Langit yang menangis seperti mengerti akan kesedihanku. Tetes hujan yang membasahi jendela kamar seolah tersenyum untuk menghiburku. Dan bekas embun yang membekas bagai kenangan tentang dia yang tidak pernah bisa kulupa. Laki-laki yang selalu berjalan disampingku, menggandeng tanganku, dan menatapku dengan lembut.
“Gaby,” mama masuk dengan sepiring nasi dan segelas susu. “Waktunya makan!” katanya.
Aku duduk di pojok kasur, menatap keluar jendela, tidak menggubris kedatangan mama. Aku benci padanya.
“Ayo Gaby, keburu dingin! Nanti mama balik lagi, kamu harus sudah makan.”
“Gaby ga mau makan, ma!” celetukku tanpa memalingkan wajah. “Gaby mau ketemu Adrian.”
“Jangan ngaco kamu!” Mama mendekat. Aku tahu dia pasti kesal.
“Adrian itu pacar Gaby, ma? Gaby mau ketemu dia” kulihat mata mama yang memanas.
“Tapi Adrian udah mati, Gaby. Sebulan yang lalu. Sudah waktunya kamu lupain dia!” mama menatapku tajam.
“Mama kenapa jahat banget? Mama nyuruh Gaby ngelupain orang yang selalu ada buat Gaby setiap hari. Mama gak pernah ngerti perasaan Gaby,” air mataku menetes.
“Mama sangat mengerti, sayang. Karena itu mama nyuruh kamu buat lupain Adrian. Terima kenyataannya. Sekarang kan ada mama. Buat apa kamu ingat Adrian kalau akhirnya kamu sendiri yang susah?” Mama menggenggam pundakku. Menusukkan matanya tepat ke mataku.
Tubuhku gemetar. Dari dulu selalu saja kayak itu, egis. Aku benci padanya.
“Dengerin mama!” sambung mama bernada serius. “Adrian itu sudah meninggal. Dia sudah tenang. Kamu yang sabar dan terima semua kenyataan ini. Kalau kamu gini terus, ngurung diri di kamar, ga mau makan, sekolah berantakan, Adrian pasti sedih. Kamu mau Adrian sedih?”
Aku menggeleng sambil menahan air mataku yang terlanjur keluar.
“Gini deh. Kamu makan dulu. Setelah itu, ayo ke rumah teman mama. Oke?” Mama mencium keningku beberapa saat.
“Temen mama si tante nyebelin itu? Gaby ga mau. Gaby cuman mau ketemu sama Adrian,” aku semakin terisak.
Mama memelukku. “Tante nyebelin itu bisa bantu kamu ngelupain Adrian, sayang” katanya.
“Tapi Gaby ga suka, ma! Tante itu sok tau. Setiap kali tante nyebelin itu bicara, kepala Gaby sakit. Dada Gaby sesak. Gaby takut, ma. Gaby ga suka”
Kurasakan pelukan mama semakin erat. Hangat. Tapi memaksa.
***
Rumah teman mama yang nyebelin itu tidak jauh. Cukup setengah jam menggunakan mobil, kami sudah sampai. Rumahnya bercat putih. Hanya ada satu pohon mangga yang mendiami halamannya yang luas. Mama memarkir mobil di depan garasi yang setengah terbuka. Dari pintu coklat rumah, tante nyebelin itu muncul sambil melambaikan tangan.
“Ayo sayang, kita sampai!” mama melepas safety belt-nya. Lalu turun untuk menemui tante nyebelin itu. Mereka berpelukan lalu cipika-cipiki.
“Gaby, turun sini cepetan!” panggil mama sebelum masuk ke rumah tante nyebelin itu.
Aku enggan keluar dari mobil. Apalagi harus ketemu sama tante nyebelin itu. Safety belt berasa harta paling berhargaku saat ini. Malas sekali aku melepasnya. Tapi mau gimana lagi. Mama bakalan cerewet kalau aku tidak segera keluar.
Kubuka safety belt yang melilit tubuhku. Kulihat mama dan tante nyebelin itu masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba... DOK DOK... kaca jendela mobilku diketuk dari luar. Aku menoleh dan menemukan laki-laki bermata bulat yang sangat kukenal. Dia tersenyum sambil melambai, menyuruhku keluar dari mobil.
“Adrian?” hardikku begitu pintu kubuka. Aku masih duduk dengan kaki yang menjulur keluar. Kuperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. Dia benar Adrian-ku.
“Gaby, kamu pengen ketemu aku kan?” ajaknya. Senyumnya masih sama, senyum Adrian-ku.
“Tapi kamu... bener Adrian kan?” Aku masih tidak percaya. Mataku bisa saja salah, tapi hatiku tidak. Perasaan yang kurasakan, getaran yang terus berkecamuk di dadaku ini, hanya Adrian yang bisa melakukannya. Kupastikan dengan logika yang masih tersisa, dia benar Adrian-ku.
“Ayo ikut aku!” kata Adrian terburu-buru. Dia genggam tanganku, membawaku pergi dari tempat ini. Genggaman tangan yang kurindukan ini, akhirnya bisa kurasakan kembali.
Seperti mimpi. Aku dan Adrian bersama lagi.
Lalu aku teringat mama dan tante nyebelin itu, berkelebatan di mataku. Kakiku melambat. Adrian menoleh jauh ke arah mama yang mengejar di belakang kami.
“Gaby! Kamu mau kemana?” teriakan mama terdengar sangat jelas. Cemas dan takut. Kulihat dirinya melupakan mobilnya dan memilih berlari untuk mendapatkan aku kembali. Tante nyebelin itu juga disana. Ikut berlari mengejarku, mengejar kami.
Terlambat ma. Aku sudah bertemu Adrian. Dan keputusanku adalah bersama dengannya. Aku sayang mama. Tapi tante nyebelin itu, aku membencinya. Maafin Gaby, ma!
“Gaby,” panggil Adrian. Kami masih berlari dengan kecepatan yang mamaku tidak bisa kejar. Wajahnya berangsur-angsur memucat. “Aku sayang kamu!” katanya. Kurasakan tangan dingin Adrian semakin menusuk ke sela-sela jemariku. Sehingga aku yakin dia tidak akan melepaskanku.
Kami berlari menjauh dari mama. Menembus matahari siang di jalanan yang ramai. Kami terus berlari, semakin jauh. Sampai aku tidak bisa melihat mama lagi. Kami tetap berlari tanpa tahu kapan kami akan berhenti.
Kakiku mulai lelah. Nafasku tersengal. Tenggorokanku kering. Aku ingin berhenti, Adrian. Mataku berkunang-kunang, buram. Perlahan menghitam dan hilang. Kulepaskan genggaman tanganku. Begitu juga kesadaranku.
***
Adrian berdiri di pinggir tebing. Menelungkupkan tangannya di mulut lalu berteriak, “Gaaaaaabyyyy!” Suaranya menggema.
“Dengerin aku,” lanjutnya. Adrian menatapku dari atas tebing, memastikan perhatianku terpusat padanya.
“Apa?” balasku, polos. Sepuluh tahun aku mengenalnya, ini kali pertama Adrian bersikap serius dan liar. Biasanya dia cenderung cuek dan slengekan.
“Gaby, aku sayang sama kamu. Aku mau jadi lebih dari teman kecil kamu.”
Aku terdiam. Bagaimana bisa kata-kata secantik itu keluar dari mulutnya yang jahil. Walaupun aku mengharapkan... menantikan dia ngomong seperti itu padaku. Tapi jujur aku merasa aneh sekaligus bahagia. Seperti ada bom di dadaku yang membuatnya berdebar sangat kencang. Dan ada angin puting yang mengobrak-abrik isi perutku.
“Kamu ga usah bingung buat jawab apa. Karena ini pernyataan, bukan pertanyaan.”
Adrian berbalik membelakangiku. Menghadap cahaya sunset yang sedikit lagi menghilang.
Aku juga... sayang kamu... Adrian!
Perlahan-lahan cahaya jingga itu berubah menjadi bayangan. Bayangan yang sangat besar sampai bisa menutupi langit. Mengubahnya menjadi hitam. Adrian menghilang dalam kepulan asap hitam yang membentuk spiral. Berganti dengan cahaya menyilaukan berwarna putih. Mataku tidak bisa melihat apa-apa saking silaunya.
TINNNN... Klakson kendaran memenuhi telingaku. Pengang. Berisik. Ada apa? Apa yang terjadi? Mimpi. Ya, aku pasti bermimpi. Aku tertidur di dalam mobil. Lalu aku memimpikan kedatangan Adrian. Kami berlari, kabur dari mama dan si tante nyebelin. Itu yang sedang terjadi padaku saat ini.
“Gaby! Sadar, Gaby! Sadar!” suara Adrian. “Gaby, kamu denger aku kan? Buka mata kamu!” suaranya terasa dekat.
“Adrian,” aku mengerjap. Wajahnya sangat dekat denganku karena dia memelukku. Tapi sudut pandang ini terasa aneh. Yang kulihat hanya kaki-kaki yang berlari menghampiriku. Dan sebuah mobil dengan kap berasap dengan motor Adrian di bawahnya, ringsek.
“Adrian!” aku mencoba membangunkannya.
Adrian tidak bergeming.
Orang-orang mengerumuni kami. Mulut mereka terbuka seperti berbicara tapi aku tidak mendengar apa-apa. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka diskusikan. Orang-orang itu, mereka bahkan memisahkan pelukan Adrian terhadapku. Lalu membaringkannya di plastik orange yang jauh dari tempat mereka mendudukkanku. Dua orang lainnya, berpakaian serba putih, menutupiku dengan kain hangat.
