Read More >>"> The Presidents Savior (Suicide) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Presidents Savior
MENU
About Us  

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS. 
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA. EHEI.

***

Kebanyakan anak-anak dari rekan kerja ayahnya disekolahkan di sekolah pilihan, yaitu sekolah super mahal atau sekolah negeri bergengsi. Diana menolak sekolah pilihan tersebut. Ia bersekolah di sekolah negeri biasa yang tentunya, anak dari orang tua dengan pekerjaan apa pun bisa bersekolah di sana.

Alasan lainnya dari sisi pergaulan. Ia ingin dikenal teman-temannya sebagai remaja biasa yang kewalahan menangani Matematika. Bukan sosok putri presiden yang anggun dan selalu butuh bodyguard ke mana pun ia pergi.

Teman-temannya mengerti status Diana tapi tidak merasa segan karena Diana membuka lebar dirinya. Awalnya ia risih menjadi pusat perhatian semua penghuni sekolah, dari guru, kakak kelas hingga penjaga kantin. Tapi teman-teman Diana menyarankan agar ia tetap ramah meskipun tidak menyukai hal tersebut. Akhirnya, Diana mulai terbiasa akan hal itu dan tidak mempermasalahkannya lagi.

Diana menyeka keringat di dahinya. Baru saja ia menyelesaikan latihan memanah selama dua jam ke belakang. Wali kelasnya sudah sering menyarankan Diana agar berhenti mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dan lebih fokus menghadapi ujian kelulusan. Meskipun memutuskan berhenti dari ekstrakulikulernya, Diana tidak berhenti memanah. Baginya, tidak ada yang bisa menghentikannya untuk tetap memanah.

Ketika ia memasukan anak panah ke dalam quiver, temannya segera menggantikan posisinya di lapangan dan mengambil satu anak panah Diana tanpa izin.

"Di, fans lo udah nyariin," ujar perempuan berambut pendek di bawah telinga itu sembari mengambil ancang-ancang untuk memanah target yang berjarak sepuluh meter di depannya.

"Serius, Rin?" Diana menganga tidak percaya. "Mereka ada di luar sekolah dari bel pulang bunyi. Niat banget itu wartawan nungguin. Gue balik lewat gerbang belakang aja."

Karin menggendikan bahu. "Buat fansclub sana. DianaLovers, DianaMania, DianaDianaKekasihku."

"Garing!" cemooh Diana yang langsung membawa semua perlengkapan memanah beserta tas sekolahnya keluar lapangan. Karin hanya tertawa melihat reaksi kesal Diana.

Terpaksa Diana menempuh perjalanan lebih panjang karena letak gerbang belakang dengan lapangan tempatnya berlatih tidak sedekat dengan gerbang depan. Suasana sekolah terbilang cukup sepi. Diana melirik jam tangannya yang menunjukan waktu lima sore. Pantas tidak ada siswa yang duduk di sembarang tempat hanya untuk mengobrol.

Diana: Tante Poh, aku hari ini pulang lewat gerbang belakang. Sori ya bikin repot harus muterin mobil

Diana mengetik pesan singkat pada ajudannya selama empat tahun lebih. Semua kegiatan Diana terjadwal rapih dalam ingatan Pohan. Meskipun pada awalnya, Diana merasa sangat tidak nyaman akan kehadiran Pohan disetiap aktifitasnya keluar Istana Negara, tetapi Pohan pun berusaha membaur agar tidak terkesan kaku.

Pohan: Kalau gak dibikin repot sama kamu, aku nggak dibayar
Pohan: Lagian, hari ini mungkin ada yang bakal handle tugasku

Diana bertanya-tanya sendiri maksud dari pesan singkat yang dibalas Pohan. Tapi ia tidak berniat bertanya dan memasukan handphone-nya ke dalam saku.

Begitu ia membuka gerbang belakang yang tidak sebesar gerbang depan sekolahnya, puluhan lensa kamera langsung menyorot wajahnya yang penuh peluh.

"Prank!" umpat Diana sambil menutupi matanya.

Ia ingin sekali kembali ke dalam sekolah, menutup pintu gerbang dan mendengarkan Karin mengejeknya. Tapi semuanya terlambat. Belasan mig disodorkan untuknya tanpa ia meminta. Dan pertanyaan-pertanyaan berlomba-lomba dijawab olehnya.

"Diana? Diana? Maaf mengganggu waktunya sebentar," ucap seorang wartawan seraya mengeluarkan alat perekam dari saku jaketnya.

"Ya, sangat mengganggu." Diana cepat-cepat menutup mulutnya. Ia tidak ingin wartawan memberikan citra yang aneh terhadap dirinya.

"Bagaimana reaksi Diana ketika Pak David dicalonkan kembali di partai politik—"

"Kesibukan apa saja kamu saat ini? Apakah masih suka menemani Pak David melakukan kunjungan atau lebih fokus menghadapi UN?"

"Apa Diana mendukung keputusan Pak David mencalonkan presiden kembali?"

Ingin sekali Diana menutup telinganya rapat-rapat. Ia pusing sendiri. Mungkin wartawan sengaja melampiaskan rasa penasaran mereka setelah menunggu Diana selama berjam-jam di sekolah. Ini bukan kali pertama Diana dihadang wartawan di sekolahnya, tapi entah kenapa, walau Diana terus belajar dari kegagalannya menghindari wartawan, para pemburu berita itu selalu dapat menemukannya.

Tiba-tiba dari belakang, Diana merasakan tubuhnya dirangkul erat. Dia ingin menusuk dengan anak panah siapa saja yang merangkulnya seenaknya. Tapi ia mengurungkan niatnya ketika tahu siapa pelakunya.

"Tolong beri jarak. Saya nggak mau Diana sesak." Tangan pemuda itu mencoba menjauhkan belasan mig yang mengerubungi Diana bagai mereka adalah semut dan Diana gulanya.

"Kenapa lo bisa ada di sini?" bisik Diana heran.

"Selamat siang, Diana," sapa seorang lelaki yang tengah berdiri di samping pemuda itu.

"S-Siang, Om Wijaya," balas Diana terbata. Ia baru menyadari kehadiran seseorang yang ia panggil Om Wijaya itu.

Lelaki bernama Wijaya tersebut melangkah keluar dari gerbang belakang dan meminta wartawan memberi jalan untuk Diana dan pemuda itu untuk lewat. Para wartawan yang semula berlomba-lomba ingin mewawancari Diana, sekarang pun berpindah haluan. Antara mewawancarai Diana atau Kapolri yang sulit sekali ditemui akhir-akhir ini dikala banyak kasus kriminal beredar luas.

Wijaya Santosa adalah Kapolri yang aktif sampai tahun depan. Laki-laki berbadan tegap dan bermata tajam itu juga dikenal sahabat karib presiden. Mereka berdua telah menjalin pertemanan semenjak Wijaya masih menempuh pendidikan sementara David masih berkuliah di jurusan Ilmu Politik.

Kedekatan mereka terus berjalin dan tanpa diduga mengalir pada anak mereka. Pertemanan Diana dan Erik dimulai sejak Diana memberikan cacing sebagai hadiah ulang tahun Erik yang keempat—dan membuat Erik menangis—sampai sekarang Diana memberikan pukulan keras jika Erik menjailinya.

Erik melindungi Diana dari serangan wartawan yang seolah ingin mengikat Diana di sebuah kursi dan tidak akan melepaskan Diana sebelum ia menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan. Diana dan Erik berjalan di jalan yang sebelumnya telah diatur Wijaya. Erik melindungi kepala Diana dengan cara mengapitnya diantara dada dan lengan. Serangan mig masih diluncurkan pada Diana tapi Erik tidak berhenti menepisnya.

Kubu wartawan terbagi dua. Ada yang mewawancarai Wijaya juga ada yang menyusul langkah Diana. Erik membawa Diana menuju beberapa kawanan polisi. Dua anak muda itu melewati kawanan polisi tersebut dan meninggalkan beberapa wartawan yang dihadang polisi tanpa memberikan sedikit saja celah untuk wartawan mengambil wajah Diana. Mereka berbelok pada sebuah gang kecil dekat sekolah Diana dan mendapati motor Erik terparkir di sana.

Dua remaja yang berbeda satu tahun itu mengambil napas sejenak sebelum memasang helm di kepala mereka masing-masing.

"Ngapain lo ke sekolah gue?" tanya Diana.

Erik mengambil kunci di saku celananya lalu mulai menyalakan motornya. "Kebetulan lewat doang. Gue tadi nemenin bapak gue ke polres buat update beberapa kasus. Terus gue nelpon Tante Juli katanya lo masih di sekolah."

"Kenapa nggak nelpon ke gue aja? Kok malah ke ibu gue sih?"

"Pengin banget gue telpon?" goda Erik yang memamerkan senyuman usil.

Diana memukul kepala Erik yang disambut erangan dari Erik. Gadis penggila eyeliner itu pun naik di jok penumpang sambil mendengus malas. "Cepet jalan!" titahnya.

Mereka meninggalkan lokasi sekitar sekolah Diana yang dipenuhi banyak wartawan. Erik mengambil jalan alternatif agar mereka tidak terjebak lagi oleh para wartawan yang mungkin masih mencari keberadaan Diana.

"Lo nggak laper, Di?" tanya Erik. Suaranya teredam karena kaca helmnya yang ia tutup.

"Laperlah!" ucap Diana.

"Mau gue temenin makan?"

"Lebih tepatnya, lo ngajakin gue makan." Skak mat dari Diana membuat Erik tertawa terbahak. "Ibu gue di rumah udah masak. Gue nggak enak sama ibu gue udah capek-capek masak, tapi gue milih makan di luar."

Erik terdiam. Ia fokus menyetir hingga tiba di lampu merah yang sedang menghitung mundur dari 63 detik. "Gue ngerasa jadi cowok paling br#%ngs$k cuma gara-gara ngajakin lo makan. Padahal gue nggak ngajakin lo pergi ke club," katanya seraya sedikit menoleh ke belakang.

Diana melipat kedua tangannya di dada. "Bagus deh kalau lo sadar."

Begitulah pertemanan Erik dan Diana. Mereka memang tidak ditakdirkan menjalani ikatan pertemanan saling sungkan satu sama lain. Ejekan adalah makanan sehari-hari mereka jika bertemu.

Diana mengusap mata kirinya yang terkena debu. Ia sengaja tidak menutup kaca helmnya karena kaca helm Erik kotor. Pandangannya pun menjadi terganggu beberapa saat. Pada disituasi itulah ia melihat gadis dengan rambut pendek sebahu yang diikat setengah. Ia merasa familiar akan warna rambut dan jepit yang digunakan gadis itu.

Detik berikutya Diana sadar itu adalah Eva. Seragam SMA yang membalut tubuhnya hari ini tidak mengeluarkan sisi anggun Eva seperti malam di mana keluarga mereka mengadakan acara makan malam bersama. Diana mengumpulkan suara terkerasnya untuk memanggil Eva yang sedang menunggu sesuatu di seberang. Namun, ia harus menelan teriakannya begitu sebuah mobil van hitam menghalangi pandangannya.

Diana mengira itu jemputan Eva. Tetapi saat dua orang berpakaian preman keluar dari mobil itu, ia merasa sesuatu tidak beres.

"Eh, eh! Berhenti! Berhenti!" Diana menepuk-nepuk keras pundak Erik.

"Buset, dikata gue nyetir bajay apa, ngomong berhenti sambil nepuk pundak." Erik menghiraukan tepukan Diana dan tetap menyeimbangi kemudi.

Dugaan Diana benar terjadi. Dua orang berpakaian preman itu menyeret paksa Eva masuk ke dalam mobil. Mereka sangat rapih. Tidak menimbulkan perhatian orang yang sedang berkendara. Gerakan mereka cepat dan terarah, seperti sudah ahli melakukannya.

"Gue mau nyelametin Eva!" paksa Diana yang sekarang tidak hanya menepuk tapi menggoyang-goyangkan pundak Erik.

Motor Erik perlahan-lahan menepi. Erik seorang anak polisi dan ia tidak ingin mengganggu lalu lintas kemudian terpaksa berurusan lagi dengan polisi selain ayahnya. "Eva siapa sih?"

Diana tidak menjawab pertanyaan Erik. Mobil van yang mengangkut Eva mulai melaju kencang dan berputar arah. Nalurinya sangat kuat. Berhasil atau tidak, yang ia inginkan sekarang cuma menyelamatkan Eva.

"Ikutin mobil van yang itu!" perintah Diana tegas.

Pemuda beralis tebal itu sangat mengenal Diana. Jika Diana memerintah, maka harus dituruti, karena Diana jarang sekali meminta atau menyuruh orang lain menyelesaikan permasalahannya. Sekuat apa pun permintaannya, Diana akan menahan mati-matian apabila itu tidak realistis. Selayaknya ketika ia meminta dibelikan tiket konser Brain Blank di Inggris atau mengais iba dari ayahnya sewaktu ayahnya berencana mencalonkan diri lagi menjadi presiden.

Erik pun tidak mempermasalahkan siapa itu Eva dan mengapa Diana ingin menolongnya. Ada saat yang tepat untuk membahas itu semua.

"Your wish is my command." Erik menaikan gigi motornya dan ikut berputar arah. Dua mobil memberi klakson pada Erik yang secara tiba-tiba memotong jalur tanpa memasang lampu sen.

Tanpa sepengetahuan Erik, Diana mengambil busur dan anak panah. Tidak takut terjatuh, Diana menaikan satu kakinya di atas motor lalu mengambil ancang-ancang. Ia menarik benang busur kuat-kuat lalu melepaskan tiga anak panah sekaligus yang mampu meretekan sedikit kaca bagian belakang mobil van.

"Diana, lo ngapain?!" bentak Erik. "Harusnya kita ikutin mereka diem-diem. Ayah gue sama anak buahnya deket dari sini, kita bisa lapor sama mereka kalau udah dapet lokasinya."

Supir van yang menyadari ancaman datang pun memanuver mobil ke tempat yang ramai yaitu ke sebuah pasar. Diana mengira supir van ini ingin cari mati. Kecepatan motor jelas lebih menang dibandingkan kecepatan mobil bila berada di jalanan yang ramai. Tapi mobil van hitam itu berkendara dengan gilanya. Menerjang semua yang ada di depannya tanpa ampun. Acara kejar-kejaran mereka menyita perhatian masyarakat. Terdengar teriakan pedagang pasar yang mencoba menyelamatkan barang-barang mereka.

Anak panah kedua yang melesat menuju ban mobil bertanda Diana mengabaikan cara main Erik. Sayangnya, anak panahnya kali ini tidak menembus apa-apa. Hancur terbawa perputaran ban. Akal cerdiknya tak mau diam. Diana mencondongkan tubuhnya ke samping dan mengambil beberapa minyak yang tergeletak di tengah jalan akibat acara kejar-kejarannya.

Suasana semakin kacau. Terpaksa Erik mengambil walkie talkie yang berada di ikat pinggangnya dan menekan satu tombol di sana. "BABEH! Tolongin gue! Masalahnya ada Diana, bahaya kalau dia kenapa-kenapa. Gue udah aktifin lokasi. Kirim semuanya ke sini."

Suara dari walkie talkie membalas serak, "Erik, gue udah sering bilang, lo kalau ngomong pakai bahasa kode. Nanti musuh tahu apa rencana lo, nggak bisa punya cucu gue!" bentak sang ayah. "Bantuan datang dalam sepuluh menit."

Erik mengumpat. Sepuluh menit terlalu lama baginya sedangkan Diana di jok penumpang tidak mau diam.

Secara beruntun dan cepat, Diana melempar minyak dan anak panahnya secepat mungkin di area sekitar mobil van. Plastik minyak yang masih melayang di udara ditembus oleh anak panah, menumpahkan isinya di jalanan. Tidak hanya sekali, Diana mengulang gerakan itu berkali-kali hingga mobil kehilangan keseimbangan dan mulai bergelincir ke sembarang arah akibat minyak yang melumuri seluruh sisi ban. Pembatas jalan di sisi kanan pun rusak tertabrak van tersebut. Asap putih keluar dari bagian depan mobil yang membuat mobil seketika berhenti.

"Kayaknya kita berhasil," kata Diana bangga seraya mengepalkan tinjunya di udara.

"Bisa jadi," balas Erik sesabar mungkin. "Bisa jadi habis ini bakal ada berita: Anak Presiden dan Anak Kapolri yang Gagal Makan Siang Barsama Ditemukan Tewas Di Tengah Jalan."

Sepertinya Erik mencoba menghibur Diana di detik-detik terakhirnya tapi gagal. Jantung Diana berpacu cepat. Supir van keluar dengan raut wajah penuh amarah. Sebuah senjata api berlaras panjang disampirkan di lengannya. Diana baru menyadari bahwa ia baru saja mengajak temannya bunuh diri.

***

See u next chapter!
Think genius and keep punk

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (7)
  • leonidas

    🤩🤩🤩🤩

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • yurriansan

    @brainwasher_ hah? Mahluk? Dan aku termasuk mahluku yg d follow. Wkwkwk.

    Mampir juga ya k storyku. Ksih krisanmu disana....

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • brainwasher_

    @yurriansan waw makasih yak, akhirnya sekarang aku bisa follow makhluk di tinlit:') btw, terima kasih sudah mau mampir

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • yurriansan

    tiap chapternya menarik untuk dibaca. di awal udah takut aja, ni bkln pke b. inggris. ehh trnyta bhsa indonesia :D.

    oke bntu jawab nih, cara follow tmn di tinlit. bisa buka dari profil yg kmu kenal misal profil likers kmu. klik aja foto mereka nnti mncul profil dan work. dstu ada plihan kok, untuk follow atau kirim permintaan berteman. semoga membantu...

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • dede_pratiwi

    Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • brainwasher_

    @SusanSwansh thank u<3

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • SusanSwansh

    Kereeennn ... Ditunggu next chapternya, ya.

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
Similar Tags
Putaran Waktu
619      421     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
L.o.L : Lab of Love
2783      927     10     
Fan Fiction
Kim Ji Yeon, seorang mahasiswi semester empat jurusan film dan animasi, disibukan dengan tugas perkuliahan yang tak ada habisnya. Terlebih dengan statusnya sebagai penerima beasiswa, Ji Yeon harus berusaha mempertahankan prestasi akademisnya. Hingga suatu hari, sebuah coretan iseng yang dibuatnya saat jenuh ketika mengerjakan tugas di lab film, menjadi awal dari sebuah kisah baru yang tidak pe...
Operasi ARAK
288      198     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?
PEREMPUAN ITU
485      324     0     
Short Story
Beberapa orang dilahirkan untuk membahagiakan bukan dibahagiakan. Dan aku memilih untuk membahagiakan.
The Arcana : Ace of Wands
119      104     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
KAU, SUAMI TERSAYANG
612      416     3     
Short Story
Kaulah malaikat tertampan dan sangat memerhatikanku. Aku takut suatu saat nanti tidak melihatku berjuang menjadi perempuan yang sangat sempurna didunia yaitu, melahirkan seorang anak dari dunia ini. Akankah kamu ada disampingku wahai suamiku?
An Angel of Death
321      198     1     
Short Story
Apa kau pernah merasa terjebak dalam mimpi? Aku pernah. Dan jika kau membaca ini, itu artinya kau ikut terjebak bersamaku.
Rembulan
762      422     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
The Best I Could Think of
486      343     3     
Short Story
why does everything have to be perfect?
My Reason
598      385     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."