Read More >>"> HABLUR (HABLUR (5)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU 0
About Us  

Cewek memang makhluk yang kuat kokNyatanya tiap bulan saja sanggup menghadapi PMS. 

Dari dulu, Ruby termasuk pencinta damai. Ia bukan orang yang suka berkonflik dan cenderung menjauhi konflik. Bisa dibilang ia pengalah.

Sedari kecil, ketika mainannya direbut teman, Ruby tidak akan mempertahankan miliknya. Ia akan membiarkan mainannya direbut, lalu mencari mainan baru yang lebih menarik di matanya.

Ruby tidak suka dimusuhi. Pun memusuhi orang, tidak pernah ada dalam kamusnya. Ia juga tidak memilih jika ada dua temannya bersiteru. Bagi Ruby, damai itu indah.

Ini murni pembawaan Ruby, bukan karena  waktu kecil puas mendengar Bob Marley, musisi legenda Jamaika kesukaan Papa. Nabi para Rastafarian itu memang diketahuinya sebagai pengagung kedamaian.

Ruby melirik rambut ikalnya. Ia meringis. Kalau lagi dikuncir asal bisa terlihat gimbal juga rambutnya, mirip Bob Marley. Tinggal pakai kacamata hitam, kemeja merah-kuning-hijau, rentangkan kedua tangan sambil bergoyang.

Eits! Tapi Bob Marley yang menyuarakan perdamaian saja tetap mengusung seruan perlawanan. Get up, stand up! Stand up for your right! Get up, stand up! Don't give up the fight.

Nah! Sebagai sesama umat manusia yang sering diperlakukan tidak adil, dibedakan akibat warna kulit, Ruby tiba-tiba mendapatkan dorongan kekuatan dari musisi jalanan tersebut. Kisah hidup anak budak yang terpisah dari ayahnya karena sekat ras.  Melawan jurang pemisah yang ada, bangun dari himpitan situasi yang tak kondusif, dan berjuang untuk tegar berdiri.

Lelaki berkulit hitam dengan rambut gimbal itu menyeru lewat lagunya bahwa perempuan harus kuat dan jangan menangis. Mengingat lagu No Woman No Cry, Ruby seakan memiliki kekuatan untuk menjalani serangkaian penyelidikan di ruang BK.

Sebut saja dunia sedang berbaik hati. Tantangan CCTV Ruby dikabulkan saat di ruang keramat yang panasnya melebihi suhu tubuh manusia normal. Bu Heny, dia dan Rimba menonton ulang kejadian tersebut.

Guru BK itu bahkan menekan jeda pada tayangan lambat dimana Rimba menarik lengannya. Video itu di-zoomZoom in, zoom out. Zoom in, zoom out.

Selanjutnya, untuk kedua kali Rimba bermasalah dengan Bu Heny. Di depannya, cowok itu dinasehati panjang x lebar x tinggi = volume yang berujung kepada mengurangnya poin untuk Rimba. Sehingga muka anak tersebut petak menyerupai persegi. Tinggal dilakban terus ditempel stiker FRAGILE dengan tulisan 'MUDAH PECAH, JANGAN DIBANTING! APALAGI DICAMPAKKAN'.

Ruby tertawa dalam hati. Rasanya ia ingin mengacungkan kepalan tangan, memejamkan mata, berjingkrak-jingkrak bersama Rastafarian menyanyikan lagu Three Little Bird.

Don't worry about a thing, every little thing is gonna be alrightYeah, yeah, yeah.

"Tapi, Bu. Olive juga megangnya nggak bener. Kalo bener kan nggak mungkin jatuh." Rimba masih berusaha dengan calak, membagi kesialan kepadanya. Lamunan Ruby mendadak lenyap.

Bu Heny menatap Rimba lekat. "Olive siapa?"

Rimba terbata. "Ruby maksud saya, Bu."

Bu Heny memandang dirinya. "Ruby, apa benar begitu?"

"Bu, saya sudah memegang sesuai arahan—"

"Bohong, Bu. Kalau sesuai, kenapa jatuh?" sambar Rimba cepat. Mengalahkan kecepatan sambaran api ke avtur.

Ruby mengerutkan alis, menatap Rimba. Ia heran mengapa Rimba selalu saja mencari konfrontasi dengannya

"Begini. Ini kalau mau jawab-jawaban nggak selesai. Rimba, Ruby, kalian harus mengganti mikroskop itu. Dengan perincian, Rimba mengganti 80% dari total, sisanya Ruby. Bagaimana?" Bu Heny mencoba selesaikan masalah yang ada.

