“Gue sayang banget sama lo, Ran,” ucap Ken seraya memelukku erat saat baru tiba di cafe tempat kami bertemu.
Degup jantungku bekerja dengan cepat, perlahan aku membalas pelukan Ken dan tersenyum. “Gue jugaー,” ucapanku terpotong dengan kalimat yang di lontarkan Ken.
“Berkat nasehat lo, akhirnya gue di terima sama Cinta.” Bisa di dengar nada suara Ken yang sangat senang. Aku terdiam dan senyum pun pudar.
Ternyata aku salah paham menganggap kalimatnya barusan.
Pelukan kami terurai, lalu saling menatap. Tatapan Ken yang penuh kebahagiaan, bertolak belakang dengan tatapanku yang jauh dari kata bahagia.
“Setelah gue curhat sama lo, gue langsung ke rumah Cinta dan utarain semua perasaan gue lalu nembak dia, dan gue di terima.” Senyum Ken makin mekar. “Thanks ya Ran. Lo emang sahabat gue yang paling baik dan paling gue sayang,” tambahnya.
“Wah, selamat kalau begitu, Ken.” Sebelum mengatakan itu senyumku terbit sebaik mungkin untuk di perlihatkan pada Ken.
“Lo mau makan apa? Hari ini gue traktir lo, Ran.” Ken mendorong pelan pundakku supaya duduk kembali lalu ia pun duduk di seberangku.
Hatiku terasa sesak, tapi di seberangku ada seseorang yang aku cintai, sedang bahagia atas pencapaiannya, tidak bisa aku meninggalkan tempat ini hanya untuk menenangkan diriku.
“Baiklah, hari ini gue pesan yang mahal-mahal,” ucapku dengan muka meremehkannya. Pria di seberangnku pun tertawa.
“Baik, pesanlah,” katanya dengan muka mengesalkan.
Aku membuang napas dan memejamkan mata sebentar lalu terbuka lagi dan membaca menu yang sudah ku ambil dari atas meja. Kulirik Ken yang serius membaca buku menu, terkadang alisnya bertautan, terkadang kedua alisnya terangkat, sesekali sebelah alisnya yang terangkat. Entah sejak kapan pemandangan yang seperti ini yang aku suka. Sejak sekolah dasar kami bersahabat, dan juga bertetangga. Banyak kenangan hingga kami sekarang berada di perguruan tinggi yang sama, tapi beda fakultas.
Bentuk kasih sayang memang berbeda-beda. Terbukti sekarang kasih sayangku kepadanya tidak sama dengan kasih sayangnya kepadaku. Tapi, melihatnya sebahagia ini rasanya aku ingin ikut tersenyum walau hatiku sangat sakit. Sedikit membingungkan mau senang atau sedih, mau menangis, tapi karena bahagia atau sedih?
“Kenapa lo, Ran? Muka lo sedih banget, padahal gue yang traktir, loh.”
“Lagi galau nih, gue.”Aku memasang wajah lebih sedih dari sebelumnya.
“Kenapa? Karena siapa? Cerita sama gue, buruan.”
“Hahahaha.”