Adrian, 25 tahun. Hanyalah seorang pria biasa dengan satu cinta. Cinta yang sudah terlanjur terpaku di hatinya. Namanya, Meira. Kekasih hati Adrian. Sayangnya, Meira sudah terlanjur meninggalkannya setahun yang lalu.
Tepat di hari sebelum pernikahan mereka. Meira mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Kekasih hati Adrian itu menghembuskan nafas terakhir tepat di pangkuan Adrian.
Satu hari terburuk dalam hidup Adrian. Satu hari yang membuat Adrian tetap tak bisa tidur setiap malam. Satu hari yang membuatnya kehilangan satu-satunya semangat untuk hidup.
Hati Adrian pilu, batinnya tersiksa. Jiwanya menolak dengan keras fakta bahwa Meira sudah tiada. Berkali-kali keluarganya maupun dirinya sendiri mencoba menanamkan kenyataan pahit ini. Namun, berkali-kali juga ia gagal.
Rasanya seperti sebuah duri yang sudah terlalu lama tertancap di dagingnya dicabut secara tiba-tiba. Setahun setelah kematian Meira, Adrian masih berkubang dalam lubang duka.
Hidupnya hanya dipenuhi oleh air mata dan rasa rindu yang teramat dalam. Setiap malam, ia selalu sholat tahajud. Meminta agar Tuhan mempertemukannya lagi dengan Meira. Namun, rupanya Tuhan belum mengijinkan hal itu terjadi sampai sekarang.
Tapi, Adrian yakin. Suatu hari nanti. Tuhan pasti akan mengabulkan keinginannya. Itu adalah satu-satunya harapan Adrian. Harapan yang membuatnya masih hidup sampai saat ini.
Suara Adzan subuh menyadarkan Adrian yang masih melamun dalam kasurnya membayangkan saat-saat indah bersama Meira dulu. Semalam ia tidak bisa tidur lagi. Sekali ia terlelap, bayangan Meira selalu muncul. Dan begitu ia bangun, sosok Meira menghilang.
Membuat Adrian terbagun di tengah malam dengan rasa sepi yang amat dalam. Begitu Adzan selesai, Adrian bergegas menarik selimut yang masih menutupi tubuhnya. Melangkah gontai menuju kamar mandi dan mengambil wudhu.
Dikenakannya pakaian yang rapi dan sarung lalu digelarnya sajadah. Hanya berserah diri dan doa hal yang tetap menguatkan Adrian sampai saat ini. begitu selesai menunaikan sholat subuh. Adrian berzikir untuk menenangkan hatinya lalu berdoa.
Doa yang sama dengan doa yang ia panjatkan setahun yang lalu. Meira, hanya itulah satu-satunya keinginannya. Ia tak butuh lagi hal lainnya.
Matahari pagi mulai meninggi. Sorot cahanyanya perlahan menembus kamar Adrian. Adrian masih dalam posisi berdoa. Dengan khusyuk dan tanpa henti. Beberapa menit kemudian ia baru menyudahi doanya. Dilepaskannya sarung dan digulungnya sajadahnya kembali. Pandangannya menerawang dan terhenti taatkala ia melihat sebuah album foto yang tergeletak di sebuah sofa kamarnya.
Dibukanya album itu begitu ia duduk. Me & You, adalah kata yang tertera di sampul album itu. Sebutir bening air mata terjatuh dari kedua pelupuk mata Adrian. Album ini bagaikan memori masa lalu Adrian. Kebersamaannya dengan Meira dan semua tentangnya.
Adrian mengelus wajah gadis itu dalam sebuah foto. Cantik, dengan rambut coklat, mata cokelat terang, lesung pipi dan senyum yang menawan. Diciumnya foto itu. Mereka seharusnya sudah menikah dan hidup bahagia dengan seorang anak sekarang. Namun, takdir kejam lah yang ternyata menyapanya terlebih dahulu.
Dibukanya lembar selanjutnya. Ada foto Meira dan dirinya yang bermain salju sewaktu mereka berlibur ke Tokyo untuk merayakan ulang tahun Meira. Masih terbayang dengan jelas di mata Adrian. Betapa bahagianya Meira ketika melihat salju untuk yang pertama kalinya.
