KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Emosi. Satu kata itu menguasai pikiran Diana. Sesebal apa pun dia terhadap cara ayahnya memandang fashion atau sekesal apa pun Diana atas keputusan ayahnya mencalonkan diri lagi sebagai presiden, ia tidak terima ayahnya direndahakan. Apa lagi oleh seseorang yang sama sekali tidak mengenal siapa ayahnya lebih dalam. Di mata Diana, Rendra tidak ada bedanya dengan kebanyakan warganet yang hanya mengetahui sisi luar ayahnya saja.
David dikenal sebagai sosok presiden yang ramah kepada semua kalangan dan saling menghormati berbagai macam keputusan. Citra itu yang melekat pada diri David. Yang tidak masyarakat tahu, David adalah pekerja keras. Empat jam merupakan waktu tidurnya dan terkadang pesawat adalah ranjangnya.
Mereka tidak tahu bagaimana David mengabdi sepenuh hati pada Indonesia. Namun, bukan namanya manusia jika merasa puas. Masih banyak rakyat di luar sana yang sering mencaci kurang lebih dua puluh jam hasil kerja David hampir setiap hari.
Diana melirik raut kekhawatiran Eva. Sisi malaikat Diana pun mendominasi dan tak lupa mengingatkan agar menjaga emosinya. Namun, ketika kembali menatap tampang Rendra yang congkak, setan dalam dirinya terus berbisik untuk segera menghajar Rendra walaupun Diana tidak mempunyai jurus keren yang bisa dipamerkan.
Stevi menatap Diana dan Rendra kebingungan. Anak sekecil Stevi belum begitu mengerti apa yang dinamakan death glare. Diana dan Rendra masing saling adu pandang. Menunggu salah satu melayangkan ucapan tajam atau reaksi lainnya. Eva ketar-ketir, berharap tidak ada masalah yang bisa membuat makan malam ini kacau hanya karena emosi darah muda.
Semua orang dewasa tidak memperhatikan pembicaraan mereka. Isu mengenai suatu daerah yang terkena musibah tsunami menyedot seluruh konsentrasi. Jika Pohan tidak memotong pembicaraan secara sopan, mungkin para orang dewasa akan melupakan makan malam dan menghabiskan waktu dengan membicarakan isu-isu terpanas di lorong yang menghubungkan ruang makan dengan ruang tamu.
"Aduh, ngobrolnya seru banget. Kita lanjutin di dalam saja ya anak-anak," Julia yang tidak mendengar dengan jelas pembicaraan Diana dan Rendra pun merangkul keduanya lantas membimbing mereka menuju meja makan.
Eva bernapas lega. Tidak ada masalah yang timbul dan dia hanya perlu berpura-pura semua baik-baik saja. Tetapi Diana bukan orang yang seperti itu. Sampai makanan utama dihidangkan, mukanya bertekuk masam. Terlebih, Rendra duduk tepat di seberangnya. Pemuda itu tampak santai memotong potongan daging dan memakan tanpa memperhatikan Diana yang sedari tadi menahan mati-matian emosinya.
"Saya sebenarnya ragu menjalankan proyek yang satu ini karena tahun depan, mungkin saya sudah tidak berwenang penuh melanjutkan proyek ini," kata David yang kemudian mengambil tisu.
"Tapi kalau tidak dilanjutkan, desakan dari masyarakat terus—"
"Kesampingkan dahulu kemauan masyarakat," Gio memotong ucapan Yudhis. Yang diintrupsi pun tidak merasa keberatan dan malah menunggu kalimat lanjutan dari Gio. "Masyarakat tidak tahu bagaimana sulitnya memenuhi kebutuhan mereka karena mereka tidak ada di posisi kita saat ini. Bila kita terburu-buru, proyek ini bisa jadi gagal tengah jalan dan malah membuat kerugian."
Julia menuangkan gelas berisi air putih di gelas Diana untuk ketiga kalinya. "Bagaimana kita memberikan sebuah demo terlebih dahulu? Kita beri mereka seperempat dulu dari kerugian, meskipun pulihnya lama," usulnya seraya meletakan teko ke tempatnya semula. "Sambil berjalan mengumpulkan dana talang, masyarakat di kota Hara masih bisa tetap bekerja."
