Read More >>"> Last October (Pertama) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Last October
MENU
About Us  

Hari-hari sulit bagiku

Ketika tiada seorang pun membangkitkanku dari keterpurukan masalalu

Terpenjara dalam lubang kelam kegelapan

Menutup hari-hari cerah dengan dusta

Dusta pada diriku sendiri

______

Dua bulan kemudian…

Siang, dengan teriknya yang tak becus mengalirkan panas. Aku berjalan sendirian menyusuri koridor sekolah dengan langkah lemas. Sama sekali tidak ikut merasa bahagia seperti murid-murid kebanyakan karena adanya perpanjangan waktu di jam istirahat kedua hari ini. Membosankan, sama sekali tidak berguna.

Wajahku mungkin sudah kelewat datar. Aku sedang tak bersemangat untuk melakukan sesuatu. Benar-benar tidak menginginkan sesuatu hal. Tak pula berselera makan meski perutku sudah berdemo dengan riuh minta diisi.

Di pertigaan koridor, di mana terletak jajaran pot dedaunan di setiap jaraknya, kualihkan pandangan dengan memandang sekeliling. Mencari-cari tempat yang nyaman untukku menyendiri. Sebuah tempat di mana tak banyak orang bisa kutemui. Di ujung-ujung sempit lemari loker barangkali. Sayangnya, di sekolah ini nggak ada yang namanya celah lemari loker yang kosong. Semuanya diisi pot tanaman berjenis anthurium atau calathea.

Aku berjalan lagi sampai  menemukan deretan bangku di sepanjang koridor yang menuju ruang UKS. Berseberangan dengan koridor loker-loker siswa berada. Aku duduk seorang diri sambil menatap taman kolam ikan luas yang sepi.

Tak mengerti apa yang kupikirkan, lama kelamaan suasana ini membuatku bosan dan perlahan membawaku ke alam angan dengan pandangan fokus menyalang pada satu objek. Entah yang mana. Yang jelas, aku sudah sibuk melamun.

Dia pacarku.

Dua patah kata itu, entah bagaimana kali ini kembali terngiang di kepalaku. Berputar-putar menghantui tiap kali aku berusaha melupakannya. Menghunus hatiku dengan satu kenyataan paling pahit yang pernah aku tahu. Menyadarkan tiap kali diriku berpura tak tahu. Bahkan selalu berhasil menemukanku dalam kelamnya bunga tidur. 

Berulang kali aku berusaha bangkit. Mencoba membangun kembali benteng pertahanan yang telah kutata di sekeliling hati. Meskipun begitu, aku selalu tahu, bahwa sebanyak apa pun aku berjuang, akhirnya akan selalu gagal karena aku sendiri terlalu takut.

Aku menggelengkan kepala ringan. Lagi-lagi mencoba melenyapkan pikiranku yang kelam. Menarik napas panjang-panjang. Memaksa aroma seusai hujan turun itu memasuki rongga dadaku. Petrichor, begitu aku menyebutnya sebagai bau khas yang menenangkan.

Sepersekian detik telah kulewati dengan menghirup udaranya dalam-dalam. Menikmati cuaca mendung dengan caraku sendiri. Berupaya meredakan kebimbangangan, mencari ketenangan.

Sembari duduk bersandar memandang sekeliling, aku terantuk pada satu kenyataan yang lain. Ramai, tapi mengapa begitu sepi? Hal yang selalu membuat ingatanku tentang dia terkuak kembali. Tentang seorang lelaki yang pernah kucintai. Tidak, tapi masih sangat kucintai.

Fian.

Kenapa aku selalu kembali mengingat dia yang jelas-jelas tak lagi kuharapkan?

Semakin mengingatnya semakin membuatku sedih. Sungguh, aku sudah cukup dengan keadaanku yang kacau dan tak jelas bagaimana maunya. Sehari, dua hari, mungkin tak mengapa, tapi ini sudah dua bulan dan aku sudah seperti kehilangan tujuan untuk hidup.

Benar, aku kelelahan. Mungkin berlebihan ketika aku berpikir duniaku telah membusuk oleh rindu. Kemudian tentang jawaban yang selalu kucari-cari sendiri tentang mengapa Tuhan telah membuat hubunganku dengan Fian terputus dengan menghadirkan orang ketiga di antara kami.

Kuperjelas, karena orang ketiga di antara kami. Itulah jawaban yang paling tak ingin kusadari.

Semestinya, kami masih bisa berhubungan baik. Meski ada jarak yang menjadi penghalang, tapi kenapa juga dia harus meninggalkanku? Sampai berkata kalau sebaiknya kami tak saling mengenal lagi.

Bodohnya, ketika dia meninggalkanku, dia tak memberikan satu pun alasan yang tepat supaya dapat membuatku jauh merasa lebih baik untuk segera melupakannya. Seperti kalimat ‘aku tidak mencintaimu lagi’ misalnya dan darinya aku bisa pergi dengan tenang, dengan luka terbuka, yang kelak akan sembuh sendiri sebab angin meniupnya pergi. Bukan malah mengatakan ‘aku nggak tahu. Lagipula, dia pacarku sekarang’.

Memangnya, aku siapa selama ini?

“BAA!”

Aku terlonjak, lamunanku buyar dan mendapati seorang gadis berkuncir kuda menyengir di sampingku.

“Kaget, Mir.”

Rupanya Mira. Dia sahabatku, teman sekelas, pun merangkap sebagai tetangga sebelah tempat tinggalku. Dia memang seperti itu. Jarang punya rasa bersalah. Lihat saja bagaimana dia hanya terkikik setelah memberikan kejutan.

“Ngelamunin jorok ya Khi?” ia menyengir kuda. “Mau?” tanyanya lagi sambil menyodorkan cemilan ringan di tangannya.

Mataku sukses membulat sembari mendorong tangannya menolak. “Emangnya gue, elo? Hobi ngelamunin jorok?”

“Kok jadi nuduh gue sih’ Khi? Emangnya lo ngelamunin apa?” Mira bertanya santai, sambil sibuk menjilati jarinya dengan rakus.

“Ih, kebiasaan!” aku menjauhkan diri. Mira hanya mengedikkan bahu dengan cengiran malu-malu. “Nggak ada. Gue gak ngelamunin apa-apa,”

Mira masih tersenyum jail, menyenggol-nyenggol bahuku. Jangan-jangan, dia mikir yang aneh-aneh lagi.

“Mikirin Fian pasti ya? Udah jangan dipikirin. Buang tuh kenangan ke laut!”

“Sama sekali nggak, tuh!” bantahku sambil beranjak. Berjalan meninggalkannya menuju lapangan basket yang ada di ujung sisi koridor. Aku jadi kesal karena dia memang benar.

“Khi! Akhira! Tunggu!”

Aku mengabaikan Mira berteriak memanggilku. Fokus menyusuri jalanan koridor lain sambil membelah keramaian murid-murid yang asyik bercanda di jam istirahat.

“Khi, tungguin!”

“Ngga mau.”

“Gue ‘kan cuman mau ngehibur lo.”

Aku berdecak. Sudah terlanjur merasa kesal karena di saat-saat seperti ini dia malah menjadikan Fian sebagai bahan kelakarnya. Apa dia tidak mengerti? Telingaku terasa panas ketika mendengar nama Fian disebut.

“Khi, lo marah cuman gue nyebutin nama Fian?”

“Arrghh! Fian, Fian, Fian, Fiaaan mulu!” ucapku mencak-mencak. “Gak usah nyebutin namanya napa sih?”

Mira meringis, menatapku ngeri.

“Maaf deh,” ucapnya lirih, tapi aku sudah terlanjur berbalik dan berderap pergi lagi. “Akhira jangan marah dong.”

Ya ampun Mir, gue sebenernya juga gak pengen marah sama lo. Gue cuman gak pengen inget dia. Lalu, lagi pengen sendiri.

Sebab, terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak sampai susah dilupakan.

“Aduh!”

Mira berhasil merangkul bahuku dari belakang dengan tiba-tiba. Amat tiba-tiba sampai berhasil membuyarkan amarahku.

Gadis berhidung mancung itu bergumam gemas. Tawa kecilnya terdengar setengah terpaksa. “Maaf, deh maaf,” Mira mengacak rambutku.

“Tolong jangan bercanda kayak gitu lagi,”

“Gue lagi nggak ngajak lo bercanda, Akhira Meisa. Udah deh! Ayo lihat dia main basket aja!” ajaknya yang terus merangkulku dan menuntunku menuju ke lapangan basket.

“Dia siapa?”

©©©

 “Aku di drop out,”

“Ha? Ta-tapi kenapa?”

“Guru itu gak terima aku mukul dia, tapi aku gak ngrasa bersalah kok. Aku tu cuman–

“Trus kamu mau sekolah di mana sekarang?”

Nggak tau. Di SMA swasta tempat tanteku ngajar paling. Lumayan jauh dari sini sih, di kabupaten. Eh, tapi kamu tenang aja, aku baik-baik aja kok.”

“Tapi kita gimana?” tanyaku takut. “LDR dong?

Nggak masalah, jangan khawatir.”

“Aku sayang kamu Yan, jangan diulangi lagi.”

“Aku juga sayang kamu. Maaf ya..”

©©©

“Akhira ngalamun lagi deh!”

“Eh?”

“Lo denger gue ngomong apa?

“Apa ya?”

“Ih! Nih, gue mau minta pendapat lo tentang dia!” tunjuk Mira pada seseorang di sana. Aku tetap bergeming, yang sebenarnya masih linglung dengan yang barusan. “Lihat dong Khi jari gue,”

Mau tak mau, akhirnya aku melirik. Mengikuti arah gerak jari telunjuknya yang menurutku sedikit asal. “Siapa sih? Lukas?” tanyaku datar memastikan seseorang yang ditunjuk Mira.

“Bukan, tapi sebelahnya,” Mira mengacungkan jempol ke arah samping kanan Lukas tepat di depan wajahku. Merasa terganggu, aku menepisnya gemas.

“Ngalangin!”

“Fokus lo ke Lukas mulu sih. Dia udah punya pacar tau!”

“Ih, ngapain juga.”

Kalau ditanya siapa Lukas, kupikir anak itu tak begitu penting. Aku pribadi punya masalah dengannya. Ada catatan merah tentang aku dan Lukas. Secara garis besar, dia hanya seorang ketua kelas dengan kepribadian aneh yang berlipat-lipat ganda. Tatapannya menyeramkan. Alisnya tebal dan punya badan tinggi seperti tiang ring basket.

“Aku suka sama temennya itu, Khi,” Mira berujar malu-malu, tapi aku tak dengar.

Aku sibuk memperhatikan Lukas dengan kesal terpendam yang sedang duduk berhadapan dengan seorang gadis yang kutahu siapa sosok itu. Namanya Jessi, yang tak lain adalah kekasih barunya Lukas.

“Namanya Ero, Khi. Anak bahasa, pasti romantis,” bisik Mira. Aku tersadar, menoleh ke arah Mira dengan tampang sok terkejut dan bibir membulat O maksimal.

“Trus gue suruh apa? Nyomblangin elo lagi gitu?” ujarku ketus. Mira itu jomblo akut, tapi dia mudah menyukai seseorang. Mudah juga move on-nya. Mira itu kpopers, jadi hanya yang tampan yang dia suka.

“Yaaa kalo bisa,”

“Emang yang kemarin gimana?”

“Yang mana?”

“Anaknya Bu Bekti, guru ekonomi. Yang mahasiswa itu,”

“Nggak ah, levelnya terlalu tinggi buat gue,” Mira cengar cengir lagi. “Lo liat apaan sih?”

“Nggak kok,”

“Oh, Lukas?” bisiknya nyaris bergumam. “Pacar barunya kan itu? Dih, jelek banget! Kayak tante-tante, muda juga emak gue,”

“HUS!” sentakku. “Nggak baik ngomongin orang jauh-jauh gini, deketin sana,”

“Ogah, takut sama omnya,” Lukas yang Mira maksud. Tanpa sadar, kami berdua terus mengamati mereka. “Dia itu memang bukan jelek di wajah atau fisiknya sih. Tapi dia sebagai perempuan jelek banget menurut gue,”

Mira melipat tangan tak suka. Barangkali karena merasa kecantikan Jessi menjadi saingan terberatnya saat ini. Siapa di sekolah ini yang tak kenal Jessi?

Jessi cantik. Tubuhnya bagus dan melebihi cantiknya Mira. Mira cuman menang manis. Namun Jessi amat sangat proporsional dengan tubuhnya yang pas berisi. Rambutnya bergelombang panjang menjuntai sampai ke punggung yang tampak alami. Kulitnya putih merata. Sementara wajahnya bersih dengan pulasan make-up yang natural.

“Sempurna,”

“Ha? Apa sih? Gue nggak ngerti, terserah elo.”

Aku berbalik meninggalkan Mira. Lebih tepatnya, menghindari tatapan Lukas yang sadar bahwa ka\mi sedang memperhatikan dia dan Jessi.

“Lo masih marah ya Khi? Maaf deh. Gue nggak akan nyangkut-nyangkut nama Si Fi– Oh! Cowok sialan itu!” tuturnya nyaris kalap. Setidaknya itu membuatku sedikit lega karena dia tak sampai menyebutkan nama itu lagi.

“Iya nggakpapa,” jawabku sekenanya.

