Bel pulang sekolah berdering. Tiap pulang sekolah sesuai dengan jadwal masing-masing siswa SMA Harapan Bangsa merapikan kelasnya, piket bersama. Hari itu hari Rabu bertepatan dengan jadwal piket Rindang. Rindang masih sibuk mencatat teori-teori terbentuknya bumi di pelajaran Geografi hari itu. Ia sedikit ketinggalan karena sempat tertidur saat pelajaran tadi. Teman-temannya sudah sibuk membereskan meja dan merapikan alat tulis mereka. Alan tetapi Rindang masih duduk di bangkunya tenang dan menyalin tulisan Pak Dwie pada buku catatannya. Ela teman dekat Rindang, menghampirinya hendak mengajak pulang, "Rin, lo enggak pulang?" tanya Ela pada Rindang. Rindang menggeleng serius dan melanjutkan catatnnya. Ela masih saja mengajak Rindang pulang sekali lagi, "Yakin lo enggak pulang? Lo ikut piket kelas emang?" tanya Ela masih sedikit ragu dengan jawaban Rindang.
"Iya. Lo kalau mau pulang duluan ya pulang aja. Gue belum selesai nyatet dan lagi hari ini jadwal gue piket. Kalau misalnya gue enggak piket bisa kena omel Bu Ratih," ujar Rindang panjang. Ela mengangguk mendengar jawaban Rindang, ia lalu berkata, "Tumben banget mau piket lo. Biasanya juga ikut kabur bareng Santi sama anak-anak lain."
"Enggak ah. Gue udah keseringan bolos piket.
"Hoh, udah sadar lo sekarang? Ya baguslah kalau sadar. Eh tapi lo hari ini piket bareng Dion. Biasanya anak-anak kalau piket sama Dion pada bolos semua. Lo yakin mau piket?"
"Iya La. Udah lo pulang aja sekarang, daripada ganggu gue nyatet pelajaran."
"Meski ntar' kalian bakalan piket berdua aja?"
"Iya, La. Udah ah, jangan ngomel mulu. Atau lo mau bantu gue sama Dion piket?
"Enggak makasih. Gue pulang aja tidur siang lebih enak daripada piket sama Dion. Awas lo nyesel ntar’. Ya udah gue pulang ya. Jangan lama-lama berduaan di kelas. Mendung lagi, Rin!
"Iya, hati-hati La!”
Satu persatu siswa telah meninggalkan kelas. Kini tinggal Rindang sendiri. Dion belum terlihat di dalam kelas. Biasanya ketika kelas mulai sepi Dion mulai membersihkan kelas meski tanpa bantuan anak-anak lainnya. Rindang menghentikan kegiatan mencatat sejenak ia mencoba menengok keluar kelas barangkali Dion sedang berada di luar tetapi sedang bercakap-cakap dengan anak lain. Akan tetapi, ia tidak menemukan satupun teman sekolahnya yang masih berada di sekolah. Ia mulai khawatir jika ia akan piket sendirian hari itu. Tujuannya piket hari itu memang melaksanakan jadwal piketnya, namun bukan berarti ia piket sendirian tanpa ditemani siapapun. Rindang segera membereskan buku catatannya. Ia membereskan mejanya lalu hendak mengeluarkan HP dari tasnya. Ia mencoba menelepon Ela memintanya kembali ke sekolah karena sepertinya Dion tidak piket hari itu.
“Sorry terlambat. Gue keluar sebentar beli camilan tadi,” ujar Dion dari pintu kelas. Rindang mengurungkan niatnya menelepon Ela karena Dion sudah datang.
“Oh, enggak apa. Gue kira lo enggak piket hari ini.”
“Bukannya lo yang sering bolos piket kelas,” kata Dion lalu mulai meletakkan camilannya.
