Read More >>"> When I Met You (Satu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When I Met You
MENU
About Us  

Katamu, kau akan pergi.”

“Aku tidak akan pergi.”

Ia hanya terdiam. Laki-laki itu menatapnya, lalu berkata, “Kau tahu, aku jatuh padamu pada pandangan pertama. Jadi, mana mungkin aku bisa meninggalkanmu sendirian di sini?”

“Kau tidak akan pergi?”

“Tidak akan.”

“Kau pergi atau kau akan kehilangan games-mu.”

Ia menggeleng pelan, jemarinya mengelus pipi gadis itu perlahan. “Aku tidak pergi.”

“Janji?”

“Ya, aku tetap di sini. Aku akan

 

“Ah, apa-apaan ini?”

Aku membaca apa yang baru saja kuketik, dan segera menghapusnya dengan cepat. Kini, yang tersisa hanya, lagi-lagi, layar yang berubah menjadi putih bersih.

“Kau belum tidur?”

Aku mengarahkan pointer mouse-ku ke bawah. Pukul 12.43 AM. Ah, sudah dini hari rupanya.

“Tulisanku belum selesai.”

“Menulislah besok,” ujarnya dengan suara serak karena kantuk.

Aku hanya menyunggingkan seulas senyum tipis seraya bangkit dari kursi, melangkah ke dapur kecil kami, dan mengambil sebuah cangkir—berniat membuat secangkir cokelat panas.

“Hei, apa kau akan membuat kopi lagi?” katanya lagi, masih dengan suara serak karena mengantuk. “Berhenti minum kopi. Apa kau tidak kasihan dengan tubuhmu? Selalu kurang tidur dan diberi asupan kopi setiap hari. Kau tahu, kau harus—“

“Aku membuat cokelat panas. Dan lebih baik kau melanjutkan tidurmu karena aku tidak akan tidur selama beberapa jam ke depan,” sahutku seraya menekan dispenser, membiarkan air panas mengisi cangkirku, membuat bubuk cokelat yang ada di dalamnya agak larut di dasar cangkir. “Tidak tidur hingga pagi, mungkin?”

Aku meliriknya, yang ternyata sudah menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Kuaduk cokelat panasku perlahan hingga bubuk cokelat itu tercampur sempurna dengan air hangat dengan kekentalan yang pas. Kuraih cangkirku, merasakan kehangatannya yang menembus ke permukaan kulit. Sambil menghirup aroma cokelat yang masih mengepulkan uap panas, aku kembali ke mejaku dan duduk. 

“Apa yang harus kutulis?” gumamku pelan. Kusesap cokelat panasku dan meletakkannya di samping laptopku. “Mari kita lihat.” Aku beralih ke Windows Explorer, melihat-lihat naskah apa yang mungkin bisa kubaca untuk memancing kedatangan ide. Mataku terhenti pada satu judul.

I Remember You?”

Aku membuka file itu. File yang kutulis pada bulan April 2012. Itu berarti sekitar … empat tahun lalu?

Dengan segera, file itu terpampang di layar. Aku membacanya sambil sesekali tersenyum geli. Diam-diam, aku bertanya-tanya apakah benar naskah yang sedang kubaca ini adalah tulisanku.

Ternyata, aku pernah menjadi pemula. Dan begitu juga dengan yang lainnya. Benar, bukan?

Aku tersenyum dan meraih cangkirku, lalu menyesap cokelatku perlahan. Kututup file naskahku, kembali ke naskahku yang masih menunggu aksara yang akan mengisinya.

Aku akan menulis. Aku akan menulis karena aku adalah penulis.

 

***

Kata orang, tak kenal maka tak sayang. Dan, kata orang, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Maka, aku yakin pertemuanku denganmu bukanlah sebuah kebetulan. Jadi, aku ingin berkenalan denganmu.

Namaku Kimmy. Kimmy Friscillia. Jika kau berpikir namaku berkaitan dengan negeri ginseng karena ada nama keluarga Kim di sana, maka kau salah besar. Kata ibuku, Kimmy berarti kamu, dan Friscillia merupakan modifikasi dari Priscillia. Sebenarnya, menurutku namaku cukup aneh. Bagaimana mungkin ada orangtua yang menamai anaknya dengan nama yang berarti kamu? Namun, karena terdengar bagus, aku menyukainya.

