SUDAH SIANG. Saatnya Bagus menjalankan tugasnya sebagai pengajar. Ba’da sholat jum’at atau sekitar pukul satu siang, dia ada jam kelas sepuluh C. Kelasnya Azka dan kawan-kawan. Tadi pagi, Bagus sudah “mencari masalah” dengan Azka. Itu berarti, siang ini juga Bagus harus menerima pembalasan Azka.
Bagus sudah di kelas, dia perhatikan seisi ruangan. Syurkurlah, kali ini bangkunya penuh. Terlebih, Bagus menyoroti tempat duduk Azka. Ternyata dia ada disana. Namun jangan terlalu senang dulu, Azka masih ada di kelas bukan untuk mendengarkan Bagus, tapi dia ada disana untuk membalas Bagus.
“Kon’nichiwa minasan,” Bagus membuka kelas, yang berarti selamat siang.
“Konichiwa, sensei...” sahut murid-murid.
Bagus melanjutkan perkenalannya.
“Nama Bapak, Perkasa Bagus Hartawan, biasa dipanggil Bagus. Bapak disini bertugas untuk menggantikan Pak Malik. Mohon kerjasamanya.”
Saat mendengar kata “Perkasa” pada nama Bagus, para siswi langsung berbisik. Yah, kata itu memang sering membuat orang merasa takjub. Apalagi saat melihat bentuk tubuh Bagus yang proporsional, rasanya nama itu pantas disematkan padanya.
“Baik anak-anak, demikian perkenalan singkat dari Bapak. Ada yang mau ditanyakan?” Bagus mempersilakan pada muridnya.
Bagus berdiri di depan kelas. Sesekali matanya menyapu seisi ruangan, di sela-sela ia memperkenalkan diri.
“Pak!” seorang siswi mengangkat tangan. “Status Bapak, apa?”
Siswi yang bertanya itu bernama Mega, sontak saja seisi kelas menyorakinya. Mega, siswi berkacamata dengan lesung pipit di pipinya itu hanya menunjukan wajah masam saat disoraki.
“Sirik aja, deh!” ucapnya sinis.
“Tenang semua...!” pinta Bagus, agar kelas tak terdengar seperti pasar. “Terimakasih untuk pertanyaanya, Bapak masih single.”
“Pak,nomor hape, Bapak, berapa?” tanya siswi yang lain.
“Nomor hape?” Bagus keheranan.
“Iya, Pak,” jawab Nanci, siswi yang bertanya tadi. "Kan, kalau kita ada pelajaran yang susah, bisa langsung telpon Bapak.”
Lagi, suara sorakan siswa terdengar. “Modus aja lu, Nan!” ada yang berujar begitu.
“Oh gak masalah ...” Bagus kemudian mengambil sebuah spidol. Ia gunakan benda itu untuk menuliskan nomor ponselnya di papan tulis. “Ini nomor Bapak, silahkan save.”
Para siswi kompak, mencatat nomor telpon Bagus di dalam buku catatan mereka. Azka memperhatikan Sonia. Dari pandangannya, Sonia terlihat antusias untuk mencatat nomor handphone Bagus. Azka memang tak bisa menampik, bahwa gurunya itu sangat sempurna secara fisik. Dia bagaikan magnet dan para perempuan di sekolah adalah besi yang berserakan. Mereka dengan mudahnya tertarik pada Bagus. Termasuk Sonia, siswi yang sudah lama Azka sukai.
Bagus menyudahi perkenalannya. Meski kelas belum terlalu tenang, dia langsung memulai pelajaran. Materi hari ini tentang, cara memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang. Bagus menjelaskan, secara umum perkenalan biasanya dimulai dengan salam. Salam bisa disesuaikan dengan kondisi, jika itu pagi kita bisa gunakan kata ohayo yang berarti selamat pagi, kon’nichiwa yang berarti selamat siang, atau konbanwa yang berarti selamat malam.
“Pak!” Azka mengacungkan tangannya.
Bagus membalikan badan. "Ya, ada apa?”
“Izin ke toilet, Pak.”
Bagus mengernyitkan alisnya, toliet? Jangan-jangan cuma alasan untuk kabur dari pelajaran, pikir Bagus. Namun, seburuk apapun pikiran Bagus pada Azka, dia tetap tidak boleh mencurigainya berlebihan. Sebagai seorang guru, Bagus harus bisa memberi kesempatan. Siapa tahu, kali ini Azka jujur. “Silahkan,” jawab Bagus.
