HARI MINGGU pagi, hujan rintik-rintik mengguyur kota Bandar Lampung. Bagus memandang keluar jendelanya sambil membawa selimut. Titik-titik embun mulai terbentuk di sekitaran kaca jendelanya. Saat Bagus tengah memikirkan mau melakukan apa hari ini, ada yang mengeruk pintu kamarnya.
“Apa?” tanya Bagus dengan wajah muram, saat melihat Faiz yang mengetuk pintu kamarnya. Mereka masih berdiri di ambang pintu saat mengobrol.
“Mas Bagus disuruh Papi buat ganti oli mobil, sama sekalian cek servis.”
Bagus menggaruk kepalanya. “Ngapa gak papi sendiri aja, sih?”
Faiz mengangkat pundaknya. “Kata papi, abis sarapan langsung ke bengkel langganan papi.”
Bagus menghela nafas jengah. Papinya yang menyuruh tak mungkin dia menolak, itu durhaka namanya. Kalau Malin Kundang durhaka, dikutuk jadi batu. Kalau Bagus yang durhaka, dia pasti akan mendengar seharian papinya konser di depan mukanya. Suara fals dan sumbang, yang sama kucing kejepit saja, masih lebih merdu suara kucingnya. Siapa yang bisa tahan mendengarnya.
“Nanti abis sarapan, Mas bawa mobilnya.” Bagus pun menutup pintu kamarnya.
Selanjutnya dia membersihkan badan dan mengenakan baju yang pantas sebelum turun kebawah.
“Mana, Pi, kuncinya?” tanya Bagus saat mendapati papinya tengah menikmati sarapan.
“Santai, Gus, duduk aja dulu. Makan, nih, nasi goreng buatan ibumu.”
Bagus menggeleng. "Gak, ah, Pi. Mau langsung aja, abis ini Bagus mau ke studionya Fandi.”
“Mau ngapain ke sana?”
“Yah biasalah ada bisnis.”
Hartawan meletakkan sendok dan garpunya ke piring. “Papi dengar kemarin, Fandi bisa dapat laba hampir lima puluh juta bulan ini.”
Mulai lagi, pikir Bagus. “Udah deh, Pi! Kasihin aja kuncinya.”
“Hmmh, senengnya jadi orangtua Fandi," Hartawan menopang dagu dengan kedua telapak tangannya, sambil mengerjapkan mata. Seolah tengah berhayal kenikmatan harta yang hakiki.
Bagus tak tahan lagi, dia cari kunci dengan mengobrak-abrik tubuh papinya. “Mana, Pi ...” katanya dengan kesal. Sedang Hartawan malah tampak sangat puas mengerjai Bagus.
“Mas Bagus?” Fandi menghentikan tingkah Bagus.
“Apa!” jawab bagus dengan nada tinggi.
Faiz sedikit gugup, dia angkat kunci mobil milik papinya perlahan-lahan, sampai sebatas wajah. “Ini kuncinya.”
“Sini!” Bagus mengambilnya. “Bilang daritadi harusnya!”
Faiz hanya diam, sambil matanya melirik pada Papi. Hartawan mengerjapkan mata,. "Biar aja..” bisiknya.
“Gus!” Hartawan memanggil anaknya kembali.
“Apalagi, Pi?” Bagus nampak tak ingin di usili papinya lagi.
“Butuh uang gak, buat bayar bengkelnya?”
Bagus tersentak, dia lupa kalau kantongnya sudah tipis. Namun, jika dia menerima uang dari Hartawan, itu berarti dia mengakui kalau sedang tak punya uang.
“Gak usah, Pi. Bagus masih ada uang.”
“Yang beneeeer?” tanya Hartawan, meledek.
Bagus tak mempedulikan, dia langsung pergi meski masih medengar suara cekikan dari papi dan Faiz.
Sahima yang baru saja membuatkan kopi, mencubit manja suaminya tersebut.
“Papi, ini,” katanya sedikit gemas. “Bagus digangguin terus, udah tau kalau anak itu jarang dirumah. Kalau Bagus-nya pergi lagi, gimana?”
Hartawan tersenyum manja. “Biar aja. Abis, Bagus itu gak peka sama Papi. Jarang pulang, tapi gak pernah mau ngobrol sama Papi, padahal Papi kangen sama dia.”
Disela-sela obrolan antara Hartawan dan Sahima, Anggun datang membawa sisir dan karet. Ia serahkan pada ibunya agar mau mengunciti rambutnya
“Dulu,” lanjut Hartawan sambil melihat Sahima menyisir rambut putrinya. Bagus itu paling manja sama Papi. Waktu masih kecil, mendiang mami-nya kan lebih tegas dari Papi. Jadi dulu, apa-apa ke Papi. Sekarang, kalau gak di ganggu, gak mau ngobrol.”
Sahima hanya mengangguk perlahan, “dia anak pertama. Jadi mungkin mau belajar mandiri. Apalagi, dia sekarang udah dewasa.”
“Iya, Bu..” Hartawan mengedipkan mata pada Anggun, membuat anak bungsunya itu menyunggingkan senyuman.
***
Bagus pergi ke bengkel langganan Hartawan. Setelah registrasi dan menyerahkan kunci mobil, dia duduk di ruang tunggu sambil membaca majalah otomotif yang disediakan. Perut Bagus bunyi, beberapa menit kemudian. Dia baru ingat kalau tadi dia belum mengisi perutnya dengan apapun. Semua karena ulah Hartawan. Setiap kali mereka akan sarapan bersama, pasti dia membuat suasana jadi tidak “nyaman”.
Sambil menunggu mobilnya selesai diganti oli sekalaigus cek servis, Bagus memutuskan untuk mencari sarapan. Kebetulan tak jauh dari bengkel itu ada minimarket. Tinggal menyebrang lalu berjalan sepuluh meter saja. Bagus pergi kesana. Baru saja dia sampai ke sebrang, Tio-muridnya, melintas.
Tio seorang diri, mengenakan kaus hitam berjalan dengan satu tangan masuk ke kantung celana. Dia tampak terburu-buru, matanya juga menatap acak kemana-mana. Dia bahkan tak melihat Bagus ada di sekitaran sana. Sepertinya ada yang aneh dari Tio.
Bagus yang sudah membuka mulut ingin menyapa Tio-pun mengurungkan niatnya. Awalnya Bagus tak menghiraukan, dia pikir bisa saja Tio memang sedang ada urusan. Kala Bagus coba ingat ekpresi Tio tadi, kelihatannya dia panik dan Bagus penasaran tentang apa yang Tio simpan dalam kantung celananya.
Pikiran Bagus jadi berubah. Dia merasa ada yang tidak beres dengan Tio. Jangan-jangan, muridnya itu mau tranksaksi narkotika. Bang haji Rhoma Irama udah jelas nasihatin, itu haram. Sebagai anak dari fans berat Rhoma Irama, Bagus harus mencegahnya!
Bagus segera menyusul Tio. Jika duga’annya benar, setidaknya dia bisa menyelamatkan Tio sebelum dibekuk Polisi.
Bagus mengikuti Tio, secara senyap bak detektif. Dia perhatikan langkah Tio. Rupanya Tio menuju gang sempit yang ada di belakang Mall di jalan Teuku Umar. Tio berjalan masuk, terus dan semakin mempercepat langkahnya.
Sampailah Tio di sebuah pos Ronda. Disana ada tiga orang yang seusia dengannya sudah duduk menunggunya.
“Nah, dateng juga..” kata salah satu dari mereka.
Bagus memperhatikan dari kejauhan. Sayang dia tak bisa mendengar percakapan yang sedang terjadi disana.
Dari pandangan Bagus, sepertinya mereka bukan anak baik-baik. Rambut menjulang keatas berwarna hijau kebiru-biruan. Sungguh membuat pagi hari yang mendung itu jadi silau. Anak itu dikenal dengan nama Ipang. Satunya lagi berambut cepak, bercelana sobek-sobek ala anak punk, dia adalah Alung. Sementara yang lain, yang biasa dipanggil Oji, dari sisi baju terlihat normal. Hanya saja tindikan di daun telinganya itu yang membuat Bagus bergidik.
“Mana file-nya?” tanya Tio.
“Eit, lo bawa, kan, yang kita pesen kemaren? Kasihin dulu!” perintah Ipang.
Tio mengeluarkan sesuatu yang ia jaga dari tadi. Rupanya itu uang, dalam jumlah yang lumayan besar untuk ukuran anak SMA, terlihat dari gulungannya yang cukup tebal. Tio menggenggam uangnya.
“Kasih dulu file-nya. Baru gua kasih uangnya,” pinta Tio.
Tio membuat tiga orang yang menunggunya tadi kesal. Alung kemudian mencengkram tangan Tio. “Berani lo, sama kita?”
Tio mencium bau alkohol dari mulutnya. Meski takut, Tio masih menggengam uangnya.
“Gua kasih uangnya, setelah kalian semua serahin file video itu.”
“Hajar aja udah, lama!” tambah Oji.
Tio memejamkan mata, serasa yakin tinju akan mendarat di wajahnya.
“Hoi!” teriak Bagus. Dia tak bisa membiarkan muridnya di dzolimi begitu.
Tio membuka mata, ternyata wajahnya masih selamat. Dia menoleh ke belakang. Antara bersyukur dan heran, kenapa bisa ada Bagus disitu.
“Aduh..aduh..” Bagus menggelengkan kepala sambil menahan tawa. Bagus terus mendekat kearah mereka. Sekarang dia berada di antara empat orang tersebut. “Apa’an ini, kalian mau berantem? Haduuhhh...” Bagus memegangi jidatnya. “Gak punya teknik dalam bertarung tapi mau menyerang orang,”
“Seperti ini,” Bagus memukul-mukul dengan pelan perut Alung. “kalau kedua tanganmu fokus keatas, dan sisi pertahanan bawahmu kosong. Kau gak berpikir, seandainya Tio menancapkan pisau kesini,” Bagus menekan perut Alung, “ususmu bisa berantakan. Byar!” Bagus menepuk tangannya.
Empat anak muda itu terperangah. Mereka bingung karena tiba-tiba saja Bagus muncul dan menggurui mereka.
“Lepasin anak ini,” kali ini Bagus menajamkan pandangannya. Bahkan Bagus sampai mencengkram tangan Alung. “Gak baik berbuat begini, dengan sesama manusia. Apalagi kalian keroyokan.”
“Woaah Tio punya pengasuh rupanya,” ejek Ipang.
“Baby Tio,” Alung menepuk wajah Tio, “hari ini lo selamat ya.”
Tio menangkis tangan Alung, “serahin file itu sekarang! habis itu kita gak ada urusan.”
File?file apa yang sedang mereka bahas. Apa ini penting buat Tio? Bagus jadi bertanya-tanya sendiri.
“Kita gak mau kasihin sekarang,” ujar Ipang. Dia pun mengajak kedua temannya pergi. Deb! Bagus mendaratkan tangannya di pundak Ipang. Ipang yang sudah membalikkan badan itu menoleh. “Ssh! Kok situ jadi nantang?”
“Kasih yang dia pinta.”
“Kalau gak mau, kenapa?” jawab Ipang dengan gaya menantang Bagus.
Bagus meremat pundak Ipang sambil terus menekannya kebawah.“Kalau bicara dengan orang yang lebih tua,” ucap bagus seraya mengerahkan seluruh tenaganya, “biasakan yang sopan.” Tekanan Bagus begitu kuat, kedua lutut Ipang sampai tertekuk kebawah. Terus turun sampai dengkulnya menyentuh tanah. Jadilah dia seperti orang yang bersimpuh.
Oji dan dan Alung memandang takjub, sebab mereka melihat sendiri Ipang mencoba melepas cengkraman Bagus tapi tak bisa.
“Nah! Begini lebih sopan,” kata Bagus.
Melihat temannya diperlakukan begitu, Oji memberanikan diri untuk menyerang Bagus. Pukulan dari arah belakang coba dia berikan, namun dengan satu tangan Bagus bisa menangkap tangan Oji. Bagus remas tangan Oji, sampai tulang jarinya terdengar gemeretak.
“Aw!Aw! Oji mengerang kesakitan.
“Ish..ish.. kalian ini, gak sopan sama yang lebih tua ya!” Bagus melepas tangan Oji. “Kasih file yang Tio pinta. Sekarang!”
Ipang yang merasa kalah, mengeluarkan flash disk dari sakunya. “Tuh!” katanya dengan kesal. Bagus tersenyum puas, “gitu dong!” Bagus melepaskan Ipang. Ipang yang baru saja dilepas, memijit lembut pundaknya sendiri. “Kalian ini sekolah atau gak?”
“Ngapain nanya-nanya?” jawab Alung ketus. “Mau biaya’in memang?”
Bagus coba berdiskusi dengan mereka. “Sini, saya kasih tau,” katanya sambil merangkul pundak Alung. “Kalau kalian berkeliaran seperti ini, mengejar uang receh. Kalian itu gak ubahnya, seperti anjing yang mengejar ekor. Kalian senang hanya sementara dan capek. Sampai akhirnya kalian sadar, kalau perut kalian kosong dan akhirnya mati.”
“Coba lihat ini,” Bagus menunjuk pada penampilan mereka, “mau punya masa depan apa kalian?”
“Perempuan di jaman modern begini, lebih suka dengan pria mapan. Kalau kalian begini,” Bagus memperhatikan mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki, “ tampang gak seberapa, uang gak ada hakkkh...” Bagus menghela nafas. Orangtua mana yang mau mengizinkan anak gadisnya bersama mereka. “Kalian pernah denger istilah modern. Jadilah mapan, dengan begitu wajah kalian termaafkan?”
“Bahkan sebenarnya,” Bagus menggaruk dagunya memperhatikan wajah mereka.
Mereka terlihat kotor, setelan yang tidak cocok di wajah mereka, kulit hitam kusam. “Kalaupun kalian mapan, wajah kalian sulit untuk dimaafkan.”
Ck! Ipang berdecak. “Kita gak ada biaya buat sekolah,” sergah Ipang. “Lagian, mana ada sekolah yang mau terima kita.”
Bagus mengibaskan tangannya. “Kalian ini gak kreatif! Kalau gak ada biaya buat sekolah formal, cobalah cari ilmu yang lain. Belajar itu gak harus di sekolah. Tuh, pebisnis yang hartanya melimpah kenyataannya banyak yang gak sekolah tinggi.”
Alung, Ipang dan Oji saling berpandangan. “Ah! gini aja,” Bagus mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. “Simpan ini,” katanya seraya menyerahkan kartu nama. “Itu alamat rumah saya, kalau kalian butuh bantuan atau memang niat mau belajar, dateng aja ke situ. Gimana caranya, nanti saya bantu.” Ipang menerima kartu nama Bagus, dia liat sebentar kartu nama tersebut.
“Kita pikirin nanti,” ucap Ipang. “Yuk cabut!” dia mengajak kedua temannya.
Setelah mereka pergi, Tio dengan ragu dan takut menegut Bagus. “Pak,” katanya sambil mendekat.
“Ya?” Bagus menanggapi.
“Mereka kan anak jalanan, kok Bapak malah mau mengajari mereka. Bapak gak liat tadi, mereka memeras saya?”
Bagus tersenyum simpul, “aah kau ini. Yang itu biar urusan Bapak.” Bagus kemudian merangkul Tio, “Yuk cari sarapan. Kamu yang traktir Bapak.”
Tio melotot, “’kan, Bapak yang guru?”
Bagus menyeret Tio, “pelit amat. Apa salahnya, murid traktir guru?”
***
“Tiga anak tadi, ada urusan apa dengan kamu?” tanya Bagus, usai pramusaji restoran cepat saji meletakan pesanan mereka, Amricano dan sandwich.
Tio menatap Bagus. Dia ragu untuk mengatakan pada Bagus masalah yang sebenarnya.
“Cerita aja, gak apa. Siapa tau Bapak bisa bantu.”
Tio masih diam, hanya sesekali meneguk minumannya. Bagus tak dapat memaksa, “ya udah kalau gak mau cerita.”
“Mereka memeras saya, Pak,” akhirnya Tio bersuara. “File yang tadi saya minta, itu adalah video kakak saya yang mereka kerjain.”
“Serius? Kenapa gak bilang?” Bagus mulai antusias.
Tio menunduk. “Kakak saya menderita down sindrome. Mereka kerjain dengan menyuruh kakak saya minum es sisa mereka. mereka suruh minum sebanyak-banyaknya, sampai kakak saya muntah. Dan itu..” kata-kata Tio terasa tertahan di jakunnya, “mereka video-in.”
Bagus mendesah, “ck! Terus kamu mau nurut aja dikerjain gitu? Kenapa gak lapor siapa gitu?”
“Kasian kakak saya. Ibu sama Bapak, pasti bakalan ngurung dia.”
Bagus mengangguk perlahan, rupanya ini permasalahan yang lumayan pelik. “Terus, tadi?”
“Mereka ngancem bakalan nyebarin. Makanya saya pinta file-nya. Tapi sebagai gantinya, mereka minta uang lima ratus ribu.”
“Bodoh!” bentak Bagus. “Kalau kau kasih uangnya, belum tentu mereka hapus video itu!”
“Saya gak punya cara lain, Pak. Saya gak bisa berantem, kaya’ Bapak.”
Bagus memperhatikan Tio. “Gini. Kalau ada orang yang mengancammu jangan takut! Gunakan strategi untuk mengancam balik.”
“Cobalah jadi pemberani,” kata Bagus pada muridnya yang berwajah sangat lugu itu.
“Ss..ssa..ya,” ucap Tio terbata.
"Bicara yang tegas! Dan coba...” Bagus menunjuk ke arah Tio. “Tegakkan punggungmu, jangan sering bungkuk begitu,” perintah Bagus.
Tio menurutinya, ia tegakkan punggungnya perlahan. “Terus, lebih tegak lagi!” tambah Bagus.
“Begini, Pak?” tanya Tio saat tubuhnya dirasa tegak maksimal.
“Nah, itu baru bagus. Kau tau, orang itu yang pertama dilihat adalah bahasa tubuhmu. Untuk itu, tunjukan kalau kau adalah orang yang berani dan kuat. Masalah isi hati, cukup kau saja yang tau. Pertahankan seperti itu.”
Tio meringis. “Begini, Pak?”
“Iya.”
“Tapi, kalau sambil makan, susah juga Pak.”
Bagus tertawa, “iya juga ya. Yah, kau boleh bersikap seperti biasa.”
Tio menghela nafas lega. Memang lebih nyaman jika dia makan dengan gaya natural.
Bagus mendekatkan makanan pada Tio, “makan yang banyak, supaya kau lebih berisi.”
“Baik, Pak,” Tio menurutinya.
@yurriansan sama sama ... 😄😄
Comment on chapter TIGA SEKAWAN