Sekembalinya aku ke Ibukota, tak banyak yang berubah dari kota ini. Setiap sudut kota ini masih mampu membawaku pada sejumlah kenangan yang melekat. Kepergianku dua tahun lalu ketika memutuskan untuk melakukan pengabdian mengajar di luar pulau, bukanlah tanpa alasan yang kuat. Tentu saja aku sangat senang dapat merasakan indahnya dunia mengajar. Semua orang-orang disekelilingku tak percaya, ketika aku si anak manja ini memutuskan untuk mengabdi selama dua tahun di luar pulau. Mereka hanya sekadar tahu bahwa alasanku ingin menjelajah tempat, menjadi sosok yang mandiri dan alasan yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
--
Kini aku sudah berada kembali di kamarku, merebahkan diri sembari menatap berbagai tulisan impian yang tertempel di dinding kamar. Aku tahu setelah selesainya masa pengabdianku, aku harus bersiap atas segala kemungkinan pertemuan yang mungkin dapat terjadi antara aku dengannya.
--
Farez, seperti itu aku memanggilnya. Ia adalah sosok teman yang selalu menemaniku. Aku dan Farez adalah teman satu jurusan, banyak orang yang mengira bahwa aku dan Farez sudah kenal sejak lama. Padahal kami berdua baru akrab setelah dua tahun masa perkuliahan dijalani. Aku masih selalu ingat setiap detail permulaan kami berdua bisa menjadi seorang teman dekat.
Bagiku Farez adalah salah satu sosok terbaik dalam hidupku, ia selalu ada disaat tersulit sekalipun. Aku pernah mendengar bahwa memang tak ada pertemanan yang murni antara pria dan wanita. Ketika itu aku tak setuju dengan pernyataan tersebut, buktinya saja aku dan Farez bisa berteman tanpa ada perasaan saling jatuh cinta di dalamnya.
Namun ternyata waktu sepertinya ingin membuktikan bahwa anggapanku justru salah. Perasaanku berubah padanya, tiba-tiba saja aku merasa canggung berada di dekatnya. Marah bila ia dekat dengan wanita lain. Aku benar-benar merasa khawatir atas segala perasaan ini, merasa tidak siap atas segala kemungkinan patah hati yang akan kuterima.
Aku memang bodoh, perlahan aku mulai menjaga jarak dengan Farez. Aku tak akan mampu untuk menyatakannya pada Farez yang selalu saja tertawa mendengar hal-hal kecil yang kubicarakan padanya. Aku tak akan mampu membayangkan perasaanku tak terbalas. Sungguh, perasaan kalutku kala itu, membuatku memilih untuk menjauh darinya. Tanpa sepatah katapun aku pergi darinya.
--
Beberapa hari setelah kembali ke Jakarta, aku memutuskan untuk bertemu dengan teman-temanku. Berkumpul bersama, berbagi lika-liku kehidupan yang dijalani. Tak ada satupun dari mereka yang membahas mengenai Farez, sepertinya mereka sangat paham bahwa hal apapun yang berkaitan dengannya bisa membuatku bersedih.
Setelah pertemuan tersebut, aku memutuskan untuk pergi ke toko buku. Toko buku tersebut cukup ramai. Aku berkeliling toko buku, membaca beberapa sinopsis novel yang menarik perhatianku. Pikiranku sedang terfokus pada novel yang ada dihadapanku.
‘’Shera...’’ suaranya terdengar tercekat, tapi suara itu sungguh tidak asing bagiku.
Aku terdiam beberapa saat, mematung dan meyakinkan diri sosok yang ada didepanku saat ini.
‘’Farez....’’ aku membalasnya sembari tersenyum lirih.
Ia masih sama seperti terakhir aku bertemu dengannya, wajah teduhnya membuatku ingin mendekapnya, mengatakan maaf atas segala kebodohanku selama ini. Sialnya aku adalah wanita cengeng. Air mata menggenang dipelupuk mataku.
Aku tak tahu, pertemuan ini akan berakhir dengan membahagiakan atau justru membuat hatiku menerima kenyataan untuk terluka.
😊 sedih kak...