Aku hanya salah satu dari sekian banyak mahasiswa di Indonesia. Pekerjaanku yang lainnya? Aku seorang penulis. Lebih tepatnya, novelis dan cerpenis. Cerpenis yang baru saja menulis beberapa naskah dan novelis yang … masih berusaha menyelesaikan novel pertamanya, dan berkhayal naskahnya akan menembus penerbit terbesar seindonesia..

Apa? Kau bertanya apa itu layak disebut sebagai novelis? Menjadi novelis merupakan cita-citaku, dan kurasa menyebut diriku novelis bukanlah hal buruk.

Ah, kau bertanya siapa orang yang tadi? Dia sahabatku sejak kecil. Sebut saja namanya Stella. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentangnya. Satu kata dariku untuknya: ia cerewet.

Aku menatap novel-novel yang terpajang di rak Best Seller dan meraih salah satunya. Masih tersegel, tentu saja. Kubaca nominal yang tertera di sana, lalu beralih ke tas kain yang ada di lenganku. Aku sudah membeli cukup banyak, sepertinya. Aku tidak boleh menambah lagi. Tidak boleh.

Ah, kurasa tumpukan buku yang kubawa akan terus bertambah jika aku tidak segera keluar dari sini. Jadi, aku meletakkan buku itu ke tempatnya dan segera ke kasir. Bisa kulihat kasir itu tampak heran karena tumpukan buku yang kubawa, tapi aku tak terlalu peduli. Transaksi berlangsung dengan cepat, dan sekarang satu kantung plastik berlogo Let’s Read!—nama toko buku itu—yang penuh novel dan beberapa buku nonfiksi sudah kutenteng di tangan kiri.

“Ya, halo? Ah, ya, aku sedang di jalan. Ya, ya, tenang saja, aku akan memperbaiki kode program webmu nanti. Ya, ya, aku tahu, dia menambah error-nya, bukan? Aku akan segera ke sana, jadi jangan menelepon terus. Sampai ketemu di kampus lima belas menit lagi.”

Sambil berjalan, aku mengakhiri panggilan dan memasukkan ponselku ke dalam tas. Butuh waktu lima menit hingga akhirnya aku sampai di parkiran dan menemukan motorku. Aku memilih memasukkan buku-bukuku ke dalam tasku. Dan dua menit kemudian, kini aku sedang memacu motorku menuju kampus.

Namun, tiba-tiba, aku mencium aroma ini. Aroma kopi yang begitu menggoda indera penciumanku.

“Selamat datang di kedai kopi kami.”

Dan, tahu-tahu saja aku sudah berada di sini. Di dalam salah satu kedai kopi mungil yang menyambutku ramah dengan aroma biji kopi yang menguar hingga ke luar. Sepertinya kedai kopi ini baru saja dibuka karena aku baru melihatnya kali ini.

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kedai. Sebuah lemari buku yang cukup besar dan penuh buku terletak di sudut ruangan, yang dengan segera menarik perhatianku begitu masuk ke tempat ini. Aroma berbagai biji kopi yang bercampur menjadi satu memenuhi ruangan. Kedai kopi ini sangat lengkap untuk sebuah kedai kopi mungil. Kedai kopi ini mengusung tema vintage, dengan sembilan puluh persen dari interiornya terbuat dari kayu. Sepintas kulihat poster-poster vintage dan koran-koran zaman dulu terpasang di dinding.

Aku memesan segelas Americano. Sambil menunggu, aku melihat-lihat koleksi buku yang ada di sana. Tampak novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, dan beberapa novel yang baru-baru ini terbit di sana.

Tak lama kemudian, Americano pesananku sudah jadi. Setelah membayar dan berterima kasih, aku menghirup aroma kopiku. Harum sekali. Sebelum benar-benar pergi, kulihat papan nama yang terpasang di sana. Library Cafe.

Ah, Library Cafe? Akan kuingat.

Aku melihat jam tangan yang melilit pergelangan tangan kiriku. 10.30.

Astaga. Aku terlambat.

 

***

“Katamu kau akan sampai dalam lima belas menit.”

Aku tersenyum menatapnya. “Tadi beli ini,” ujarku tanpa merasa bersalah. Well, sebenarnya tidak juga. Aku sedikit merasa bersalah. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan?

Melihat temanku yang mulai merengut, aku segera mengalihkan topik pembicaraan kami. “Mana yang mau diperbaiki, Cha?”

Dan kini, aku sibuk dengan laptop Echa dan situs webnya, sementara Echa sibuk curhat—atau tepatnya mengomel. Ah, satu lagi, aku berpura-pura mendengarkan omelannya.

