Loading...
Logo TinLit
Read Story - CORAT-CORET MASA SMA
MENU
About Us  

            SATU

            “Din, mau pergi kemana? Sudah belajar untuk persiapan Try Out belum?” tegur Ibu mengagetkanku yang tengah memulas pelembap anti sinar matahari pada kulit wajahku. Hari ini hari Sabtu, dan Ibu hafal betul bahwa aku akan ujian percobaan UN (Ujian Nasional) SMA pada hari Senin pagi.  

            Aku menahan keinginanku untuk memutar bola mataku—suatu kebiasaanku yang dibenci oleh Ibu. Tanpa memandang wajah beliau, aku menjawab, “Udah, bu. Bu, hari ini aku ada latihan basket bersama tim inti basket sekolah. Aku sudah beritahu Ibu kemarin, kan,”

            “Latihan basket saja? Kamu setiap kali pamit latihan pasti pulang larut malam. Setelah latihan basket kamu kemana?” kini ada nada menegur keras pada suara Ibu. Dengan tak sabar aku mengemasi gym bag-ku dengan asal, memasukkan kaus oblong, parfum, saputangan handuk, dan botol minum ke dalamnya. “Bu, aku kan latihan basket juga karena bisa kumpul-kumpul dengan teman-temanku setelahnya. Sudah ya bu, aku berangkat dulu,” ujarku mengakhiri pembicaraan. Rupanya Ibu tidak menyukai jawabanku, karena raut wajahnya langsung berubah kesal.

            “Tuh, kan! Sudah Ibu duga, kamu itu kerjaannya main-main melulu. Kamu itu sudah kelas 3 SMA, Din, sudah saatnya fokus sama masa depanmu. Ibu sudah suruh kamu daftar bimbingan belajar sejak bulan lalu, tapi belum juga dikerjakan! Mengejar mimpi itu jangan setengah-setengah!”

            “Ya, ya,” ujarku pendek sambil mencari-cari pasangan sepatu basket biru muda kesayanganku.

            “Kamu juga selalu saja tidur larut malam, bangun kesiangan! Nanti rejekinya dipatok ayam! Mau jadi apa anak gadis kalau tidak pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah…”

            Triiiniiittt! Suara omelan Ibu terpotong oleh dering telepon genggamku. Dengan tergesa-gesa aku meraihnya, dan senyumku mengembang melihat nama yang tertera pada layar. Arjun. Terdapat pesan masuk dan aku membukanya, isinya: Din, gua udh nyampe dpn pager rmh lo. Buruan keluar.

            “Udah dulu ya, bu, aku udah dijemput tuh. Dah Ibu!” teriakku setengah berlari ke arah teras rumah, menulikan telingaku dari omelan-omelan Ibu yang masih dilontarkan beliau kepadaku.

            Sambil berlari-lari kecil aku menghampiri motor ninja yang terparkir manis di depan pagar rumahku. Pemiliknya, Arjun, duduk dengan senyum mengembang sambil menyodorkan helm padaku.

            “Oi, lama banget sih lo! Sibuk dandan ya? Ngapain sih dandan, kan kita mau latihan basket,” ujarnya geli. Aku menimpuk lengannya yang kekar dengan maksud bercanda, namun pukulanku sepertinya lumayan keras juga karena ia lantas meringis kesakitan.

            “Siapa yang dandan!” dengusku. Sebagai anak perempuan yang terbilang tomboy apabila dibandingkan dengan anak-anak perempuan seusiaku, apalagi kesukaanku terhadap olahraga dan membaca mengalahkan creambath dan shopping, aku tidak pernah repot-repot berdandan. Bahkan saat menghadiri pesta pernikahan. “Ibuku ceramah lagi,” ujarku pendek, tak berusaha menyembunyikan rasa jengkelku. Rasa jengkelku semakin bertambah melihat Arjun tertawa ngakak sampai nyaris jatuh dari motornya.

            “Makanya, Adinda,” ujarnya dengan nada sok khidmat, menggunakan nama panjangku, “jadi cewek tuh yang penurut dan anggun! Jangan ninju-ninju orang melulu,” Aku melotot. Arjun menelan ludah lalu buru-buru menyalakan mesin motornya. “Iya, deh, Din, jangan marah dong, gua kan cuma bercanda. Yuk, buruan, kita udah ditunggu nih,”

            DUA  

            Kekesalanku sirna sudah saat kami tiba di lapangan basket SMA 86. Disana sudah berkumpul tim basket putri maupun tim basket putra. Arjun langsung bergabung bersama tim basket-nya, sambil berpesan padaku bahwa ia akan mengantarku pulang nanti. Aku mengangguk, sambil menaruh tasku di bench tim basket putri dan bersiap-siap untuk main.

            Wulan, sahabat terbaikku, sekaligus co-captain tim basket putri, menghampiriku dengan wajah serius. Aku mengikat tali sepatuku dan melakukan beberapa gerakan stretching sambil bertanya, “Kenapa? Kok mukamu bingung banget gitu,”

            “Din, lawan kita berikutnya di final kan SMA Tritunggal, nih,” ujar Wulan memulai pembicaraan. Aku menaikkan alisku. SMA Tritunggal dan SMA-ku sudah lama bersaing dalam bidang olahraga, dan setiap pertandingan basket lapangan pasti penuh dipadati oleh supporter masing-masing sekolah. Sudah bukan rahasia lagi kalau kemenangan melawan SMA Tritunggal merupakan kebanggaan besar bagi sekolah kami karena dengan demikian berarti kami akan menjadi pemenang kejuaraan basket kotamadya selama 3 tahun berturut-turut.

            “Iya, aku tahu, terus kenapa Wul?” tanyaku ringan. Aku tidak takut melawan SMA Tritunggal, apalagi karena aku sudah tahu strategi dan cara bermain tim mereka. “Pelatih minta seluruh tim latihan intens setiap hari sepulang sekolah sampai jam 6 sore,” sambung Wulan, matanya melirik tim basket kami yang sedang berlatih shooting dan lay-up.

            “Aku nggak masalah,” ujarku santai. Hening, tidak ada jawaban dari Wulan, sehingga aku mengangkat kepalaku dan memandangnya penuh tanda tanya. “Aku nggak bisa, Din,” ujar Wulan hati-hati. Aku mengernyitkan dahi. Nggak biasanya Wulan menolak latihan, biasanya dia yang paling tegas soal latihan karena hal ini menyangkut performa tim pada saat pertandingan.

            “Kenapa?” tanyaku menyelidik. Entah mengapa aku punya perasaan tidak enak mengenai hal ini.

            “Mamaku udah daftarin aku bimbel rutin untuk persiapan UN dan seleksi masuk univ, Din,” ujar Wulan pelan, “Aku juga udah ngomong sama pelatih Rina, beliau paham sama kondisiku sekarang. Lagipula kata pelatih Rina, memang sudah saatnya tim basket kita ini regenerasi, Din. Udah banyak bibit-bibit unggul dari adik kelas kita. Aku udah perhatikan gimana mereka main, dan mereka mampu Din,”

            Aku diam selama beberapa saat, mencerna semua informasi ini. Perasaan kesal, bingung, sedih, bercampur aduk menjadi satu. “Jadi, maksudmu, kamu keluar dari tim? Kenapa sekarang, Wul? Tim kita udah jadi tim basket paling hebat diantara SMA-SMA lainnya di kotamadya. Kamu udah nyaman main sama aku, aku juga nggak bisa main sehebat biasanya kalo nggak ada kamu sebagai co-captain. Aku nggak bisa ngelakuin semua ini sendirian sebagai kapten, Wul.”

            “Din, kita udah jadi juara 2 tahun berturut-turut. Sekarang pelatih Rina juga udah mulai menyiapkan pengganti buat posisi kita sebagai kapten dan wakil kapten. Kita nggak selamanya hidup di SMA, Din,” ujar Wulan perlahan, menatap mataku dalam-dalam. Aku menggelengkan kepalaku, “Tapi nggak gitu, caranya, Wul. Ini hobi kita bersama, ya kan? Dari kelas 1 SMA,”

            “Aku suka main basket, Din. Tapi aku juga punya cita-cita yang harus kukejar. Dan selama SMA ini, aku nggak jaga nilai-nilaiku. Aku emang lulus di semua mata pelajaran, tapi nilai-nilaiku biasa aja, Din. Aku nggak sepinter kamu, yang bisa dapet nilai bagus sekaligus latihan basket siang-malam tanpa henti. Karena itu aku harus fokus sekarang, supaya aku bisa masuk jurusan hukum sesuai cita-citaku,” ucap Wulan lirih. Aku menatapnya dalam diam, lalu meraih tasku dari bench dan beranjak pergi. Wulan buru-buru berdiri, dan memanggilku dengan gugup, “Din! Kamu mau kemana?”