Tidak hanya menemani sang suami pergi ke berbagai macam kunjungan, Julia juga merupakan ibu negara yang cerdas. Ia sering berdiskusi terutama mengenai daerah-daerah terpencil yang kurang terekspos khalayak luas. Salah satu daerah yang menarik perhatian Julia adalah kota Hara—sebuah daerah di Kalimantan yang ternyata memegang empat puluh persen perputaran pangan di Indonesia.
Seluruh penduduk kota tersebut bekerja sebagai petani. Baik itu sarjana atau hanya lulusan sekolah dasar. Hara daerah yang sangat subur. Kota tersebut terdapat dataran tinggi juga dataran rendah. Semua bibit yang ditaburkan di sana, pasti menghasilkan hasil panen yang memuaskan.
Dua minggu yang lalu, kota Hara mengalami musibah gempa dan tsunami. Banyak petani mengeluh mengalami kerugian yang sangat besar. Padahal daerah tersebut diandalkan Indonesia sebagai daerah penghasil produk pertanian terbesar. Harga pangan pun mendadak melonjak naik dikarenakan kekurangannya hasil panen. Itulah isu terpanas di Indonesia saat ini.
Kedua jari Yudhis berjentik mendengar usul Julia. "Saya setuju. Lagi pula, dana harus pintar-pintar dialokasikan. Musibah bencana gempa di Balimba harus kita perhatikan juga."
Indonesia masih dirundung duka. Balimba belum sepenuhnya pulih. Banyak korban gempa yang masih hilang serta perekonomian belum bergerak. Satu bulan tidak cukup memulihkan kota Balimba yang porak poranda oleh gempa dengan kekuatan 7,2 SR. Dan tanpa diduga, gempa menyusul kota Hara.
Dunia menyorot Indonesia. Banyak negara menyumbangkan materi untuk Indonesia sebagai aksi berbela sungkawa. Tetapi tetap saja, dana tersebut belum cukup untuk menanggulangi dua kota tersebut.
"Menurut Pak Gio?" tanya David.
Diana meruntuk dalam hati. Untuk apa David meminta saran ayah dari seorang anak congkak seperti Rendra? Diana tahu, Gio merupakan pebisnis ulung. Dirinya tercatat di sebuah majalah bisnis sebagai orang nomor satu terkaya di Indonesia dan masuk lima puluh besar di dunia. Itulah yang membuat banyak partai politik mengajukan Gio sebagai bakal calon presiden. Ia kaya dan kasarnya, sudah bosan melihat uang. Otomatis, ia bisa sepenuhnya bekerja membenahi Indonesia.
Garpu dan sendok Gio sisihkan. Setelahnya, ia melahap sisa mentimun di piringnya. "Saya sih setuju-setuju saja. Toh, kalau proyek ini gagal, saya masih tetap kaya tapi... David?" Gio menunjuk David dengan potongan mentimunnya.
David yang mengecewakan masyarakat. David yang tidak becus bekerja. David yang tidak pantas mengemban jabatan presiden. Semua itu berputar di otak Diana. Orang-orang yang sering berkomentar di media social-nya mengatakan ia beruntung mempunyai ayah seorang presiden. Tapi mereka tentu tidak merasakan beban seperti apa yang dipanggul Diana. Ia tidak tega menyaksikan kerja keras ayahnya terus dipandang sebelah mata.
"Saya tidak apa-apa. Semuanya risiko." David tersenyum. Itu membuat beban pikiran Diana sedikit berkurang.
Diana yakin, ayahnya berhati besar. Makian tak akan membuat David menyerah untuk tetap melayani masyarakat.
"Suara apa itu?" tanya David seraya memutar terus penglihatannya.
Para tamu di makan malam ini saling memiringkan kepala dan menyipitkan mata. Ikut mencari letak sumber suara.
Diana panas dingin di tempatnya. Baru saja beban pikirannya sedikit berkurang karena senyuman sang ayah, sekarang justru beban itu bertambah. Ia melirik sekilas jamnya dan ia baru ingat ini jam delapan malam. Alarmnya keras dari handphone-nya yang sengaja ia setel dengan lagu kesukaannya itu berbunyi di kamar. Kemarin ia sengaja memasang alarm karena sepulang menemani ayahnya dari Papua pukul empat sore, ia sengaja berniat untuk tidur terlebih dahulu sebelum mengerjakan tugas sekolahnya.
Parahnya, Diana lupa mencabut kabel yang menghubungkan hanphone-nya dengan speaker di kamarnya, sehingga suara alarm tersebut terbantu lebih nyaring.
Bagaimana jika jati dirinya sebagai pecinta Brain Blank—band punk asal USA—diketahui orang-orang penting seperti Gio dan Yudhis? Apa tanggapan mereka jika putri presiden yang selalu tampak berwibawa diam-diam sering melompat-lompat di atas kasur sambil berteriak keras? Yang lebih Diana takuti, wartawan di luar sana mendengar kabar tersebut lalu sesegera mungkin berebut memasuki kamar Diana demi melihat koleksi album Brain Blank miliknya.
"Aw." Diana sengaja mengaduh keras demi mengalahkan suara alarmnya sendiri.
"Kenapa, Di?" tanya Julia.
"Kuku aku patah, kayaknya aku harus ke belakang dulu." Diana menunjukan ujung kuku jempolnya yang patah—sengaja ia patahkan beberapa detik lalu. "Maaf, saya permisi sebentar."
"Gue juga mau ke toilet."
Diana berhenti bergerak mendengar keinginan Rendra yang bukan pada waktu yang tepat.
"Oh, kebetulan." Keinginan Rendra ditanggapi Julia ramah. "Dia, tolong tujukin toilet buat Rendra ya, Sayang."
Sebelum beranjak, Diana membalas gemetar. "I-Iya, Ma."
Rendra mengikuti langkah kaki terburu-buru Diana. Untungnya, pemuda itu tidak protes. Mereka berjalan dalam diam. Hanya ada suara langkah kaki yang saling mendominasi. Jika hari ini bisa dikenang, Diana akan mengenang hari ini sebagai hari Pengacu Emosi di dalam hidupnya.
Suara alarmnya semakin jelas terdengar. Diana pun semakin mempercepat laju jalannya.
"Toiletnya di ujung lorong ini," tunjuk Diana mengarah ke sebuah lorong. Tanpa memastikan apakah Rendra benar-benar masuk ke dalam toilet, ia segera berlari menuju kamarnya.
Dimatikannya alarm berlagu punk-rock kesukaannya itu cepat-cepat. Raut wajah Diana berubah drastis. Urat-uratnya mengendur dan napasnya kembali normal. Namun, ekspresi itu berubah lagi saat ia menyadari sesuatu. Diana memukul kepalanya sambil merapal kata bodoh berkali-kali. Alasan kuku patah secara mendadak pasti dicurigai banyak pihak terutama ibunya yang sangat mengenali siapa Diana.
Sebelum keluar kamar, Diana bercermin. Merapihkan rambutnya yang ia ikat satu serta bajunya. Setidaknya mereka semua tidak mempunyai bukti. Rahasia Diana aman.
"Idola itu mencerminkan sosok diri kita yang sebenarnya." Kehadiran Rendra mengejutkan Diana di ambang pintu, hampir saja ia mengumpat kasar. "Dalam arti lain, kita ingin menjadi seperti idola kita."
Diana menduga Rendra tidak ingin menuju toilet. Ia sengaja ingin mengerjai Diana saja.
"Lo pasti tahu bagaimana kehidupan idola lo. Drunks, drugs, free sex—"
"Gue nggak peduli!" bentak Diana. "Yang gue apresiasi itu musik mereka, bukan kehidupan pribadi mereka."
"Pemikiran yang bagus," ucap Rendra yang kemudian berlalu.
Belum puas mencemooh pekerjaan ayahnya, sekarang Rendra mengejek idolanya yang memang dikenal dengan kehidupan bebas. Rendra sudah tahu alarm itu milik Diana. Rendra juga sudah tahu Diana penggemar Brain Blank. Rahasia apa lagi yang akan Rendra bongkar dari sosok Diana?
Diana bergantian menyusul langkah Rendra dari belakang. Dadanya terasa sesak dan ia ingin berteriak sekeras yang ia bisa. Ia tidak bisa menahannya terlalu lama.
"Kenapa lo berhenti?" tanya Rendra saat ia tak mendengar langkah Diana di belakangnya.
Sebisa mungkin, Diana menutupi matanya yang berkaca-kaca. "Karena gue nggak mau jalan bareng lo."
"Ada yang salah sama gue?"
Seharusnya Diana memukul Rendra tepat di mulut pedasnya. Atau memakinya dengan puluhan kata-kata yang tidak beretika. Tapi Diana cuma berucap, "Banyak."
Karena terlalu banyak yang ia ingin lakukan pada Rendra saat ini.
"Oke. Nggak jadi masalah."
Rendra balik badan dan melanjutkan perjalananya menuju ruang makan. Meninggalkan Diana yang mulai meneteskan air mata tanpa rasa bersalah.
Jemari-jemari lentik Diana berusaha meraih tembok terdekat. Mencari sandaran agar tubuhnya tidak terjatuh. Tapi kakinya lemas. Ia merosot jatuh tanpa hambatan.
Diana meringkuk sendirian. Tangisnya keluar deras.
Apa pandangan semua orang sama? Apa bertindik artinya pemabuk? Apakah berlipstik hitam artinya penyuka sex bebas? Apakah punk selalu melekat kesan buruk?
Diana pun juga remaja biasa yang tengah menggilai idolanya. Seperti ribuan fans boyband yang jengah ketika idolanya diejek banci. Ia juga menggilai musik rock dan ia sangat lelah ketika ribuan orang menganggap punk adalah musik yang tidak beradab.
"Diana?" Seseorang memanggil namanya dari dekat. "Are you oke?" tanya Eva yang menaruh satu tangannya di pundak Diana.
"Nggak, gue bener-bener nggak baik." Ditengah isaknya Diana membalas.
"Ada yang bisa aku bantu?" tawar Eva hati-hati. "Maksud aku, aku nggak maksa kamu buat cerita masalah kamu tapi mungkin aku bisa bantu hal lain biar kamu ngerasa lebih baik."
Ia tidak tahu dari mana Eva bisa menemukannya dengan kondisi kacau seperti ini. Tetapi dari mana pun itu, Diana menghargai apa yang Eva berusaha lakukan untuknya. Meskipun, sesungguhnya ia tidak ingin ditemukan oleh siapa pun dalam keadaan menangis.
"Jangan bilang ke siapa-siapa kalau aku nangis."
"Itu gampang." Eva pun ikut mengambil posisi duduk disamping Diana. Ia sedikit membetulkan rok batik selututnya. "Kadang air mata butuh dikeluarkan, supaya air mata itu tidak terkumpul sampai bisa menenggelamkan hati. Agar hati kamu tidak mati."
Diana menghapus air matanya. Terakhir kali ia menangis yaitu ketika ia SMP, saat mengetahui ayahnya menang dan terpilih menjadi presiden. "Quotes kamu berfungsi sekali. Thank you."
Eva tersenyum tipis. "Ayah aku sering bilang hal itu ke aku. Dia nggak pernah ngelarang aku nangis, meskipun di depan umum dan buat dia malu gara-gara nenangin aku."
"Kamu beruntung punya ayah yang quotable dan bijak. Dibanding ayah aku yang sama sekali nggak ngerti fashion, bahkan suka lupa nyisir rambut."
Gadis yang memakai liontin berinisial namanya itu pun terkekeh pelan mendengar pernyataan Diana. Meskipun tidak bisa menghajar Rendra seperti yang Diana inginkan, tapi Eva mampu membuat Diana berhenti menangis dan merasa lebih baik. Mereka pun memutuskan diam beberapa saat untuk menikmati kesunyian. Suara jangkrik serta binatang malam lainnya terdengar jelas mengisi kesunyian yang sengaja mereka ciptakan.
"Kamu mau ke toilet juga?" Lama terdiam, Diana pun bertanya.
"Oh, enggak kok. Aku sengaja nyusul kamu." Eva mengulurkan tangannya dan membantu Diana berdiri. "Tapi aku bilangnya mau ke toilet."
Mereka berdua pun tertawa. Bagi Diana, Eva adalah penyelamatnya malam ini.
***
See u next chapter!
Think genius and keep punk
🤩🤩🤩🤩
Comment on chapter Don't be a Good Person: