“Aku takut jatuh cinta karena takut ditinggalkan”
.
.
.
Ini bulan Februari. Bulan yang tak sengaja menjadi saksi bisu cintaku. Banyak hal yang terjadi sejak hari Valentine dua tahun yang lalu. Saat itu, bagiku cinta adalah hal yang sangat kubangga-banggakan. Tapi nyatanya setelah hari itu, aku membencinya. Sangat membencinya.
Disini. Di kursi panjang ini, ada cerita tentang dia dan pria pengganti. Aku mengingat bagaimana awalnya dia menjadikanku kekasihnya, lebih tepatnya memaksaku. Tentu saja dia bukanlah seseorang yang aku suka. Tapi, siapa tahu sikap kekanakan dan menyebalkannya membuatku akhirnya terjatuh ke dalam lubang kebahagiaannya. Yang kemudian juga menyeretku ke jurang luka.
Hari itu. Hari Valentine. Perayaan kasih sayang. Merayakannya? Aku dan dia tidak pernah melakukannya. Alasannya sederhana, setiap hari adalah hari kasih sayang baginya. Andai aku tak terlalu percaya pada kata-katanya, mungkin tak perlu sesakit ini. Hari itu juga dia bilang ia akan pergi. Dia berjanji akan kembali. Melewati hari Valentine setiap hari bersamaku.
“Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku saat itu.
Dia tersenyum dan menatapku penuh arti.
“Mencari sebanyak-banyaknya cinta untuk kuberikan padamu”
Aku tertawa pelan.
“Kamu pergi bukan karena mau cari pengganti aku, kan?” tanyaku was-was.
Bagaimanapun juga, ucapannya membuatku berpikir ia akan mencari gadis lain. Dia tertawa.
“Ga ada yang bisa gantiin kamu. Kamu rumahku”
Butuh setahun lebih untuk mengerti maksudnya. Ketika dia tiba-tiba menghilang setelah hari itu dan tak lama kemudian muncul seorang pria asing. Kedatangan pria itu membuatku mengerti, bahwa memang bukan posisiku yang akan terganti, tapi dia.
“Dia sudah pergi. Awalnya aku berpikir bahwa cintaku padamu lebih besar ketimbang dia. Tapi, ternyata aku salah. Dia malah merelakan kebahagiaannya, untukmu” ujar Pria pengganti itu.
“Tapi, aku tidak menikmati kebahagiannya. Cukup dengan dia menghabiskan sisa waktunya denganku, maka aku akan bahagia. Dia tidak perlu pergi dengan luka. Seharusnya dia bisa bahagia” lirihku.
Dan di detik itu pula, mau tak mau aku harus bersandar pada orang lain selain dia. Padahal aku hanya butuh dia mengobati lukaku, tapi malah mengirim obat lain. Sekalipun obat yang ia kirimkan lebih baik, aku ingin perlahan sembuh bersamanya.
Sial! Airmataku turun lagi. Kenapa sangat menyakitkan seperti ini? Sampai kapan aku harus membohongi perasaanku sendiri? Ini tidak baik. Untukku dan terutama untuk si pria pengganti.
Seseorang mengusap pipiku lembut. Aku tahu siapa dia. Orang yang menggantikan posisi-nya untuk menjadi kekasihku. Tapi, hatiku belum bisa menerimanya.
“Maaf,” lirihku.
“Hentikan saja kalau begitu,” sahutnya.
“Ma-maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Hubungan ini. Kamu tidak bahagia bersamaku. Semua akan sia-sia” ucapannya menohok hatiku.
“Kamu akan meninggalkanku seperti dia?” tanyaku gusar. Aku tahu bahwa aku salah, tapi apakah semudah itu ia berhenti?
“Istirahatkan hatimu. Ayo bertemu lagi di hari Valentine berikutnya”
Aku hanya bisa terdiam dan menangis sesegukan. Dia menghilang bersama kekecewaannya. Aku salah. Seharusnya aku menerima uluran tangannya saat ia menolongku dari jurang luka. Tapi, aku malah membiarkan harapannya bergantung sia-sia.
“Maaf,”
Lalu hari itu kembali tiba. Aku menunggunya. Tapi ia tidak datang. Sama seperti cintaku sebelumnya. Mungkin sejak saat itu aku takut mencintai. Karena itu, aku memilih merawat penyakit baruku dengan baik. Lovephobia.
END