Rindang yang merasa tersindir oleh kata-kata Dion protes, “Enggak usah disebut juga kali,” ucapnya lalu mengambil sapu ijuk dan menyapu ruang kelas. Dion mulai mengembalikan kursi-kursi kayu kelasnya ke tempat semula. Kebetulan hari itu kelas mereka mengadakan kerja kelompok. Sehingga kursi dan meja masih berantakan tidak berada tempatnya. Sampah-sampah seperti kertas berserakan dimasukkan Rindang ke dalam tas kresek hitam besar. Selama membersihkan kelas, tidak satupun dari mereka yang berbicara. Mereka sibuk dengan bagian mereka membersihkan kelas. Dion merapikan kursi dan meja, Rindang menyapu dan memasukkan kertas yang berserakan di lantai ke tas kresek.
“Makasih Rin, udah mau piket hari ini.”
“Santai aja. Emang jadwal gue piket hari ini, Di. Eh, hujan di luar,” celetuk Rindang masih memegang sapu ijuk di tangan kanannya. Dion menoleh ke luar kelas memandang halaman sekolah yang telah basah dengan rintik hujan.
“Lo bawa mantel?” tanya Dion basa-basi.
“Enggak bawa. Gue tadi bareng Ela ke sekolah naik angkot,” ujar Rindang menjawab pertanyaan Dion. “Lhoh, udah selesai, cepet banget. Maaf ya, gue kebanyakan melamun kayaknya,” katanya melihat beberapa kursi sudah pada tempatnya dan ruang kelas juga sudah terlihat bersih. Rindang mengembalikan sapu ijuk ke tempatnya. Kini tinggal mereka berdua di kelas. rindang tak mungkin pulang saat hujan masih deras begini. Ia menggendong tasnya keluar dari kelas. rindang mendesah napas kasar, “Huft …, tahu gini gue enggak piket hari ini,” keluh Rindang menyesal.
Dion yang mendengar keluhan Rindang hanya diam memandangi hujan yang turun perlahan mulai deras. Dion menggendong tas ranselnya ke luar dari kelas. Ia mengeluarkan mantelnya dari tas dan mulai memakainya.
“Tunggu, lo mau ke mana?” tegur Rindang melihat Dion tergesa memakai jas hujannya. Teguran Rindnag membuat Dion berhenti mengenakan jas hujan. Dion menjawab dengan singkat, “Gue mau pulang.”
“Haaah, pulang?!! Terus gue di sini sama siapa?! Tega banget ninggal gue sendirian. Udah enggak ada murid lain loh. Cuman kita berdua aja dari tadi. Terus lo mau pulang duluan?” protes Rindang panjang. Ia sedikit tak terima karena Dion akan pulang lebih dulu.
“Iya, tugas piket gue udah selesai. Mau nunggu apalagi di sini?”
“Nunggu hujan berhenti. Udahlah, lo temenin gue di sini ya, sampai hujannya berhenti. Baru gitu lo bisa pulang deh,” pinta Rindang memelas pada Dion. Dion menghela napas kasar, “Ya udah. Tapi gue cuman bisa setengah jam, kalau setengah jam hujannya belum berhenti, gue tetep pulang.”
“Iya setengah jam aja.”
Dion melepas kembali jas hujan kelelawarnya dan melipatnya. Ia kemudian duduk di sebelah Rindang memandang hujan deras yang turun di depannya. Selama beberapa menit mereka tidak saling menatap. Rindang bingung mencari topik pembicaraan sedangkan Dion sibuk berharap agar hujan segera berhenti dan ia dapat pulang dengan cepat. Rindang mengeluarkan HP-nya lalu mengirim pesan pada Ela, meminta menjemputnya kembali di sekolah.
“Di, lo—,” Rindang menghentikan kalimatnya karena melihat Dion yang sepertinya sedang sangat serius kala hujan itu. “Kenapa?” tanya Dion yang menyadari jka Rindang ingin bertanya padanya.
“Gue denger dari anak-anak lo ngambil beasiswa di luar kota kuliahnya?” tanya Rindang seketika mencari topik yang memungkinkan Dion untuk menjawab dengan panjang. Dion mengangguk sebelum bersuara, “Iya. Gue ngambil beasiswa di Jakarta.”
“Berarti lo enggak jadi kuliah bareng gue? Gue padahal ngambil kampus yang sama supaya bisa ketemu lo,” celetuk Rindang jujur. Dion menoleh ke arah gadis di sampingnya itu. Rindang seolah tak ragu mengatakan hal itu.
“Lo itu aneh. Kalau cari kuliah jangan ikut-ikutan temen. Buat apa lo kuliah cuman gara-gara pengen ikut temen lo di sana,” ceramah Dion panjang.
Rindang menyenggol lengan Dion pelan, “Enggaklah. Gue aja baru tahu kalau lo ngambil kampus yang sama kayak gue. Pertamanya gue emang mau kuliah di sana karena ada jurusan yang gue suka. Tapi gue juga mau satu kampus sama lo. Enggak tahunya lo juga daftar di sana.”
“Iya, gue emang daftar di sana. Gue ngambil jurusan hukum di sana.”
“Udah, enggak usah ngambil beasiswa. Ngampus bareng gue aja di Universitas Jaya Abadi. Biar bisa ketemu gue lagi, hehe,” ujar Rindang sedikit tertawa singkat, ia berusaha mengajak Dion kuliah di kampus yang sama dengannya. Dion menatap Rindang dengan serius kini, “Lo maksa banget jadi orang. Faedahnya gue sekampus sama lo apa?”
“Hehe, ketemu gue faedahnya. Lagian gue masih penasaran sama lo, Di. Lo itu misterius orangnya. Gue jadi makin penasaran. Apa lo enggak kasihan gitu sama gue, di kampus baru tapi enggak kenal siapa-siapa?”
Dion menggelengkan kepalanya mendengar jawaban asal Rindang barusan. Ia bingung harus membalas celotehan Rindang barusan. Kali pertamanya ia berbincang-bincang dengan Rindang teman sekelasnya itu. Bagi Dion memulai percakapan adalah hal yang rumit, tetapi ketika Rindang terus menerus mengajaknya bicara, ia tak begitu kesulitan harus menanggapi lawan bicaranya itu.
“Hujannya bakalan lama Rin. Lo yakin mau nunggu di sekolah?” tanya Dion lagi pada Rindang. Dion menatap hujan yang masih turun dengan deras sejak tadi. Rindang menghela napas kasar, “Ya, mau gimana lagi. Gue enggak ada pilihan lain. Ela udah gue SMS tadi untuk balik ke sekolah jemput gue.”
Dion mengeluarkan jas hujannya kembali. Ia memakainya lalu mengajak Rindang pulang bersama, “Lo mau bareng gue enggak? Gue anterin sampai rumah.”
“Serius?!!! Ya maulah. Daripada nunggu jemputan sendirian, terus hujannya enggak berhenti-berhenti lagi,” ujar Rindang senang karena akhirnya Dion mengajaknya pulang bareng.
“Lo tunggu sini ya, gue ambil sepeda sebentar,” ucap Dion lalu segera berlari kecil ke parkiran sepeda motor. Rindang kembali membuka LINE-nya lalu memberitahu Ela jika ia pulang bareng Dion. Tak lama Dion telah berada di depannya lengkap dengan sepeda motornya. Rindang segera naik ke motor Dion dan menutupi tubuhnya dnegan jas hujan kelelawar. Sore itu Rindang dan Dion pulang bersama. Rindang tersenyum senang karena setidaknya hari ini ia tahu jika Dion tidak seperti yang dibicarakan teman-temannya, pendiam, udik, aneh, ansos, dan semua tuduhan buruk pada Dion. Rindang berkata sedikit kencang, “Di, gue minta maaf ya. Selama ini gue selalu berprasangka buruk sama lo. Gue lebih percaya kata anak-anak sih, daripada mengenal lo lebih dekat gini. Tapi sekarang gue udah tahu, lo itu orang yang gimana.”
“Gimana emang gue?” tanya Dion menanggapi Rindang.
“Lo baik ternyata. Besok makan bareng yuk sama gue,” ajak Rindang.
“Boleh. Lo pegangan Rin, gue bakalan ngebut sekarang,” kata Dion mengingatkan Rindnag. Dion mempercepat laju motornya di tengah derai hujan deras sore itu. Rindang yang awalnya tak berpegangan kini menuruti kata-kata Dion. Ia memeluk pinggang Dion dengan erat. Dialog singkat sore itu setidaknya telah mencairkan hubungan antara mereka berdua.