“Trus lo mau ke mana?”

“Nyari tempat duduk,”

“Oh, oke,” Mira mengikuti langkahku. “Eh Khi, andai aja lo yang jadian sama Lukas gitu. Mau nggak?” ucapannya sontak membuatku membulatkan mata terkejut. “Kan bagus tuh kalian jadi nggak musuhan lagi,”

 “Ha? Gimana ceritanya jadi gitu?” aku menyentil jidatnya. Mira mengaduh perih.

 “Gue pengen aja, suatu saat lo rebut Si Lukas dari Jessi itu. Muak tau liatnya. Kasian tahu si Lukas.”

“Lu aja, gue jangan. Kasian gue,”

“Lah, kayaknya si Lukas tuh tipe-tipe elo juga kok, Khi. Tinggi, alis tebal, matanya tajam. Aw banget nggak sih?”

“Nggak, pake, banget!” tolakku tegas sesampainya di pinggir lapangan dekat ruang pertemuan. “Lagian ya, Lukas itu galak, nyebelinnya dunia akhirat. Nggak pernah ada manis-manisnya buat gue,” aku berdecak. Sementara Mira terkekeh geli.

“Habis elo nggak manis sih sama dia,”

“Ya lo aja sana yang rebut–”

Belum usai aku menimpali ucapan Mira, tiba-tiba segerombolan murid berlari menuju ke arah gedung aula yang letaknya tak begitu jauh dari tempatku dan Mira berjalan. Mereka saling mengajak satu sama lain. Kemudian sibuk berdesakan mengintip dari sisi luar jendela. Entah karena apa.

“Astagfirullah, astagfirullah!” pekik Mira kalang kabut tak sengaja tertabrak tubuh gendut seseorang. “Apaan tadi?” tanyanya linglung.

“Yaa ampun, pada ngapain sih?” heranku dengan semua orang yang berlari dan segera mengerumuni ruang pertemuan di belakang kami. Kalau tidak salah, di ruang pertemuan sedang ada acara entah apa.

 “Alah, itu cuman penerimaan guru PPL,” jawab Mira, sembari kami melangkah lagi menjauhi wilayah tersebut. “Tapi emang sih, katanya PPL dari universitas kali ini cakep-cakep. Makanya pada penasaran. Pada mau ngegebet paling. Tuh! Lukas ama pacarnya aja ikutan,” jelas Mira seraya menunjuk ke arah Lukas yang tengah menjambak kecil rambut Jessi entah karena apa.

Aku mengernyit tak percaya. “Hahaha. Buset deh. Eh, kok lo tau sih?”

“Kan gue gudangnya berita, hehehe,” Mira kembali berjalan menjauhi kerumunan. “Tapi gue ga perlu pergi ke sana,”

“Loh? Kenapa emang?” heranku seraya menjajari langkahnya. “Biasanya bening-bening gitu lo suka,”

“Gue udah tau semua wajah-wajah guru PPL kita kok. Ya lumayanlah.”

Aku hanya mengangguk-angguk sok mengerti. Nggak heran sama Mira sang informan yang memang lebih banyak tahunya ketimbangan aku.

Selain mendapat sebutan ‘si gudang berita’ berkat hobi keponya, di sekolah Mira juga menyandang jabatan sebagai sekretaris OSIS. Tentu saja jabatan itu membuatnya semakin mudah mencari tahu –meski tidak semuanya– tentang program sekolah. Termasuk program PPL yang hanya dia tahu beberapa.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dear.vira

    Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Premium
RESTART [21+]
5040      2221     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
Frasa Berasa
59478      6523     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...
Zo'r : The Teenagers
13559      2617     58     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018
Pupus
385      246     1     
Short Story
Jika saja bisa, aku tak akan meletakkan hati padamu. Yang pada akhirnya, memupus semua harapku.
CLBK: Cinta Lama Belum Kelar
4561      1241     20     
Romance
Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada...
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
830      590     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
SiadianDela
7596      2076     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
Gunay and His Broken Life
5360      2009     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...
Gagal Menikah
4241      1369     4     
Fan Fiction
Cerita ini hanya fiktif dan karanganku semata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter dan kejadian, semua itu hanya kebetulan belaka. Gagal Menikah. Dari judulnya udah ketahuan kan ya?! Hehehe, cerita ini mengkisahkan tentang seorang gadis yang selalu gagal menikah. Tentang seorang gadis yang telah mencoba beberapa kali, namun masih tetap gagal. Sudut pandang yang aku pakai dalam cerita ini ...
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
811      457     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.