Ruby mulai berpikir. Sebenarnya kerusakan mikroskop itu belum dideteksi secara utuh. Jika cuma lensa saja yang pecah, seharusnya cukup diganti bagian yang rusak saja, 'kan?

"Kalau dibawa ke tempat yang khusus menangani itu gimana, Bu?"

Bu Heny menyerahkan semua permasalahan kepadanya dan Rimba. Yang jelas, barang pengganti diminta secepatnya ada.

Mereka keluar dari ruang BK kembali ke kelas. Masih ada pelajaran berikutnya yang sedang berjalan. Ruby menyusuri koridor dalam diam.

"Liv, nanti siang pulang sekolah kita cari, ya?" Rimba membuka suara. Cowok itu mengejar langkah Ruby. "Oi, dengar nggak sih lo?"

Ruby hanya mengedikkan bahu. Lebih baik segera kembali ke kelas daripada mendadak ingin menggimbal rambut cowok reseh ini.

***

+62899764899xx
Lo piket kan? Gw tunggu di kantin.

Seingatnya, ia tidak pernah menyimpan nomor Rimba. Tetapi dengan membaca pesan barusan, ia tahu itu pasti Rimba. Apalagi foto profil bergambar siluet seorang cowok dengan ransel sedang di puncak gunung. Fix, Belantara Rimba.

Ruby meraih sapu dan mulai selesaikan tugasnya.

"Liv, katanya lo ngebanting mikroskop ya sampe pecah?" Seorang teman membuka percakapan. Ruby hanya menjawab pertanyaan itu dengan kedipan tidak peduli. Karena satu dan lain hal, ia malas menjelaskan duduk persoalan. Bukan Ruby tidak mau menjelaskan, hanya saja, ia dapat menerka siapa yang benar-benar peduli, siapa yang hanya basa-basi. Dan pertanyaan tadi hanyalah basa-basi.

"Kenapa Rimba jadi kena juga?"

Kan! Sesuai rekaan Ruby, mereka sebenarnya ingin mengetahui apa hubungan kasus itu dengan Rimba. Bukan apa yang terjadi pada dirinya. Rimba lagi, Rimba lagi. Selalu saja anak itu menjadi center of attention.

Ruby jadi berpikir, apa yang akan mereka bilang jika mendengar bahwa Rimba lah yang bikin perkara? Bagaimana jika ia mencoba?

"Rimba narik tangan gue waktu lagi pegang mikroskop. Gara-gara itu mikroskopnya jatuh," jawab Ruby sambil menaruh sapu. Ia mengamati muka cewek-cewek yang sedang memperbaiki letak susunan meja.

"Ah, masa?"

Massa mah gaya dibagi percepatan, Mbak! Tanpa menjawab, Ruby menyelesaikan tugasnya. Ia lalu menuju kantin.

Saat Ruby berjalan di koridor kelas 12, di depannya ada seorang kakak kelas mendorong kursi roda mengarah ke tempat yang sama.

Sebenarnya, pemandangan yang tersaji sudah biasa di sekolah semenjak kenaikan kelas. Bisik-bisik bilang, kalau mantan ketua OSIS dan wakilnya itu menjalin hubungan. Bisa dilihat dari sabar dan hangatnya sang cowok mendorong kursi roda itu kemana-mana.

Ruby sebenarnya tadi ingin memotong tetapi mereka berjalan di tengah koridor. Akhirnya, Ruby memilih pelankan jalannya, mengikuti dari belakang saja.

Dua orang di depannya berhenti. Seperti akan berpisah tujuan. Sang cowok tersenyum sambil menjentik pelan hidung si cewek. Mereka memang pasangan yang serasi.

Setahu Ruby, dahulu si cewek kerap diberitakan yang tidak-tidak. Tetapi kakak kelasnya itu tetap saja seperti biasa; cuek, jutek dan galak. Tidak ada berubah demi pemberitaan. Sampai sebuah kecelakaan, mengambil kemampuan berjalannya sehingga ia berada di atas kursi roda.

"Di kantin aja jangan kemana-mana. Nanti kalo udah kelar, aku susul." Cowok itu memberi tahu ceweknya. Sang cewek tersenyum dan melambai. Ia menjalankan sendiri kursi rodanya menuju pintu kantin.

Ruby mengamati dengan takjub. Pandangan mereka bertemu.

"Eh, sori. Gue ngehalangin jalan, ya?" Cewek berambut pendek itu meminggirkan kursi rodanya. "Silakan, silakan. Sori perjalanannya jadi terganggu." Kakak kelasnya itu berkata sambil tersenyum layaknya pramugari maskapai penerbangan.

"Nggak papa kok, Kak." Ruby mempersilakan seniornya jalan lebih dahulu.

