang datang sendiri, berdua atau bergerombol anak sekolahan berseragam abu-abu putih. Pantas saja banyak anak sekolah karena sekarang jamnya pulang sekolah.
Yogurtnya enak sekali, beda dengan yang ada di supermarket dan roti vanilla ini pasti di buat sendiri karena masih hangat. Rasanya pun lebih lezat dari yang ada di abang-abang tukang roti pikul pagi hari.
Ku buka beberapa majalah yang tersedia di kotak meja. Namanya juga cage gaul, disediakan juga majalah-majalah remaja untuk mengisi kejenuhan sampai yogurt dan roti habis disantap.
Alunan musik Welcome to My Paradise yang dibawakan oleh Steven dan Coconutreez membuat hariku makin enjoy di sini. Rasa-rasanya ingin berlama-lama terus di sini. Gak mau pulang.
Ooh ... mengapa berlama-lama, tak terasa sudah hampir satu jam aku duduk di sini dan aku melupakan tujuan utamaku yaitu mengantar surat ini.
Aku sendiri juga tidak tahu kenapa harus repot-repot mengantarnya padahal aku tidak kenal sama sekali dengan orang ini. Ahh! mungkin panggilan hati. Aku jadi pingin lihat, cowok ini rupanya kayak apa ya? tapi kalau orangnya jelek, tua dan kakek-kakek? ya ... yang pentingkan aku mau berbuat baik. Kalau memang dia tua mungkin saja bisa kenalan sama anak laki-lakinya, he... he... he.
Aku mulai beranjak dari duduk, membayar makanan lalu keluar dari cafe gaul Bougenville.
Blok E7/116, sebuah rumah berlantai dua dan balkon sebagai arsitektur utama yang mewah membuat rumah itu kelihatan lebih wah! pintu pagar terbuat dari logam kuningan yang tinggi. Taman besar di depan rumah. Sebuah lapangan basket yang kecil dan garasi tujuh pintu terbuat dari kayu jati.
Langkahku mulai kikuk dan ragu-ragu, tidak disangka alamat rumah yang tertera di amplop surat ini ternyata ... Pos penjaganya kosong, tidak ada satpam atau pun Security yang berjaga. Tukang kebun pun tidak terlihat batang hidungnya. Jangan-jangan tidak ada orang di rumah ini atau jangan-jangan lagi ini rumah hantu ... makanya si Pak Pos sengaja nyasarin surat ini ke rumahku, aduh atut nih!.
Ku beranikan diri untuk memencet bel yang ada di belakang tembok pagar. Belnya tinggi sekali membuatku harus jinjit untuk menggapainya. Kalau saja badan aku tinggi tidak pendek seperti ini. Memencet bel saja pakai usaha ekstra. Satu pencetan bel cukup memanggil orang yang ada di dalam sana. Tapi ... kok sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan ya ..., ku pencet kembali dengan susah payah namun tidak ada tanda-tanda dari si pemilik rumah. Kesel aku dibuatnya. Ku pencet lagi tapi kali ini langsung dua tekanan dan aku dapat melihat kalau gagang pintu di dalam sana bergerak. Dan pintu kayu jati garasi itu pun terbuka. Leganya.
Sosok wanita setengah abad dengan pakaian Jawa. Kebaya dan kain batik, rambut di gulung menyerupai konde, berlari-lari kecil menghampiriku. “Neng, cari siapa?”, teguran wanita berkebaya.
“Hemmm saya mau tanya apakah benar ini rumahnya Andrew Muhammad Nicosaputra?”, aku membaca kembali amplop surat yang aku bawa baik-baik.
“Iya bener”.
“Apa Andrewnya ada? ... Nek!”, aku tidak tahu harus memanggil wanita ini dengan sebutan Ibu atau Nenek karena kemungkinan usia si Nenek ini sama dengan usia Mbah-ku yang ada di Semarang. “Saya Rara, ingin mengantar surat yang nyasar ke rumah saya”, aku mengacungkan surat itu.
Nenek membuka pintu pagar yang tingginya dua kali lipat Nenek ini. “Mari, saya antar Eneng masuk”.
“Tapi apa yang namanya Andrew ini ada di rumah Nek?”.
“Den Andrew sedang main gitar di kolam renang belakang”.
“Ouh!”, waah baru kali ini aku masuk rumah yang ada kolam renangnya. Ini benar-benar pengalaman pertamaku. Norak banget sih! biarin. Aku masih berjalan mengikuti Nenek ini. Akhirnya sampai juga di ruang tamu.
Barang-barang yang ada di ruangan ini adalah barang-barang yang mahal-mahal harganya. Hiasan kristal yang berkilauan, kursi yang kainnya dari bahan beludru, tirai dari sutra. Aku masih sempat menyentuhnya sebelum yang punya rumah melihat aku memegang barang-barang itu.
Nenek itu kembali dengan nampan berisi air minum warna orange kemudian meletakkannya di meja. “Neng Rara silahkan duduk. Den Andrewnya sedang pakai baju”, Nenek itu kembali berlalu dan meninggalkan ku sedirian lagi di ruangan sebesar itu.
Aku memain-mainkan kaki ku sendiri. Menunggu yang punya rumah datang. Pakai baju kok lama banget sih! Mungkin pakai bajunya di Singapura. Segitu gayanya.
Sosok laki-laki tinggi, berbadan atletis berdiri di hadapanku.
Aku tersenyum dan ... oh my god, dia...!!! tidak dapat ku sangka. Aku sungguh-sungguh terkejut, dadaku sesak dan mulutku terkunci. Aku tidak dapat berkata apa-apa saat dia memanggil nama ku ...??? Rara.
“Ketemu lagi ya?”, kata laki-laki itu. Dia adalah Cowok Pelempar Bola yang melemparku dengan bola basket sampai-sampai bajuku kotor. Dan dia juga yang menabrakku di supermarket sampai aku jatuh ke lantai, malunya aku.
“Ka-kam-mu ...”, aku tergagap.
Dia mendelik dan tersenyum nakal. “Silahkan duduk”.
Aku hanya bisa berdiri seperti patung dan duduk kaku seperti orang mati. Aku mencoba biasa kembali dan mengacungkan surat yang aku bawa.
“Terima kasih ya sudah mau repot-repot mengantarkan suratnya sampai sejauh ini”, kata Andrew. “Oh ya ... silahkan diminum airnya”.
Aku menenggak habis airnya dan merasakan agak lega. Bibirku jadi kelu entah ingin berkata apa, ah malunya. Dengan segenab jiwa ragaku mencoba melontarkan kata demi kata. Biar tidak dibilang sok jaim. “Oh ternyata ini rumahmu ya? aku baru tahu”.
“Ya kalau tidak ada surat yang nyasar ke rumah kamu pasti kamu tidak akan pernah kemari, ya kan?”.
Hi ...hi ...hi ... iya juga. Lagian ada angin apa diriku diantar kemari. Ternyata panggilan hati itu mau ketemu orang aneh ini. Cek-cek-cek! tidak bakal nyesel deh. Kalau ada sepuluh surat yang nyasar ke rumahku dan pemilik surat itu rupanya sekeren ini. Wah aku tidak-tidak-tidak bakal menyesal. My god? tidak-tidak dan tidak boleh berpikir seperti ini. Runtukku dalam hati.
“Hallo”, Andrew mengagetkanku.
“Eh, iya ya. Ada apa?”, aku tergagap.
“Apanya”, dia kembali tanya.
“Gak-gak ...”, aku berpaling. “Oke deh kalau begitu aku pulang dulu karena tugasku sudah selesai”, aku hendak berdiri.
“Saya antar pulang?”, Andrew menawarkan jasa. “Sekalian saya mau tahu rumah kamu”.
“Gak usah. Biar aku pulang sendiri aja, mungkin kamu memiliki pekerjaan yang lebih penting dari sekedar mengantarkan aku?”.
“Gak. Gak ada, boleh ya? kan kamu sudah ke rumah saya, sebagai gantinya saya sekarang ke rumah kamu”, Andrew memaksa.
Aku mengangguk. “Baiklah”, dan melangkah menuju pintu.
Matahari mulai turun dari ufuk barat. Pertemuan singkat namun berkesan, Andrew masih berdiri di sampingku dan aku tidak berbuat apa-apa. Perjalanan tadi siang yang melelahkan, sore ini begitu menyejukkan. Tidak terasa capek sedikitpun.
“Kamu kuliah di mana?”, Andrew bertanya.
“Di UNPAM”, jawabku singkat.
“UNPAM? Di mana tuh!”.
“Di Tangerang Selatan, namanya Universitas Pamulang”.
“Oh ... aku baru dengar”, katanya.
“Kalau kamu di mana?”.
“Saya sekarang semester tujuh Jurusan Akuntansi Universitas Pakuan”, terang Andrew.
“Jalan menuju rumahku masih jauh, mungkin membutuhkan waktu dua puluh menit lagi”, kataku. Pelan-pelan ... gitu lho!.
“Itu rumahku”, aku menunjuk sebuah rumah mungil dari kejauhan.
Rumah Andrew lima kali lebih besar dari rumahku. Mungkin. Sedikit risih, tapi apa boleh buat ini adalah rumah orangtuaku. Aku tidak berhak memperolok karena di sinilah aku dibesarkan, aku hidup, aku bercanda dan menangis bersama kedua orangtua tercinta. Rumahku adalah istanaku. Selamanya ini adalah istana tak tergantikan dengan istana kerajaan manapun, ataupun rumah Andrew yang mewah.
“Rumahku tak sebesar rumahmu”.
“Mengenal seseorang jangan di lihat dari rumahnya, ataupun di mana dia tinggal, tapi dari hatinya”, Andrew tersenyum. “Jika di lihat dari kejauhan seperti ini, rumahmu indah. Sama seperti pemiliknya”.
Aku tersipu dan membuka pagar bercat putih. “Masuk dulu yuk! sepertinya Ibuku ada di dalam”.
Andrew mengikutiku di belakang.
“Assalammualaikum ...”, salamku membuka pintu.
“Walaikumsalam ...”, suara sahutan Ibu dari dalam rumah. “Kemana saja, Ibu tunggu-tunggu”.
“Sore Tante?”, sapa Andrew.
“Sore ...”, jawab Ibu tersenyum.
“Ibu, kenalkan ini Andrew”, aku salah tingkah.
“Oh iya teman kuliahnya Rara ya?”, tanya Ibu.
Andrew berjabat tangan dengan Ibu. Waduh sopannya.
“Silahkan duduk, maaf ya Nak Andrew rumah Rara sempit. Sebentar Ibu tinggal ke dalam dulu ya? Rara ambilkan minum untuk temanmu”, suara Ibu lalu masuk ke dalam.
“Tidak usah repot-repot Tante”, kata Andrew.
Kedua tanganku membawa nampan berisi dua gelas air putih dan satu toples kue Nastar. Aku meletakkannya di meja.
“Silahkan di minum, maaf adanya cuma air putih”.
“Ini sudah lebih dari cukup”, dia meneguk habis air di dalam gelas.
“Wah haus ya?”, kataku cengengesan.
Andrew membuka isi toples dan memakan kue Nastar. “Kuenya beli di mana?”, tanyanya.
“Bikin sendiri, aku membuatnya dua hari yang lalu”.
“Pantes enak, boleh pesen gak?”.
Aku tersipu, cowok ini bawel juga tapi asyik sih jadi gak BeTe. “Disini tidak menerima pesanan”, jawabku ngeledek. Ih! Bikin greget aja.
“Tanaman bunga Mawar di luar itu milikmu ya?”, Andrew menunjuk bunga Mawar kesayanganku yang berada di tengah halaman rumah.
“Kalau adanya di wilayah rumahku berarti iya”, jawabku ketus.
Apa saja ditanyai, sampai-sampai ikan hias yang berada di sudut ruangan pun ditanyai. Biasanya makan apa? cacing atau makanan ikan, beli di mana? namanya siapa? dan dia tanya juga kalau ikan ini berapa usianya? Oh eM Ge (baca oh em ji) sebenarnya dia berasal dari planet mana sih? Aku geleng-geleng.
“Udah hampir gelap, sebaiknya saya pulang”, Andrew berdiri dari tempat duduknya.
Aku manggut-manggut. “Ibu Andrew mau pulang”, teriakku.
Ibu keluar. “Kok buru-buru, Tante lagi siapin makan malam sudah mau pulang”.
“Terimakasih, kapan-kapan saja Tante, sudah gelap. Saya pamit dulu”, Andrew menyalami Ibu.
Aku mengantarnya keluar.
“Sampai jumpa”, dia melambai.
Aku tersenyum, senyumanku mengembang lebar sekali. Hatiku serasa ada di langit melambung tinggi dan berdebar-debar.
Indahnya hariku, waw... waw... senangnya hatiku, senangnya hatiku.
**
“Rara ... sudah siang”, teriak Ibu di luar sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku terperanjat, suara Ibu seperti halilintar yang menggelegar keras sekali. Secepat kilat aku turun dari ranjang. Mengikat rambut yang kusut. Merapikan tempat tidur dan menyusun buku-buku yang berserakan di sana-sini ke rak sudut kamarku. Aku membuka pintu. Aku tongolkan kepala melihat Ibu yang sibuk mondar-mandir menjemur pakaian. Aku melangkah keluar kamar menghapiri Ibu. Haduuh udara pagi ini segar sekali. Cuacanya sangat cerah, pakaian yang di jemur pasti bisa kering dalam setengah hari.
“Pa’de mana bu?”, aku berdiri dekat pintu belakang rumah dan mengambil sapu lidi.
“Besok Pa’de mau ke Lampung. Jadi, tadi pagi-pagi sekali Ayah mengantar Pa’de-mu pesan tiket”.
“Cepat banget sih, padahal Rara belum sempat ngobrol sama Pa’de”.
Ibu menenteng ember lalu kembali masuk dapur. “Kamu pulangnya kemaleman tadi malam. Pa’de udah tidur duluan sebelum kamu pulang”.
“Iya ... tadi malam mata kuliah selesai, Rara ketemu Kajur dulu buat minta tanda tangan. Minta tanda tangan aja ngantri!”, Aku mengambil sapu lidi di pojokan. “Sreeek ... sreeek ...”, bunyi seretan sapu lidi yang kugunakan menghiasi pagi yang cerah. Kumpulan dedaunan yang berguguran mengotori halaman rumahku. Aku kumpulkan dan kubuang di bak sampah samping rumah.
Satu-satunya yang kuinginkan dalam hidup ini ialah selalu dapat merasakan udara sejuk di pagi hari. Melihat keindahan alam yang menyegarkan dan melakukan rutinintas lari pagi ditemani suara cuit-cuit burung yang ceria. Namun sayang, di daerah yang ramai dan berpolusi ini sudah tidak ada lagi suara burung yang membahana itu.
Tanganku meraih selang dari keran air di taman kecil halaman rumah yang mungil. Kusemprotkan air ke segala penjuru halaman membasahi rerumputan hijau yang subur. Hingga membasahi jalanan seberang rumah.
“Nyiram tanaman Neng?”, suara tidak asing dari abang-abang tukang roti.
“Eh iya bang!”, jawabku.
Pikulan dua kotak roti yang tersusun rapi. Goyangan kotak roti mengikuti sang pemikul yang kesana-kemari dengan bobot roti yang banyak dan berat. Ada roti donat, roti lapis, roti manis berbagai rasa, dan roti tawar yang tersusun paling bawah. Roti-roti itu masih fresh baru selesai di buat. Aku pernah beli roti donatnya dan masih hangat. Tukang roti itu terus berjalan dan menjauh.
“Rara, tukang rotinya sudah lewat?”, kata Ibu dari dalam dapur.
“Udah, Ibu bukannya dari tadi sih! Tuh ... udah jauh”, aku menunjuk. Kumatikan keran air lalu menuju dapur.
“Rara lapar, mau makan. Ibu masak apa?”, kuambil piring yang ada di rak, kemudian duduk di kursi meja makan.
“Nasi goreng”, jawab Ibu singkat. “Habis makan cuci piring”.
“Iya”.
Ibu berlalu dan masuk kamar.
Kusendokkan dua centong nasi goreng dihiasi suiran telur dadar. Dua lembar potongan tomat merah dan lima buah kerupuk kuning.
Kakiku melangkah ke ruang tengah. Duduk di sofa menghadap layar televisi. Hari sabtu pagi begini acara di televisi bagus-bagus karena programnya menyangkut info tentang kewanitaan, infotaiment, fashion. Amat berguna bagi diriku yang akan beranjak menjadi wanita dewasa.
“Rara jaga rumah ya, Ibu mau ke rumah Bu’le Lina dulu”, Ibu nongol di belakangku dengan pakaian yang rapi.
“Jangan lama-lama Bu, hati-hati ya?”, kataku.
Ibu keluar rumah dan memanggil tukang ojek.
Dua jam sudah aku duduk di sini. Tak ada yang dapat kukerjakan selain nonton TV. Aku cuci piring-piring yang kotor di dapur setelah makan sesuai perintah Ibu. Mandi, lalu nonton TV lagi.
Aku pencet tombol-tombol ponsel memainkan pulsa. Mengirimkan SMS kepada teman-teman yang namanya tertera di ponsel. Itu cukup membuatku terhibur dari kejenuhan. Ada yang membalas jadi sama-sama ngobrol lewat alat ini.
Aku mendengar suara motor di luar. Itu pasti Ibu yang pulang. Kubuka pintu ternyata bukan. Tukang Pos yang hendak mengantarkan surat. “Halo Rara”, sapanya ramah.
“Ya pak!”, aku menerima beberapa surat yang disodorkan oleh Pak Pos.
Dia memang sudah mengenalku karena bisa di bilang aku ini langganan terima surat darinya sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Aku tersenyum. “Kirain sudah pensiun Pak”, Aku melihat gurat wajahnya yang semakin tua. Rambutnya putih namun tertutup helm di kepala. Janggutnya pun mulai terlihat ada ubannya.
“Biar begini-begini masih seger buger lho”, candanya.
“Sehat terus ya pak”, kataku sebelum dia naik ke motornya.
Pak Pos pun pergi. Tiga buah surat kuterima, kembali aku masuk dan menutup pintu. Aku membaca sampul depan surat-surat yang kuterima. Dua dari sahabat penaku yang berada di Jawa Timur dan Sumatra Utara.
Tapi tunggu dulu! Surat yang satu ini ditunjukan bukan untukku, sepertinya surat ini salah kirim. Di sini tertulis,
Kepada
Andrew Muhammad Nicosaputra
Jln. Raya Bougenville Blok E7/116
BOGOR
Pak Posnya salah kirim ini ... atau bisa jadi Pak Posnya gak sengaja surat ini terbawa pada saat mengambil surat dari dalam tasnya. Hemmm ... maklum sajalah si Bapaknya tadi juga kan sudah tua begitu. Aku bantu saja kali ya untuk mengantarkan surat ini ke pemillik sebenarnya.
Waduh dari rumahku jauh juga, harus melewati beberapa Blok. Jalan raya rumahku adalah Jalan Raya Melati. Berarti sekitar tiga puluh menit dari rumahku ke Jalan Raya Bougenville bila di tempuh dengan berjalan kaki. Di antar tidak ya??? Aku bingung, pasalnya aku harus menunggu rumah sampai Ibu pulang.
Baca lagi sampul suratnya. Namanya bagus, Andrew Muhammad Nicosaputra. Agak kebarat-baratan tapi ada nama muslimnya. Kalau begitu dia pasti beragama Islam karena terlihat sekali dari kata nama Muhammad-nya. Tua atau muda ya ... .
Kupalingkan perhatianku ke jam yang tergantung di dinding. Wah! Sudah pukul 11.45 sedang panas-panasnya nih di luar rumah. Sinar mataharinya bikin silau mata sampai aku harus memincingkan mataku.
Ibu lama sekali, di saat seperti ini bila dinanti-nanti terasa lama. Tapi bila aku sedang ingin sendiri terasa cepat sekali. Namanya juga manusia. Pokoknya aku mau antar surat ini. Bagaimana kalau surat ini sangat penting. Menyangkut nyawa seseorang karena menantikan pertolongan orang yang dikirimi surat. Ihh ... kok jadi mikir begini sih. Oke deh!.
Kuraih gagang telepon dan kupencet nomor demi nomor yang tertera di buku telepon. Mau telepon siapa sih? Ya Bu’le Lina. Terdengar nada nuts di dalam telepon, tak lama kemudian terdengar suara.
“Halo”, sapaku mengawali pembicaraan. “Bisa bicara dengan Bu’le Lina?”.
“Saya sendiri”
“Bu’le, ini Rara”
“Ada apa Rara? Ibumu masih di sini”
“Iya Bu’le, Rara bisa bicara dengan Ibu sebentar tidak?”
“Ya tunggu sebentar”
Lama aku menunggu dan kemudian terdengar suara Ibu.
“Halo Rara”
“Ibu, kapan pulang? Soalnya Rara ada perlu nih, mau pergi”
“Nanti sore Ibu sudah pulang sayang. Ya sudah kalau mau pergi, pergi saja. Jangan lupa dikunci pintunya”.
“Iya, nanti kalau pulangnya duluan Ibu, Rara taruh kuncinya di bawah Vas bunga ya?”
“Ya, hati-hati”
Alisku naik turun. Cepat-cepat aku masuk kamar, mengganti baju. Harus jaga penampilan nih! Walau satu komplek, tapi perumahan inikan amat luas. Aku tengok jendela melihat keluar, waduh! Panasnya ... pake payung? Tidak mau, repot ah.
Kukenakan celana jins, kaos tangtop hitam, sweter putih, rambut tergerai dan topi cubluk abu-abu. Sedikit polesan bedak tipis dan semprotan colone uhh, rapi deh! Mau kemana Neng? Jalan-jalan. Kuraih sandal tali warna hitam putih dan kunci pintu rapat-rapat. Tak lupa menaruh kuncinya di bawah Vas bunga Crysan warna kuning, dan yuk kita c’mon.
Baru kali ini aku jalan-jalan di siang hari. Biasanya pagi-pagi sekitar jam lima-an setelah adzan subuh. Ternyata suasana pagi dan siang hari itu berbeda. Kalau siang hari suasananya sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang itu juga para penjual makanan keliling. Kalau bukan tukang bakso ya tukang siomay. Kalau bukan Sales ya Sekurity.
Langkah kakiku menyusuri jalan raya komplek. Aku tengok ke kanan dan ke kiri kelak tidak terlewat. Jalan Raya Rawa Melati sudah jauh di belakangku dan kini yang ada di hadapanku adalah Jalan Raya Kaca Piring. Langkahku tidak cepat dan tidak lambat. Jalan Raya Flamboyan, Jalan Raya Dahlia, Jalan Raya Kamboja, dan Jalan Raya Bougenville. Akhirnya ... sampai juga. Aku berdiri sebentar melepas lelah dan keringat bercucuran. Haduuuh lelahnya, capek juga. Udaranya makin panas.
Kuperhatikan lagi blok yang tertera di amplop surat, Blok E7/116. Kalau cari-carian blok gini aku suka bingung sendiri. Pusing. Jalan Raya Bougenville, serupa dengan namanya. Jalan raya ini begitu banyak pohon-pohon Bougenville tinggi-tinggi di sepanjang jalan. Cantik sekali, bunganya berguguran dan bermekaran. Warna warni, ada yang putih, kuning, merah, orange, dan ungu. Coba saja kalau bunga Bougenville itu wangi ya ... pastinya bisa menghibur diri menikmati harumnya wangi bunga di tengah hari bolong gini. Tapi sayang, sungguh sayang, bunga Bougenville sangat-sangat tidak wangi. Jadi ... aku hanya bisa menikmati warnanya saja.
Blok A1/1, A1/3. Aku menengok ke kanan Blok B1/2, B1/4. Belok ke tikungan Blok C, ambil jalan ke kiri menemukan Blok D. Bloknya luas, sudah sejauh ini tapi bloknya belum ketemu juga, sebenarnya tinggal satu blok lagi tapi kerongkonganku sudah kering minta dibasahi. Aus nih! Pengen minum, beli di mana ya ... arloji hitamku sudah menunjukkan pukul 13.02 kulihat sebuah cafe di ujung jalan. Kudekati cafe itu dan membaca nama cafe yang ada di atas pintu masuknya. Cafe Gaul. Aku mampir ke cafe yang ada di Blok D5/20. Sebuah cafe kecil nan asri, berinteriorkan Jawa namun ada sentuhan yang modern. Tiang kayu warna plitur dan kursi bambu.
Aku duduk di sebelah pojok dekat jendela, tempat yang strategis dan nyaman karena tidak jauh dari pintu utama dan dapat melihat pemandangan kolam ikan hias yang menakjubkan. Nyaman sekali berada di sini. Betah berlama-lama di sini, selain nyaman aku suka pemandangannya.
“Pesan apa?”, teguran pelayan wanita mengalihkan perhatianku dari ikan-ikan cantik yang berenang di kolam dekat jendela.
“Oh! Sebentar ya?”, kubuka satu persatu daftar menu Cafe Gaul Bougenville. “Hemm ... satu yogurt rasa melon dan roti vanilla”.
Pelayan itu mencatat dan pergi begitu saja. Tak lama kemudian pelayan wanita tadi kembali dengan nampan coklat berisi pesanan yang aku pesan. Baru kali ini kemari dan ternyata ada tempat sebagus ini, lumayan cukup jauh dan capek kalau berjalan kaki dari tempat tinggalku.
Selain ada aku di sini, ada beberapa pengunjung yang lebih dulu datang kemari. Ada lagi yang datang sendiri, berdua atau bergerombol anak sekolahan berseragam abu-abu putih. Pantas saja banyak anak sekolah karena sekarang jamnya pulang sekolah.
Yogurtnya enak sekali, beda dengan yang ada di supermarket dan roti vanilla ini pasti di buat sendiri karena masih hangat. Rasanya pun lebih lezat dari yang ada di Abang-abang tukang roti pikul pagi hari.
Kubuka beberapa majalah yang tersedia di kotak meja. Namanya juga cage gaul, disediakan juga majalah-majalah remaja untuk mengisi kejenuhan sampai yogurt dan roti habis disantap.
Alunan musik Welcome to My Paradise yang dibawakan oleh Steven dan Coconutreez membuat hariku makin enjoy di sini. Rasa-rasanya ingin berlama-lama terus di sini. Gak mau pulang.
Ooh ... mengapa berlama-lama, tak terasa sudah hampir satu jam aku duduk di sini dan aku melupakan tujuan utamaku yaitu mengantar surat ini.
Aku sendiri juga tidak tahu kenapa harus repot-repot mengantarnya padahal aku tidak kenal sama sekali dengan orang ini. Ahh! Mungkin panggilan hati. Aku jadi pingin lihat, cowok ini rupanya kayak apa ya? Tapi kalau orangnya jelek, tua dan kakek-kakek? Ya ... gak apa-apa, yang pentingkan aku mau berbuat baik. Kalau memang dia tua mungkin saja bisa kenalan sama anak laki-lakinya, he... he... he.
Aku mulai beranjak dari duduk, membayar makanan lalu keluar dari cafe gaul Bougenville.
Blok E7/116, sebuah rumah berlantai dua dan balkon sebagai arsitektur utama yang mewah membuat rumah itu kelihatan lebih wah! Pintu pagar terbuat dari logam kuningan yang tinggi. Taman besar di depan rumah. Sebuah lapangan basket yang kecil dan garasi tujuh pintu terbuat dari kayu jati.
Langkahku mulai kikuk dan ragu-ragu, tidak disangka alamat rumah yang tertera di amplop surat ini ternyata ... . Pos penjaganya kosong, tidak ada satpam ataupun Security yang berjaga. Tukang kebunpun tidak terlihat batang hidungnya. Jangan-jangan tidak ada orang di rumah ini atau jangan-jangan lagi ini rumah hantu ... makanya si Pak Pos sengaja nyasarin surat ini ke rumahku, aduh atut nih!.
Kuberanikan diri untuk memencet bel yang ada di belakang tembok pagar. Belnya tinggi sekali membuatku harus jinjit untuk menggapainya. Kalau saja badan aku tinggi, tidak pendek seperti ini. Memencet bel saja pakai usaha ekstra. Satu pencetan bel cukup memanggil orang yang ada di dalam sana. Tapi ... kok sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan ya ..., kupencet kembali dengan susah payah namun tidak ada tanda-tanda dari si pemilik rumah. Kesel aku dibuatnya. Kupencet lagi tapi kali ini langsung dua tekanan dan aku dapat melihat kalau gagang pintu di dalam sana bergerak. Dan pintu kayu jati garasi itu pun terbuka. Leganya.
Sosok wanita setengah abad dengan pakaian Jawa. Kebaya dan kain batik, rambut di gulung menyerupai konde, berlari-lari kecil menghampiriku. “Neng, cari siapa?”, teguran wanita berkebaya.
“Hemmm saya mau tanya apakah benar ini rumahnya Andrew Muhammad Nicosaputra?”, aku membaca kembali amplop surat yang aku bawa baik-baik.
“Iya bener”.
“Apa Andrewnya ada? ... Nek!”, aku tidak tahu harus memanggil wanita ini dengan sebutan Ibu atau Nenek karena kemungkinan usia si Nenek ini sama dengan usia Mbah-ku yang ada di Semarang. “Saya Rara, ingin mengantar surat yang nyasar ke rumah saya”, aku mengacungkan surat itu.
Nenek membuka pintu pagar yang tingginya dua kali lipat Nenek ini. “Mari, saya antar Eneng masuk”.
“Tapi apa yang namanya Andrew ini ada di rumah Nek?”
“Den Andrew sedang main gitar di kolam renang belakang”.
“Ouh!”, waah baru kali ini aku masuk rumah yang ada kolam renangnya. Ini benar-benar pengalaman pertamaku. Norak banget sih! Biarin. Aku masih berjalan mengikuti Nenek ini. Akhirnya sampai juga di ruang tamu.
Barang-barang yang ada di ruangan ini adalah barang-barang yang mahal-mahal harganya. Hiasan kristal yang berkilauan, kursi yang kainnya dari bahan beludru, tirai dari sutra. Aku masih sempat menyentuhnya sebelum yang punya rumah melihat aku memegang barang-barang itu.
Nenek itu kembali dengan nampan berisi air minum warna orange kemudian meletakkannya di meja. “Neng Rara silahkan duduk. Den Andrewnya sedang pakai baju”, Nenek itu kembali berlalu dan meninggalkanku sedirian lagi di ruangan sebesar itu.
Aku memain-mainkan kakiku sendiri. Menunggu yang punya rumah datang. Pakai baju kok lama banget sih! Mungkin pakai bajunya di Singapura. Segitu gayanya.
Sosok laki-laki tinggi, berbadan atletis berdiri di hadapanku.
Aku tersenyum dan ... oh my god, dia...!!! Tidak dapat kusangka. Aku sungguh-sungguh terkejut, dadaku sesak dan mulutku terkunci. Aku tidak dapat berkata apa-apa saat dia memanggil nama ku ...??? Rara.
“Ketemu lagi ya?”, kata laki-laki itu. Dia adalah Cowok Pelempar Bola yang melemparku dengan bola basket sampai-sampai bajuku kotor. Dan dia juga yang menabrakku di supermarket sampai aku jatuh ke lantai, malunya aku.
“Ka-kam-mu ...”, aku tergagap.
Dia mendelik dan tersenyum nakal. “Silahkan duduk”.
Aku hanya bisa berdiri seperti patung dan duduk kaku seperti orang mati. Aku mencoba biasa kembali dan mengacungkan surat yang aku bawa.
“Terima kasih ya sudah mau repot-repot mengantarkan suratnya sampai sejauh ini”, kata Andrew. “Oh ya ... silahkan diminum airnya”.
Aku menenggak habis airnya dan merasakan agak lega. Bibirku jadi kelu entah ingin berkata apa, ah malunya. Dengan segenab jiwa ragaku mencoba melontarkan kata demi kata. Biar tidak dibilang sok jaim. “Oh ternyata ini rumahmu ya? Aku baru tahu”.
“Ya kalau tidak ada surat yang nyasar ke rumah kamu pasti kamu tidak akan pernah kemari, ya kan?”
Hi ...hi ...hi ... iya juga. Lagian ada angin apa diriku diantar kemari. Ternyata panggilan hati itu mau ketemu orang aneh ini. Cek-cek-cek! Tidak bakal nyesel deh. Kalau ada sepuluh surat yang nyasar ke rumahku dan pemilik surat itu rupanya sekeren ini. Wah aku tidak-tidak-tidak bakal menyesal. My god? Tidak-tidak dan tidak boleh berpikir seperti ini. Runtukku dalam hati.
“Hallo”, Andrew mengagetkanku.
“Eh, iya ya. Ada apa?”, aku tergagap.
“Apanya?”, dia kembali tanya.
“Gak-gak ...”, aku berpaling. “Oke deh kalau begitu aku pulang dulu karena tugasku sudah selesai”, aku hendak berdiri.
“Saya antar pulang?”, Andrew menawarkan jasa. “Sekalian saya mau tahu rumah kamu”.
“Gak usah. Biar aku pulang sendiri aja, mungkin kamu memiliki pekerjaan yang lebih penting dari sekedar mengantarkan aku?”.
“Gak. Gak ada, boleh ya? Kan kamu sudah ke rumah saya, sebagai gantinya saya sekarang yang ke rumah kamu”, Andrew memaksa.
Aku mengangguk. “Baiklah”, dan melangkah menuju pintu.
Matahari mulai turun dari ufuk barat. Pertemuan singkat namun berkesan, Andrew masih berdiri di sampingku dan aku tidak berbuat apa-apa. Perjalanan tadi siang yang melelahkan, sore ini begitu menyejukkan. Tidak terasa capek sedikitpun.
“Kamu kuliah di mana?”, Andrew bertanya.
“Di UNPAM”, jawabku singkat.
“UNPAM? Di mana tuh!”.
“Di Tangerang Selatan, namanya Universitas Pamulang”.
“Oh ... aku baru dengar”, katanya.
“Kalau kamu di mana?”.
“Saya sekarang semester tujuh Jurusan Akuntansi Universitas Pakuan”, terang Andrew.
“Jalan menuju rumahku masih jauh, mungkin membutuhkan waktu dua puluh menit lagi”, kataku.
Pelan-pelan ... gitu lho!.
“Itu rumahku”, aku menunjuk sebuah rumah mungil dari kejauhan.
Rumah Andrew lima kali lebih besar dari rumahku. Mungkin. Sedikit risih, tapi apa boleh buat ini adalah rumah orangtuaku. Aku tidak berhak memperolok karena di sinilah aku dibesarkan, aku hidup, aku bercanda dan menangis bersama kedua orangtua tercinta. Rumahku adalah istanaku. Selamanya ini adalah istana tak tergantikan dengan istana kerajaan manapun, ataupun rumah Andrew yang mewah.
“Rumahku tak sebesar rumahmu”.
“Mengenal seseorang jangan di lihat dari rumahnya, ataupun di mana dia tinggal, tapi dari hatinya”, Andrew tersenyum. “Jika di lihat dari kejauhan seperti ini, rumahmu indah. Sama seperti pemiliknya”.
Aku tersipu dan membuka pagar bercat putih. “Masuk dulu yuk! Sepertinya Ibuku ada di dalam”.
Andrew mengikutiku di belakang.
“Assalammualaikum ...”, salamku membuka pintu.
“Walaikumsalam ...”, suara sahutan Ibu dari dalam rumah. “Kemana saja, Ibu tunggu-tunggu”.
“Sore Tante?”, sapa Andrew.
“Sore ...”, jawab Ibu tersenyum.
“Ibu, kenalkan ini Andrew”, aku salah tingkah.
“Oh iya teman kuliahnya Rara ya?”, tanya Ibu.
Andrew berjabat tangan dengan Ibu. Waduh sopannya.
“Silahkan duduk, maaf ya Nak Andrew rumah Rara sempit. Sebentar Ibu tinggal ke dalam dulu ya? Rara ambilkan minum untuk temanmu”, suara Ibu lalu masuk ke dalam.
“Tidak usah repot-repot Tante”, kata Andrew.
Kedua tanganku membawa nampan berisi dua gelas air putih dan satu toples kue Nastar. Aku meletakkannya di meja.
“Silahkan di minum, maaf adanya cuma air putih”.
“Ini sudah lebih dari cukup”, dia meneguk habis air di dalam gelas.
“Wah haus ya?”, kataku cengengesan.
Andrew membuka isi toples dan memakan kue Nastar. “Kuenya beli di mana?”, tanyanya.
“Bikin sendiri, aku membuatnya dua hari yang lalu”.
“Pantes enak, boleh pesen gak?”.
Aku tersipu, cowok ini bawel juga tapi asyik sih jadi gak BeTe. “Di sini tidak menerima pesanan”, jawabku ngeledek. Ih! Bikin greget aja.
“Tanaman bunga Mawar di luar itu milikmu ya?”, Andrew menunjuk bunga Mawar kesayanganku yang berada di tengah halaman rumah.
“Kalau adanya di wilayah rumahku berarti iya”, jawabku ketus.
Apa saja ditanyai, sampai-sampai ikan hias yang berada di sudut ruanganpun ditanyai. Biasanya makan apa? Cacing atau makanan ikan, beli di mana? Namanya siapa? Dan dia tanya juga kalau ikan ini berapa usianya? Oh eM Ge (baca oh em ji) sebenarnya dia berasal dari planet mana sih? Aku geleng-geleng.
“Udah hampir gelap, sebaiknya saya pulang”, Andrew berdiri dari tempat duduknya.
Aku manggut-manggut. “Ibu Andrew mau pulang”, teriakku.
Ibu keluar. “Kok buru-buru, Tante lagi siapin makan malam sudah mau pulang”.
“Terimakasih, kapan-kapan saja Tante, sudah gelap. Saya pamit dulu”, Andrew menyalami Ibu.
Aku mengantarnya keluar.
“Sampai jumpa”, dia melambai.
Aku tersenyum, senyumanku mengembang lebar sekali. Hatiku serasa ada di langit melambung tinggi dan berdebar-debar.
Indahnya hariku, waw... waw... senangnya hatiku, senangnya hatiku.
**
Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya
Comment on chapter Cowok Pelempar Bola