"Tar, lo udah berjuang sejauh ini, apa nggak sebaiknya lo tunggu―”
“Gue nggak bisa menunggu lebih lama, Wi. Cinta bukan hal yang bisa diperjuangkan satu arah, dan karena itu gue pilih menyerah.”
“Bumi pasti sedih kalau lo pergi tanpa pamit gini.”
“Bumi akan selalu baik-baik aja, tanpa gue."
Cengkeraman tangannya pada kaleng bir menguat. Bodoh! Tahu darimana lo kalau gue bakal baik-baik aja?
Rekaman terhenti bersamaan dengan bunyi kursi yang digeser. Bumi melirik ke sosok di sebelahnya. “Lo ngapain sih ke sini?!” hardik Bumi.
“Gue nggak izinin lo masuk koran karena overdosis bir kalengan.” Matanya menatap dua kaleng kosong di atas meja.
Bumi tersenyum sinis. “Sok peduli lo.”
“Nah, ini nih yang bikin Mentari minggat!”
Mata Bumi menyipit, tak suka dengan ucapan Ghani barusan. “Maksud lo apa?”
“Lo itu…” Ghani menunjuk wajah Bumi yang tengah memelototinya, “nggak pernah menghargai perhatian yang orang kasih buat lo. Lo selalu menganggap mereka pura-pura. Padahal di dalam hati kecil lo, lo tahu kalau gue dan Mentari itu tulus .”
Dia benar! Bumi menandaskan kaleng ketiga birnya malam ini.
Ghani gemas dengan sikap sahabatnya. “Lo tahu kenapa Tiwi kirim rekaman percakapan dia sama Tari dua tahun lalu? Itu karena Tiwi tahu lo cinta sama Mentari!”
Bumi melengos. Dia bangkit dari kursi meja rapat dan berjalan mendekati jendela besar ruang kerjanya. Memandangi pemandangan malam ibukota yang dipenuhi gemerlap cahaya. Tapi bukan sinar itu yang Bumi inginkan. Bukan sejuta lampu yang dia ingin nikmati. Namun senyum itu. Suara itu. Wajah itu.
Bumi rindu mataharinya. Mentari-nya.
“Dua tahun, Mi. Lo nyia-nyiain dia dua tahun.” Ghani kembali bersuara. “Lo tahu Mentari di mana. Dia bukannya menghilang dari bumi.”
Bumi mengacak rambutnya, frustrasi.
“Susul dia, Mi. Jangan biarin dia nunggu lebih dari ini.”
Bumi menatap bayangan dirinya yang terlihat samar. “Mungkin dia udah―”
“Did you call her?”
Bumi menggeleng.
“Idiot. Darimana lo tahu dia udah punya pasangan atau belum?”
“Tapi kalau dia kembali…”
Ghani menatap punggung sahabatnya, menunggu kelanjutan ucapan Bumi.
“Gue nggak akan biarin dia berjuang sendirian. Gue akan perjuangkan dia.”
“Kenapa harus tunggu dia balik?” Ghani bersedekap dengan mata melirik ke pintu masuk.
“Supaya gue tahu, perihnya menunggu.” Bumi menatap langit yang tak bertabur bintang. “Gue gelap tanpa dia. Tapi harga diri gue juga menolak untuk susul dia. Jadi, gue akan tunggu dia pulang.”
Ghani menghela napas sebal. “Mi, did you love Tari?”
Bumi terdiam sesaat. “I did. And will always.”
“Terimakasih untuk kejujurannya, Bumi.”
Bumi terperanjat, dia membalikkan tubuh dan mendapati sosok mungil berambut hitam sebahu itu berdiri di depan pintu. Bibir Bumi terkembang sempurna.
“Tapi aku nggak sepandai itu dalam menunggu.”
Senyum Bumi sirna.
“Aku kembali hanya untuk kasih ini.” Mentari berjalan ke arah meja rapat dan meletakkan dua undangan. Dia menatap Bumi datar. “Aku harap, kamu dapat seseorang yang lebih pandai menunggu daripada aku.”
Mentari langsung berbalik dan melangkah pergi.
“Damn!” Ghani berdiri panik, “lo nggak susul Tari, Mi?!”
Bumi tersenyum pedih pada Ghani. “Gue memang bodoh, Ghan. Kebodohan terbesar gue adalah membiarkan matahari gue tertutup awan, dan tenggelam diam-diam.”
gemes saya bacanya,
this was the end ? I need more. So so sad..