Debur ombak menghantam batu karang, aroma air laut yang asin terkalahkan oleh kesiur angin yang membelai rambutku. Kakiku mematuk-matuk permukaan pasir, mencoba menerima rasa, kasar. Kuambil segenggam pasir berwarna putih di tangan, mencoba mengubur sebuah surat yang tak pernah terbaca oleh siapapun. Bahkan kak Aldi sekalipun.
Masih kuingat, tiga pekan lalu pada acara perpisahan kelas dua belas. Senyumnya yang manis dia lepas ke segala penjuru, bahkan tak sengaja menatapku dari jauh. argh, benarkah dia menyukaiku?
"Nabila! Sini! ayo foto sama kakak!" dia meraih tanganku tanpa ragu, bahkan sekejap teriakan histeris dari para penggemarnya menyeruak tidak suka.
Ya, aku dikenal sebagai cewek pendiam kutu buku. Cewek aneh, cewek kuper serta sebutan lain yang seolah itu hanya pantas disematkan untukku. Memang sulit bagiku membuka pertemanan untuk siapapun, sejak kecilku dididik demikian. Bukan anti sosial, namun memang demikian yang kurasakan. aku lebih nyaman dengan diriku sendiri. Are you autism? No! Big No.
Seketika aku menunduk, kelu. Foto wisuda SMA itu memang lancar, berjalan seperti biasa. Semua bergembira. Namun, di saat itu pula perasaanku digantung layaknya jemuran. Tidak jelas setahun ini.
"Kak, selamat ya sudah lulus."
"Iya, makasih ya Nab. kamu harus tetap semangat ya sekolahnya. Nanti aku.."
Belum sempat kak Aldi melanjutkan kalimatnya, tiba segerombolan cewek yang berhamburan memberikannya setangkup bunga. Kak Aldi tergelak, kemudian melambaikan tangan ke kamera lagi, meminta foto. Seketika aku melangkah mundur, sadar diri dan tetap mengantongi surat yang kutulis rapi pagi tadi.
Esok harinya aku berjumpa lagi dengannya, tentu bukan di sekolah. Sesuai janji lalu, kami berjumpa di taman kota. Hanya mengandalkan insting saja, sebab aku tak memiliki ponsel seluler seperti dia. Kutunggu di tempat biasa, persewaan komik dan buku.
Betul dugaanku, ternyata dia datang kesini. Sendirian, biasanya dia datang bersama kak Dimas.
"Nabila! sini yuk kita jajan es krim dulu." dia tersenyum
Seperti biasa, tanpa perlu menunggu jawabanku, dengan spontan meraih tangan seolah aku ini adiknya yang baru saja ditemukan. Dia tidak punya adik sih tapi dia punya kakak yang baik persis dengannya. Kak Dimas. Hobinya juga mirip, sama-sama suka membaca buku dan komik. Disinilah pertama kalinya aku mengenalnya, padahal kami satu sekolah.
"Kak, kenapa tidak bareng kak Dimas?"
"Oh, jadi nyari Dimas kah?"
Aku menggeleng, "Oh tidak begitu, kan biasanya kak Aldi selalu kesini bersama kak Dimas.."
"Nggak lah, untuk agenda sepenting hari ini mana mungkin aku bareng dia. Haha."
"Memang ada agenda apa kak?"
Kak Aldi mengganti duduknya, bergeser dua jengkal dari arahku kemudian menatapku sangat dalam. Hatiku berdesir. Namun tak keluar kalimat apapun dari bibirnya, aku menunggu, resah.
"Kak! Halu?" aku menyelidik, kukibas-kibaskan tanganku ke depan wajahnya.
"Haha! kamu kaget nggak barusan?"
Hah?! kaget? jantungku seketika copot begitu, masa iya 'hanya kaget?'
"Eng..enggak kok Kak, memang kenapa begitu?" mulutku menjawab secara berkebalikan. Argh payah!
"La, kamu kan sudah masuk kelas sebelas ya. Pekan depan aku terbang ke Jepang, aku kuliah disana. Jangan kangen ya. Eh boleh kok kangen, tapi janji kamu menyusul juga nanti. Oke?"
Aku terkesiap, 'hanya itu?'
Kemudian semua berjalan begitu saja. Kak Aldi pamitan, dan aku masih terduduk disini. Tanpa Kepastian.