Read More >>"> HABLUR (HABLUR (6)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU 0
About Us  

Cerdas itu tidak melulu tentang nilai bagus dan menguasai rumus  

Sebenarnya Rimba sengaja menghubungi Ruby hari ini. Ia menghindari Cleopatra. Cewek itu mengajaknya nonton.

Cleopatra memang cantik. Anak-anak kantin juga suka mengomentari bunga kelas itu. Tapi, Rimba tidak ada rasa apa-apa. Lagi pula, cewek idaman menurut Rimba adalah sesuatu yang kompleks. Sehingga cantik saja bukan sesuatu yang mesti dibesar-besarkan. Dan ia tidak suka cewek yang terlalu agresif, yah seperti Cleopatra ini. Beberapa kali menghubunginya dengan sedikit memaksa.

Jadi, dengan datangnya Ruby, ia bisa membuat alasan mau benarkan mikroskop. Istilahnya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Menghindari Cleopatra sekaligus menyelesaikan permasalahan dengan Ruby.

Bukan Rimba tidak tahu kalau ada mata yang mengamati dia dan Ruby di parkiran sekolah tadi. Pecinta alam terbiasa melakukan pengamatan terhadap sekitar. Tapi ia juga tahu bahwa Ruby bukan cewek yang mudah goyah atas celaan. Ruby adalah cewek yang tepat untuk menghalau Cleopatra.

Ia memacu skuter hasil pinjaman ke arah Matraman. Di Pasar Pramuka, ada toko perlengkapan alat-alat kesehatan langganan keluarga. Sepanjang perjalanan nan panas, Ruby mendiamkannya. Beberapa kali ia ajak bicara, maneken hidup itu benar-benar bisu. Saat Rimba melirik dari kaca spion, rupanya Ruby memakai earphones. Sembari mendesah pasrah, Rimba kembalikan konsentrasi ke jalan. Rupanya Ruby menganggapnya tak lebih seperti ojek daring saja.

Beberapa hari yang lalu, saat selesai sidang di ruang BK, Ruby tidak menjawab ajakannya mencari mikroskop. Sepulang sekolah, Rimba malah harus rapat dengan Pasuspala. Lalu, kebetulan ada tanggal merah di pertengahan kalender. Jadilah Rimba dan beberapa anggota Pasuspala izin pura-pura sakit satu hari untuk ekspedisi gunung terdekat, Gunung Salak.

Sehabis itu, ia lupa harus menyelesaikan permasalahan mikroskop. Sampai Bu Heny menagih kepadanya tadi pagi, Rimba kelimpungan. Ia berusaha mencari kontak Ruby, syukurlah meski silent reader Ruby ada di WA grup kelas.

Mereka telah tiba di Pasar Pramuka. Mikroskop yang mau diperiksa juga dibawa Rimba dengan baik. Pasar ini adalah salah satu pasar yang terkenal sebagai pusat perlengkapan alat medis. Selain lengkap, harga yang dijual juga relatif lebih murah. Beragam toko alat kesehatan, obat-obatan dan juga bahan kimia, mereka lewati. Rimba menunjuk sebuah tangga yang kemudian diikuti Ruby.

Cowok itu masuk ke salah satu toko yang berukuran lebih besar. Setelah berbicara sebentar dengan pramuniaga, Rimba diarahkan langsung ke pemilik toko. Oleh pemilik toko yang juga ahli dalam bidangnya, mikroskop yang terhempas itu diperiksa.

Ternyata, kerusakan pada mikroskop bisa dibenarkan dengan memakan waktu satu sampai dua minggu. Mau tak mau, Rimba terpaksa membeli baru. Sedangkan mikroskop yang hendak direparasi kemudian ditinggalkan di toko tersebut.

"Apes! Terpaksa beli baru," sungut Rimba setelah menerima kembali kartu debitnya dari kasir. Ruby yang juga berdiri di sampingnya hanya diam sampai Rimba menoleh ke patung hidup itu. "Ngomong kek, Liv."

Sebelum nerima mikroskop baru yang diberikan, tangan Rimba bergerak maju dan menarik penutup telinga Ruby yang sedang memutarkan lagu.  Mereka berjalan meninggalkan toko. "Berasa jalan sama tuyul. Ngomong dong, ngomong." Ia berusaha bercanda. Aneh saja baginya jika bersama orang tetapi diam-diaman. Kalau di hutan sih kebanyakan bengong malah bisa kesambet.

Pandangan malas dari manik cokelat Ruby menyerangnya. Cewek itu berdesis karena terganggu. "Emang gue harus bilang apa? Bilang 'WOW' sambil salto-salto?" ujar Ruby pelan dan pedas.

Mendengar itu Rimba terkekeh. Tidak menyangka saja rupanya Maneken Hidup ini bisa lucu juga. Penampakan Ruby yang tertangkap di matanya selama ini hanya sesosok cewek yang antisosial, cuek dan angkuh. Ia juga berpikir saking antisosial, Ruby tidak akan pernah bisa berbicara dengan murid-murid biasa seperti dirinya. Rimba pikir Ruby hanya akan akrab kepada sesama kutu buku saja.

"Lo kocak juga, ya?" pungkas Rimba senang. Di antara kesal karena harus membeli mikroskop ganti yang berarti memotong biaya jalan-jalan, celetukan Ruby tadi mengandung lelucon baginya.

Bibir Ruby mencibir kecil lalu membuang muka. "Buat apa kocak? Emang mau ngirim apaan pake kocak?"

Mata Rimba terbelalak tidak menyangka. "Kotak itu, woy! Kotak! Saonah bisa ae!"

"Kotak? Siapa yang gundul?" Ruby masih menyahut sambil menuruni tangga, menuju parkiran dimana Rimba menaruh skuter.

"Botak!" desis Rimba kesal tapi tetap meladeni Ruby dan keabsurdannya. "Ampun gue ampun!"

"Minta ampun kok sama gue, minta ampun mah sama Tuhan," jawab Ruby masih datar. Ia meraih helm yang ada di atas jok skuter. "Ya, walaupun salah lo banyak sih sama gue. Tapi gue maafin, kok."

"Siapa yang minta maaf sama lo, Bambang?" Rimba mulai tersulut. Ia menyerahkan kotak mikroskop kepada Ruby untuk dipegang. "Yang harusnya minta maaf itu lo. Asal muasalnya kan dari lo ngadu ke Bu Heny."

Akhirnya, hal yang seharusnya dari awal dibicarakan oleh kedua orang itu terbahas juga.

"Gue nggak maksud ngaduin lo. Tapi baru nyebut nama lo, Bu Heny langsung manggil lo doang. Lagian kenapa lo nggak bilang nama yang lain ke Bu Heny? Kan bukan cuma lo yang ribut?" aku Ruby dengan jujur.

"Gue nggak suka celakain temen." Rimba menyindirnya. Ruby sangat paham kalimat itu merupakan serangan balik untuknya. Cowok itu setia kawan juga.

"Oh, ya? Siram minyak, gantungin tas di tiang bendera sampe tarik tangan gue yang lagi pegang mikroskop itu bukan celakain temen?" Ruby sudah duduk di belakang Rimba. Skuter itu berjalan perlahan meninggalkan Pasar Pramuka. Matahari masih menyengat, menyisakan titik-titik keringat di dahi mereka.

"Emang lo ngerasa jadi temen gue?" Pertanyaan Rimba membuat percakapan mendadak hening. Tidak ada jawaban dari Ruby. Hanya ada deru skuter yang berpadu dengan kendaraan lain di jalan raya.

Merasa kikuk karena salah ngomong, Rimba keluarkan pertanyaan lain. Ia bahkan lambatkan laju skuter agar suaranya terdengar. "Liv, lo bisa bawa motor?"

"Ng.. Bisa."

"Kenapa lo nggak bawa motor ke sekolah?" tanyanya ingin tahu.

"Gue belum tujuh belas tahun, belum punya KTP dan SIM." Ruby langsung memotong, "Gue paham maksud lo. Tapi kalo yang lain begitu, bukan berarti gue juga begitu."

Di sekolahnya, banyak yang belum berusia tujuh belas tahun tetapi sudah membawa kendaraan bermotor. Belum memiliki izin mengemudi, tetapi nekat membawa mobil atau motor. Memang sih, demi hemat. Seliter bensin sudah cukup untuk kendarai motor pulang pergi ke sekolah selama satu minggu. Jelas lebih hemat jika dibanding naik angkot atau ojek daring. Tapi bagi Ruby itu tak apa, sudah rezekinya para pembawa kendaraan umum.

"Lagian, kalo semua bawa mobil atau motor, nanti ojek atau angkot nggak ada yang pake? Bakalan makin sumpek ibukota dan makin banyak polusi kendaraan, kan? Lo pasti ngertilah efek kendaraan bermotor dengan polusi udara."

Rimba terangguk paham. "Berarti lo belum bisa nyoblos dong?"

"Tahun depan gue bisa nyoblos, kok. Semoga aja KTP-nya cepat kelar, minimal keluar resi deh." Perjalanan mereka lebih lama karena tidak bisa masuk tol. Berbeda dengan saat berangkat, ketika pulang Ruby mau berbicara dengan Rimba. Lagipula ponselnya sudah kehabisan daya, daripada bosan tidak ada salahnya meladeni omongan cowok ini. Ada penasaran terselip di sudut hati Ruby saat Rimba selalu berusaha mencari masalah dengannya.

"Emang lo udah punya pilihan?" tanya Rimba. Pertanyaan itu membuat peluang percakapan antara mereka lebih terbuka.

Sambil memegang mikroskop yang terbungkus kotak, Ruby menatap jalanan. Rimba memilih jalan tikus untuk menghindari keramaian. "Belum menetapkan sih tapi tetap harus memilih. Dan dari sekarang, gue memerhatikan dan menelaah program mereka."

"Penting?" Rimba melirik melalui kaca spion. Terlihat Ruby membenarkan rambutnya yang sedikit keluar dari helm dan menutupi muka. Cewek itu tampak menggemaskan dengan rambut ikalnya dan muka kemerahan karena terpanggang panas.

"Banget."

"Kenapa?" Entah mengapa, Rimba jadi ingin tahu. Baru ini, ia mendapatkan anak seusianya yang konsen atas pemilihan umum. Setiap kali membahas hal ini dengan teman-temannya, kebanyakan menjawab tidak tahu atau tidak peduli. Kontras sekali dengan jawaban orang yang dipikirnya apatis.

Terdengar embusan napas Ruby, gadis itu tampaknya berusaha melawan panas. Kulit pucat itu tidak terdesain untuk hidup di alam tropis, tetapi sekian belas tahun hidup, Ruby mampu bertahan.

"Orang kayak kita ini masuk ke dalam kategori pemilih pemula. Biasanya, pemilih pemula pilihannya tiga; golput, nggak peduli dan ikut pilihan orang tua atau yang paling parah, mudah percaya hoax."

Dada Rimba terasa hangat. Ia yakin ini bukan karena matahari yang masih garang. Sosok Ruby tampak berkilau dari balik kaca spionnya. "Mulai fatamorgana nih mata gue. Minum bentar, yuk? Panas banget."

Sejurus dengan anggukan Ruby, ia mulai menepikan skuter untuk mampir di mini market. Tapi Ruby memegang lengannya, cewek itu mengajaknya untuk memajukan skuter lagi. "Di warung itu aja," pinta Ruby menunjuk warung kelontong biasa.

"Kenapa? Kan enakan di sana ada AC," protes Rimba. Namun, cowok itu tetap berhenti di warung yang ditunjuk Ruby.

Ruby melepaskan helm dan melangkah turun. "Kalo semua orang berpikiran yang sama kayak lo, wajar banget kan kesenjangan sosial itu ada? Yang kaya bakal tambah kaya, yang miskin makin melarat," sahutnya sambil berlalu.

Rimba tidak tahu deskripsi apa yang patut ia sematkan kepada Ruby. Kali ini, ia mengakui satu hal, Ruby lebih cerdas dari perkiraannya. Cewek itu punya wawasan luas melebihi teman-teman pintarnya.

Sekarang, Rimba percaya jika cerdas tidak melulu tentang nilai bagus dan menguasai rumus.

***

Masih seperti biasa, kantin Pespel ramai walaupun jam pulang sekolah. Rimba masih berada di sana karena jadwalnya latihan panjat. Papan panjat dengan ketinggian tidak lebih dari empat meter itu memang berdekatan dengan kantin hunian mereka. 

Sembari mengawasi junior yang berlatih, para pengurus sibuk dengan obrolan tidak menentu. 

"Bosen gue. ToD, yuk!" Untung mengajak bermain Truth or Dare, disambut dengan gelengan kompak dari lainnya.

Seseorang pengurus menyeletuk atas ajakan Untung. "Ogah! Kasih rahasia ke lo sama aja bunuh diri!" Anak itu ingat sekali saat rahasianya izin latihan karena malas malah sampai ke senior. Tak ayal, menjadi bulan-bulanan dikerjain senior.

Rimba yang mulai bosan ikut tertawa kecil. "Nggak ada yang percaya sama lo, Tung. Musyrik kalo sampe percaya sama lo."

"Gabut gue sumpah," keluh Untung sambil memainkan ponselnya.

Anak yang tadi menjawab Untung kembali membalas, "Push up aja lo kalo gabut. Sini biar gue hitungin. Sepuluh seri buruan."

Untung berdecih mual mendengar suruhan yang ada. "Masa junior gue udah lewat, cukup pelantikan aja push up nggak kelar-kelar."

Yang lain mulai ikut menyuarakan ide untuk mengusir kejenuhan. Masih ada dua jam lagi sampai jadwal latihan panjat selesai. "DoD aja, nggak usah pake truth. Gimana?"

Beberapa mata berpandangan mendengar ide Dare or Dare itu. Namun, tak lama, semua sepakat mengangguk. Mereka punya permainan asyik sambil menunggu latihan selesai.

Saat giliran Untung tiba, seseorang yang bertugas memberikan dare lantas menitahkan cowok itu dengan suruhan yang tidak disangka-sangka. "Tung, push up sepuluh seri."

Untung memaki keras, menuai kor tawa menggelegar di kantin. Sambil bersungut-sungut, Untung tetap menjalani tantangan yang ada. Cowok itu lantas menghabiskan segelas air setelah menuntaskan bagiannya. 

Kali ini, Untung yang bertugas memberi tantangan kepada Rimba. Mata Untung menyelisik ketua Pasuspala-nya, ia lagi mencari hal yang kira-kira susah untuk dieksekusi Rimba. Kalau sekedar push up atau sit up, itu sudah menjadi makanan mereka sehari-hari saat masih junior.

"Apaan?" Rimba mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia yakin bisa melakukan tantangan yang diberikan.

Untung menggaruk kepala, mencari ide yang sangat memalukan. Bertepatan dengan otaknya yang mencari wangsit, ia menangkap bayang sesosok orang yang belakangan ini selalu bertikai dengan Rimba. Cewek itu membelok dari koridor seberang, menuju sekre KIR.

Senyum jail Untung terkembang sempurna seolah sedang menanam ranjau di kaki Rimba. "Dare buat lo gampang kok," sahut Untung berwibawa yang menuai keplakan ke kepalanya.

"Cuma upload foto Ruby di Snapgram sama SW terus bikin captionKamu adalah keindahan surga yang terperangkap dalam dunia fana. Nggak boleh dihapus selama dua puluh empat jam."

Mendengar tantangan yang diberikan, mata Rimba sudah keluar dari tempatnya. Ia berulang kali memukul kepala teman sebangkunya yang berkhianat. Cercaan berulang-ulang Rimba berikan kepada Untung. Sayangnya, pendirian Untung tidak berubah.

"Buruan, Mbek!" sahut yang lain sambil terbahak. Mereka tahu, sampai saat ini, Rimba tidak pernah menggubris cewek mana pun yang berusaha mendekat.

Rimba masih mengelak. "Gue nggak punya fotonya. Aneh-aneh aja sih lo."

Merasa sudah tahu apa yang akan dijawab Rimba, tangan Untung bergerak cepat di telepon cerdasnya. Ia membuka pencarian di akses internet dan menemukan satu foto cewek itu dari Google. "Nih, gue kirim fotonya. Nggak jaman alesan lo. Terlalu klasik!"

Rimba menggaruk gemas kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. "Gue push up aja deh, Tung. Dua puluh seri, gue jabanin."

"Nggak! Jangan cemen dong, Belantara Rimba." Untung mulai mengejek. "Gila, nama lo aja sangar bener. Masa gitu aja nggak bisa? Aduh cetek bangetlah."

Umpatan yang masih keluar dari mulut Rimba, tidak digubris yang lain. Mereka tetap menyuarakan hal yang sama yaitu Rimba harus mengunggah statusnya.

Kalah dan diremehkan adalah dua hal yang sangat dibenci Rimba. Rasanya ia sudah akan menepukkan bangku kantin ke kepala Untung agar anak itu amnesia.

Setelah berdengkus kencang, Rimba akhirnya memasukan foto Ruby dan caption-nya ke Snapgram dan status WhatsApp. Ia bahkan mematikan ponsel sehabis itu. Dapat diterkanya, akan banyak balasan dan ejekan atas kebejatan ide Untung.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta (tak) Harus Memiliki
5098      1312     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
Pupus
404      264     1     
Short Story
Jika saja bisa, aku tak akan meletakkan hati padamu. Yang pada akhirnya, memupus semua harapku.
Bulan Dan Bintang
4965      1276     3     
Romance
Cinta itu butuh sebuah ungkapan, dan cinta terkadang tidak bisa menjadi arti. Cinta tidak bisa di deskripsikan namun cinta adalah sebuah rasa yang terletak di dalam dua hati seseorang. Terkadang di balik cinta ada kebencian, benci yang tidak bisa di pahami. yang mungkin perlahan-lahan akan menjadi sebuah kata dan rasa, dan itulah yang dirasakan oleh dua hati seseorang. Bulan Dan Bintang. M...
Ketika Kita Berdua
33571      4497     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...
Kepada Gistra
478      359     0     
Short Story
Ratusan hari aku hanya terfokus mengejar matahari. Namun yang menunggu ku bukan matahari. Yang menyambutku adalah Bintang. Kufikir semesta mendukungku. Tapi ternyata, semesta menghakimi ku.
Perempuan Beracun
33      31     4     
Inspirational
Racuni diri sendiri dengan membawanya di kota lalu tersesat? Pulang-pulang melihat mayat yang memilukan milik si ayah. Berada di semester lima, mengikuti program kampus, mencoba kesuksesan dibagian menulis lalu gagal. Semua tertawa Semua meludah Tapi jika satu langkah tidak dilangkahinya, maka benar dia adalah perempuan beracun. _________
Let it go on
1106      782     1     
Short Story
Everything has changed. Relakan saja semuanya~
Aku Bilang, Aku Cinta Dia!
513      341     1     
Short Story
Aku cinta dia sebagaimana apa yang telah aku lakukan untuknya selama ini. Tapi siapa sangka? Itu bukanlah cinta yang sebenarnya.
A D I E U
1960      736     4     
Romance
Kehilangan. Aku selalu saja terjebak masa lalu yang memuakkan. Perpisahan. Aku selalu saja menjadi korban dari permainan cinta. Hingga akhirnya selamat tinggal menjadi kata tersisa. Aku memutuskan untuk mematikan rasa.