“Taukah kau?
aku begitu sengsara saat ini
ketika perlahan-lahan
lara hati mulai menyerangku
menusuk-nusuk hidupku
Taukah kau?
Aku begitu lemah saat ini
ketika mendengar takdir berucap
memutuskan sesuatu yang buruk
mungkin hanya untuk diriku”
____
“Yang itu aja deh,” tunjukku setengah yakin setelah beberapa detik berpikir.
“Yang itu dulu, Mbak!” Mira bergeser mendesak. Tubuh pendeknya mendorongku dari samping.
“Duh!” Aku terhuyung sedikit. Sementara Mira hanya menyengir lucu. Sudah jadi kebiasaan Mira begitu. Merebut giliran bisa dibilang merupakan salah satu hobinya menggangguku.
“Pake yang itu juga ya, Mbak,” katanya lagi dengan suara super cemprengnya sambil menunjuk-nunjuk papan menu.
Dengan kesal aku mengusap daun telinga, lalu mengernyit menatap tingkahnya yang masih tak merasa ‘berdosa’ itu. Terus terang saja, aku penasaran dengan jenis pita suaranya. Berapa oktaf dia melakukan itu?
Seperti biasanya, bila sempat pulang bersama, aku dan Mira mampir ke kedai es krim. Sebuah kedai kecil yang ada papan besar bertuliskan ‘Poro-Poro Ice Cream’ di depan pintu masuknya. Letaknya tak jauh dari gang masuk rumah kami yang bersebelahan, tepatnya di salah satu sisi pertigaan jalan menuju ke sekolah.
Oh ya, meski rumah kami bersebelahan, aku dan Mira sangat jarang berangkat dan pulang bersama. Hampir setiap hari karena jadwal kegiatan kami yang berbeda. Mira lumayan sibuk dengan kegiatan OSIS, sedangkan aku harus langsung pulang ke rumah untuk menulis. Ya, begitulah kami sehari-hari.
“Mbak, yang mocca duluan yaa,”
“Yang deket duluan Mbak. Cokelat pake topping keju,”
“Aduh, gantian, gantian.”
Mbak Tia, karyawan kedai es krim itu tampak kebingungan melihat ulah kami. Padahal di tangannya sudah ada dua cone manis rasa karamel yang siap dituangi es krim. Tapi tak ada satu pun dari kami yang mau mengalah.
“Gue dulu yang lebih kecil!” Mira mulai mencak-mencak. Aku tahu bukan umur yang dia maksud, tapi tinggi badan.
“Mestinya yang lebih tinggi dulu!” seruku tak mau kalah.
“Mbak, melon mix vanila, topping susu, satu.”
Seperti baru mendengar petir menggelegar, aku dan Mira mendadak berhenti cek-cok. Kami menoleh bersamaan ke sumber suara untuk memastikan siapa si pemilik suara bariton tak asing ini.
“Eh, Kakak ganteng!” Mbak Tia malu-malu.
“Lukas!”
Sementara kami berteriak protes, yang dipanggil hanya mengedikan bahu tak acuh. Mbak Tia tersenyum malu-malu. Kemudian berlalu untuk melayani pesanan es krim milik si kakak ganteng alias si dia-yang-baru-saja-datang.
Aku tahu sudah lama kalau Mbak Tia ini ngefans sekali dengan Lukas. Sampai punya panggilan khusus untuk Lukas. Kakak ganteng? yang benar saja!
“Dicurangi Lukas,” sungut Mira. Sementara Lukas masih bersikap tak peduli.
Omong-omong, Lukas juga sering berkunjung ke kedai es krim ini. Yaaa karena dia memang anak kompleks perumahan yang sama dengan kami. Melihat intensitas kami biasa bertemu, sepertinya blok rumahnya berada tak begitu jauh dari kami. Mungkin tinggal di gang seberang.
Sebenarnya aku tahu Lukas sering kemari karena aku kerap bertemu dengannya di sini. Tiap sore sepulang sekolah ketika menyempatkan mampir ke Poro-poro es krim. Oh, sesekali aku juga melihatnya bermain basket di lapangan atau di taman.
Kalau ditanya apakah kami saling bertegur sapa, jawabannya tidak pernah sama sekali. Awalnya aku hanya tidak sengaja melihat, lalu saling melihat, berpapasan, dan berlalu begitu saja. Kutegaskan, berlalu begitu saja. Seolah kami tak saling kenal satu sama lain.