Lembar kedua, berisi foto Meira dan dirinya saat di pantai. Berlarian bersama megintari pantai. Terpampang di mata Adrian, gadis itu begitu cantik taatkala menggunakan sebuah gaun pendek bermotif bunga.
Dibukanya lagi lembar selanjutnya yang berisi foto saat Prewedding mereka. Foto yang harusnya menjadi kenangan manis saat mereka menua nanti nyatanya hanyalah kenangan pahit bagi Adrian.
Ditutupnya album itu perlahan. Sudah cukup, mengapa hanya ia yang menangis pilu saat ini. Harusnya semua baik-baik saja. Harusnya hari itu tak perlu terjadi.
Hari yang membuatnya menyesal seumur hidup. Masih tergambar jelas di ingatannya. Bagaimana saat-saat terakhir ia bersama Meira. Bagaimana saat itu Meira tersenyum begitu cantik dan melambaikan tangannya dari seberang jalan.
Semuanya baik-baik saja. Sampai Meira tertabrak sebuah truk saat menyeberang. Hati dan perasaan Adrian remuk bagaikan gelas yang hancur berantakan. Dihampirinya kekasihnya yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan. Darah segar merah merona membasahi gaun putih yang dikenakan Meira.
Masih terngiang-ngiang jelas di telinganya, kata-kata terakhir Meira.
“Rian,” panggil Meira dalam pelukan Adrian.
Adrian hanya terdiam. Melihat semua ini saja sudah membuatnya tak bisa berkata-kata. Apalagi ia harus mendengar ucapan perpisahan dari Meira. Adrian belum siap. Tidak, ia sama sekali tak akan pernah siap.
“Ssst...” ucap Meira sembari meletakkan jari telunjuknya di bibir Adrian.
“Jangan menangis. Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” hibur Meira. Adrian hanya menundukkan kepalanya, menyembunyikan isak tangisnya.
“Bunga ini sengaja aku beli untukmu. Bunganya indah, bukan?” kata Meira sembari menyodorkan bunga angrek putih yang tadi dibelinya. Bunga itu kini ternoda oleh darah.
Adrian menerima bunga itu dengan berat hati.
“Rian, aku hanya ingin kamu tahu. Aku akan selalu mencintaimu selamanya.”
“Aku juga mencintaimu,” sahut Adrian.
“Kamu tidak boleh bersedih. Banyak wanita di luar sana yang lebih baik dari aku. Lupakanlah aku,” pinta Meira.
“Tidak, tidak akan. Apa yang sedang kamu bicarakan. Kita akan menikah besok. Kamu pernah berjanji akan menemaniku sampai aku tua nanti. Kamu juga berjanji, kita akan hidup bahagia bersama dan memiliki banyak anak. Kamu tidak bisa meninggalkanku begitu saja!” teriak Adrian putus asa. Batinnya belum siap menerima ucapan Meira.
“Maaf, mungkin aku tidak bisa menepati janjiku. Selamat tinggal Adrian,” ucap Meira untuk yang terakhir kalinya. Matanya kini tertutup, Meira telah menghembuskan nafas terakhirnya.
“Tidaak!” jerit Adrian.
Adrian menggelengkan kepalanya. Mencoba menghalau bayangan itu keluar dari kepalanya. Andai saja, ia yang mengahampiri Meira terlebih dahulu. Hal seperti ini pasti tidak akan terjadi.
Diusapnya kedua matanya yang sembab. Tidak!
Adrian menguatkan tekadnya. Ia harus bangkit dari keterpurukannya. Meira pasti akan sedih melihatnya seperti ini terus.
Adrian mulai beranjak dari kursinya. Diletakkannya album itu di atas meja. Ia harus bersiap menjalani hari yang sebenarnya selalu terulang sama. Hampa, tanpa kehadiran Meira di sisinya.
@aiana Siap, kak.
Comment on chapter Bagian PertamaTerimakasih telah berkunjung