Saat malam kian larut. Ara mengetik pesan resah.
A: “Maafkan aku. Namun, semuanya harus jelas. Sekarang maunya kita gimana?”
D: “Menurutmu?”
A: “Aku butuh jawaban.”
D: “Sejujurnya, di dalam hatimu apa, Ra?”
A: “Aku sudah siap, apapun keputusanmu.”
D: “Beri aku waktu.”
A: “Kenapa gak sekarang?”
D: “Sudah larut malam, Ra. jam segini, hati dan pikiran pasti ngelantur. Aku gak bisa menyakiti seseorang, kehilangan dia yang berharga untukku.”
A: “Menunggu ataupun meninggalkan itu sama-sama menyakitkan. Tapi, lebih menyakitkan saat tak mampu memilih antara menunggu atau meninggalkan."
A: "Apa tak ada pilihan lain, untukku?”
Pesan itu tidak dibalas, mungkin juga tidak dibaca oleh penerimanya.
Ara menatap langit malam yang bersih tanpa bintang dibalik jendela kamarnya. Disana seolah sedang mencoba menggambarkan rasa hatinya.
Ia menghembuskan napas panjang.
Napas ini adalah napas kelelahannya menahan gejolak. Sekilas, ada wajah seseorang yang dicemaskannya. Ia tersenyum sejenak karena wajah itu, ia belajar banyak hal, seperti, Apa itu, cinta?
Namun, kali ini sesak rasa di dada. Tak mampu ia menahan terlalu lama. Lalu, apa yang harus ia lakukan?
***
Bulir embun dan kesegaran yang dibawa pagi menjadi tema pagi ini. Meski kadang mendung menerjang atau bahkan hujan sudah berbondong-bondong sejak sebelum subuh, bukan penghalang bagi manusia untuk melakukan aktivitas rutinnya, termasuk Ara dan Nur.
“Ra, kita harus dapet video wawancara hari ini. Kameranya sudah siap, kan?” Nur menoleh kepada Ara.
Yang ditoleh mengangkat kamera di tangannya, “Sudah.”
“Bagus. Aku pergi menemui gurunya dulu. Kau tunggu di sini.” Ucap Nur, lalu meninggalkan Ara dengan kameranya.
Bel istirahat di sekolah itu bernyanyi keras. Murid-murid disana berhambur keluar kelas, menyambut senang nada tersebut.
“Ra, mau ke kantin bareng aku atau mau nitip aja?”
Ara mengingat jelas pertanyaan itu. Mendengar nada suara yang selalu ada di sisinya. Ia menghembuskan napas panjang.
Di sini bukan saja sebagai tempat penelitian untuk tugas kuliahnya. Namun, di tempat ini juga menjadi sebuah kenangan masa putih abu-abunya. Dan di tempat ini juga, Ara tahu, ada sebentuk rasa yang ia rindukan.
Berduyun-duyun kenangan itu hendak berlalu di hadapannya. Seperti film lama yang diputar ulang. Maka, begitu film selesai dan diputar kembali hari ini, debar jantung itu nyatanya lebih kencang terasa.
“Ra, ngapain?” tanya Nur, bola matanya juga melirik kearah yang dituju Ara.
“Menikmati film lama yang sedang diputar ulang.”
Nur memutuskan duduk di sebelahnya, “Kau, ini. Masih memikirkannya?”
Ara mengangguk.
“Ra, apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biar waktu yang menjadi obat.”
“Aku sudah mencobanya, Nur. Tetap saja, rasanya.....”
“Ra. sekecil apapun harapan tersebut, saat ini, kau hanya perlu menggenggamnya erat-erat. Meski, yah. Laki-laki emang gak peka, ya.” Pesan Nur, separuh menyindir.
Ara tersenyum canggung. Hingga saat ini, ia tidak bisa mengidentifikasi rasa di hatinya. Apakah semua akan berakhir secepat ini? Atau baru saja akan dimulai kisah baru?
Namun, ia ingin sekali percaya kalau semua ini akan indah pada waktunya. Maka, begitu puzzel hati di tempat ini kembali di susun, pada sosok sederhana bernama Dimas, ia pun tak hendak berlari. Menetapkan langkah seurut waktu yang akan menuntunnya.
***