KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Tidak menunggu lama, para penumpang mobil van tersebut keluar sembari menenteng senjata api di masing-masing tangan mereka. Diana melihat Eva diantara preman-preman tersebut. Gadis itu tampak lemah dan menangis ketakutan. Tangannya terikat di belakang sementara kakinya berjalan setengah pincang.
Masyarakat sekitar yang berusaha membantu pun mundur ketika suara pistol ditembakan ke langit. Beberapa orang dari preman itu menangani masyarakat yang berusaha ikut campur. Mereka menodongkan senjata api kepada siapa pun yang berani mendekat.
"Ada kata-kata terakhir?" tanya Erik yang menyusul pergerakan Diana menuruni motornya.
Diana menghembuskan napas panjang kemudian menelan salivanya. "Tolong bilang ke ayah gue, kalau sampai dia nyalonin diri lagi di pemilu tahun depan, gue bakal mati jadi hantu penasaran."
"Kenapa lo minta tolong ke gue, kan gue juga bakal mati," kata Erik tidak menerima kata-kata terakhir Diana. "Maksud gue, kata-kata terakhir itu misalkan, 'makasih, Erik. Udah mau jadi temen sehidup semati gue'."
"Oke! Kalau salah satu dari kita masih hidup, pokoknya harus nyampein pesan-pesan terakhir," ralat Diana. "Gue juga mau lo bakar semua pernak pernik punk gue sampai ludes, jangan biarin Indonesia tahu jati diri gue."
"Bilang ke ayah sama ibu gue kalau gue sayang banget sama mereka." Erik bergiliran menyampaikan kata-kata terakhirnya. "Jaga baik-baik Sandy sampai dia besar. Kalau dia udah besar tolong lepas dia ke habitat asalnya."
Sandy merupakan tupai peliharaan Erik yang ia temukan sewaktu ia mendaki gunung Semeru bersama teman-temannya. Kondisi awal Sandy sangat memprihatikan. Tubuhnya yang kecil terkena luka goresan benda tumpul dan salah satu tangannya patah. Erik berasumsi Sandy ditinggalkan ibunya yang berhasil diburu oleh para pemburu liar.
"Mau pegangan tangan?" tawar Erik.
Alis Diana terangkat satu. Terkadang ia tidak mengerti jalan pikiran temannya ini. "Nggak," tolaknya ketus.
"Biar judul beritanyanya jadi: Lima Momen Kematian Paling Romantis, Nomor Enam Bakal Membuat Kamu Tercengang—"
"Nunduk!" Diana menurunkan paksa kepala Erik. Peluru demi peluru menghujami mereka. Motor Erik menjadi tameng sementara bagi keduanya.
"Mereka semakin deket." Mata Diana menangkap serbuan tidak beraturan yang datang kepadanya. "Berpikir Diana, berpikir... berpikir," rapalnya sembari memegangi kepalanya yang masih tertutup helm.
Erik membenarkan posisi tubuhnya yang tengah berjongkok. Diliriknya arloji coklat tua di pergelangan tangan kirinya. Baru berjalan delapan menit. Tersisa dua menit lagi sampai bala bantuan ayahnya datang. Tapi satu detik pun berharga saat ini.
"Gue nggak peduli!" Erik bangkit berdiri dan menaiki motornya. "Lupain soal kata-kata terakhir."
"Rik?" panggil Diana sambil menurunkan kedua tangannya dari kepala.
Mesin motor Erik dinyalakan, ia pun memacu gasnya. "Kita nggak akan mati. gue bakal lindungin lo dan ngehajar mereka semua."
"Erik—!"
Teriakan dramatis Diana ia abaikan. Erik melajukan motornya dengan gerakan berkelok agar para preman itu tidak bisa membidiknya secara tepat. Dari awal Erik sudah menduga bahwa lawannya hanya sekumpulan orang yang mempunyai kelebihan senjata tanpa kelebihan teknik jitu menembak. Ketika jarak sudah mencapai dua meter, Erik melepaskan kemudinya dan berguling ke samping, membiarkan motornya menabrak satu orang preman. Erik menghantam preman yang mencoba menembaknya dan mereka bergulat berebut senjata api hingga helmnya terlepas.