“Mau ngapain lagi, lo?” Deva berbisik.
“Ada, deeh....” jawab Azka, dengan gaya tengilnya.
Azka keluar dari bangkunya, pergi menuju toilet. “Misi, Pak,” kata Azka berlagak sopan, tapi tetap saja mencurigakan. Bagus membiarkan Azka lewat, dia kembali melanjutkan mengajar.
Lima menit berlalu, Azka belum kembali. Sepuluh menit sudah, tak jua datang. Wah bener, dikerjain lagi ama itu anak, pikir Bagus.
“Siapa disini yang temen akrab Azka?”
“Tio, Pak!” sahut Deva. Dia hanya menunjuk Tio tanpa mengakui kalau dirinya juga dekat dengan Azka.
“Lah, kok, gua?” Tio mengernyitkan dahinya.
“Ummh, Tio, Bapak bisa minta tolong?”
Tio melotot sekilas pada Deva yang menunjuknya.
“Ya, Pak.”
“Cari temen kamu, kalau sudah selesai suruh ke kelas sekarang. Bisa?”
“Ya, Pak,” Tio bergerak menyusul Azka.
Tiga menit kemudian, Tio kembali. “Mana Azka?” tanya Bagus, saat melihat Tio kembali tak bawa hasil.
“Azkanya masih ada panggilan alam, Pak.”
“Alam mana yang manggil selama ini?”
Mendengar pertanyaan Bagus, seisi kelas riuh dengan tawa. Tio mengangkat pundaknya, “gak tau, Pak.”
“Kalian semua, silahkan buka latihan halaman tiga puluh empat. Bapak mau menyusul teman kalian itu.”
“Baik ,Pak ...."
Bagus mencari Azka di toilet siswa. Ada satu pintu toilet siswa yang terkunci, Bagus yakin kalau Azka bersembunyi disana.
“Heii yang di dalam,” ucap Bagus di depan pintu toilet.
Tak ada jawaban dari dalam. Bagus mengetuk. “Apa kamu mau tidur di dalam toilet? Keluarlah!”
Bagus tak juga mendengar jawaban apapun. Bagus mulai kesal. Sial! Dia benar-benar tidak menghargai aku sebagai gurunya. Bagus berpikir, jika dia bukan seorang guru, tentu yang dia lakukan saat ini adalah menendang pintu kamar mandi itu dan menyeret Azka keluar. Dia mendesah, sayangnya saat ini statusnya adalah seorang guru. Jika dia melakukan itu, bisa-bisa dia dipecat.
Bagus mendengar suara air mengguyur closet, di saat ia tengah berpikir. Syukurlah, berarti Azka masih mau mendengarkannya.
“Loh?!” Bagus melongo, saat melihat yang keluar bukan Azka. Tapi, Ahmad, siswa kelas sepuluh A.
“Bapak kebelet?” tanya siswa yang baru saja keluar dari toilet dengan polosnya. “Toilet guru bukan disini, Pak.”
Bagus mengerang, “bukan, Bapak cari Azka.”
“Ooh, anak sepuluh C, itu? tadi dia udah keluar Pak.”
Bagus terheran-heran. “Lewat mana? Kok, Bapak gak liat?”
“Entah.”
Bagus memperhatikan sekitar, terlihat ada jalan dari bagian belakang toilet, yang bisa tembus ke samping kelas sepuluh A sampai C. Kemungkinan Azka lewat situ dan kembali kekelas melalui jendela. siaaal! Kena dikerjain lagi.
“Makasih, Nak,” Bagus segera kembali ke kelas.
Saat berada di kelas, benar saja, ternyata Azka sudah ada di sana. Dia sok sibuk mencatat apa yang tertera di whiteboard. Bagus tak membahas lagi, perihal tingkah Azka, karena sudah pasti Azka membuat alasan. Namun, jika besok dia mau begini lagi, Bagus harus cari akal supaya dia tak berhasil.
***
“Anak itu benar-benar keterlaluan, Fan, gak ngehargain guru sama sekali!” Bagus menggerutu.
