Argi, pemuda berumur 23 tahun, yang belakangan ini sedang berusaha mati-matian untuk mendapatkan pekerjaan demi membeli sebuah cincin untuk wanita yang sangat dicintainya. Namanya Tania, gadis cantik yang merupakan anak salah seorang pejabat. Argi jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya bernyanyi di hadapan peserta orientasi kampus. Namun hubungan keduanya terhalang restu orang tua. Ayah Tania tidak merestui anaknya menjalin hubungan dengan Argi yang berasal dari keluarga sederhana dan sejak lulus kuliah belum juga mendapatkan pekerjaan.
Setelah 4 tahun menjalin hubungan tanpa restu, akhirnya mereka harus berpisah. Diam-diam Ayah Tania telah menjodohkannya dengan seorang polisi yang tampan dan juga mapan. Meskipun Tania sangat mencintai Argi, tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan kecuali pasrah demi kebahagiaan orang tuanya.
Argi yang akan segera ditinggal nikah oleh sang pujaan hati benar-benar merasa terpuruk. Perasaan sedih, marah, kecewa, bercampur jadi satu. Baru kali ini ia merasakan cinta yang begitu dalam terhadap soreang wanita. Tania memang berbeda dari wanita yang pernah ia kenal sebelumnnya. Pribadinya sabar, tutur katanya lembut, dewasa dalam segala hal, serta rendah hati meskipun berasal dari keluarga yang kaya.
Keterpurukan ini membuat hidup Argi benar-benar hancur. Ia merasa kehilangan semangat hidup. Di masa-masa terpuruknya, ia juga harus menghadapi ujian sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sampai suatu hari seorang sahabatnya mengunjunginya dan memberikan bantuan untuknya.
“Aku ingin membeli cincin untuk Tania,” ujar Argi dengan nada sendu.
“Untuk apa? Dia kan sudah mau menikah,” balas Nino.
“Aku ingin menjadi yang pertama memberikan cincin kepadanya, No. Aku ingin, cincin pemberiankulah yang pertama kali melingkar di jarinya.” Suara Argi semakin berat. Sesekali ia menyeka air matanya.
“Kamu butuh berapa? Aku pinjamkan. Nanti setelah kau dapat pekerjaan, baru kamu ganti.” Nino menawarkan bantuan. Awalnya Argi menolak karena tidak ingin merepotkan sahabatnya. Tapi setelah Nino berjanji akan membantunya mendapatkan perkerjaan, akhirnya Argi luluh.
Tiga hari menjelang acara lamaran, Argi mendatangi rumah Tania.
“Aku ada di depan rumahmu,” ujarnya melalui telepon.
Tania berlari ke jendela. Dan benar saja, di luar Argi sudah berdiri memandang ke arah jendela kamarnya.
“Argi? Ngapain malam-malam datang kesini? Nanti ayah marah,” balas Tania dengan suara sedikit berbisik.
“Turunlah. Please.”
Tania tampak cantik dengan piyama bewarna merah bermotif bunga. Ia berdiri di ujung pintu, menatap Argi yang berjalan pelan ke arahnya. Di dalam rumah, ayah Tania mengawasi.
“Tania, aku sangat mencintaimu. Cincin ini adalah tanda cintaku kepadamu. Terimalah.” Argi berkata sambil bertekuk lutut di hadapan Tania.
Tania tak bisa berkata-kata. Air matanya mengalir deras memandang kotak berisi cincin di tangan Argi. Argi meraih tangan Tania dan memasangkan cincin itu di jari manisnya, kemudian mengecup keningnya.
“Percayalah, jika kita benar-benar berjodoh, kita pasti akan dipersatukan. Jika bukan sekarang, mungkin di lain waktu.” Ujar Argi sesaat sebelum pergi.
Tania hanya bisa menunduk sambil menangis. Ia semakin terisak setelah Argi hilang dari pandangan matanya. Ibunya datang memeluknya yang membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Sementara ayahnya hanya bisa duduk terdiam mendengar tangisan putrinya.