"Gue juga nggak papa. Santai aja. Jangan pandang gue sebagai hal yang harus didahulukan. Karena gue nggak suka dikasihani." Ruby akhirnya memilih jalan di samping kursi roda. Kakak kelas di sampingnya ini senior Rimba, namanya Naraya.

Ruby tersenyum kaku. "Maaf, Kak. Saya nggak maksud mengasihani. Saya cuma kagum, Kakak hebat banget."

Naraya tersenyum ceria sampai ke mata. "Hidup mengajarkan gue untuk tetap berdiri, sesakit apa pun gue jatuh. Dan setiap orang harus jatuh, supaya tahu bagaimana menjadi kuat. Lagian cewek memang makhluk yang kuat kok. Nyatanya tiap bulan aja sanggup menghadapi PMS. Aduh, gue kok absurd gini, ya? Abaikan!" Cewek itu lalu tertawa.

Mereka berjalan sama-sama ke arah kantin. Sampai akhirnya berhenti di depan kantin Pespel —panggilan slang untuk Pasuspala.

Mata Naraya memindai Ruby. "Lo cari siapa? Jarang ada cewek yang mau ke kantin kami."

"Mau cari Rimba, Kak. Ada perlu sebentar." Memang kantin ini diketahui sebagai pusatnya anak-anak rusuh. Populasi anak yang solid tapi juga brutal, satu spesies dengan Rimba.

Naraya menganga dua detik. "Tumben ada yang cari itu kambing. Bentar, ya."

Saat kursi roda Naraya masuk, beberapa badan langsung berdiri menyambut. Terlihat Rimba dan seorang lagi hendak mendorong kursi roda itu. "Apaan sih lo pada? Gue bisa sendiri. Eh, Mbek. Lo dicari cewek cakep tuh di luar."

Rimba mengintip ke luar. Menemukan Ruby berdiri sambil menyandar di dinding.

"Cie, Mbek ada yang mau. Nggak nyangka gue, lo bisa suka cewek juga, Mbek." Seorang senior Rimba menggeplak kepalanya.

Rimba misuh-misuh, mengusap kepala dan menyambangi cewek berkulit seputih pualam. "Kenapa?"

Ruby tergagap dari lamunan. Rimba hadir di sampingnya. "Kan kata lo mau cari mikroskop?"

Rimba menepuk jidatnya pelan. Ruby mengamati keanehan Rimba. Kan tadi Rimba yang kirim pesan kalau cowok itu menunggunya di kantin? Kenapa sekarang seolah-olah Ruby yang mengajaknya pergi tanpa janji terlebih dahulu?

Di detik ini, Ruby tidak bisa membedakan apakah Rimba memiliki kecenderungan amnesia atau sok paten. Beda tipis soalnya, setipis irisan bawang yang dipotong memakai silet.

"Gimana? Nggak bisa, ya? Senin mau dipake, kan? Gue besok sama lusa nggak bisa." Ruby bertanya kembali. Meski kesal, ia tetap memendamnya. "Atau, lo aja yang beli? Gue kasih uangnya."

"Lo pikir gue nggak bisa nombokin bagian lo?" tandas Rimba. Sebelum cowok itu bersuara lagi, berbagai macam suara datang dari dalam kantin.

"Mbek, makan lo belum dihabisin ini! Mubazir. Mentang-mentang didatengin cewek gitu amat, nasi dilupain."

"Biasa cowok mah, kalo sama cewek yang laen dilupain. Makanya gue nggak demen sama cowok." Suara berat cowok ikut menyahut. Tawa membahana karena kalimat barusan.

"Mbek, ceweknya diajak makan, kali. Kesian kalo diajakin ngemeng mulu mah nggak kenyang." Rimba menggaruk kepalanya yang tidak gatal mendengar itu.

"Mbek, buruan. Ajak masuk ke sini." Kali ini, kakak kelas yang berjalan bersama Ruby di koridor ikut turun tangan. "Sini, Dek. Ayo, santai aja kami nggak makan orang kok."

Mau tak mau, Rimba mengajak Ruby masuk ke kantin Pespel. Semakin ia menolak, serangan ejekan semakin parah. "Ini temen sekelas gue, namanya Ruby."

Ruby mengulurkan tangan kepada beberapa orang. Ia duduk dan sudah dipesankan makan siang oleh Rimba. Sekelebat olok-olok halus mampir lagi ke telinga.

Rimba langsung menengahi olok-olok yang ada. "Woy, pikiran lo semua. Kami mau cari mikroskop kali."

Bukannya reda, ternyata makin menjadi. "Oh, mikroskop. Buat lihat apaan? Hati si Eneng yang tersembunyi?"

"Dih, orangnya depan muka pake diintip-intip. Tanya langsung dong, Mbek. Gitu aja mesti diajarin." Yang lain ikut menyahut. "Gini caranya, Ruby jangan lupa makan ya nanti jadi sakit. Kalo Eneng sakit Abang sedih karena nggak ada lagi yang jeder-jederin hati Abang."

Gelak tawa memenuhi kantin. Muka Ruby sendiri memerah dengar lawakan itu. Benar-benar kantin yang ... rusuh.

"Udah, udah woy! Nggak jadi makan nanti anak orang. Makan dulu, Ruby, Rimba." Naraya meminta yang lain diam. Ruby mengangguk sambil menyendokkan nasinya.

"Mbek, kualat nanti lo! Biar apa makan nasi padang pake sendok? Sementang ada Ruby, langsung sok ganteng. GGS yang ada. Ganteng Ganteng Sarap."

Naraya memotong ejekan itu, "Jangan diganggu napa orang lagi makan? Rimba lagi butuh makan ini. Karena buat nyari butuh tenaga. Apalagi nyari hatinya Ruby. Yiha.. Yiha.."

Rimba memaki kecil atas semua sindiran yang diarah kepadanya.

***

"Gue nggak mau naek motor lo," tolak Ruby. Bagaimana tidak? Motor Rimba sangat tidak bersahabat untuk pengguna rok seperti dia. Motor trail dengan jok tinggi dan roda bergerigi.

"Banyak milih amat sih, lo?"

"Hidup memang harus milih kali." Ruby melipat tangannya. "Gue naik ojek aja. Mau beli di daerah mana?"

"Matraman," jawab Rimba.

Ruby membelalak, tempat itu tidak dekat dari sekolah. "Deket banget. Yang lebih jauh nggak ada?" tanyanya sarkas.

"Ada, di Medan. Mau lo?" Rimba menggeber motornya. "Buruan, kesorean nanti."

"Nggak, gue nggak mau naek motor lo, tinggi banget. Apalagi lo juga nggak bawa helm dua. Bahaya." Bagi Ruby, peraturan ada untuk ditaati. Keselamatan adalah prioritas pengguna jalan, bukan hanya sekedar lekas sampai saja.

Melihat Ruby yang bersikukuh dengan prinsipnya, Rimba mengalah. "Cerewet juga lo. Tunggu sini bentar."

Dan benar saja, sekitar sepuluh menit cowok itu kembali dengan skuter matik dan dua helm. Sepertinya hasil meminjam. "Nih pake."

Helm dari Rimba diterima dan dipakainya. Dalam hati Ruby terkekeh, Rimba mau nurut juga. Singa sih dia tapi siang ini terlihat seperti singanya Paddle Pop. Lucu!

"Takut amat kali nggak selamat sama gue. Jangankan keselamatan jiwa, keselamatan raga, hati dan perasaan juga gue tanggung."

Seandainya teman dekat, ingin sekali Ruby menggeplak helm penghuni hutan di depannya ini. Bercandanya crunchy!

"Garing," seru Ruby. Suaranya terbang bersama angin yang bergerak di sekitar mereka.

"Biasanya cewek sukanya yang garing-garing. Lo suka nggak?"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rindumu Terbalas, Aisha
508      352     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
SUN DARK
379      234     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
My X Idol
14780      2304     4     
Romance
Bagaimana ya rasanya punya mantan yang ternyata seorang artis terkenal? Merasa bangga, atau harus menutupi masa lalu itu mati-matian. Seterkenal apapun Rangga, di mata Nila ia hanya mantan yang menghilang ketika lagi sayang-sayangnya. Meski bagi Rangga, Nila membuat hidupnya berwarna. Namun bagi Nila, Rangga hanya menghitam putihkan hatinya. Lalu, apa yang akan mereka ceritakan di kemudian hari d...
Dear Vienna
354      269     0     
Romance
Hidup Chris, pelajar kelas 1 SMA yang tadinya biasa-biasa saja sekarang jadi super repot karena masuk SMA Vienna dan bertemu dengan Rena, cewek aneh dari jurusan Bahasa. Ditambah, Rena punya satu permintaan aneh yang rasanya sulit untuk dikabulkan.
Praha
280      172     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Kisah Kita
1928      677     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
437      313     4     
Short Story
Romantika kisah putih abu tidak umum namun sarat akan banyak pesan moral, semoga bermanfaat
Weak
226      179     1     
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi. Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1274      605     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...
SANTA GIRL
492      247     5     
Short Story
Ternyata! Santa itu nyata. Ada yang pernah melihatnya di Litlagea, uptown Loughrea. Bukan seorang kakek dengan kereta rusa, tapi seorang gadis kota yang kamu sukai.