Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Last Ecounter
MENU
About Us  

                                                                                                "Penyesalan; dia akan hadir sedetik setelah semuanya berakhir."

Aku menegadahkan kepala. Mendung. Tetes air jatuh dari atap langit.

"Ah," keluhku sembari menyentuh dada. Rasa sakit itu menekan hingga ulu hati.

Perlahan kugeser bola mata. Merayapi gundukan tanah merah dan sebuah batu nisan. Senyumku tersungging getir. Nama itu tak pernah kuduga akan tercetak di sana. Nama yang tiga hari lalu kuteriakan dengan rasa benci. Nama yang sempat kuhapus dari puluhan kontak di ponselku.

Sudah tiga hari berturut-turun aku datang kemari, sudah tiga hari pula asupan gizi tak tercerna badan. Kurutuki egoku, sempat menyalahkan takdir yang digariskan, bahkan mencemooh pengakhiran yang datang di saat tak tepat.

"Andai aku bisa kembali ke masa lalu ... aku ingin melepasmu dengan rasa cinta. Maafkan aku Ardi," ujarku penuh penyesalan.

Kuusap batu nisan itu. Kuseka air mata sembari menegakkan badan. Saat hendak melangkah pergi, kepalaku berdenyar-denyar. Telingaku berdenging. Setelah itu bayangan hitam datang dengan cepat dan meringkus kesadaranku.

Aku tidak bisa merubah takdir. Namun, jika takdir memberiku satu kesempatan, akan kuakhiri takdir tanpa penyesalan.

Kringggg!

Suara alarm jam membangunkanku. Napasku memburu. Kupendarkan pandangan ke sekitar. Kamarku? Bagaimana aku bisa berakhir di sini? Bukankah terakhir kali yang aku ingat, aku pingsang di makam Ardi?

"Ardi!" Nama itu kusebut bersamaan dengan jantung yang berdetak hebat.

Kuraih ponsel dari atas nakas. Pukul tujuh malam. Tanggal 14 februari. Hari di mana Ardi kecelakaan.

"Ya, Tuhan ... aku kembali ke masa lalu."

Sempat tak percaya. Namun, jika aku benar-benar kembali ke masa lalu, berarti Tuhan memberiku kesempatan untuk meminta maaf dan mencegah kecelakaan itu.

Bergegas aku turun dari ranjang, yang kukenakan masih piyama dan aku tak terlalu peduli. Sebuah taksi kuhentikan saat aku sudah berada di depan rumah.

"Taman kota," pintaku pada sopir taksi.

Kuamati jam di ponsel. Kecelakaan yang terjadi pada Ardi diperkirakan pukul 19.15. Syukurlah, taman kota tak terlalu jauh dari rumah. Anehnya, aku tak bisa menghubunginya. Ponselku tak bisa beralih dari mode beranda.

Taksi yang kutumpangi berhenti. Aku turun dan segera berlari mengitari sekeliling taman. Aku tak tahu di mana tepatnya kecelakaan itu terjadi.

"Ardi, kamu di mana," gumamku putus asa.

Napasku tersengal-sengal. Telapak kakiku sakit karena tak beralas. Ketika aku tak kuat lagi berlari, secara tak sengaja kudapati sosoknya berdiri di tepi jalan. Ardi memegang sebuah kotak berwarna merah. Senyumnya lesu.

"Ardi!" teriakku. Namun dia tak mendengar.

Kuputuskan menghampirinya. Sayangnya, langkah kakiku terhenti di ujung jalang tepat di seberangnya. Ardi melihatku, senyum lesunya beralih sumringah.

Aku ingin memeluknya. Namun, kakiku seperti terpasak ke bumi. Ah, apakah hanya sampai batas ini aku bisa menjamahnya?

Dengan segala keputus asaan, kuteriakan kalimat itu, "Ardi! Maafkan aku!"

"Apa Luna, aku tidak mendengarmu?"

"Ardi aku minta maaf."

Ardi tersenyum makin lebar. "Aku juga! Aku minta maaf."

"Ardi! Aku mencintaimu!" ujarku.

"Aku mencintaimu Ardi," ulangku.

"Aku juga mencintaimu, Lu--"

Di penghujung namakulah, nyawanya terenggut. Sebuah truk yang datang dari arah kiri dengan kecepatan tinggi, menabrak tubuhnya. Aku terkesiap, kakiku melunak hingga membuatku terduduk di tanah. Anyir darah terbawa angin merasuki hidung. Ardi pergi bersama senyum yang menghiasi wajahnya. Dan, aku melepasnya dengan cinta.

 

Tags: ffwc2

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 1
Submit A Comment
Comments (10)
Similar Tags
NEELAKURINJI
1231      705     27     
Short Story
Jika aku tak lebih dari seorang penunggu waktu, maka apa bedanya aku dengan seorang peramu rindu diatas penantian yang semu?
No One But You
403      261     5     
Short Story
Sudah seminggu sejak Bram dan Rokku menghubungiku untuk mengajakku kembali tampil bersama mereka. Ya, aku tahu aku keterlaluan dengan secara tiba-tiba menghilang dari Raven Band sejak dua tahun lalu. Tapi itu semua kulakukan bukan tanpa alasan.
134340
633      382     3     
Short Story
"Pada suatu waktu, aku pernah menjadi bagian dari mentari..." "Aku masih akan berkeliaran di sekitarmu tanpa ada yang berubah kecuali perasaan yang dulu kusebut cinta sama seperti Pluto yang dibuang dari solar sistem dan akan selalu berputar mengelilingi matahari..."
Secangkir Kopi dan Sajak Hujan
1892      1163     6     
Short Story
"Secangkir kopi dan gerimis merayakan kesepian. Berembunlah kaca jendela, kulihat kita bertahan di dingin air mata yang sama."
Mungkin
612      353     5     
Romance
Mungkin dia datang.. Atau mungkin dia hanya menghampiri, Hampir datang. -Karena terkadang kenyataan tak seindah mimpi-
Dia yang Bukan Aku
430      306     0     
Short Story
“Berhentilah menganggap aku tak bisa menafsirkan aksara yang kau rangkai untuk dia.”
Perayaan Patah Hati
513      351     2     
Short Story
Satu, dua, hingga 730. Aku terus menghitung hari yang terlewati setelah kaupatahkan hati. Di bawah langit sore ini, bibirku memulas senyuman. Bukankah luka yang menemani manusia mendewasa?
Hujan Terakhir Bersamamu
329      247     1     
Short Story
"Kamu tak punya alasan untuk tidak menyukai hujan," katamu waktu itu. Namun sekarang aku punya banyak alasan untuk membencinya.
Te Amo
458      313     4     
Short Story
Kita pernah saling merasakan titik jenuh, namun percayalah bahwa aku memperjuangkanmu agar harapan kita menjadi nyata. Satu untuk selamanya, cukup kamu untuk saya. Kita hadapi bersama-sama karena aku mencintaimu. Te Amo.
Sampai Kita Bertemu Nanti
239      200     1     
Short Story
Aku sering berpikir bahwa perpisahan adalah salah satu hal yang menyakitkan. Namun, setelah kualami, perpisahan adala salah satu proses perubahan yang membuat kita tetap hidup. Maka, inilah perpisahanku.