            “Aku nggak mood latian hari ini, Wul. Aku bolos dulu ya,” ujarku tanpa menoleh.

            TIGA

            Tanpa mau merepotkan Arjun yang masih berlatih basket dengan semangat, aku menyelinap pergi dan menyetop angkot di depan SMA 86. Sambil melamun dan mendengarkan hiruk pikuk dalam angkutan umum tersebut, pikiranku pun berputar-putar. Aku teringat cita-citaku sedari SMP, yakni menjadi dokter. Keluargaku mendukung penuh cita-citaku, akan tetapi mereka mengajukan persyaratan yaitu aku harus diterima di perguruan tinggi negeri. Alasannya klasik: meringankan biaya yang harus ditanggung oleh Bapak dan Ibu. Abang-abangku sendiri masih belum selesai kuliahnya, sehingga tanggungan mereka masih banyak. Beruntung aku termasuk siswa yang lumayan berprestasi di SMA dan mengharumkan nama tim basket sekolah sehingga mendapatkan beasiswa full. Insiden dengan Wulan barusan menyadarkanku bahwa tidaklah mudah masuk perguruan tinggi negeri, apalagi dengan jurusan yang kuinginkan.

               Pertanyaannya sekarang: apakah aku masih menginginkannya? Perjuanganku seakan terhenti menjelang naik kelas 2 SMA. Semangat berapi-api yang berkobar kala menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di jenjang SMA perlahan berganti dengan keasyikan melakukan berbagai hal lain: basket, organisasi, hangout, pacaran diam-diam dengan Arjun, pokoknya menikmati masa-masa SMA seperti remaja pada umumnya. Aku menghela napas, dan turun dari angkutan umum yang berhenti di depan kompleks perumahanku. Cepat-cepat aku berjalan menuju rumahku lalu masuk diam-diam ke kamar, menghindari tatapan heran Ibu.

               EMPAT

              Aku membelalakkan mataku tak percaya di depan papan pengumuman hasil Try Out Ujian Nasional. Adinda Putri Pratiwi, demikian namaku, tercantum di urutan ketiga. Peraih nilai tertinggi ketiga jurusan IPA! Padahal biasanya paling banter aku masuk 20 besar. Nyaris 10 besar, sih, sekitar peringkat 11 atau 12. Rupanya jam-jam yang kuhabiskan untuk mengulang pelajaran sepulang latihan basket yang gagal kemarin tidak sia-sia.

             “Wah Din, kesambet apa lo?” suara kaget Arjun terdengar di belakangku. Tubuhnya yang lebih tinggi daripadaku otomatis memberikannya pandangan lebih jelas, dan aku mendorongnya kedepan dengan tidak sabaran, “Jun, coba kamu liat lagi deh! Itu beneran nggak sih namaku? Jangan-jangan Putri lagi maksudnya,” kataku setengah tertawa. Putri adalah temanku yang super alim dan super rajin, yang catatannya selalu dipinjam Arjun.

            “Ya nggaklah! Putri nya bukan Putri dia kali, tapi Adinda Putri, cewek gua,” sambung Arjun sambil ngakak-ngakak. Tapi senyumnya selebar samudra. Aku tertawa kecil, sambil mengamati kerumunan di sekitarku. Terlihat olehku Wulan, sedang mencari-cari namanya di deretan papan pengumuman jurusan IPS. Aku mulai berjalan ke arah sahabatku, sambil menoleh pada Arjun, “Eh aku mau ngomong sebentar sama Wulan, Jun,”

            Arjun mengangguk sambil mengacungkan jempolnya, “Gua tunggu lo kantin, Din! Es kelapa sama siomay menunggu lo, gua yang traktir deh buat merayakan keberhasilan ini, hehehe. Eh tapi ngomong-ngomong, bilang-bilang dong kalo lo mau rajin, kan gua jadi malu nih, cewek gua di urutan ketiga sedangkan gua 30, hahahaha,”

          “Ih kamu malu-maluin banget sih!” aku meringis, “Sana belajar, jangan main basket melulu!”

          Arjun meleletkan lidahnya, “Yee, lo sekarang jadi mirip Ibu lo, Din!”

          Ibu. Aku lantas teringat pada perempuan paruh baya yang selama ini nasihatnya selalu kuabaikan. Yang selalu membuatku jengkel setengah mati dengan segudang ceramahnya. Namun sekarang aku yakin, beliau pasti tersenyum melihat laporan hasil Try Out-ku.

          LIMA

         Empat bulan telah berlalu semenjak aku membawa pulang hasil Try Out perdanaku ke rumah dan memperoleh sambutan antusias dari keluargaku. Kini kami semua sedang dalam euforia setelah membuka pengumuman di situs website seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pengorbananku keluar dari tim basket, belajar bersama Wulan, dan menolak sementara ajakan-ajakan Arjun untuk hangout dan nonton film (yang terakhir ini menuai protes keras dari Arjun, tapi untungnya dia bisa mengerti) terbayar lunas sudah.

         Aku berhasil masuk jurusan Kedokteran yang kuidam-idamkan di sebuah universitas negeri yang sangat terkenal di daerah Yogyakarta. Wulan berhasil masuk jurusan Hukum di universitas negeri pula di Bandung, dan belum-belum aku sudah kangen padanya. Dia berangkat duluan untuk daftar ulang dan mencari tempat kosan. Aku mengingatkan dirinya untuk cepat-cepat balik ke Jakarta, dan menghabiskan waktu bareng sebelum benar-benar pisah nantinya. Arjun masuk universitas swasta yang tak jauh dari SMA 86, jurusan arsitektur. Dia selalu menyombongkannya di depanku, dan mengucapkan janji-janji yang membuatku malu, contohnya: ‘Din, proyek pertama gua nantinya adalah desain rumah kita berdua.’ Ditambah dengan senyuman jailnya, perkataannya itu lantas membuatku memekik spontan, ‘Apaan, sih!’

        Setelah menerima pengumuman seleksi yang menghebohkan itu, dan setelah euforia yang ditimbulkan sebagai akibatnya sedikit mereda, aku menghampiri Ibu. Ibuku yang biasanya tegas dan tanpa kompromi itu tengah menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kujelaskan. Ada rasa haru, bahagia, dan kebanggaan di dalamnya. Aku memeluk Ibu erat-erat, mataku berkaca-kaca. Perlahan dengan lirih kuucapkan, "Terimakasih Ibu atas semua nasihat Ibu, memang pada awalnya aku nggak ngerti dan nggak suka, tapi sekarang aku sadar, semuanya cuma untuk kebaikanku sendiri,”

        Merasakan anggukan kepala Ibu dalam pelukanku, aku pun tersenyum simpul.  

 

 

 

Tags: Romance

How do you feel about this chapter?

0 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A Ghost Diary
5745      1979     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Me vs Skripsi
4282      1704     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Love and Pain
660      413     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
IMPIANKU
29484      5010     14     
Mystery
Deskripsi Setiap manusia pasti memiliki sebuah impian, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya itu. Walau terkadang suka terjebak dengan apa yang diusahakan dalam menggapai impian tersebut. Begitu pun yang dialami oleh Satria, dalam usaha mewujudkan segala impiannya, sebagai anak Broken Home. Walau keadaan keluarganya hancur karena keegoisan sang ayah. Satria mencoba mencari jati dirinya,...
Paragraf Patah Hati
6216      2143     2     
Romance
Paragraf Patah Hati adalah kisah klasik tentang cinta remaja di masa Sekolah Menengah Atas. Kamu tahu, fase terbaik dari masa SMA? Ya, mencintai seseorang tanpa banyak pertanyaan apa dan mengapa.
Rindumu Terbalas, Aisha
594      423     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
Putaran Roda
611      420     0     
Short Story
Dion tak bergeming saat kotak pintar itu mengajaknya terjun ke dunia maya. Sempurna tidak ada sedikit pun celah untuk kembali. Hal itu membuat orang-orang di sekitarnya sendu. Mereka semua menjauh, namun Dion tak menghiraukan. Ia tetap asik menikmati dunia game yang ditawarkan kotak pintarnya. Sampai akhirnya pun sang kekasih turut meninggalkannya. Baru ketika roda itu berputar mengantar Dion ke ...
Le Papillon
3665      1520     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Moment
363      314     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
Today, After Sunshine
1936      839     2     
Romance
Perjalanan ini terlalu sakit untuk dibagi Tidak aku, tidak kamu, tidak siapa pun, tidak akan bisa memahami Baiknya kusimpan saja sendiri Kamu cukup tahu, bahwa aku adalah sosok yang tangguh!