BAGIKU, menjadi kekasih seorang penulis adalah hal yang magis. Setiap tindak manis dan bulir tangis kiranya akan senantiasa terlukis dalam kata-kata yang ia tulis. Sepintas, keadaan demikian tampak membahagiakan, bukan? Nyatanya di waktu-waktu tertentu, yang terjadi justru terasa memilukan.
“Akhir pekan aku akan pulang, bertemu denganmu seperti biasanya. Tak perlu kau repot-repot datang kemari, Sayang.”
Atas kunjungan yang sengaja tidak aku beritakan, lelakiku--kalau masih boleh dikatakan begitu--terlihat jelas gelagapan. Walau ia berusaha tenang, tak bisa dipungkiri pikiran juga gerak-geriknya amat tidak keruan.
“Dia siapa?” tanyaku langsung di ambang pintu.
Panik, matanya gesit memindai sekitar. “Tak ada siapa-siapa.”
“Aku menanyakan perihal dia,” ujarku pelan. “Dia yang bukan aku.”
Kuakui, selama ini mereka memang pandai bersembunyi. Tak pernah ditemukan potret berdua, tak ada jejak kencan bersama, tak terdapat tanda apa pun yang mengisyaratkan bahwa lelakiku telah mendua. Namun aku sangat sadar, setiap pukul sebelas malam, selepas aku berpura-pura pamit untuk memejam, ada perempuan lain yang setia menemaninya hingga fajar menjelang.
“Tulisanmu sekarang tidak pernah lagi bercerita tentang kita, tetapi mengenai kau dan dia--perempuan lain yang tidak kuketahui siapa.” Mendapati ia bergeming, kupaksakan diri berucap sekali lagi. “Berhentilah menganggap aku tak bisa menafsirkan aksara yang kau rangkai untuk dia.”