Saat rasa itu tak lagi ada....
Inginku memegang tanganmu sambil memetik bunga lily, seperti cinta kita yang mulai mekar dibulan Mei. Namun bunga lily yang kau lambangkan cinta, perlahan melucuti semua yang aku miliki, hingga memaksaku mengambil pecahan diriku yang tersebar dalam utopia.
Empat tahun kita bersama. Dimana dua tahun dihabiskan dengan penuh cinta, satu tahun berikutnya diisi dengan beragam sandiwara, dan tahun setelahnya kau bersujud penuh sesal, mengatakan bahwa dirimu tak lagi cinta.
“Ayo kumpulkan puing dan perbaiki istana,” ujarnya disuatu tempat, dimana kami melihat matahari terbit untuk yang pertama kalinya.
“Tapi—”
Dia meraih tanganku, menggenggam, dan membelai buku-buku jemariku lembut. “Aku akan menikahimu, seperti janji dan mimpi yang sering kita ucapkan dulu.”
Kembali ku letakkan jam pasir diatas lembar berduri....
Seratus hari setelahnya kami habiskan dengan berlakon sandiwara. Dimulai dengan menikmati sunrise dan sunset bersama disetiap weekend. Mengunjungi tempat dimana pertama kalinya kita membangun pondasi cinta, juga mengulang semua adegan favorite ditempat favorite. Dan disetiap penghujung malam, dia selalu menulis permintaan maaf, mengatakan bahwa hari itu dia masih belum cinta.
Dan sekali lagi, seperti berubah dari stereo ke mono, jalan kita terpisah seperti ini.
Sekarang aku menangis seperti hujan, melihatmu melupakan segalanya dan memulainya lagi bersama takdir lain. Aku tahu, kita sudah cukup lelah untuk berlakon diatas panggung sandiwara. Tapi kau tak bisa meninggalkan bayangku begitu saja, sedangkan jejak milikmu telah tinggal dalam diriku yang kau sebut itu sebagai kesalahan.
Cara apa lagi yang harus kita lakukan untuk menumbuhkan rasa itu kembali?
Dan disini kami sekarang, diatas gedung paling tinggi di Jakarta. Berteduh dibawah payung hitam yang sama, saling bertukar tatap sendu, mencoba mengumpulkan puing istana itu kembali. Kulihat bahu kirinya mulai basah, dia menjadikan punggungnya sebagai tameng untuk melindungiku.
“Aku tak bisa menikahi wanita yang tak lagi aku cinta,” ungkapnya dengan suara berat.
Jantungku bergemuruh. Sedih dan amarah bercampur menjadi satu rasa. “Tapi, Daniel—”
Dia memalingkan wajahnya kearah lain, enggan menatapku yang terus saja menangisinya. “Cinta itu tak hadir saat aku mencoba untuk merasakanmu lagi, tidak seperti dulu.”
Ekor matanya bergerak, menatap kedua tanganku yang spontan menahan lengannya. Dia menghembuskan nafasnya berat, meraih tanganku, dan meletakkan gagang payung itu dalam genggaman.
Setelah itu dia pergi meninggalkanku bersama payung hitam, tanpa menghapus air mataku seperti biasanya. Hatiku menjerit, menatap jejak langkahnya yang mulai hilang. Dan kulempar payung itu kesal, membiarkan hujan menyembunyikan tangisku, membiarkan air mata meluruh bersamaan dengan jatuhnya air hujan diatas rooftop.
Istana kami runtuh....
Kurentangkan dua tangan dipenghujung tembok pembatas. Memejamkan mata sambil merasakan tamparan air hujan dikulit wajahku. Tak perduli dengan suara orang-orang dibawah sana yang terus memintaku agar membuka mata, dan menggagalkan rencana gila ini.
Greb!
Sepasang lengan pria menyentuh pinggangku, bergerak perlahan, dan melingkarkan keduanya disekeliling perutku. Tubuhku menghangat saat telapak tangannya mengusap puncak perutku lembut, mencoba berkomunikasi dengan sesuatu didalam sana.
“Izinkan aku menjadi wali dari anak ini, Anna,” bisiknya dibelakang telingaku.
Aku menoleh saat mendengar isak tangis dibelakang kepalaku, sosok itu berhasil membasahi puncak kepalaku dengan air matanya. “Zaidan,” gumamku, melihat dia memejamkan mata sambil menyatukan kening kami.
bagus ceritanya kak milla , jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)