Hari sudah sore, Bagus baru saja sampai di rumah. Kebetulan, Fandi, sepupunya, yang sekarang berada di Osaka, menelpon. Langsung saja dia keluarkan unek-uneknya pada Fandi.
Bagus merentangkan tubuhnya di atas tempat tidur, sepatunya-pun masih ia kenakan. Hari ini dia begitu penat, kesal dan kepanasan. Sambil menyalakan pendingin ruangan di dalam kamarnya, ia memijit kepalanya perlahan.
“Kamu lupa? Dulu kamu juga begitu,” ucap Fandi.
“Enak aja!” sergah Bagus. “Aku masih menghargai guruku. Lagipula dulu aku pinter. Meski nakal.”
“Iya deh! Terus gimana? Mau nyerah.”
“Gak. Aku akan coba untuk jadi bijak, tapi kalau kebijakanku ini gak ada gunanya ...” Bagus meremat tangannya sendiri.
“Hei..hei...” Fandi menyadarkan Bagus. “Jangan berbuat kasar. Ingat sekarang ada undang-undang yang bisa memidanakanmu kalau kamu kasar dengan murid.”
“Itu dia!” sahut Bagus, “sayangnya kenapa guru dilarang keras lagi pada murid. Padahal kalau masih bisa,” Bagus menatap tangannya sendiri yang mengepal, “itu lebih ampuh untuk membuat jera.”
“Itu bar-bar, namanya!”
“Kapan kamu pulang?” Bagus mengganti topik pembicaraan. “Rencananya hari Minggu besok, aku mau ke Pahawang. Mau liat terumbu karang, sekalian berburu photo bawah laut. Mau ikut, gak?”
Fandi mendesah sejenak. “aktu baru pulang besok. Kaya’nya masih capek kalau mau bepergian lagi. kamu aja, lah.”
“Ah cupu!” ejek Bagus.
“Biar. Lagian yang perlu banyak belajar moto, kan, kamu. Kalau aku, udah sukses dengan bisnis EO-ku. hee...”
“Yaa! Aku belum beruntung aja. Situs yang aku tuju, belum bisa liat makna dari foto yang aku ambil.”
“Hahaha...” Fandi terbahak, “Gus, mau dengar apa yang aku pikirkan?”
“Hmmh, apa?”
Fandi berdehem sebelum dia bicara, “ada hal yang udah lama mau aku kasih tau ke kamu. Tapi jangan tersinggung, ya?”
“Ok!” Bagus mempersilakan Fandi bicara.
“Aku rasa, kamu perlu belajar lagi soal teknik mengambil gambar. Soalnya ...”
“Yah, aku memang masih belajar. Aku tau itu.”
“Bukan. Maksudku, untuk fotomu jangan harap menghasilkan uang dulu.”
Bagus membelalakan matanya, “Aku belum mujur, itu aja.”
"Aku kasih tau ke kamu, soal foto pria yang di balkon menatap kosong kedepan, yang kau beri label “misterius” itu. Kamu tau, pria itu malah tampak seperti orang BEGO, ketimbang misterius.”
Bagus mengerang, sedang Fandi malah cekikikan mengetahui saudaraya itu tengah kesal.
“Juga Foto pohon Plum yang kamu ambil kemarin ini, harusnya ambil tiga pohon saja supaya dapet geek-nya. Ini malah ambil semua pohon, jadi keliatan berantakan,” Fandi kembali menertawakan Bagus.
Bagus tersenyum simpul, “ok baiklah.” Bicara soal kesuksesan Fandi, Bagus jadi ingat sesuatu. “Kau tau?” kata Bagus yang akhirnya melepas sepatunya. “Papiku malah mengejek, waktu tau aku mau ngajar. Gak ngehargain banget! Dia kira jadi guru itu gampang, apa ?” Bagus menggerutu.
Fandi malah menertawakan Bagus lagi. Yah begitulah, kadang penderitaan seseorang terlihat lucu dimata orang lain. “Aku juga gak bisa bayangin,sih, Gus, kalau kamu jadi guru.”
Hening sejenak. “Kadang aku heran. Kenapa namaku Bagus, tapi nasibnya apes terus.”
Fandi tertawa, “itu benar,” ucapnya.
@yurriansan sama sama ... 😄😄
Comment on chapter TIGA SEKAWAN