Read More >>"> The Hidden Kindness (1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Hidden Kindness
MENU
About Us  

Gadis itu baru saja banting setir menjadi seorang pustakawan di sebuah sekolah terkenal seantero Incheon. Namun siapa sangka, tidak hanya menjadi seorang pustakawan disana, memecahkan kasus yang tiba-tiba menimpanya menjadi pekerjaan tambahan. Terlebih dia selalu mendapat teror yang menyuruhnya untuk menjauhi partner kerjanya di perpustakaan. Belum lagi bocah ingusan yang tiba-tiba datang mengusik hari-harinya di sekolah. 

 

Bocah menengah atas menyukai seorang gadis yang lebih tua? Heol, mungkin teman-temannya akan mengatakan dia sudah gila. Terlebih bocah itu adalah anak dari pemilik yayasan. Tampan meski yah suka brutal dan ruang BK sudah menjadi asupan sehari-hari. meski begitu, bocah itu sama sekali belum pernah pacaran, lho! Sekalinya menyukai seseorang, malah yang lebih tua. Tapi kenapa sulit sekali mendekati, terlebih gadis itu lebih sering menempel dengan partner kerjanya di perpustakaan?

                                                                                                        .

                                                                                               Yoo Jungyeon 

                                                                                               Hwang Hyunjiin 

                                                                                               Kim Jinhwan 

                                                                                               Kim Yeri

.

“Mungkin aku akan pulang telat, kau bisa panaskan makanan sisa semㅡ”

“Ya ya yaㅡsudah sana berangkat, hari ini kan hari pertama eonni kerja”

Yoo Jungyeonㅡsang kakakㅡhanya tersenyum tipis kemudian mengambil tasnya lalu beranjak menuju rak sepatu. Memakai kaus kaki serta sepatu dengan tergesa sebelum mengecek jam tangan kelamnya.

 “Doakan aku, semoga hari pertama kerjaku berjalan mulus, Yoobin-ah” Jungyeon berbalik setelah semuanya siap. Menatap penuh harap pada gadis yang duduk di ujung sana dengan memegang semangkuk nasi. Beralih dari ponselnya, Bae Yoobin tersenyum dan membuat gestur tangan seolah mengusir kakak tirinya.

“Iya iya, sudah pergilah. Jangan sampai terlambat, sekarang hari senin”

“Kau juga jangan terlalu santai, sudah jam 6 lewat ini” kata Jungyeonㅡmulai sebal melihat Yoobin yang malah sibuk dengan ponselnya. Bahkan sarapan masih tersisa banyak.

“Iya sebentar lagi” balas Yoobin tanpa melihat Jungyeon lagi.

“Jangan lupa kunci pintu”

“Hooh,”

BLAAAMM

Dan akhirnya Jungyeon pun meninggalkan flat dengan berat hati. Iya, melihat adik tirinya santai begitu membuat mood Jungyeon pagi ini jadi tak karuan.

Fyi, Jungyeon dan Yoobin ini adalah saudara tiri beda ayah. Yoobin masih duduk di kelas 3 menengah atas. Sayang sekali ayah mereka meninggal dua tahun lalu yang membuat Yoobin sebagai punggung keluarga pengganti sang ayah, harus meninggalkan kampung halaman untuk mencari kerjaan diluar kota. Ayah mereka meninggal lantaran depresi setelah ibu Yoobin pergi secara mendadak. Dicari kemanapun, wanita paruh baya itu tak ditemukan meski sudah lapor pada polisi.

Ibu Jungyeon yang tak sudi menampung Yoobin di rumahnya pun menyuruh Jungyeon untuk membawa adik tirinya. Awal terasa berat karena harus menghidupi dua orang, tapi mau bagaimana lagi. Ibunya itu benar-benar membenci sang istri kedua dan juga anak yang dihasilkannya.

Setelah pindah, beruntunglah Yoobin bisa mendapat pekerjaan layak menjadi seorang akuntan di sebuah bank. Hanya saja tidak berlangsung lama karena adanya kesalahan yang sungguhㅡmenurut Jungyeon tak masuk akal. Dirinya merasa dibodohi dan difitnah oleh salah seorang pegawai disana. meski sudah terbukti tak salah pun, Jungyeon mesti harus angkat kaki.

Dua bulan menganggur, sembari mencari kerja kesana-kemari. Awal menjadi pustakawan tak pernah terpikir sama sekali. Salah satu teman kuliah Yoobin yang merupakan alumni SVT High School menawari Jungyeon untuk menjadi pustakawan disana. sempat ragu sih, tapi pekerjaan disana bukanlah paruh waktu yang artinya, gaji yang diberikan juga tidak cuma-cuma.

Lumayan daripada lelah bolak-balik keluar rumah tapi tak ada hasil.

Begitulah pikirnya saat itu. yah, semoga saja karena hasil paksaan ini tidak mendatangkan bencana besar nantinya disana.

.

SVT High School

Jungyeon sempat berdecak kagum melihat tiga gedung besar berjejer rapi di hadapannya. Atensi kemudian beralih pada anak-anak yang memadati halaman sekolahㅡmelangkah beriringan menuju kelas masing-masing.

Hah, jadi ingat masa sekolah dulu. Aku jadi kangen.