Preman lain yang hendak mengambil kesempatan menembak Erik yang sedang bergulat, segera Diana atasi dari kejauhan. Ia melepas helm yang melindungi kepalanya dan mengantarkan anak panahnya menuju lengan preman tersebut. Erik pun berhasil merebut senjata api lantas menembak kedua telapak tangan musuhnya. Titik mati agar tidak dapat melakukan pergerakan dengan tangan.
Preman yang Diana atasi belum menyerah. Ia kembali mengambil senapannya dan menembaki Diana secara brutal. Diana berlari sekuat tenaga menghindari tembakan itu. Sayangnya, pahanya terkena tembakan. Ia jatuh tersungkur dan dagunya bergesekan dengan aspal.
Erik yang tidak terima memukul punggung bagian atas penembak Diana menggunakan senjata api yang berhasil ia rebut. Sekali pukul penembak tersebut langsung tumbang. Tersisa tiga preman lagi. Satu orang menjaga Eva sementara dua orang lagi menghampiri Diana.
"Lawan kalian gue, bukan dia!!" teriak Erik sambil menembaki dua preman tersebut. Satu peluru berhasil mengenai lengan preman pertama dan satu peluru menembus betis preman kedua.
Pertarungan terjadi begitu cepat. Erik mengambil posisi berlindung di balik mobil van saat dua preman itu membalas tembakan mereka. Sedangkan sebuah pohon beringin yang besar menjadi pelindung dua preman itu dari peluru Erik yang selalu tepat sasaran.
Erik melirik arlojinya lagi. Sudah lewat satu menit tapi bantuan ayahnya belum juga datang. Ia mengecek isi peluru di senjata apinya. Masih tersisa cukup banyak untuk menangani dua orang.
"Duh, Beh! Keberuntungan gue bentar lagi habis. Tahu sendiri gue nggak jago nembak kayak Diana." Ditengah pertarungan, Erik meruntuki sang ayah.
Diana mengerang kesakitan. Darahnya mengalir di pahanya. Ia mencabut paksa peluru yang tidak menembus terlalu dalam bagian kulitnya. Rasa sakitnya teralihkan begitu ia tahu tujuannya. Salah satu preman yang menjaga Eva menyeret gadis itu ke tepian. Preman tersebut mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelpon seseorang.
Dengan bantuan busur Diana pun berdiri. Terseok-seok ia berjalan lebih dekat, agar jarak tembaknya tidak terlalu jauh. Diana mengambil anak panah dan melepaskan ke arah preman yang sedang menelpon. Lagi-lagi lengan sasarannya. Ponsel yang ada di telinga preman itu terlempar jauh. Tidak puas sekali, anak panah Diana melesat lagi ke paha kemudian pinggang preman itu. Eva yang terlepas dari penjagaan pun segera menjauh. Masyarakat yang berada di dekatnya segera menarik Eva dan melepaskan tali yang melilit tubuhnya, meninggalkan preman yang sedang merintih kesakitan.
Anak panahnya sudah habis. Tapi para preman belum tuntas ditangani. Erik lagi-lagi mengumpat keras karena keberuntungannya mulai hilang. Tembakannya mulai meleset. Diana takut akan mengenai warga sipil.
Semua orang mengira Erik ahli menembak atau memanah. Namun, entah mengapa, Erik hanya mampu mempertahankan embel-embel ahlinya selama beberapa menit saja. Setelahnya, ia sering kehilangan fokus.
Diana merangkak sekuat tenaga. Ia berusaha meraih senapan yang tergeletak tidak jauh darinya. Ini bukan kali pertama ia menembak, tetapi ini pertama kalinya ia menggunakan senapan berlaras panjang dengan nomor seri yang ia tak mengerti. Namun, peluru pada senapan itu hanya tersisa tiga butir. Diana berpikir cepat mencari solusi dan menemukan ranting yang cukup lebar walau tampak ringkih. Ia menembak ranting tersebut dari kejauhan, membuatnya menimpa dua preman yang sedang menembaki Erik. Meskipun tidak berefek banyak, tapi ranting tersebut bisa mengalihkan konsentrasi mereka yang sedang menembaki Erik di balik van.
"Rasain lo!" teriak Erik puas yang kemudian mengambil kesempatan yang Diana berikan. Ia berjalan mendekat dan menembaki kedua kaki preman tersebut secara leluasa.
Semuanya selesai. Eva selamat dan tidak ada korban jiwa baik dari pihak Diana atau pihak musuh meskipun, peluru tersebar di mana-mana. Diana berusaha bangkit untuk menghampiri Erik yang sibuk mengamankan dua preman di balik pohon yang sudah tumbang. Tetapi tiba-tiba sebuah cengkraman melingkari pergelangan kakinya.
"Tolong...." ucap salah satu preman itu lirih. Tubuh preman itu tertindih motor Erik yang belum dimatikan.
Bagaimana pun, musuhnya adalah manusia. Diana yang diserang iba pun mengambil keputusan. "Tenang, aku bakal coba mindahin motor ini."
"Bukan." Preman itu menggeleng. "Tolong selamatkan Indonesia. Jangan biarkan revolusi keji itu menguasai negeri ini."
Diana tidak paham permintaan sang preman. "Maksudnya?"
"Terlalu panjang dijelaskan...." Darah menyembur keluar sewaktu preman itu terbatuk. "Saya tahu siapa dalangnya, ambil surat di bawah lemari—"
Dor!
Cengkraman di kaki Diana perlahan mengendur. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri seseorang meninggal tepat di depannya.
"Kami tidak akan membiarkan sedikit pun rencana kami terbongkar." Rekan preman itu mengarahkan pistol yang sebelumnya ia gunakan untuk membunuh temannya, ke arah kepalanya sendiri.
Dor!
Diana menutup mata rapat-rapat. Kali ini ia bisa menghindari pemandangan itu. Tidak seperti tadi.
Ia terduduk lemas. Seluruh sarafnya terasa tidak berfungsi lagi. Ia ingin menangis atau berteriak tapi ia tak mampu. Bahkan berkedip atau menghirup napas panjang terasa sulit.
Suara sirine perlahan mulai terdengar jelas. Belasan mobil SUV hitam menyebar di lokasi. Para personil turun dan mulai mengevakuasi. Mereka menyuruh masyarakat agar tidak mendekat.
"Nona Diana? Bisa dengar saya?" tanya suara laki-laki tepat di sebelahnya. "Nona Diana?"
Laki-laki berompi anti peluru itu pun menggoyangkan tubuh lemas Diana tapi Diana tidak merespon. Pandangannya kosong menatap tangan berlumuran darah yang tadi mencengkram kakinya. Kata tersebut terngiang-ngiang dalam pikirannya.
Surat di bawah lemari. Surat di bawah lemari.
"Diana!" sentakan kuat menimpa kedua sisi pundaknya. "Kita pergi ke rumah sakit sekarang ikut mobil temen gue," ujar Erik.
Mungkin bagi orang lain reaksi Diana berlebihan. Ia sudah sering melihat adegan seseorang meninggal di film tapi rasanya jauh berbeda jika ia melihatnya secara langsung. Bagaimana mata orang tersebut tetap terbuka kaku dan enggan menutup, darah yang mengalir lewat lubang di kepala korban serta rasa bersalah yang terus melekat. Andaikan Diana lebih waspada terhadap kondisi sekitarnya, preman itu tidak akan mati.
"Dia dibunuh, Rik...." gumam Diana yang berusaha mengeluarkan air matanya tetapi usahanya nihil. Tidak ada yang bisa melampiaskan perasaan kacaunya saat ini.
Erik mengelus rambut Diana pelan. Diletakannya kepala Diana di dadanya. "Dia dibunuh bukan ulah kamu, tapi risikonya sendiri. Sekarang kita cepat pergi ke rumah sakit. Gue nggak mau ada banyak masyarakat yang tahu."
"Gue anter lo ke rumah sakit. Motor lo biar anak-anak lain yang urus," ujar teman Erik sambil melonggarkan sedikit rompi anti pelurunya.
Setelah Erik mengangguk, mereka bertiga memasuki mobil serba hitam dengan kaca tidak tembus pandang. Sebelum benar-benar masuk mobil. Diana melihat mayat preman itu untuk terakhir kalinya. Seluruh bulunya merinding. Pendarahan yang berada di pahanya belum berhenti tapi ia tidak begitu merasakan sakitnya. Pikirannya mengambang oleh hal-hal tidak masuk akal. Revolusi apa yang akan melanda Indonesia?
***
See u next chapter!
Think genius and keep punk
🤩🤩🤩🤩
Comment on chapter Don't be a Good Person: