Ruang kelas telah sepi, semua penghuninya telah meninggalkan sejak sejam yang lalu. Lampu yang awalnya telah dimatikan, kini kembali ku nyalakan. Hanya aku yang masih setia menduduki bangku. Semua temanku memilih segera pulang, tetapi aku bertahan di tempat.
Aku duduk bersandar di bangku paling depan. Sebuah novel fantasi yang tebal menutup seluruh wajahku. Rambut hitamku yang panjang tergerai menyembunyikan kedua daun telingaku. Sepasang bola mataku memang terpaku pada lembar buku, namun tak dapat aku pungkiri jika pikiranku melayang kemana-mana.
Bertahan selama beberapa menit dengan posisi yang sama, akhirnya aku menyerah. Aku menutup cepat buku di tangan. Ponsel yang sedari tadi mendekam di saku depan ku keluarkan. Mataku menyepit saat ku tekan tombol lock pada benda pipih itu. Layar 5 inch yang menyala tak menunjukkan adanya notifikasi tertera.
Aku mengerutkan kening, aku tak habis pikir kenapa ponselku tak berdering sekalipun. Padahal aku telah membuat janji tiga jam lalu, seharusnya ponsel ini telah berbunyi setidaknya satu kali. Langit semakin menggelap, jam yang melingkar di tanganku menunjuk pukul empat lewat. Berarti sudah satu jam aku menunggu.
Ku letakkan benda pintar itu ke atas meja. Bibirku mendesah pelan, sampai berapa lama lagi aku harus menunggu?
"Kemana kamu?" tanyaku pada layar ponsel yang memperlihatkan foto orang yang sedari tadi ku tunggu.
Cukup.
Bagi diriku, Pasha Pricilla Gunawan, menunggu adalah hal yang paling menyebalkan. Segera ku bereskan barang-barangku dan pergi meninggalkan ruang kelas. Tak peduli lagi dengan janji yang aku buat. Toh, dia juga tak berusaha menepatinya.
"Hei!"
Baru beberapa langkah aku bergerak, tiba-tiba terdengar suara yang sedari tadi pemiliknya aku tunggu. Aku menoleh dan melipat kedua tanganku di dada.
"Kemana saja kamu?"
Dia menatapku datar. Saking datarnya aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
"Kebetulan," ucapnya tanpa sedetikpun berpaling dari wajahku.
Aku menaikkan alisku. "Apa maksudmu?"
Bibirnya tak langsung menjawab. Ia mendorong pintu kelas yang sudah ku tutup, tampak ia memasuki ruangan itu dan duduk di bangku yang sama tadi ku tempati.
"Katanya mau mengobrol, mengapa kamu di luar?"
Aku mengangkat wajah dan kemudian memandang wajahnya yang menyebalkan. Jika bukan karena aku mencintainya, aku takkan sudi menuruti. Aku masuk ke ruangan itu, dia, Yuan Chandra lelaki yang setahun ini menghuni hatiku. Dia berkulit sedikit kecokelatan dengan tinggi yang terbilang lumayan. Yuan manis yang berambut hitam, bermata hitam bulat, dan berhidung mancung itu adalah teman seangkatanku. Keberanian dan kenakalannya membuat lelaki itu menjadi pentolan di SMA Kencana – sekolahku sekarang ini.
Aku berdiri di depan meja tempat ia duduk. Sedikitpun aku tak berniat untuk berlama-lama disini. Aku tengah marah kepadanya, perlakuannya, sifatnya, dan juga sikapnya akhir-akhir ini membuatku geram. Oh, aku melupakan satu hal dimana aku baru saja menunggu dia selama satu jam.
"Ada yang ingin aku bicarakan," ucapnya sembari memainkan ponsel.
Aku menatapnya lekat-lekat. Matanya yang tajam seperti menusukku meski sepenuhnya mengarah ke ponsel.
"Aku juga," ucapku tak kalah dingin.
"Aku mau kita sampai disini."
Boomb.
Apa aku tidak salah dengar? Setelah setahun ia menetap di hati, kini dengan mudahnya dia pergi. Mengucapkan sederet kalimat yang menyeruak hati. Dimana letak salahku? Seharusnya aku yang melakukan itu, aku yang memarahinya, mengeluarkan segala perasaan yang selama ini aku pendam hanya demi sebuah hubungan.
Semula ku kira pertemuan ini akan menjadi titik terangku dengannya. Aku mengira kami akan baik-baik saja sebab semua telah ku bicarakan. Tetapi, itu hanya perkiraan hati dan otakku. Ternyata waktu dan takdir berkata lain, dia menyerah sebelum benar-benar memperjuangkanku.
Hujan mendadak turun.
Angin bertiup kencang.
Apakah ini ungkapan semesta untuk kesedihanku? Niatku untuk membenahi berubah menjadi tersakiti. Inginku bertahan berubah menjadi kesakitan. Cairan bening yang membasahi pipi tak dapat mengubah keadaan. Dia, dengan segala kemenangannya pergi meninggalkan luka.
Aku menangisi diriku yang bodoh.
Jika sejak awal enggan untuk memperjuangkan, mengapa dia selalu memintaku untuk memulai suatu hubungan?
Ratusan pertanyaan mengantre dalam pikiranku. Punggungnya perlahan menghilang bersama setiap kenangan manis yang berputar ulang di ingatan.
Apakah mencintai harus sesakit ini, Yuan?
ceritamu menarik menurutku dan cara kamu menceritakan juga enak banget, mengalir gitu bacanya. Aku bahkan sampai terbawa perasaan waktu tokoh dalam ceritamu diputusin. cuma tadi aku lihat ada sedikit typo di bagian prolog.
Comment on chapter BAB Isemangat ya buat lanjutin dan kamu juga boleh loh kasih saran ke ceritaku terima kasih