Tatapan haru pun mengganti rasa kagum pada sekolah itu. akhirnya tepat jarum panjang mengarah diantara angka 6 dan 7, Jungyeon bergabung dengan lautan anak-anak sekolah dan melangkah mantap menuju lobi.

Bermodalkan setelan yang membuatnya percaya diriㅡrok span hitam kelam dengan jas yang senada, dalaman kemeja kancing berwarna navy dan juga sepatu dengan hak kira-kira 8 cm yang sempat membuat kaki keram di awal pemakaianㅡJungyeon menghampiri meja piket. Disana sudah ada seorang wanita paruh bayaㅡtidak terlalu tua dan juga tidak terlalu mudaㅡmemandang heran Jungyeon yang memasang senyum ramah.

“Halo, selamat pagi! Aku Yoo Jungyeon, pustakawan baru disini” salamnya seraya membungkuk 90 derajat. Wanita yang jika dilihat dari nametagnyaㅡChoi Sooyoungㅡhanya bergumam “aahh~!” sembari mengangguk paham.

“Iya, kudengar disini merekrut seorang penjaga perpustakaan. Ternyata kau orangnya”

Senyum ramah yang sempat diberikan mendadak buram mendengar kata ‘penjaga perpustakaan’. Anuㅡbukan apa-apa, yah meski sedikit gengsi karena pustakawan sama saja dengan perpustakaan, tapi Jungyeon bersikukuh untuk membantah hal itu setelah belajar dari situs Naver.

Makanya buru-buru Jungyeon memberi klarifikasi secara halus agar Sooyoung tak tersinggung. Kan bahaya kalau belum apa-apa sudah membuat first impression yang buruk.

“Maaf, mungkin maksudnya pustakawan” Jungyeon nyengir tipis. Tapi wanita itu hanya menganggap enteng.

“Sama saja, setahu saya pustakawan itu kan sama sajaㅡsama-sama menjaga perpustakaan”

Diam sebentar, bibir tertutup rapat mendengar opini Sooyoung. Daripada terus-terusan membahas pustakawan dan penjaga perpustakaanㅡyang sungguh, membuatnya jengkelㅡlebih baik Jungyeon mengalihkan topik.

“Kalau begitu, saya bisa bertemu dengan wakil kepala sekolahnya mungkin?”

“Oh iya, mari ikut saya”

Kembali tersenyum lebar, Jungyeon pun mengikuti Sooyoung dari belakang sebelum wanita itu menitip meja piket pada seorang office boy.

Selama perjalanan menuju ruang wakil kepala sekolah yang berada di gedung sayap barat, Jungyeon tak henti berdecak kagum melihat suasananya terlebih fasilitas yang diberikan sekolah itu. Teman seperjuangan semasa masa kuliah memang berasal dari latar belakang keluarga yang tak main-main. Pendidikan yang tinggi dan kekayaan pun melimpah tujuh turunan.

Sepertinya, Jungyeon harus banyak mengatakan terima kasih padanya karena sudah memberikan pekerjaan yangㅡmeskipun seorang pustakawanㅡtapi begitu melihat sekolahnya, sudah tahu berapa gaji yang akan diterima.

Setelah menaiki tangga satu kali, keduanya tiba di depan ruang wakil kepala sekolah. Sooyoung lebih dulu masuk sebelum mengetuk pintu. Terdengar suara seorang wanita dari dalam yang Jungyeon yakin adalah wanita tempo hari saat ia melakukan wawancara.

“Penjaga perpustakaan yang baru sudah disini, wakil Im” kata Sooyoung ramah. Wanita yang duduk di bangku besar itu hanya tersenyum dan mempersilahkan Jungyeon untuk masuk.

Jungyeon membungkuk 90 derajat kemudian duduk setelah dipersilahkan. Sooyoung beranjak keluar dan saat itu juga Im Yoonaㅡselaku wakil kepala sekolahㅡlangsung menyerahkan tangan cantiknya untuk bersalaman.

“Kita bertemu lagi, ya? Bagaimana perasaanmu kerja hari pertama disini?”

“Aku senang bisa bertemu dengan anda lagi, dan sungguh aku sangat senang bisa menginjakkan kakiku lagi disini” Jungyeon tersenyum canggung, merapikan sedikit rambut pendeknyaㅡkebiasaan saat gugup.

“Eii, jangan sungkan. Kau sudah menjadi bagian keluarga yayasan ini. Jadi kau tak perlu canggung dan bersikap biasa saja” ujar Yoona sembari mengipaskan tangannya. Membalas senyuman tipis, Jungyeon tak tahu harus bicara bagaimana lagi.

Lalu Yoona beranjakㅡmengajak Jungyeon untuk langsung ke perpustakaan.

“Bagaimana kalau kita langsung ke tempat kerjamu? Mumpung masih pagi”

Buru-buru Jungyeon ikut bangun dan hanya mengatakan, “ah iya, tentu saja!”

Yoona hanya tersenyum manis kemudian keduanya keluar dari ruang wakil kepala sekolah. Melangkah beriringan menuju perpustakaan yang ternyata berada di gedung sayap timur. Tepatnya di lantai tigaㅡdan sialnya terlihat sangat tersudutkan. Bagaimana tidak, di lantai tiga itu, ruang kelas hanya duaㅡkelas XI-1 dan XI-2ㅡdan juga dua ruang klub yang pastinya jarang terpakai. Terlebih perpustakaannya juga berada jauh dari tangga.