Aku tidak ingat ada masalah apa antara aku dan Lukas sampai hubungan kami seburuk itu. Padahal saat ini kami duduk di kelas yang sama. Aku, Mira, dan Lukas. Parahnya, kami bertiga juga teman satu SMP, tapi beda kelas.
“Makasi ya, Mbak Tiantik,” goda Lukas ke Mbak Tia. Mbak Tia tertawa senang. Mira menggerutu kesal.
Aku melengos. Perlahan menapak mundur meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu sofa pengunjung. Sambil bersandar malas, aku terus melirik kesal Lukas yang masih mengenakan seragam basketnya. Tangannya sibuk mencari dompet, mengambil uang, dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Tak lama kemudian pesanan es krimnya telah jadi. Ia menyodorkan selembar uang kepada Mbak Tia.
Aku kembali melengos menatap jalanan saat menyadari Lukas berjalan ke arahku. Dia berdeham, berdiri di sampingku sambil memakan es krimnya di hadapanku. Kupikir, dia sedang pamer.
“Khi,”
“Kenapa?” aku ketus.
“Yaa, cuman ngingetin aja sih. Jangan lupa bikin tugas-tugas hukuman lo. Gue nggak mau karna lo yang nggak bikin pr, gue yang dikatain gak becus sama guru,” katanya cepat dan berlalu pergi.
Aku mendelik. “Lah?”
“Seenggaknya kalo lo ga bikin pr pas malem, dateng pagi. Contek pr-nya Mira,” ujar Lukas sambil berjalan keluar.
“Hah?”
Mira manggut-manggut sambil menikmati es krimnya, lalu menyodorkan es krim milikku. “Nah, tuh,” aku mendelik lagi. “Lagian bener yang dibilang Lukas. Tugas udah seminggu umurnya, tapi belum lo bikin. Ditambah hukuman jadi numpuk deh tugas lo.”
Aku menahan dongkol dalam hati. Memalingkan muka dan memilih untuk menikmati es krim seolah tak ada apa pun yang terjadi.
Masalah aku tidak mengerjakan pr itu memang benar. Entahlah, aku biasanya memang malas dan baru akan kukerjakan H-1. Ya, begadang semalaman mengerjakan tugas dalam sehari. Seperti Bandung Bondowoso yang begadang semalaman untuk membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang. Namun untuk yang satu ini, aku benar-benar lupa mengerjakan dan terpaksa rela dapat hukuman.
Mira menarik kursi di depanku dan duduk di sana dengan tenang. Dia sibuk menikmati es krimnya dengan khidmat.
“Khi, napa sih lo sama Luke?” celetuk Mira tiba-tiba. Kalau sudah panggil Luke, aku jadi cemburu. Mira dan Lukas memang dekat sejak SMP. Mereka dulu teman se-TK. Ada rasa tak rela mengetahui Mira ternyata akrab dengan laki-laki menyebalkan itu.
“Nggak kenapa. Napa sih?”
“Kayak bertengkar gitu. Padahal gue nggak pernah ngelewatin satu pun momen antara dia sama gue, gue sama lo, dan lo sama dia,”
“Hmm,”
“Kecuali pas itu. Ah, masa sih sampe sekarang?”
“Apaan sih? Udah deh, gue mau balik.”
***
Selesai. |
Aku menghembuskan napas. Sedikit melakukan perenggangan untuk menyegarkan sendi-sendi tubuh ini. Punggungku rasanya sudah perih lama-lama duduk di atas kursi. Hawa dingin juga semakin terasa karena aku membiarkan jendela kamarku terbuka lebar.
“Duh, mana belum selesai lagi.”
Aku memang baru saja menyelesaikan cerpen bulananku. Namun aku juga harus mengoreksi lagi sebelum mengirimkannya ke redaksi.
Sebenarnya menulis itu susah-susah gampang, tapi aku selalu bermimpi menjadi penulis terkenal. Berawal dari mengirim-ngirim cerpen atau artikel ke beberapa surat kabar kupikir perlahan akan mengangkat namaku. Meski aku tidak bisa berharap banyak dengan itu.
Semoga saja itu bisa terjadi. Kun Faya Kun kata Pak Ustadz. Tak sabar jadinya. Membayangkan bagaimana nanti novelku laku dan dibaca banyak orang. Oh, aku juga akan punya penggemar, viral, lalu didatangi produser perfilman dan novelku menjadi serial layar lebar. Tak hanya novel, filmnya pun laris. Betapa menakjubkannya uang yang kudapat nanti.