Aku masih tidak memahami apa yang terjadi. Pengang rasanya. Orang-orang berlarian kesana kemari. Sirine polisi. Mobil ambulance. Kusumpal telingaku dengan telunjuk.
KYAAAAAA~~~!!!!!!!!!!
***
Aku terbangun. Kulihat Adrian menatapku dipangkuannya. Aku bangun, menyamankan tubuhhku dengan bersandar ke pohon yang ada di belakang kami. Tempat ini sangat asing. Dataran luas dengan rumput hijau yang bergerak diterpa angin. Dan aroma daun mint.
“Kita dimana?”
“Di tempatku!” Adrian menyandarkan tubuhnya ke pohon, di sampingku, “Aku mau kamu ngeliat tempat ini, tempat yang aku siapin buat kita.”
“Buat kita?”
“Ya!” Adrian mengangguk.
“Aku suka.” Kuberikan senyumku padanya.
“Tapi ga sekarang, Gaby. Belum waktunya kamu disini.” Adrian meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. “Aku tau kamu inget... kecelakaan waktu itu. Tapi kamu gak ngebiarin diri kamu buat nerima apa yang udah terjadi sama aku. Kamu terus nunggu padahal kamu tau aku ga akan datang. Gab-”
“Kamu ngomong apaan, sih?” Kualihkan pandanganku darinya. “Kamu ada disini, di depan aku. Kamu pegang tangan aku, kamu tatap mata aku. Kita sama-sama disini. Aku ga suka kamu ngomong kayak gitu.”
“Gaby, ini gak akan lama. Cepat atau lambat, kamu harus pulang.”
“Kenapa? Kita udah sama-sama selama 10 tahun. Apa salahnya kalau kita sama-sama 10 tahun lagi. Bahkan kita bisa sama-sama selamanya.” Kuusap air mata yang terlanjur menetes. “Aku suka tempat ini. Tenang. Ga ada mama yang cerewet, yang terus-terusan ngajak aku ke rumah tante nyebelin. Dan ga ada tante nyebelin yang sok tau. Disini juga ada kamu. Aku-”
“Gaby, dengerin aku!”
“Ga!” kulepaskan tanganku, “Aku tau kamu pasti datang. Buktinya-”
“Gab...”
“Ga!” bentakku.
“Sampai kapan kamu kayak gini?”
“Selamanya, Adrian!” teriakku lebih keras, “Selamanya aku bakal nunggu kamu. Karena aku tau kamu pasti datang. Buktinya, aku bisa pegang kamu dan kamu bisa pegang aku. Liat, kan?” kupeluk dirinya erat, “Kita sama-sama.”
“Gaby,” Adrian melepas pelukanku, “Belum saatnya kamu disini, Gab. Kamu harus pulang.”
Aku menangis. Air mataku mengalir menenggelamkan ketakutanku. “Aku ga mau. Aku ga mau kesepian lagi. Kamu tau kan mama sama papa selalu sibuk. Kalau ga ada kamu, siapa yang bakal nemenin aku? Siapa yang bakal selalu ada buat aku?”
“Maafin aku, Gaby!”
***
Masih kuingat pelukan terakhir Adrian saat itu. Pelukan yang menyelamatkanku dari kerasnya aspal jalanan. Tubuhku juga masih mengingat betapa dingin pelukan terakhir Adrian. Pelukan yang membuatnya pergi untuk selamanya. Aku tidak mampu berpikir apa-apa sejak Adrian datang dalam imajinasiku. Ya, aku tahu Adrian sudah meninggal. Tapi masih saja hatiku menyangkal.
Kulihat jendela yang terbuka di dekat ranjang rumah sakit. Udara yang masuk tampak bebas menggerakkan tirai yang menggantung. Serpihan cahaya jingga di langit sore seolah menenangkan. Bisakah aku bertemu dengan Adrian setelah melewatinya? Mungkin.
Aku menghampiri mama yang tertidur di sofa. Kucium keningnya pelan, takut membuatnya bangun. Selama ini aku salah. Aku tidak membencinya. Aku sayang padanya. Aku menginginkan perhatian lebih darinya. Tapi 50 karyawan di pabrik lebih membutuhkan mama, kan. Untuk itu aku mengalah. Dan papa, aku juga sayang papa. Tapi klien papa lebih membutuhkan papa, kan? Untuk itu aku mengalah, lagi. Sekarang aku mengerti.
Dengan kekuatan yang tersisa dari diriku, kunaikkan kakiku ke kusen jendela. Pandanganku menyapu seluruh kota yang mulai menghitam. Genangan air perlahan membasahi mataku, mengaburkan penglihatanku. Hatiku berdebar. Kupejamkan mata dan kurentangkan kedua tangan. Angin begitu dingin menerbangkan pakaianku. Membawa tubuhku terbang ke tempat Adrian berada. Aku tidak akan kesepian lagi. Karena akan ada Adrian bersamaku.
Selamanya.
~E.N.D~