1
“Oh... tidak!”, Naura menyeringai melihat kamarnya sudah berantakan seperti sampah.
Bibi Jhon masuk, ia marah sekali oleh keadaan yang baru saja dilihatnya. “Naura! Apa yang kau lakukan?”, Bibi Jhon tiba-tiba menjewer Naura. “Cepat kau bersihkan, aku akan kembali lima belas menit lagi, jika tak rapi seperti sediakala, aku akan menguncimu di gudang sampai lusa”, Bibi Jhon melotot. “Cepat!”, teriaknya.
Baru saja Naura ingin menjelaskan tapi Bibinya sudah pergi. “Oh... mengapa ini terjadi padaku”, gumamnya. Ini benar-benar tidak adil. Trias telah sengaja melakukannya untuk menjatuhkanku.
Naura kerap sekali dikerjai oleh Trias. Maklum Trias adalah Putri pertama dan satu-satunya Paman dan Bibi Jhon. Sikapnya yang semena-mena suka mengerjai Naura agar Naura dimarahi oleh orangtuanya. Bagi Paman dan Bibi Jhon. Trias adalah anak manis bagaikan bidadari cantik. Hidungnya mancung. Naura mengatakan hidung milik Trias seperti Petruk. Itu lho mahkluk mitologi pewayangan yang memiliki hidung mancung seperti Pinokio. Semakin ia berbohong hidungnya akan semakin memanjang. Mata Trias belo, seperti orang yang terus melotot. Rambutnya coklat berkulit putih pucat.
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal dirumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal disitu.
“Orangtuamu meninggal pada saat kecelakaan”, Bibi Jhon menerangkan. “Tolong jangan tanya lagi tentang hal itu”, Bibi Jhon mendelik.
Jangan tanya lagi, itulah yang setiap Bibi Jhon katakan. Suatu peringatan untuk Naura agar dia bisa tinggal dengan aman dan tentram dirumah itu.
Naura berkulit hitam manis berambut hitam mirip Ibunya. Begitulah yang dikatakan Paman Jhon kepada dirinya. Badannya langsing karena langsingnya. Ia selalu kedododran jika diberikan baju atau celana dari Trias. Karena Trias bertubuh dua kali lipat dari Naura.
Bibi hanya memberikan sebuah foto yang nyaris hilang gambarnya. Foto kedua orangtua Naura sedang menggendong Naura bayi. Naura masih beruntung karena Paman dan Bibi Jhon masih berbaik hati memberikan foto itu.
Naura mengkhayal kelak ada keluarganya yang lain datang untuk membawanya pergi dari rumah itu. Tapi, apa yang terjadi? Tak satupun keluarga yang datang untuk menemuinya ataupun melihatnya.
“Naura... apa kau sudah rapikan kamarmu?”, teriak Bibi Jhon disertai langkahnya yang cepat. Naura buru-buru mengambil lap dan menaruhnya dikolong tempat tidur. “Siap!”, katanya dalam hati.
Bibi Jhon kini berdiri dipintu. “Apa benar-benar bersih Naura?”, Bibi Jhon menyeringai. Wajahnya yang ebrjerawat benar-benar dekat seklai dengan muka Naura.
Rambut pirang Bibi Jhon mengembang. Langkahnya panjang meninggalkan kamarnya. Bibi Jhon bertubuh kurus, sekurus tengkorak hidup. Sedangkan Paman Jhon gemuk seklai hingga mirip dengan gentong.
Paman Jhon pergi kesebuah acara perayaan tahun Baru di Hotel Hilton Jakarta bersama anak kesayangannya Trias. Namun, sebelum Trias berhasil naik mobil, dia sempata menjatuhkan semua barang-barang yang ada dikamar Naura. Tapi, sebelum Bibi melihatnya, Trias sudah pergi bersama ayahnya.
Naura masih duduk dikamarnya, sebuah teriakan harus membuatnya meninggalkan tempat itu dan menghampiri Bibi Jhon.
“Cuci pakaian itu, ingat jangan sampai kau membuatnya sobek!”, peringat Bibi Jhon.
“Itu tidak mugkin”, Naura meraih pakaian-pakaian itu. “Oh... banyak sekali”, katanya lalu memasukkan ke mesih cuci.
Bel berbunyi, Naura masih sibuk memasukan pakaian itu ke mesin cuci sebesar mesin gilingan tepung.
“Buka pintunya Naura”, suruh Bibi Jhon sambil membalikkan sosis goreng.
Naura keluar dari tempat cuci lalu membukakan pintu. Seorang tukang pangantar Ekspedisi mengirim paket elektronik Komputer yang telah dipesan oleh Paman Jhon untuk Trias. Padahalkan Trias buta sekali mengenai Komputer.
Naura menandatangani pengiriman lalu menyuruh tukang pos itu untuk meletakkannya diruang tengah meja kerja Paman.
“Naura... siapa yang datang?”, teriak Bibi Jhon.
“Tukang Pengantar paket Bibi...”, kata Naura. Naura memperhatikan paket itu. Tangannya ingin sekali membuka bungkusan besar itu tapi ia menahannya.
