Emansipasi wanita, secuil aksara yang mengoyak abar-abar pewatas. Lihatlah, berapa banyak pekerjaan pria yang digeluti wanita. Agaknya, hampir semua perkerjaan bani Adam, para kaum hawa berhasil menuntaskannya dengan baik, bahkan lebih sempurna. Bos perusahaan, security, masinis kereta api sampai tukang aduk semen, wajah legit mereka meramaikan.
Sekelumit cerita tentang emansipasi wanita tersebut, tak urung menggedor nurani pelakon hikayat ini –Sri. Wanita seperempat abad itu, terggeragap dari kehibukan berleha-leha yang menjadi habit. Alotnya kehidupan serta seretnya ekonomi keluarga, memaksanya berpikir keras mencari jalan keluar. Ribuan ide dipilah dari otak yang hanya tertempa ilmu seadanya. Sri tak tamat sekolah dasar. Namun, tak perlu mahir matematika untuk menghitung uang kembalian. Tak harus fasih aritmatika sosial untuk mengetahui untung dan rugi. Bagi Sri, tangan emasnya ini cukup ahli dalam meramu rasa yang mendatangkan rupiah.
Berpayung panas sengangar sang penguasa siang, perempuan berjulukan “Ibu” itu mendorong rombong besi keliling jalan. Tubuh ringkihnya amat perkasa. Air mukanya tak tampak lelah. Begitu tega sang keluarga membiarkan Sri yang sedang mengandung beradu nyawa. Ya, janin yang meringkuk dan terus bertubuh setiap harinyalah yang menemani langkah Sri menjajakan dagangan.
Kemana sang tulang punggung keluarga? Kenyataannya sang tulang punggung tak lepas tangan. Dia pun membanting tulang dan memeras keringat di tempat lain. Sebenarnya Sri memiliki putri berusia belasan tahun. Putri pertamanya yang kini duduk di bangku SMP. Setiap kali mengingat putrinya itu, bibir Sri yang kemerahan tertarik lebar. Putri yang ia namai amat cantik –Tiara –dengan harapan nasib putrinya akan indah seindah mutiara lautan.
Bagi Sri, Tiara tumpuannya kala tua. Biarlah putrinya itu serius belajar demi meraih mimpinya. Sri sendiri tak ingin membebani sang putri dengan pekerjaan berat–meski di selah-selah waktu senggangnya, Tiara selalu datang membantu dan menemani. Tak ada yang mampu Sri berikan selain bekal ilmu yang nantinya akan digunakan sang putri untuk melawan kerasnya hidup. Harta? Mana mungkin, ia dan suami berangkat dari latar belakan keluarga yang serba pas-pasan. Meski ia terpapar kejamnya hidup, Sri berharap tidak begitu dengan putrinya kelak.
Matahari berada tepat di atas kepala. Sri berhenti di tempat biasa ia mangkal. Memasang spanduk, menjajar bungkusan kerupuk dan menanti datangnya pembeli. Es campur, gado-gado serta kerupuk pasir komoditas utama dagangannya.
Sejam ....
Dua jam ....
Sri sabar menunggu meski tak ada satu orang pun yang mampir. Padahal, jam makan siang sudah lewat sesaat lalu. Tak apa, Sri hanya perlu bersabar karena rezeki tak pernah kesasar.
“Bu, ramai?”
Sri menoleh. Mendapati Tiara berdiri di belakangnya –masih mengenakan seragam putih biru.
“Lumayan, Nduk. Jalan lagi pulangnya?”
“Nggak, Bu. Kebetulan tadi ada sisa jajan, jadi naik angkot.’’
“Makan dulu.”
“Saya bikin gado-gado sama es teh ya, Bu. Ibu sudah makan?”
“Sudah tadi.”
“Bu, tadi di sekolah guru BPnya nanyain cita-cita saya. Kalau pengin masuk SMA Negeri bisa dibantu lewat jalur prestasi katanya.”
“Memang apa cita-cita, Tiara?”
“Guru, Bu. Saya pengin jadi guru.”
Sri tertegun. Jika sang putri bercita-cita menjadi guru, berarti harus kuliah. Yang Sri tahu, biaya kuliah tidak murah. Padahal setelah si buah hati lahir, biaya hidup akan bertambah. Setiap anak membawa rezeki masing-masing, benarkah itu?
isu yang diangkat dekat dengan kehidupan sehari hari,,suka bacanya