“Kau tahu, dia benar-benar menyebalkan! Dia merusak situs webku di saat deadline sudah semakin dekat. Aku benar-benar ingin marah, kau tahu?”

“Kau sedang marah sekarang, Echa,” sahutku datar sambil terus membaca kode programnya, menghapus beberapa kode, kemudian mengetik.

“Ah, ya, aku sedang marah sekarang.” Dari ekor mataku, kulihat Echa menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya keras-keras, mencoba menenangkan diri. “Aku minta kopimu,” ujarnya seraya meraih gelas plastik kopiku. Beberapa detik kemudian, kudengar ia muntah. “Seharusnya kau membeli yang lebih manis,” katanya dengan suara aneh. “Apa enaknya Americano? Pahit begini.”

“Sepahit hidupku,” ujarku asal. Aku membuka peramban dan menjalankan kode yang baru saja kuperbaiki. Berjalan dengan baik. Bagus.

“Woah.” Echa menatapku dan layar laptopnya bergantian dengan mata melebar. “Aku mencoba memperbaikinya tiga hari ini dan gagal. Dan kau memperbaikinya hanya dalam lima belas menit?”

Case closed,” ujarku datar, lalu meneguk kopiku yang mulai menghangat.

Ah, ya, apa aku lupa mengatakannya padamu? Aku kuliah di salah satu universitas di Indonesia, jurusan Sistem Informasi. Karena itulah aku cukup akrab dengan kode-kode pemrograman.

Echa menatapku dengan dahi mengernyit. ”Itu pahit, tapi kenapa kau menyukainya?”

“Agar tidak ada yang berani meminta kopiku.”

Mendengar kata-kataku, Echa memutar bola matanya. “Dasar pelit. Ah, ya, terima kasih telah memperbaiki ini, Kimmy.”

Aku hanya mengangguk sambil terus meneguk kopiku.

“Ah, sial, kupikir dosen yang datang. Mengagetkanku saja.” Lagi-lagi Echa mengomel.

Aku menoleh, dan melihatnya berdiri di ambang pintu kelas.

Dia. Laki-laki itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • rara_el_hasan

    @amandajgby masama

    Comment on chapter Satu
  • amandajgby

    @rara_el_hasan terima kasih feedback-nya yaa~

    Comment on chapter Satu
  • amandajgby

    @yurriansan terima kasih feedback-nya yaa~ sudah diperbaiki ^^

    Comment on chapter Satu
  • rara_el_hasan

    semangat kak ... ceritanya bagus ...

    Comment on chapter Satu
  • yurriansan

    Ceritamu menarik tapi masih ada yang salah bukan 1243 untuk dinihari melainkan 00:43

    Comment on chapter Satu
  • amandajgby

    @ReonA Terima kasih ^^

    Comment on chapter Satu
  • ReonA

    Menurutku, ide ceritanya menarik ya. Puebi jga harus diperbaiki. Good luck untuk penulisnya

    Comment on chapter Satu
  • amandajgby

    @[dear.vira] terima kasih feedback-nya yaa~

    Comment on chapter Satu
  • dear.vira

    Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
Alicia
1091      506     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Wait! This's Fifty-Fifty, but...
65      56     0     
Romance
Is he coming? Of course, I'm a good girl and a perfect woman. No, all possibilities have the same opportunity.
Adelaide - He Will Back Soon
1180      632     0     
Romance
Kisah tentang kesalah pahaman yang mengitari tiga insan manusia.
Jika Aku Bertahan
10643      2279     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Premium
Akai Ito (Complete)
5480      1245     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Catatan 19 September
22207      2694     6     
Romance
Apa kamu tahu bagaimana definisi siapa mencintai siapa yang sebenarnya? Aku mencintai kamu dan kamu mencintai dia. Kira-kira seperti itulah singkatnya. Aku ingin bercerita sedikit kepadamu tentang bagaimana kita dulu, baiklah, ku harap kamu tetap mau mendengarkan cerita ini sampai akhir tanpa ada bagian yang tertinggal sedikit pun. Teruntuk kamu sosok 19 September ketahuilah bahwa dir...
Tetesan Air langit di Gunung Palung
373      250     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
The Girl In My Dream
370      257     1     
Short Story
Bagaimana bila kau bertemu dengan gadis yang ternyata selalu ada di mimpimu? Kau memperlakukannya sangat buruk hingga suatu hari kau sadar. Dia adalah cinta sejatimu.
You Are The Reason
1907      764     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
Lost in Drama
1641      622     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...