Aku kembali hanya menatap punggungmu yang dengan mudah kutemukan diantara kerumunan para siswa pada pintu gerbang pulang. Aku kembali menghembuskan nafas lega, tatkala tubuhmu sudah memasuki angkot yang memang mangkal didepan sekolahmu.
Seperti hari-hari kemarin, aku mengikuti angkot yang kau tumpangi dengan motorku. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, meskipun aku telah meremukkan seluruh hatimu. Aku salah, aku tahu itu.
Dan sisa hari setelah aku memastikanmu sampai rumah, hanya kuhabiskan dengan memandangi fotomu, yang kau susun sendiri berderet mengikuti alur lampu hias yang kerlipnya menerangi kamarku. Agar kenangan foto ini bisa selalu dilihat, itu katamu dulu ketika sibuk menyusun ini. Iya memang benar, foto itu bisa selalu kulihat dan aku pun bisa mengingat momen saat gambar itu diambil.
Senyummu yang semanis gulali namun bisa membuat candu bagiku. Kau hanya gadis sederhana, dengan rambut lurus sebahu kulit sawo matang dan wajah lembut. Tapi kau mencintaiku dengan sangat istimewa, tapi aku baru sadar setelah kamu putuskan untuk menyerah. Menyerah pada sikapku yang keterlaluan.
Awal hubungan kita memang salah. Tapi kuyakini perasaanku tidak pernah salah. Pada suatu ketika, kita masih berseragam yang sama. Aku memilihmu menjadi orang yang spesial, dengan menerima tantangan dari seorang teman yang terluka karena sudah kau tolak. Imbalannya sekotak sepatu yang sudah lama inginku beli.
Tapi sekarang, sekotak sepatu edisi terbatas itu harus kubayar dengan penyesalan. Menyesal kenapa aku menerima penawaran kotor itu untuk menyakiti hati seorang wanita yang telah tulus menyayangiku. Menyesal karena harga yang tak seberapa itu harus kutebus mahal dengan kemunduranmu.
Maafku saja mungkin tidak cukup, biarlah begini saja. Biarlah dalam diam aku tetap menjagamu.