Bibi Jhon menghampiri paket itu dan membukanya. “Komputer untuk Trias?”, katanya kemudian. “Kuperingatkan kau, jangan menyentuhnya”.
Naura diam saja. “Aku hanya ingin melihatnya Bibi, apa tidak boleh?”, Naura berusaha mendekat.
“Ku katakan tidak! Karena kau bisa merusaknya”, Bibi Jhon menariknya ke dapur. “Lanjutkan pekerjaanmu”.
“Kapan Paman dan Trias pulang Bibi?”, tanya Naura.
“Makan malam!”, jawab Bibi Jhon singkat.
Selesai mencuci Naura menjemurnya diatap. “Panas sekali”, keluh Naura. Ini memang hari yang terik. Menurut prakiraan cuaca harin ini akan panas hingga dua hari kedepan.
Dikejauhan Rikha sedang bersepeda di trotoar. Rikha melambai dan memanggilnya. Naura membalas dengan senyuman.
Mobil Paman Grace menabrak pagar di depan rumahnya. Naura kurang suka dengan Paman Grace yang rumahnya beda beberapa blok dari rumah Paman dan Bibi Jhon. Ia bisa melihatnya dari atap. Udara membuatnya mengeluarkan keringat lebih banyak.
“Naura cepat kau kemari”, Bibi Jhon memanggilnya dari bawah tangga menyuruh Naura turun.
Naura berhasil menuruni anak tangga dan sudah melihat Bibi Jhon dibawah sambil bertolak pinggang.
“Bibi aku sudah menjemurnya”, Naura menjelaskan.
“Ya! Aku tahu. Sekarang tolong kau masak daging asap yang ada di kulkas”, suru Bibi Jhon.
“Bagaiman caranya?”, Naura bertanya.
“Kau ini bodoh sekali, apa kau tidak bisa memasak?”.
“Ya... aku bisa... maksudku”.
“Sudah kau goreng saja. Jangan sampai gosong”, Bibi Jhon meninggalkannya dan keluar tanpa pamit.
Naura melaksanakan perintah Bibi Jhon. Menggoreng daging asap yang cukup banyak. Naura meletakkan daging goreng di meja makan. Sebentar lagi waktu makan siang tiba dan ia segera menata piring diatas meja makan dengan amat rapi dan teratus aggar sewaktu Bibi Jhon melihatnya, ia tidak dimarahi lagi.
Pintu dibuka, Naura meletakkan piring dan gelas.
Bibi Jhon masuk segera duduk dikursinya. “Mana airnya?”, Bibi Jhon melotot ke arah Naura .
Naura segera mengambil air di teko dan mengisinya kedalam gelas Bibi Jhon. Naura duduk dikursinya, kemudian makan siang bersama Bibi.
“Naura”, panggil Bibi.
Naura memandang Bibi Jhon.
“Kemana kau akan melanjutikan sekolahmu setelah lulus. Ujian sebenatar lagi kan?”.
Naura mengangguk. “Aku akan ke Universitas Indonesia, jurusan Kedokteran”, Naura memasukkan daging asap ke mulutnya.
“Pamanmu sudah menyiapkan uang untuk kelanjutan sekolahmu. Kau bisa mencari asrama untuk kau tinggal atau ingin Bibi yang mencarikannya?”.
“Tidak usah!”, kata Naura. “Bibi tidak usah repot-repot mencarikan asrama untukku, aku bisa mencarinya bersama Rikha”.
“Kau berteman dengannnya?”, tanya Bibi Jhon.
“Ya?! Dia orangnya baik”.
“Terserah kau!”, Bibi Jhon meninggalkannya. “rapikan kembali setelah makan”, pesan Bibi Jhon.
**
Naura masih memikirkan keinginannya untuk bersekolah di Universitas yang terletak di kota metropolitan. Tentunya ia senang karena bisa meninggalkan rumah itu. Tapi, dia bingung, mencari asrama bukan pekerjaan yang mudah. Rikha akan membantuku katanya dalam hati. Naura menggenggam sehelai foto kedua orangtuanya, walaupun foto itu sudah lusuh sekali, ia bisa memandang kedua orangtuanya yang tersenyum padanya.
“Ayah, Ibu, aku akan bersekolah yang sudah kumantapkan tempatnya. Mohon doa restuya”, Naura mendekap foto itu dan mengembalikannya ke laci.
Sebuah buku Naura ambil dari rak, lalu membukanya.
Perjalanan
Ke ruang
Waktu.
Naura mulai membacanya, tak terasa satu jam dia membaca. Tiba-tiba matanya terpejam, ia tertidur di ranjang reotnya.
**
“Rik... aku duluan ya?”, teriak Naura.
“Yaaah... kok pulang?”, Rikha memelas.
“Iya, sudah sore nih!”, Naura buru-buru meninggalkan Rikha.
Siang yang terik, panaaasss sekali. Seragam SMU-nya masih melekat ditubuh. Tas putih milik Naura di slempangkan kepundak. Dia masih membayangkan bagaimana roman wajah Rikha dibenaknya sewaktu dijahili.
“Hi... hi... hi lucu!”, gumamnya pelan. “Pulang sendirian memang kurang nyaman, habis Rikha kelamaan. Ngobrol dulu dengan pujaan hatinya, Indra”.
Tiba-tiba, “Dughk!”, naura menabrak sesuatu. “Apaan nih! Aku baru melihatnya”, Naura masih tengok kanan dan tengok kiri, sepi... tidak seperti biasanya. Naura mengamati sumur tua ditengah kebun itu. Baru dia mau membalikkan badan tubuhnya langsung terjungkal dan akhhhhh....!!! BRUGHK!. Naura pingsan.
Matanya terbuka sedikit demi sedikit dan oh... gelap, kenapa gelap sekali, apakah sudah malam? Jeritnya dalam hati. Ia berusaha melihat dipergelangan tangannya.
“Aduh takut nih! Begitu gelap tak terlihat”, Naura menengok keatas. Ada cahaya terang diatas kepalanya. Masih terasa pusing.
“Terang... itukah bulan yang selalu aku lihat?”, Naura meneliti bulan aneh yang bersinar terang itu.
Saat ia teringat akan kejadian sebelum dia berada disitu. “Oh My God!”, jerit Naura sekali lagi. “Aku... aku... ada didalam sumur?! Oh... tolong... tolong!!”, suara noura membahana.
Tak ada jawaban ataupun yang dapat menolong. Naura dalam keadaan seperti itu. Naura menitikkan air mata ingin menangis, nammun buru-buru ia hapus karena ia takut dibilang cengeng. Lama ia duduk didalam sumur tua itu. Berusaha mendengar apa-apa yang didapat ditangkap oleh telinganya.
“Tak ada siapa-siapa, hik. Tolong hu... hu... hu”, Naura berusaha teriak sekuat tenaga tapi teriakan itu memantul kembali memengangkan telinganya.
Perutnya berontak, gawat! Ia lapar. Perut Naura kukuruyuk begitu suara yang terdengar. Rasa lapar melanda benar-benar menderita.
“Aku tak bisa berada disini terus menerus”, katanya.
Naura berusaha memanjat dinding sumur itu. Berusaha meraih apa yang bisa jadi pegangan tangan dan kaki untuk berpijak.
“Akh!!”, Naura terpeleset hampir jatuh.
Tas dia ikat dipinggang kuat-kuat. Tanahnya rontok, longsor, mengotori seragam, tangan dan sepatunya. Untuk disekolah dia mengikuti organisasi PAKAR (Para Pencinta Alam Remaja) setidaknya ia medapatkan ilmu mengenai majat-memajat tebing walau hanya sedikit. Naura berusaha keras untuk bisa memanjat lebih tinggi lagi.
Tapi... “Oh! Tanganku-tangaku lelah, lelah sekali, aku sudah tidak kuat lagi”, teriak Noura dalam hati. “Aku, nggak boleh menyerah”, Naura lebih bersemangat.
Bukan pekerjaan mudah untuk memanjat dinding sumur itu, sebab selain berlumut juga sangat licin. Sudah beberapa kali Naura terpeleset dan kehilangan kendali jatuh terjerembab. Solisinya hanya satu yaitu ia harus yakin dan percaya diri dapat mengimbangi tubuhnya sendiri.
“Sedikit lagi”, nafasnya sesak. Kini tangannya bisa meraiih bibir sumu dan Ohh... hampir ia jatuh lagi. Kakinya terpeleset. Ia berharap pada tangan yang masih berpegang erat dengan bibir sumur kekar dan keras. Berusaha mencari pijakan dan menemukan seuah benda keras, mungkin batu. Cepat-cepat ia menaruh kaki dibatu dan memanjat lagi.
Naura terkapar di rumput. Sebuah halam luas, hutan. Ia merebahkan kembali badannya menarik nafas dalam-dalam meghirup udara segar. Naura bangun memandangi sekitar. Ia kagum, belum pernah melihat pemandangan seperti ini seelumnya. Bukan, bukan kagum tapi aneh. Ia merasa aneh tidak seperti ini yang pertama kali ia lihat. Beda banget dengan yang lalu. Ini bukan kebun tapi... dimana ini? Naura bertanya-tanya. Tidak ada satu orangpun. Ini dimana? Dimana? Pertanyaan itu berulang-ulang teringiang-ngiang diotaknya. Naura berlari kesana dan kemari, berusaha mencari jalan dan menemukan jalan setapak.
Naura masih menelusuri jalan yang entah berarah kemana. Ini sungguh tempat asing baginya. Naura merasa lelah dan lapar sekali. “Jam empat lewat lima menit”, katanya. “Aduuh... perutku lapar, tidak ada makanan disini”.
Sesaat ia melihat pohon buah jambu biji besar sekali diatas sana. Naura
@yurriansan tunggu ya
Comment on chapter Kabaikan Hati Naura