"Penyesalan; dia akan hadir sedetik setelah semuanya berakhir."
Aku menegadahkan kepala. Mendung. Tetes air jatuh dari atap langit.
"Ah," keluhku sembari menyentuh dada. Rasa sakit itu menekan hingga ulu hati.
Perlahan kugeser bola mata. Merayapi gundukan tanah merah dan sebuah batu nisan. Senyumku tersungging getir. Nama itu tak pernah kuduga akan tercetak di sana. Nama yang tiga hari lalu kuteriakan dengan rasa benci. Nama yang sempat kuhapus dari puluhan kontak di ponselku.
Sudah tiga hari berturut-turun aku datang kemari, sudah tiga hari pula asupan gizi tak tercerna badan. Kurutuki egoku, sempat menyalahkan takdir yang digariskan, bahkan mencemooh pengakhiran yang datang di saat tak tepat.
"Andai aku bisa kembali ke masa lalu ... aku ingin melepasmu dengan rasa cinta. Maafkan aku Ardi," ujarku penuh penyesalan.
Kuusap batu nisan itu. Kuseka air mata sembari menegakkan badan. Saat hendak melangkah pergi, kepalaku berdenyar-denyar. Telingaku berdenging. Setelah itu bayangan hitam datang dengan cepat dan meringkus kesadaranku.
Aku tidak bisa merubah takdir. Namun, jika takdir memberiku satu kesempatan, akan kuakhiri takdir tanpa penyesalan.
Kringggg!
Suara alarm jam membangunkanku. Napasku memburu. Kupendarkan pandangan ke sekitar. Kamarku? Bagaimana aku bisa berakhir di sini? Bukankah terakhir kali yang aku ingat, aku pingsang di makam Ardi?
"Ardi!" Nama itu kusebut bersamaan dengan jantung yang berdetak hebat.
Kuraih ponsel dari atas nakas. Pukul tujuh malam. Tanggal 14 februari. Hari di mana Ardi kecelakaan.
"Ya, Tuhan ... aku kembali ke masa lalu."
Sempat tak percaya. Namun, jika aku benar-benar kembali ke masa lalu, berarti Tuhan memberiku kesempatan untuk meminta maaf dan mencegah kecelakaan itu.
Bergegas aku turun dari ranjang, yang kukenakan masih piyama dan aku tak terlalu peduli. Sebuah taksi kuhentikan saat aku sudah berada di depan rumah.
"Taman kota," pintaku pada sopir taksi.
Kuamati jam di ponsel. Kecelakaan yang terjadi pada Ardi diperkirakan pukul 19.15. Syukurlah, taman kota tak terlalu jauh dari rumah. Anehnya, aku tak bisa menghubunginya. Ponselku tak bisa beralih dari mode beranda.
Taksi yang kutumpangi berhenti. Aku turun dan segera berlari mengitari sekeliling taman. Aku tak tahu di mana tepatnya kecelakaan itu terjadi.
"Ardi, kamu di mana," gumamku putus asa.
Napasku tersengal-sengal. Telapak kakiku sakit karena tak beralas. Ketika aku tak kuat lagi berlari, secara tak sengaja kudapati sosoknya berdiri di tepi jalan. Ardi memegang sebuah kotak berwarna merah. Senyumnya lesu.
"Ardi!" teriakku. Namun dia tak mendengar.
Kuputuskan menghampirinya. Sayangnya, langkah kakiku terhenti di ujung jalang tepat di seberangnya. Ardi melihatku, senyum lesunya beralih sumringah.
Aku ingin memeluknya. Namun, kakiku seperti terpasak ke bumi. Ah, apakah hanya sampai batas ini aku bisa menjamahnya?
Dengan segala keputus asaan, kuteriakan kalimat itu, "Ardi! Maafkan aku!"
"Apa Luna, aku tidak mendengarmu?"
"Ardi aku minta maaf."
Ardi tersenyum makin lebar. "Aku juga! Aku minta maaf."
"Ardi! Aku mencintaimu!" ujarku.
"Aku mencintaimu Ardi," ulangku.
"Aku juga mencintaimu, Lu--"
Di penghujung namakulah, nyawanya terenggut. Sebuah truk yang datang dari arah kiri dengan kecepatan tinggi, menabrak tubuhnya. Aku terkesiap, kakiku melunak hingga membuatku terduduk di tanah. Anyir darah terbawa angin merasuki hidung. Ardi pergi bersama senyum yang menghiasi wajahnya. Dan, aku melepasnya dengan cinta.
@Kang_Isa bisa melow jga si akang,,, hihih