“Huahahaha,” tawaku bagai nenek sihir memecah keheningan ruangan. Aku merasa konyol sesaat, tapi tetap kulanjutkan.
“Auung,”
Aku tersentak. Sesuatu yang lembut dan berbulu kini naik ke pangkuanku. Namanya Killy. Kucing peliharaanku, penguasa balkon kamarku, sang ratu di rumah ini. Aku menganggapnya begitu karena hampir keuanganku habis untuk membiayai hidupnya yang cuman ada seekor. Dia hanya anggora biasa, warnanya coklat terang. Tentu saja, betina tulen.
”Hallo, manis,” sapaku seraya mengusap-usap lembut kepalanya.
Sedetik kemudian aku sudah beralih menggendongnya. Menimang-nimangnya bak bayi yang baru lahir. Ekornya yang panjang bergerak-gerak seolah ikut melayang. Kudengar Killy meraung manja. Mendengkur dengan mata terpejam. Dia merasa nyaman.
Killy adalah kucing jinak dan pintar karena sudah kurawat sejak bayi. Kalau tidak salah ingat, saat itu ibunya meninggal setelah melahirkan dia dan saudara-saudaranya. Dua bulan kemudian kakakku, yang berprofesi sebagai dokter hewan, membawanya pulang.
Sayang sekali Mira tidak menyukainya. Ralat, bukan tidak suka, tapi takut. Ada kenangan buruk antara dia dan kucing. Katanya dia pernah di cakar-cakar kucing karena berusaha menyentuhnya. Entah bagaimana caranya menyentuh sampai kucing itu mengamuk dan menyerang. Aku kenal tabiat Mira, suka sembarangan.
Meski berulang kali aku memberitahunya bahwa Killy tidak berbahaya, Mira tetap tidak mau. Tidak mau tahu. Dia bahkan mendeklarasikan bahwa dia tidak ingin punya hubungan apapun dengan hewan bernama kucing.
Aku tak sampai hati membayangkan rasanya menjadi Killy. Ketika Mira datang ke rumah, dia sudah berteriak agar Killy dikurung saja. Mira tak pernah ingin mendekatinya. Bahkan, terkadang Mira sudah lari duluan masuk ke kamarku dan menutup pintunya supaya Killy tidak bisa masuk. Super anti.
“Mira hari ini nyebelin deh Kil, kamu mau cakar-cakar dia?” aku terkekeh, sedangkan Killy mengerang keenakkan kubelai kepalanya.
“Kil,” aku terhenti. Sedikit merasakan napasku tercekat. “Akhir-akhir ini aku keinget lagi sama Fian. Kamu pasti juga kangen sama Fian ‘kan? Dulu dia sering datang ke sini. Jenguk kamu, kasih makan kamu,” curhatku. Entah dia mengerti atau tidak.
Killy mendongakkan kepala. Tubuhnya mulai menggeliat memberontak minta dilepaskan. Oh, apakah kucing ini juga sudah tidak mau mendengar nama Fian?
Seperti aku tadi, Killy berdiri di lantai dan merenggangkan badan dengan hebat. Dia berjalan keluar kamar dengan malas. Aku memandangnya sedih.
“Aku kangen dia Kil,” ujarku parau.
Air mataku menetes begitu hujan turun malam ini. Sebuah aroma khas yang kusukai ikut hadir. Menggelitik ingatanku yang rindu dengan harumnya bau tubuh sosok yang amat kubenci.
Rindu? Apa aku masih mencintainya? Meski aku telah memantapkan hati bahwa aku membencinya. Berusaha lari dari kenyataan untuk mendapatkan perasaan yang jauh lebih baik, ternyata begitu sulit.
Tanganku bergetar menyentuh jendela. Meraba tirai untuk menarik menutup. Namun pergerakannya malah berhenti, berganti meremasnya. Tanpa sadar aku terus menatap keluar jendela. Merasa kalut karena mengingat bayangnya. Tangisku makin mengeras. Merutuki diri karena selalu gagal menghalau bayangnya. Hujan selalu menghapus jejak di jalanan. Aku berharap hujan juga dapat menghapus jejaknya. Cepat atau lambat.
***
Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)
Comment on chapter Prolog