KATA ORANG, masa SMA itu masa penentuan jati diri. Memang iya begitu? Jika ini masanya penentuan jati diri, Azka pasti sedang oleng.
Oh Ayolah Azka jangan seperti orang dungu begitu! tunjukkanlah rasa bersalah dikit supaya kau bisa menyelamatkan dua temanmu ini! bisik Deva dalam hatinya.
Sudah tahu guru yang satu ini galak, bisa-bisanya dia masih cengar-cengir. Otak udang!
"Haaah.." Sarwani menghela nafas jengah. Dia pandangi tiga lembar kertas hasil ulangan milik muridnya. Kelas hening dan penuh ketegangan. Namun, sang empu kertas sepertinya cuek-cuek saja. Seolah tak peduli dengan apa yang akan menimpanya nanti.
"Azka, kemari!" Sarwani-guru SMA Bintang Nusantara, memanggil muridnya. Azka beranjak dari bangkunya, berjalan dengan wajah tanpa rasa takut. Bahkan ia masih sempat menyepak betis Tio, yang keluar dari batas mejanya. Tio meringis seraya mengusap betisnya. Reseh! gumamnya.
"Coba perhatikan ini!" kata Sarwani saat Azka ada di hadapannya.Dia tunjukkan lembar jawaban try out semesteran milik Azka. Azka membungkuk sedikit, dia masih cengar-cengir meski Sarwani memasang wajah garang. "Bener kan, Pak?" katanya berlagak polos. " Lingkari jawaban yang menurut saya benar? Gak ada yang salah kan?" ujar Azka.
Sarwani mengelus dada, "bener cara mengerjakannya," katanya, lalu hening sejenak. "Tapi jangan kau buat zig-zag begini!" dia menggebrak meja membuat seisi kelas terkejut. "Setiap ujian, Bapak perhatikan jawabanmu selalu begini. Ini namanya kamu males mikir Azka!"
Azka diam, dia tundukan kepala di hadapan Sarwani. "Kalau pun kamu males ngitung,” lanjut Sarwani, “atau gak bisa, paling tidak coba dibaca dulu soalnya. Buat pola yang lain supaya gak ketahuan dengan Bapak. Ini tiap kali ujian, selalu kau buat zig-zag begini."
"Bapak harus ngajarin kamu gimana lagi, supaya kamu mau mikir, Azka?"
"Itu saya udah mikir kok, Pak.." tukas Azka.
"Mikir kamu bilang?" Sarwani menaikkan kedua alisnya. "Coba periksa jawaban esay kamu!"
Azka menggaruk kepalanya, lalu menyeringai. "Kan memang saya gak tau, Pak, jawabannya."
"Iya!" Sarwani melepas kacamatanya, "tapi jangan semua jawaban dari nomor satu sampai sepuluh kamu tulis, SAYA GAK TAU, LUPA!"
Seisi kelas mentertawakan Azka, tanpa komando. Sedang Sarwani terus mengelus dada menahan kesal pada Azka. Tio dan Deva, sahabat kental Azka-pun ikut mentertawakan. "Buat tugas tambahan, untuk nilai kamu!"
"Tugas, Pak?" Azka heran, "bukannya remedial, Pak?"
"Tugas dan remedial," tegas Sarwani.
"Sekarang, Pak?"
"Se..ka...rang, Azkaaaa!" Pak Sarwani terlihat sangat gemas.
"Siap, Paak...!" Azka melenggang. Azka melirik Tio dan Deva, mereka masih cekikikan melihat Azka. Azka berbisik pada mereka saat melintas, brengsek kalian!
"Kalian berdua!" Sarwani menghentikan tawa Tio dan Deva. "Kenapa ketawa terus? Huh?!"
Tio dan Deva saling lirik setelah itu mereka menundukan kepala. "Kalian-pun sama!" tandas Sarwani. "Kerjakan remedial kalian sekarang, setelah istirahat nanti Bapak tunggu jawabannya."
"Baik Pak," jawab mereka.
***
Bel istirahat berbunyi, Sarwani menutup pelajarannya dan bergegas menuju ruang guru. Sebelum pergi, ia sudah mewanti-wanti Azka dan dua temannya untuk segera mengumpul hasil remedial mereka.
"Payah!" ujar Azka saat seisi kelas sudah mulai sepi.
"Iya nih payah," Tio menggaruk kepalanya. Dia tatapi soal yang ada di hadapannya, soal eksponen yang membuat kepalanya pusing. "Sembilan kuadrat X plus satu, dikurang sembilang kuadrat x, per, sembilan kuadrat x dikurang, sembilan kuadrat x plus satu," Tio membaca soal. "Apa sih ini?"
"Gue bukan ngomongin soal, Yo."
"Nggh?" Tio mengernyitkan alisnya tanda bingung.
