“Sudah terlalu lama. Kapan kau akan menyerah?” tanya gadis di hadapanku. Suaranya samar di antara berondongan air di atap kamar. “Kau membuang dua tahun demi menanti sesuatu yang tidak pasti. Kaupikir dia peduli?”
Kubuang napas dari bibir yang belum dipoles lipstik. Sang bayu menyusup lewat celah pintu dan ventilasi, mengantar aroma tanah dan rumput yang tersiram hujan ke dalam sini. Hawa dingin membuatku refleks bergidik pelan, mengelus lengan.
“Satu atau dua, itu hanya angka. Cepat atau lama, itu juga cuma parameter manusia,” kilahku sambil tajam menatapnya.
“Tapi merayakan patah hati ...,” ia tertawa mengejek, “itu terlalu kekanakan.”
Geligiku beradu sebab kata ajaib itu. Ia menghunjam layaknya tikaman pada luka yang belum terobati. Laksana bola bergerigi tajam yang tertelan hingga mencabik jantung dan hati, menyisa anyir napas yang hanya kuhidu sendiri, melanggaskan atma dari raga ini.
Dada bergemuruh, serupa guntur yang kini memekak telinga. Kurapatkan bibir sambil mengepal. Kualihkan pandang ke luar jendela. Titik-titik air yang diterbangkan angin menggurati udara dengan warna putih. Seperti hari itu. Ketika dia membekukan waktu dengan ucap, “Maaf. Bukan aku tidak lagi menyukaimu. Aku hanya tidak tahan dengan sikapmu yang terlalu kekanakan.”
Aku menekuri makna satu kata itu, hingga realita menamparku. Aku melihatnya berjalan beriringan, tersenyum dari pipi ke pipi, mengait jemari dengan perempuan lain. Perempuan yang—di mata lelaki itu—lebih tidak kekanakan. Lebih segala-galanya dariku.
Aku tertinggal sendiri, terimpit dalam lorong yang nyaris tanpa mentari. Memeluk hati yang terempas bagai sempuras. Mengigil, menggigit bibir hingga berdarah. Tenggelam dalam lautan tanya yang tak berujung pada jawaban.
“Aku kekanakan atau kau sengaja mengada-adakan alasan?”
“Kenapa harus menyandera hati dan melambungkan harap, jika akhirnya hanya menghadiahi perih?”
“Tapi kenapa ... kenapa setelah semua sakit yang berkejaran ini, aku kehilangan daya untuk ... membenci?”
Ya, sebut saja aku bodoh! Aku menikmati lara ini. Menghitung hari, berharap hatinya kembali kumiliki. Hari ini, hitungannya tepat 730 dan kaki masih menjejak di sini.
Aku memejam, menelan ludah. Merasai deru napas yang berangsur teratur di tengah pedih yang menjalari sukma. Kutatap lekat sosok di hadapan, menegaskan, “Aku tidak kekanakan.”
Kurapal berkali-kali, hingga akhirnya ia mengangguk. Hingga ia balas berkata, “Ya, kamu tidak kekanakan. Kita tidak kekanakan.”
Aku tersenyum. Kami tersenyum.
Kupulas bibir dengan warna merah bata. Kutepuk pipi, dagu, dan dahi dengan bedak sewarna kulit. Kusemprotkan parfum jasmine, mencipta aroma yang selaras dengan petrikor.
Aku tersenyum lagi padanya—pantulan diri dalam cermin berbingkai merah jambu.
Hujan tak sederas tadi, meski dingin masih enggan berlari. Perlahan seperti hujan, luka ini pun pasti mereda. Nanti.
Aku akan mendewasa ... nanti.
Kutinggalkan kamar setelah meraih payung di sisi ranjang. Air langit memercik dari tepian atap saat aku berjalan di teras, menuju pintu gerbang indekos ini.
Sayup terdengar lagu mengalun, entah dari kamar yang mana.
“Baby you look happier, you do
My friends told me one day I’ll feel it, too
And until then, I’ll smile to hide the truth ...”
Berpayung di bawah mendung yang menggelayuti langit sore, aku tersenyum.
Hari ini, sekali lagi, aku merayakan patah hati.