Entah kenapa Jungyeon merasa ada yang ganjal disini.

“Sudah kukatakan sebelumnya bukan?”

Suara Yoona menyadarkan lamunan Jungyeon. Segera ia menoleh, menatap wanita itu antusias.

“Kita sudah ada seorang pustakawan disini, tapi dia sedang ambil kuliah S2. Sulit untuknya menetap disini”

“Iya, anda sudah memberi tahu saya tempo hari”

Yoona menghentikan langkah tepat di depan pintu perpustakaan yang tertutup rapat. Berbalik menatap Jungyeon penuh harap. Memamerkan senyum yang membuat kaum adam terpanaㅡ bahkan hingga membuat Jungyeon tak berkedip.

“Maka itu, aku mempercayakanmu sebagai pegawai tetap kami disiniㅡmenjadi pustakawan di sekolah kami”

“ㅡ”

Mendadak bibir terasa kelu mendengarnya. Pandangan yang semula terpenuhi oleh wajah cantik wakil Im, kini malah hilang entah kemana. Terasa kosong saat merasa mendapat perintah untuk menjaga perpustakaan sekolah seorang diri. Dada terasa membuncah hingga sesak saking senangnya.

Selama beberapa detik coba untuk mencerna ucapan Yoona, Jungyeon akhirnya tersenyum lebar sembari membungkuk berkali-kali.

“Baik, aku akan berusaha sebaik mungkin! Terima kasih sudah mau mempercayakanku, aku sungguh berterima kasih!”

“Hei hei hei, iya tak usah berlebihan” Yoona terkekeh. Tersenyum canggung, Jungyeon hanya nyengir lucu. Tak lupa untuk merapikan rambutnya sekilas.

Lalu Yoona pun membuka kedua pintu besar perpustakaan disusul Jungyeon dibelakangnya. Decak kagum langsung keluar dari bibir tipis Jungyeon melihat banyak sekali rak buku yang tingginya tak terlalu menjulangㅡdisesuaikan untuk anak-anak menengah atas.

Perpustakaan itu luasnya lima kali ruangan kelas. Meja baca berada diantara rak bukuㅡdi tengah ruangan. sedangkan di sudut ada beberapa lemari yang menyimpan berkas-berkas pihak perpustakaan. Jendela besar dengan gorden berwarna sedikit gelap tersibak karena angin kencang pagi itu. meski tidak semua jendela terbuka karena pendingin ruangan yang dinyalakan.

Tapi entahlah, setahunya jendela pasti ditutup jika ruangan sudah bersuhu dingin. Setelah mengitari ke penjuru ruangan, sepasang obsidian Jungyeon pun beralih pada konter untuk pustakawan. Disana ada seorang pria duduk dibalik komputer. Pria itu berdiri begitu Yoona memanggilnya. Jungyeon mengikuti dari belakang.

“Jinhwan-ssi

“Oh, wakil Im. Selamat pagi” sapanya seraya membungkuk. Pria itu tak terlalu tinggi seperti pria kebanyakanㅡtinggi menyerupai Jungyeon sedikitㅡmatanya kecil serta pipi yang chubby. Meski memang terkesan imut, tapi sikapnya terlihat jantan dan sopan.

Pria berpakaian balutan flanel cream yang membungkus badan seputih susu itu melirik Jungyeon kemudian kembali menaruh atensi penuh pada Yoona.

“Aku berjanji membawa partner kerja untukmu, bukan? Aku sudah memenuhi janjiku padamu” kata Yoona, menoleh ke arah Jungyeon yang tak sadar sedari tadi memandang pria di depan.

“Dia Yoo Jungyeon, yang akan menjadi partner kerjamu disini. Tentunya dia akan membantumu kalau kau sedang ada kuliah”

A-annyeong haseyo, Yoo Jungyeon imnida” Jungyeon membungkuk, tersenyum tipis menatap pria itu. tak balas membungkuk, melainkan jabatan tangan yang diterima Jungyeon.

“Aku Kim Jinhwan, kuharap kita bisa saling membantu”

Jungyeon menerima jabatan tangannya. Terasa hangat saat tangan pria itu membungkus telapak tangan miliknya yang kecil. Semu merah mulai merambat di pipi mulusnya, bahkan kebiasaan gugup pun mulai terlihat.

“I-iya, semoga kita bisa menjadi partner kerja yang baik disini”

Loh, kok ya mendadak gugup.

Yoona hanya tersenyum melihat interaksi keduanya dengan tangan terlipat di dada.  

“Kalau begitu aku tinggal ya,”

“Ah iya, terima kasih, wakil Im” Jungyeon membungkuk. Yoona memegang bahu Jungyeon sekilas sebelum beranjak meninggalkan perpustakaan.

“Kalau ada yang ingin kau perlukan, Jinhwan punya segala informasi yang ingin kau tanyai” Yoona melirik sekilas Jinhwan yang tersenyum.

“Ah ne, arassoe

Akhirnya wakil kepala sekolah pun menghilang dari tempat itu sebelum terdengar suara pintu ditutup. Kini keduanya malah diam saling lempar pandanganㅡseolah menyuruh satu sama lain untuk buka suara. Namun Jungyeon mencoba memecah keheningan meski terlihat canggung.

“Anu, Jinhwanㅡ?” kebingungan, tak tahu harus memanggil bagaimana karena terlalu gugup. Sial, kenapa malah mendadak canggung begini. Padahal lelaki itu juga biasa aja, heol.

“Aku tak suka terlalu formal sebenarnya meski baru pertama kali bertemu dengan orang lain”

“ㅡA-ahㅡ”

“Panggil oppa saja” Jinhwan memotong ucapan Jungyeon. Tersenyum manis hingga kedua matanya menyipit.

“O-oh oke, Jinhwan oppaㅡ”

Bibir langsung terkatup sempurna, mendadak aneh memanggil oppa pada orang asing. Terlebih pria yang bernama Kim Jinhwan itu membuatnya merasa aneh.

“Kemarilah, ada hal yang harus kau kerjakan disini”

Mencoba untuk bersikap biasa, segera Jungyeon masuk ke konter dan duduk di sebelah Jinhwan. Pria itu menunjuk beberapa tumpukan buku tak jauh darinya duduk. Mata Jungyeon pun langsung mengikuti arah yang ditunjuk.

“Buku-buku itu bekas anak-anak pinjam, tapi belum sempat kukembalikan pada tempatnya”

“Ah, kalau begitu biar aku saja”

“Ini list buku dan rak simpannya”

Jungyeon menerima secarik kertas yang penuh dengan tulisan. Meneliti satu persatu, entah kenapa malah keleyengan sendiri. Tulisannya yang terasaㅡtak bisa dibacaㅡatau memang yang terlihat memenuhi selembar penuh bolak balik.

“Kau bisa lakukan sekarang, karena masih banyak yang harus dikembalikan” kata Jinhwan, menunjuk lagi troli dorong yang terletak tak jauh dari konter. Mata Jungyeon membola.

Ya ampun, sesibuk itukah Jinhwan akhir-akhir ini?

“Baiklah, biar kubawa kardusnya”

Di saat itulah baru Jungyeon ingin beranjak mengangkat kardusnya, Jinhwan malah menahan. Menoleh sekilas, dahi mengerut bingung.

“Ada apa?”

“Habiskan yang di troli dulu. Kardusnya berat, biar nanti kalau di troli sudah habis, yang di kardus dipindah ke troli” jelas Jinhwan tegas. Anggukan paham sebagai balasan, Jungyeon hanya nyengir polos. Sebelum berpindah pada troli, gadis itu membentuk gestur tangan ‘ok’ kemudian beranjak menuju rak buku.

Sampai Jungyeon menghilang di perbelokan rak buku sejarah, Jinhwan baru berpaling pada komputer.

15 menit berlalu, entah sudah keberapa kali Jungyeon bolak-balik ke rak buku yang sama. Sampai terdengar pintu perpustakaan terbuka lebar bersamaan dengan ramainya suara anak-anak, Jungyeon menoleh. Ada beberapa anak yang masuk disusul seorang pria paruh baya berkacamata sambil membawa buku agenda.

“Jinhwan-ah, bisa kutitip anak-anakku sebentar? Hari ini ada rapat mendadak untuk ajaran baru”
Jinhwan melihat sekilas anak-anak yang baru datang dan mengangguk seraya tersenyum, “tentu saja”

“Aku sudah menyuruh apa yang harus dikerjakanㅡdan juga tolong catat anak yang cuma numpang tidur di pojokan” pria itu melirik anak-anak yang sudah menyebar ke meja baca dan rak buku.

“Siap, serahkan saja padaku”

Pria itu tersenyum ramah, “terima kasih” kemudian beralih pada anak-anak kelasnya, “nanti kumpulkan ke ketua kelas ya”

“Iya pak!”

Setelahnya pria itu keluar dari perpustakaan. Jinhwan kembali sibuk pada kegiatannya. Namun sebelum itu ia sempat melihat Jungyeon yang sepertinya melihat interaksinya dengan pria yang menitipkan anak kelas tadi. Merasa tertangkap basah, buru-buru Jungyeon kembali menghilang di rak buku. Jinhwan hanya menggelengㅡtersenyum miring.

 

“Waaah, yang ini yang ini! Putar yang ini saja!”

“Sstt! Bisa pelan tidak sih? Suaramu keras sekali, sialan!”

“Kalian berdua berisik! ㅡsudah putar yang ketiga saja, aku belum tonton juga”

Samar-samar Jungyeon mendengar suara bisikanㅡtiga anak lelaki? ㅡyang entah tengah meributkan apa di sudut perpustakaan. Meninggalkan troli, kaki melangkah pelan menuju sumber suara. Mengintip sedikit, ada tiga anak yang mengerumuni ponselㅡho, sedang menonton sesuatu rupanya.

Penasaran, wanita itu pun semakin mendekat dan menelengkan kepala karena mereka terduduk di lantai. Detik itu juga pupilnya membesar melihat video yang ditonton.

“ASTAGAA!! Jadi ini kelakukan kalian kalau tak ada guru, eoh?!” suara Jungyeon memenuhi penjuru perpustakaan hingga anak-anak menoleh. Bahkan Jinhwan juga ikut mengangkat kepalaㅡpenasaran apa yang terjadi di pojokan.

Mendadak suasana perpustakaan dipenuhi oleh bisikan anak-anak.

“Apa ini?! Video mesum?! Kalian masih menengah atas begini sudah nonton video biru?!”

Ponsel entah milik siapa tiba-tiba sudah berpindah tangan. Keduanya panik, tapi tidak dengan lelaki yang berbadan paling tinggi.

Nuguya?”

Nuguya?” ulang Jungyeon heran. Memandang kesal lelaki di depan yang dibalas seolah menantang. Tak sampai lima detik mereka saling lempar pandangan, Jungyeon melirik sebal kedua temannya.

“Kau akan tahu aku setelah aku menyerahkan kalian ke ruang BK!” serunya hingga membuat kedua lelaki itu semakin takut. Salah satunya menyikut lengan lelaki yang sempat menantang Jungyeon.

“Ada apa ini?”

Jinhwan datangㅡmenatap satu persatu orang yang ribut di belakang. Jungyeon melotot bahkan memaki anak-anak yang sembarangan menonton video bukan mengerjakan tugas.

“Aku akan membawa mereka ke ruang BKㅡlagipula kalian kan disuruh mengerjakan tugas, dan heol, kalian masih dibawah umur tahu tidak?!”

“Tsk berisik sekali sih! Yah Kim Jinhwan, siapa orang ini? Dia orang baru?” lelaki itu menatap Jinhwanㅡmenuntut penjelasanㅡmelirik sinis Jungyeon sekilas.

“Apa?!” pekik Jungyeon tak percaya dengan apa yang didengar baru saja. apa katanya tadi? Kim Jinhwan? Ya ampun, tak hanya bar-bar, tapi anak ini juga tak tahu sopan santun!

Aigoo, dimana etikamu berbicara dengan yang lebih tua?”

Terdengar decakan sebal dan jangan tanya dari siapa. Bukannya menjawab, ia malah melempar balik pertanyaan.

“Dibanding itu, kau ini siapa sebenarnya? Dan, aku tak tahu jika memang ada orang baru disini”

Mwooyaa?!”

Jinhwan hanya menghela napas kasar melihat keributan di perpustakaan. Terlebih yang diributkan seharusnya diselesaikan di tempatnya, bukan disini. Sungguh, pekerjaannya jadi terganggu. Apalagi anak-anak kini juga lebih memilih sibuk melihat pertengkaran dibanding mengerjakan tugas.

“Bawa saja ke ruang BK, aku juga akan mencatat nama mereka untuk diberikan pada Cho saem

Lelaki itu menolehㅡmelotot tajam. Tatapannya beradu pada Jinhwan seolah menuntut. Dua teman lainnya tak berkutik.

“Yah Kim Jinhwanㅡ”

Sayang lelaki itu harus menelan bulat-bulat protesannya karena tangan yang sudah digenggam kuat oleh Jungyeon. Kaget bukan main, mencoba menepis tapi malah semakin dipererat. Begitu juga dengan yang lainnya.

“Baiklah, aku ke ruang BK dulu”

“Yah yah kau mau bawa kami kemana?! Yah orang baru!”

Noona tolong lepaskan! Iya iya kita akan mengerjakan tugasnya!”

“Yah Hwang Hyunjin, katakan padanya kalau kau bisa memecatnya jika dia bar-bar pada kita begini!”

Jungyeon tak mengindahkan erangan tiga lelaki yang sudah tergeret-geret menuju ruang BK. Meninggalkan Jinhwan yang tersenyum sinisㅡwalau dalam hati merasa sedikit khawatirㅡterlebih saat lelaki yang bernama Hwang Hyunjin itu berbisik padanya sambil menatap tajam sebelum benar-benar dipaksa beranjak keluar perpustakaan.

“Aku ingin melihatmu secepatnya angkat kaki dari sekolah ini”

.

Ruang BK.

Dengan menggebu-gebu Jungyeon menjelaskan apa yang terjadi. Dua teman HyunjinㅡLee Minho dan Seo Changbinㅡhanya diam sambil menunduk di bangku depan meja BK. Meski bibir sudah komat-kamit mengutuk Jungyeon dan segala sikapnya yang menganggu acara menontonnya. Sementara Hyunjin hanya memasang wajah datar seolah tak melakukan apapun. Lelaki itu malah menatap wanita paruh baya di depan penuh arti seakan sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Di atas meja sudah ada ponsel Hyunjin sebagai bukti.

“Aku sangat menyayangkan sikapmu, Hwang Hyunjin”

“Lalu apa? Ahjumma mau apa? Mengadu ke pria tua itu?”

Mwoyaa?!”

Bukan wanita yang dipanggil ahjumma yang bereaksi melainkan Jungyeon dengan tatapan tak percaya. Menatap bergantian Hyunjin dan Feiㅡselaku guru BK.

Fei pun hanya menyandarkan badan ke sandaran kursi seraya menghela napas panjang. Menduga akan seperti iniㅡHyunjin yang keras kepala, bersikap semaunya yang berakhir ia akan dipecat sebagai petugas BK.

Fyi, Hwang Hyunjin ini adalah anak dari pemilik yayasan. Sikapnya sungguh disayangkan dan membuat malu orang tua. Bahkan ruang BK sudah menjadi asupan sehari-hari. Di saat kakinya sudah menapaki halaman sekolah, maka selalu ada saja keributan yang dibuat. Entah itu bullying atau kekerasan. Mau itu perempuan atau laki-laki, dan bahkan guru disana juga sudah kewalahan menghadapi sikapnya yang bar-bar.

Meski begitu, Hyunjin pernah terpilih sebagai kapten basket, lho. Karena non-akademik yang diatas rata-rata membuat dirinya punya banyak fan dadakan. Visual pun tak main-main. Tapi sayang, setiap akhir semester, namanya selalu terpajang di urutan sepuluh besar dari bawah.

Dan Jungyeon yang tak tahu menahu tentang itu pun hanya melongoㅡrasanya ingin menghajar bocah itu sekarang juga. Tak hanya Jinhwan, guru BK pun kena sasarannya.

Menyondongkan badan ke depan, Fei menatap lurus-lurus Hyunjin yang duduk diantara Minho dan Changbin.

“Tuan muda Hwang Hyunjin, aku tahu mungkin kau pikir saat ini aku dalam bahaya bukan? Oke mungkin kau bisa memecatku setelah ini, tapi dengan bukti yang seperti ini apa kau bisa menjamin hal itu?”

“ㅡ”

Mendadak hening. Tatapan blank Jungyeon dilayangkan setelah mendengar ucapan Fei baru saja. tunggu, apa katanya? Tuan muda? Apa maksudnya? Orang ini bisa memecat Fei saem?

Oke, mungkin Hyunjin akanㅡsedikitㅡmenurut pada guru-guru disana. tapi tidak untuk guru BK dan juga pustakawan. Karena tahu mereka hanya memiliki pendapatan tak setinggi yang lain. Lagipula, guru BK dan penjaga perpustakaan kerjanya juga begitu-begitu saja pikir Hyunjin.

“Lalu kau mau kami melakukan apa? Membersihkan kamar mandi lagi? Ck, memang cleaning service gunanya untuk apa dipekerjakan disini?”

Tak tahan lagi, rasa-rasanya Jungyeon ingin memaki lelaki itu tepat di depan wajahnya. jujur, Jungyeon bukanlah tipe orang yang blak-blakan menjurus pendiam. Tapi melihat siswa yang tidak sopan begini juga dia tidak bisa diam saja kan?

“Yah Hwang Hyunjin, kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Dimana-mana pasti merasa terancam akan dikeluarkan dan menerima hukuman berat kalau sudah masuk BK. Dan kau? Dimana sopan santunmu?!” Jungyeon yang berdiri di belakang pun memaki Hyunjin sembari menatap punggungnyaㅡmengertak gigi, kesal. Sungguh, Jungyeon sudah muak mendengar semua tuturan pedas anak itu.

Noona bisa diam tidak? dari tadi berisik sekali, ini urusan kami dengan Fei saem” Minho yang sedari tadi diam kini buka suara. Menoleh ke belakang, memandang Jungyeon dari bawah ke atas dengan malas.

“Apa?!”

“Sudah sudah, baiklah. Aku tak akan mengadukan hal ini pada ketua yayasan tapi setidaknya biar aku berikan hukuman untuk skorsing selama seminggu”

WHATTA FUㅡ”

“A-ah ani, saem tunggu dulu sebentar”

Umpatan Hyunjin yang sudah ingin beranjak protes langsung terpotong dengan Jungyeon yang tiba-tiba melangkah ke depan sembari merentangkan kedua tangan.

“Maaf, sepertinya hukuman skorsing tak efektif karena bisa mengganggu pelajaran di sekolah. Terlebih mereka baru masuk ajaran baru, bukan?”

Fei diam tak membalasㅡmencerna baik-baik ucapan Jungyeon. Melirik sekilas pada ketiga anak di depan dengan ujung mata kemudian menghela napas sejenak.

“Kau benar juga, tapi mungkin ada saran hukuman yang tepat untuk ketiga anak berandal ini?”

Jungyeon diam sebentar, mengalihkan pandangan ke jendela besar di ujung sana sekilas. Kemudian kembali memandang satu persatu wajah anak-anak itu dengan menyeringai. Di saat itulah Hyunjin menaikkan sebelah alisㅡmenebak-nebak apa yang tengah dipikirkan wanita itu.

“Bagaimana kalau membantuku di perpustakaan? Kudengar juga Jinhwan-ssi sedang kuliah S2”

Hyunjin terkekeh sinis seraya memutar bola mata. “Yah orang baru, kalau kau tak niat jaga perpustakaan kenapa harus memberikan pekerjaanmu pada kami? Dan juga, kau sudah menganggu acara kita”

Tak menghiraukan protesan Hyunjin, Fei mengangguk setuju. “Baiklah, selama seminggu pada waktu istirahat kalian langsung ke perpustakaan untuk membantu Jungyeon”

“Y-ya?” Changbin melongo. Jungyeon tersenyum menang dalam hati.

“Jungyeon-ssi, kalau mereka sekali saja tak datang ke tempatmu, tolong bilang padaku”

“Siap!” seru Jungyeonㅡtersenyum hangat. Berpaling pada ketiganya, tersenyum penuh ejekㅡmerasa menang kali ini. Hyunjin yang tak bisa berkata apapun hanya mengertak giginya kesal. Tak sadar kepalan tangan sudah mengerat di sebelah paha. Menatap Jungyeon penuh benci.

Awas kau, seminggu kedepan kupastikan kau tak bisa datang ke sekolah ini lagi.

.

 “Oppa tak bilang apa-apa kalau Hwang Hyunjin itu anak pemilik yayasan” bibir Jungyeon mencebik tanpa sadar setelah mempertanyakan siapa siswa sialan itu pada Jinhwan. Sementara pria di sebelahnya hanya tertawa kecil.

“Memang kalau kubilang, kau mau apa?”

“Ya setidaknya aku bisa mengontrol diri. Setelah memaki-maki begitu, aku takut pekerjaan baruku melayang”

Saat itulah terdengar semburat tawa yang tak bisa dibendung. Jungyeon melongo, baru lihat Jinhwan tertawa lepas seperti itu. bukan apa-apaㅡkarena sejak kali pertama bertemu tadi pagi, orang itu hanya memasang senyuman tipis hingga matanya menyipit. Tak lebih dari itu.

“Tapi aku salut padamu, lho. Biasanya tak ada yang beraniㅡmaksudku sampai menyeret-nyeret Hyunjin ke ruang BK karena dia anak yayasan. Kalau tak ada kau, mungkin aku hanya bisa memarahinya sebentar karena aku sadar diri”

Jungyeon mendadak canggung. Refleks mengibaskan tangan, malu. “Eh anu, aku juga sebenarnya bukan tipikal orang bar-bar seperti itu. hanya refleks karena gemas melihat ada siswa yang begitu” katanya sembari menunduk, berusaha menyembunyikan pipi yang mulai terasa panas.

Ya ampun lagi-lagi hal sepele karena Jinhwan membuatnya kaku begini.

“Tapi aku tahu betul Hyunjin, anak itu hanya mengancam. Tenang saja” Jinhwan berkata sembari berpaling pada komputer “Lagipula, anak itu tak dekat sama sekali dengan orang tuanya. Jadi kalau dia mengancam kau akan dikeluarkan, itu cuma bualan”

“Begitu ya? Sayang sekali, pantas sikapnya seperti itu”

Mendadak perasaan menjadi miris melihat kelakuan Hyunjin terlebih pada ucapannya yang kurang ajar.

“Orang tuanya selalu dinas dan sibuk dengan yayasan. Jadi kalau pulang pun juga jarang dan lebih milih nongkrong atau menginap di rumah Minho dan Changbin. Kadang aku merasa gagal menjaga anak itu” Jinhwan tertawa kaku.

Jika ingat dulu untuk menjaga Hyunjin di sekolah dan melihat tingkah lakunya sudah melampaui batas begitu, Jinhwan merasa tak melakukan apapun. Karena Jinhwan tahu, Hyunjin tak akan pernah mau dan membenci dirinya.

“Ho, kalau begitu oppa dekat dengan orang tuanya dong?”

“ㅡ”

Kegiatan mengetiknya terhenti sebentar. Menoleh pada Jungyeon, senyuman hangat ditunjukkan. Membuat sang wanita tersemu.

“Tuan Hwang Minhyun itu tipikal pekerja keras. Orangnya tegas juga, jadi siapa yang tak mau jadi panutannya?”

Bohong.

Jinhwan mengatakan hal lain. Itu bukan salah satu alasan kenapa dekat dengan si pemilik yayasan. Ada hal lain hingga anaknya pun membenci Jinhwan sampai sekarang.

Tak ingin bahas lebih jauh lagi tentang ayah Hyunjin, Jinhwan mengalihkan pandangan ke penjuru perpustakaan. Kemudian menatap penuh Jungyeon yang antusias mendengar ceritanya.

“Ngomong-ngomong, siang ini aku ada kelas. Kutitip perpustakaan padamu ya?”

Mendengar permohonan lelaki di depan, Jungyeon langsung tersadar. “Oh, iya. Serahkan saja padaku” balas Jungyeon dengan senyum manis. Jinhwan menghela napas lega karena Jungyeon tak bahas apapun lagi.

Entah kenapa kalau membahas tentang si pemilik yayasan membuatnya harus tenggelam dalam masa lalu kelamnya.

Selama beberapa saat suasana hening menyelimuti, mendadak Jungyeon teringat sesuatu. Hal ganjil yang berada di sudut perpustakaanㅡbersebrangan dengan tempat persembunyian tiga anak tadi.

“Jinaniㅡehㅡ” Jungyeon malu sendiri. Menutup mulut rapat-rapat dan Jinhwan langsung menoleh.

“Jinani? Pfft”

Semakin malu melihat Jinhwan menahan tawa, tangan refleks mendorong bahu pria itu.

“Jangan tertawa!”

“Pfftt tidak apa, lucu kok”

Lagi-lagi Jungyeon tak bisa membendung rasa senangnya melihat Jinhwan tersenyum hangat. Merapikan rambut belakang, mencoba untuk bersikap biasa meski rasa malu masih menjalar dengan panggilan ‘Jinani’ tadi.

“Tadi saat aku beres-beres, ada meja dengan vas bunga di pojokan sana. Dan juga... ada darah di dekat meja itu, kelihatannya masih baru?”

“ㅡ”

Hening kembali menyelimuti berganti suasana mencekam. Tak sadar air muka Jinhwan mengeras dan terasa kaku. Jungyeon menatap heran sekaligus ingin tahu dari samping, melihat Jinhwan malah diam seperti batu. Padahal beberapa detik yang lalu masih mencoba untuk tertawa lepas (lagi).

“ㅡOppa?”

“Biarkan saja, lain kali jangan coba-coba kesana” kata Jinhwan datar. Tapi di telinga Jungyeon malah terdengar menyeramkan.

Tak ada yang bicara lagi setelahnya. Entah karena mendadak merinding terlebih suasana perpustakaan yang sepi atau perkataan Jinhwan yang mengerikan baginya.

Rasa-rasanya ada yang aneh dengan perpustakaan itu mengingat kali pertama menginjakkan kaki disana, suasana mencekam langsung menyambut pagi tadi.

Jinhwan menoleh, memandang Jungyeon tanpa ekspresi hingga tak sadar membuat empunya berjengit kaget.

“A-ada apa?” tanya Jungyeon takut-takut.

Jinhwan kembali beralih pada komputernya. Tapi tak melakukan apapun melainkan hanya diam. Menatap kosong layar komputer yang penuh dengan data perpustakaan.

“ㅡsebenarnya....”

Dibiarkan menggantung, Jungyeon sengaja tak menyela. Tahu pasti Jinhwan akan melanjutkan meski memang kelihatannya terasa berat. Tak tahu apa yang ingin dibicarakan tapi kedengarannya ini pembicaraan serius.

“Darah itu tak bisa hilang meski sudah dibersihkan”

“ㅡ”

“Dua tahun yang lalu ada yang meninggal disini. Siswa perempuan ditemukan tewas dengan tangan yang teriris dan darahnya meski dibersihkan, besoknya masih tetap ada”
“ㅡ”

Bulu kuduk pun berdiriㅡmerinding mulai menyelimuti. Bibir terkatup rapat, tak tahu harus bicara apa meski sudah banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran hingga terasa pusing.

“ㅡdia bunuh diri” Jinhwan menoleh. Raut wajah terlihat menyedihkan di mata Jungyeon. Menaikkan sebelah alisㅡbingung dengan ekspresi pria itu berubah-ubah. Apalagi setelah senyuman pahit nampak jelas.

“ㅡtapi kenapa?”

Akhirnya setelah lama bungkam, Jungyeon coba buka suara. Anehnya setelah menanyakan dua kata itu, kerongkongan malah terasa kering. Jinhwan menggeleng lemas.

“Katanya masalah pribadi dengan pihak yayasan, aku juga tak tahu” jawabnya sembari berpaling seolah menghindari tatapan Jungyeon.

“Tapi kenapa tak bisa dibersihkan begitu? Biasanya kanㅡ”

Tak lagi melanjutkan, Jungyeon malah diam tak berkutik saat Jinhwan menoleh cepat. yang membuat jantungnya mulai tak karuan ialah tatapan Jinhwan yang terlihat mematikan. Bukan, lebih tepatnya terasa mengancam. Maka itu tak lagi buka suara, melainkan hanya diam sembari mengangguk ragu.

Melihat Jungyeon ketakutan begitu, Jinhwan tersenyum miring disusul kekehan kaku. “Maaf, aku hanya tak ingin ada sesuatu yang terjadi padamuㅡeh maaf ya, padahal hari ini hari pertama kau kerja tapi aku malah cerita yang seharusnya tidak membuatmu takut”

“ㅡE-eh tidak, tidak apa. Kan aku bisa tahu apa yang terjadi sebenarnya dan tak berbuat apapun dengan yang di pojokan itu”

“Tapi sungguh tidak ada apa-apa. Itu sudah lewat dan semuanya sudah selesai, kau tak perlu cemas” Jinhwan tersenyum tipis. Tak seperti sebelumnya, Jungyeon melihat ada yang tak beres disini. Senyumnya terlihat terpaksa dan menunjukan kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Soulless...
5278      1187     7     
Romance
Apa cintamu datang di saat yang tepat? Pada orang yang tepat? Aku masih sangat, sangat muda waktu aku mengenal yang namanya cinta. Aku masih lembaran kertas putih, Seragamku masih putih abu-abu, dan perlahan, hatiku yang mulanya berwarna putih itu kini juga berubah menjadi abu-abu. Penuh ketidakpastian, penuh pertanyaan tanpa jawaban, keraguan, membuatku berundi pada permainan jetcoaster, ...
Under a Falling Star
739      452     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
That Devil, I Love
3092      1285     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
Mimpi Milik Shira
480      265     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
7228      1836     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Farewell Melody
226      154     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Premium
KLIPING
2584      1416     1     
Romance
KLIPING merupakan sekumpulan cerita pendek dengan berbagai genre Cerita pendek yang ada di sini adalah kisahkisah inspiratif yang sudah pernah ditayangkan di media massa baik cetak maupun digital Ada banyak tema dengan rasa berbedabeda yang dapat dinikmati dari serangkaian cerpen yang ada di sini Sehingga pembaca dapat memilih sendiri bacaan cerpen seperti apa yang ingin dinikmati sesuai dengan s...
What If I Die Tomorrow?
361      224     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Melodi Sendu di Malam Kelabu
473      306     4     
Inspirational
Malam pernah merebutmu dariku Ketika aku tak hentinya menunggumu Dengan kekhawatiranku yang mengganggu Kamu tetap saja pergi berlalu Hujan pernah menghadirkanmu kepadaku Melindungiku dengan nada yang tak sendu Menari-nari diiringi tarian syahdu Dipenuhi sejuta rindu yang beradu
Peneduh dan Penghujan
283      232     1     
Short Story
Bagaimana hujan memotivasi dusta