"Gue ngomongin lu berdua. Payah!" Azka menyapu pandagan pada Tio dan Deva. "Gak ada yang bisa di andelin! Minimal satu diantara kita ada yang pinter lah!" katanya seraya mengangkat satu kaki, naik di atas kursi. "Jadi kalau pas remed gini, ada yang bisa ngerjain. Masa bertiga pada bingung berjama'ah gini."
Deva mencibir Azka, sedang Tio masih dalam kebingungan. "Kita sesama mahluk sial," katanya seraya tetap menulis di lembar jawabannya. "Gue salah pilih temen, hiks..." Deva mulai mendramatisir. "Kaya' kata pepatah, berkawan dengan tukang minyak wangi keciprat wanginya, berkawan dengan tukang besi kena ciprat apinya."
Tio masih berpikir masud ucapan Deva, sementara Azka sudah menyiapkan telinganya. Dia tahu, pasti Deva mau mengejeknya. "Maka'nya gue gak pinter-pinter, karena deket lu berdua!" tandasnya.
"Sabar, Dev!" Tio menepuk pundak Deva. "Abis kalau bukan kita yang nemenin Azka, di dunia ini gak ada yang mau nemenin dia."
"Haakkh!" Azka menggeram. "Kenapa jadi pada nyalahin, gua?" ujar lelaki bermata tajam itu. Saat dia berusaha memperbesar pupil matanya, entah kenapa dia malah jadi kelihatan semakin manis. Mungkin ada pengaruh dari potongan rambutnya yang model Fringe dengan poni yang menyelimuti sampai di atas alisnya yang tebal.
Deva dan Tio terkekeh, "bukan nyalahin, Ka. Tapi nyadarin lu," jawab Deva.
"Betul itu," Tio memantik jarinya.
***
Sementara itu di kantor guru, Sarwani terlihat begitu muram saat duduk di kursinya.
"Kenapa, Pak?" tanya Muslim, guru Agama. Sarwani, membongkar isi tasnya. Dia ambil satu botol berisi kapsul herbal pacekap-nya. Ia teguk bersama dengan air, sebelum menjawab pertanyaan miss Monika.
"Biasa, Pak," katanya usai meneguk minum. "Azka sama kawan-kawannya itu, selalu saja berulah. Pusing saya, Pak!"
Muslim tertawa kecil "Sama, Pak, saya aja greget sama mereka."
"Coba Bapak liat nih jawaban ujian Agama si Azka." Muslim menunjukan lembar jawaban Azka pada Sarwani. Sarwani hanya fokus pada jawaban esay milik Azka. Disitu tertulis, BARANG SIAPA YANG MEMPERSULIT SUATU MAHLUK, MAKA KELAK DIA AKAN DIPERSULIT JUGA. Sama seperti jawaban matematika-nya, semua pertanyaan essay dia tulis sama jawabannya.
"Masa, gara-gara dia gak bisa ngerjain soal, saya dituduh mempersulit hidup dia," ujar Muslim.
Sarwani menggeram, "Azka itu males mikirnya kebangetan, Pak!"
"Iya, Pak," sahut Muslim seraya menggelengkan kepala perlahan. "Malah sekarang, Deva sama Tio juga ketularan Azka."
"Kadang suka gemes sama tiga anak itu, rasanya pengen saya. Heuuuhggh!" Pak Sarwani meremas tangannya.
Disisi lain, Tio yang sedang menulis tanpa sengaja lidahnya tergigit. "Uhh Aww ssshh!!" Tio memegangi bibirnya. Kejadiannya hampir berbarengan dengan gerakan tangan pak Sarwani.
"Kenapa, Yo?" tanya Azka.
"Lidah gue kegigit sendiri, Ka. Ini pasti ada yang ngomongin gua."
Azka melempar pena ke arah Tio. "Mitos itu! Kata Pak Muslim, guru agama kita apa? Musyrik tau!"
Tio meringis kesakitan, sebab pena yang dilempar Azka mengenai pipi sebelah kirinya. "Serius loh, Ka."
Deva mengangkat kepalanya untuk melihat langsung pada Tio saat bicara. "Yah kalau ada seratus orang yang ngmongin lo, berarti lidah lo kegigit seratus kali dong? Apa gak abis tuh lidah digigitin melulu?" ujar Deva sambil terbahak.
"Asli, Dev, Tio masih percaya mitos." Azka dan Deva semakin menjadi meledek Tio.
Tio mendecih, "terserah kalian deh! Nanti kalau gua ada uang lebih, gua beli drone. Gua terbangin ke kantor. Biar buktiin kalau kita lagi diomongin tiap jam istirahat."
ceritanya bermutu, sarannya kata kata nya masih kurang baku. Sukses terus yaaaa
Comment on chapter BAGUS PULANG