Hai... *nangis bombay*
Setelah lebih dari enam bulan, tibalah saatnya dipenghujung cerita huhuu (T.T) Rasanya sedih karena akan bye-bye sama Axelku, tapi terharu juga karena akhirnya aku bisa menamatkan satu cerita lagi. Sebab ini genre fantasy pertamaku, pasti banyak-banyak sekali kurangnya. Aku meminta maaf jika banyak hal yang menyinggung, kadang menghilang, tiba-tiba tidak up date, hilang pas lagi sayang-sayangnya *loh, malah curhat*.
Tak lupa juga aku berterima kasih atas dukungan temen-temen, support dari temen-temen sangat berarti besar buat aku pribadi. Aku masih banyak belajar, berlatih, dan banyak mencari asupan-asupan ide untuk bisa meningkatkan tulisanku. Temen-temen juga semangat berlatih ya :)
So, ya, segitu saja pidatoku. Selamat membaca, salam hangat, dan kita jumpa di lain cerita. Bye
SR
.
.
.
.
Victoria datang menjengukku dengan membawa buah tangan. Axel sedang pergi saat itu, dan ia bisa dengan leluasa menemuiku. Aku memintanya agar datang ke kamarku saja, satu-satunya tempat yang selalu ada aku di dalamnya selama berhari-hari.
“Aku mendengar jika kau diserang oleh Wendigo, di wilayahku pun begitu. Ada beberapa Wendigo yang muncul lalu menyerang para penduduk di malam hari,” ucapnya.
“Akhir-akhir ini sepertinya hutan tempat tinggal para makhluk semacam itu sedang diganggu,” ucapku.
“Tapi kau baik-baik saja, bukan? Wilayah Barat memiliki pengamanan yang cukup ketat akhir-akhir ini, apalagi pelayan di keluarga Easter bukan pelayan biasa.”
“Aku sudah jauh lebih baik-baik saja.”
“Syukurlah, aku segera datang kemari saat mendengar kabar tentangmu. Aku juga membawakan bunga khas dari wilayah Timur.”
Aku mencium bunga tulip putih yang diberikan Victoria padaku, kemudian Chas tiba-tiba muncul di sampingku.
“Biar saya pindahkan ke dalam vas, Nona,” ucap Chas.
“Aku belum mengatakan apapun, Chas, tapi terima kasih banyak.”
Setelah memberikan buket bunga tersebut, Chas kembali menghilang melalui asap hitam seperti biasanya.
“Benar, bukan? Pelayan di sini sangat hebat-hebat.”
Aku tersenyum kecil.
“Tapi, kamarmu memiliki atmosifr berbeda, seolah aku sedang berada di dunia lain,” ucap Victory melihat-lihat kamarku yang baru direnovasi berminggu-minggu lalu.
“Grine memberikan beberapa aksen bohemian style.”
“Pasti banyak sekali barang-barang yang kau bawa dari dunia manusia, ya?”
“Barang-barangku tidak sebanyak itu, tapi ada beberapa yang Grine sengaja bawa dari dunia manusia, kau mau melihat-lihat?”
“Dengan senang hati.”
Aku mengajak Victoria berjalan-jalan mengelilingi kamarku dan menunjukkan beberapa barang yang biasa ada di dunia manusia, namun jarang ada di dunia ini. Aku menjelaskan satu per satu, termasuk ponsel yang pernah diberikan Grine padaku dengan kondisi dayanya yang mati.
“Grine juga memberikanku jam tangan saat hari natal kemarin,” kataku.
“Aku pernah melihat benda itu di pergelangan tangan Kepala Pelayan Grine, penunjuk waktu yang unik dan fungsional.”
“Iya, ah, jam tangan itu sepertinya tertinggal di kamar Axel.”
“Kamar Axel?”
“Ah! Itu, saat Thanatos menyerang dan hampir menghancurkan kamar ini, untuk sementara aku pindah ke kamarnya.”
Victoria tersenyum dengan penuh misteri ke arahku.
“Tolong jangan berpikiran hal yang tidak, tidak,” kataku.
“Ya, bukan hal aneh pasangan di dunia vampir untuk tinggal bersama sebelum adanya sebuah ikatan.”
“Kami hanya saling berbagi ruang.”
“Apalagi jika yang kita bicarakan adalah vampir hebat seperti Tuan Easter.”
“Sudahlah! Oh ya, aku meminta Grine membawakan makanan cepat saji saat kau datang kemari, aku akan mencarinya dulu, siapa tahu Grine sudah kembali.”
****
Aku mencari-cari jam tangan yang diberikan Grine saat natal lalu. Seingatku jam tangan itu tidak pernah keluar dari tempatnya, tapi ternyata tempatnya sendiri tidak ada di dalam kamarku. Mungkin tertinggal di kamar Axel, dan setelah Victoria pamit pulang, aku segera mencarinya, jam tangan itu bagus, dan pasti mahal, lalu yang lebih pentingnya itu adalah hadiah dari Grine, aku tidak ingin menghilangkannya.
Kamar Axel punya sebuah meja kerja yang berada di sudut ruang kamarnya. Semenjak aku tinggal di kamarnya dulu, Axel selalu tinggal di kamarnya bahkan ketika sedang bekerja, yang aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya. Ruang kerjanya sudah jarang ia gunakan sekarang. Setelah setiap sudut kamar itu aku telusuri, hanya meja kerjanya yang rapi belum kusentuh sama sekali.
Axel memang tidak pernah melarangku masuk kamarnya, atau mungkin pernah tapi aku tidak mempedulikannya. Laci meja ini hanya menyimpan beberapa pulpen dan kertas juga map yang tidak mengggugah minatku, dan jam tangan yang kucari pun tidak ada di dalamnya.
Aku pun menggeser-geser kertas yang tertumpuk rapi di permukaan meja, mungkin saja jam tangan itu terselip di sana.
Yes! Aku menemukan jam tanganku tergeletak diantara tumpukan kertas tersebut, aku menarik tali jam tersebut, dan sialnya beberapa lembar kertas melayang dan jatuh ke lantai. Ugh! Membuatku harus memungutnya padahal aku sedang buru-buru di kamar ini.
Tanganku berhenti ketika aku membaca kepala surat di kertas tersebut. Tulisannya Firma Hukum London Theodor & Co. Dahiku otomatis berkerut membaca kertas yang kemungkinan berasal dari kotaku dulu.
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa Elena Taylor tidak lagi menjadi bagian dari Keluarga Taylor, sebagai jaminan agar tidak terjadi masalah bagi Elena terdapat uang jaminan sebesar USD 1M dan tidak akan mengganggu Elena Taylor lagi.
Tertanda, Harry Taylor.
Tanpa sengaja aku menjatuhkan kertas tersebut lalu seluruh tubuhku bergetar ketakutan. Jantungku berpacu cepat dan jari-jari tanganku mulai membeku.
“Elena!”
Suara Axel membuat tubuhku secara otomatis berbalik ke arahnya dengan sekujur tubuhku yang bergetar. Kaki-kaki yang menyanggah tubuhku perlahan mulai kehilangan tenaganya. Axel melangkah mendekatiku.
“Itu… surat apa? Kenapa ada tanda tangan ayahku?” tanyaku yang mulai nanar.
Axel terlihat terkejut, ia mulai mendekatiku dengan tatapan dan matanya yang tajam.
“Tolong jawab aku!” kataku lagi menuntut. “Tolong jelaskan apa yang terjadi di sini?” Aku mulai menitikkan air mata, bibirku bergetar sementara hatiku mulai sakit melihat Axel tidak mengatakan apapun untuk meredakannya.
“Kenapa kau diam saja?” tanyaku saatu Axel sudah berada di hadapanku.
“Aku hanya mencoba menyelamatkanmu,” jawabnya yang mengusap wajahku yang mulai basah oleh air mata.
Aku pun menepis tangannya. Pertanyaanku, juga kondisiku yang terlihat terkejut karena surat itu seolah bukan apa-apa baginya. Axel sudah terlihat normal seperti biasanya, seolah-olah semua ini tidak mengejutkanku, dan menjawab dengan omong kosong yang tak bisa kupahami.
“Kau mencoba menyematkanku? Atau membeliku dari ayahku?!”
“Aku tak bisa membiarkanmu berada di du—“
Aku menamparnya, benar-benar menampar wajah dinginnya sekeras yang aku bisa. “Bisakah kau bicara dengan jujur padaku? Jangan katakan omong kosong soal duniaku Axel. Dibandingkan duniaku sendiri, hidup di tempat ini lebih membuatku frustasi!!!”
Axel tak membalas perbuatanku, toh tamparanku memang tidak akan menyakitinya. Ia kemali menatapku dengan sorot mata yang benar-benar tidak bisa kumengerti, kali ini ia memang tak bisa kumengerti, atau mungkin sejak dulu Axel memang tak bisa kumengerti.
Aku mulai terisak tak karuan, Grine, Chas, dan beberapa pelayan mungkin mendengar teriakanku lalu mereka semua berhenti tepat di bibir pintu.
“Aku seolah sedang dipermainkan olehmu. Dari awal sudah kukatakan, jika kau menginginkan darahku, tolong bunuh aku secepatnya. Kau seperti mempermainkan hidupku, mengacak-acak perasaanku sehingga aku mulai larut dalam permainanmu. Kali ini, bagian mana dari dirimu yang bisa kupercaya, Axel?” tanya lirih.
Kau mengobrak-abrik hatiku, memberiku kenyamanan dan kasih sayang yang sempat hilang bertahun-tahun silam. Tapi melihatmu yang tak bergeming atau menyangkal dengan jelas, kupikir semua yang kukhawatirkan tentangmu memang tidak berarti untukmu sendiri. Bagimu, aku hanya sebuah barang yang bisa dibeli dengan harga setinggi itu, dan kau tidak menganggapku sebagai makhluk yang bisa terluka hatinya.
Aku hanya hewan ternakmu.
“Aku ingin pulang,” kataku.
Axel kembali menjulurkan tangannya, lagi-lagi kutepis.
“Jika kau tidak membunuhku sekarang, kembalikan aku ke rumahku dulu. Lebih baik aku hidup terlantar di sana daripada kau peralat seperti hewan ternakmu.”
Aku berjalan melewati Axel, lalu para pelayan juga Grine menepi memberiku jalan dan pintu kamarku menjadi pelampiasan atas emosi yang tidak terkendali ini.
Aku memikirkannya hingga kepalaku hampir pecah, mencari cara agar dirinya tidak terluka karena kehadiranku. Ternyata, di matanya aku tak lebih dari seekor hewan ternak yang dibeli dari ayahku sendiri. Perasaan cemasku padanya, seketika hilang dan berganti rasa kecewa atas tindakannya yang tak mau menjelaskan apapun.
Tentu saja Axel sangat memperhatikanku, karena hargaku memang semahal itu. Dan itu sungguh meremukkan hatiku hingga hampir menjadi debu. Malam itu aku menghabiskannya dengan menangis hingga aku sendiri kelelahan lalu tertidur lelap dengan bekas-bekas air mata yang akan mengering keesokan harinya.
Axel, sebenarnya apa mamumu, kau membuatku berpikir kau mencintaiku, bersamaan dengan kau membuatku takut karena sedang mempermainkan nyawaku. Aku merasa bingung sekaligus ketakutan di waktu yang sama. Tolong jelaskan agar aku bisa memilih salah satu perasaan itu.
****
Tidurku terganggu mendengar suara-suara cukup berisik di sekitarku. Ketika aku membuka mata, kulihat para pelayan perempuan tengah merapikan barang bawaanku, mereka menunduk ketika melihatku yang kacau ini terbangun.
“Maaf Nona jika kami membangunkanmu,” ucap Chas sembari menundukkan kepala di samping ranjangku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Hari ini Tuan bilang Nona boleh pulang ke kota Nona.”
“London?!”
“Iya, Nona.”
Aku tidak tahu jika kemarahanku benar-benar berefek pada keputusannya. Tidak, memang itulah yang harus dilakukannya. Aku tidak ingin berada di tempat ini jika yang dilakukannya hanya menyesap darahku bagai hewan ternak.
“Sebelum Nona pergi, bisakah saya membantu Nona untuk yang terakhir kalinya,” ucap Chas sedikit lirih.
Aku menatapnya, tiba-tiba saja ada rasa berat melihat Chas dan para pelayan itu menatapku dengan wajah yang tidak seceria biasanya. Seandainya ini bukan tempat pria itu, akupun akan tetap tinggal bersama Chas dan para pelayan.
“Terima kasih.” Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan padanya.
Chas membantuku bersiap-siap seperti menyiapkan bak mandi, baju gantiku, juga segelas coklat panas di atas nakas yang sudah kuhabiskan setengahnya. Ada dua koper besar dan satu koper sedang sudah siap di depan kamar. Aku melirik sejenak kamar yang akan kutinggali itu, sungguh menyenangkan memang jika kenyataan tidak menghadirkan kekecewaan sedalam ini untukku.
“Axel, dimana?” tanyaku pada Chas sambil berjalan menuruni tangga, sementara beberapa pelayan mendorong koper-koper itu.
Aku tidak ingat jika barang-barangku sebanyak itu, dan aku pun memang tidak tahu sejak kapan barang-barangku bisa pindah ke mansion ini dulu.
“Tuan sedang ada pekerjaan.”
Tidak perlu kata pamit, pada akhirnya aku tak pernah menginginkan pertemuan ini.
Grine dan semua para pelayan lain sudah berjajar rapi ketika aku menuruni tangga. Wajah mereka tertunduk lalu beberapa pelayan laki-laki mengambil alih koper tersebut dan membawanya menembus portal hitam yang pernah aku lewati dulu. Grine berdiri di hadapanku lalu memberi hormat.
“Saya sangat senang melayani, Nona,” ucapnya dan kubalas dengan senyuman.
Aku menunduk memberi hormat pada semua pelayan di sana, sebagai ucapan terima kasihku karena mereka telah mau membantuku hidup di sini.
“Terima kasih atas bantuannya, aku sangat-sangat terbantu oleh kalian semua,” ucapku. Beberapa pelayan perempuan mulai sesenggukkan, tapi tidak kupedulikan, aku harus meninggalkan tempat ini, termasuk hal-hal manis di dalamnya, juga rasa hancur karena sosoknya yang tak kulihat oleh mataku.
Grine sudah berjalan mendahuluiku melewati pintu besar tersebut. Yang tak pernah kubayangkan bahwa ternyata aku memang akan melewatinya untuk selama-lamanya.
“Grine, akan kuganti uang yang Axel berikan padaku,” ucapku.
“Kau tak perlu menggantinya.” Suara yang akrab itu tiba-tiba terdengar di belakangku. Otomatis aku berbalik dan menemukan sosoknya yang tak pernah berubah.
Pria yang kini sudah jauh lebih tinggi dari saat pertama kali kami bertemu. Sorot matanya yang tajam namun sangat kontras dengan wajahnya yang pucat, juga ekspresi datar wajahnya kini sedang berdiri tepat di hadapanku.
“Aku akan menggantinya,” jawabku.
“Tak usah, uang segitu tak berarti bagiku.”
“Tapi sangat berarti untukku.”
Axel tak bergeming, ia terus memandangiku. Dan ternyata tatapannya mulai menyakitkan.
“Aku pergi.”
Aku berbalik menghindari tatapannya yang mulai menyiksaku, kemudian tangannya menangkap salah satu tanganku.
“Yang harus kau percaya, aku mencintaimu, Nona Elena.”
Air mataku kembali jatuh tanpa sepengetahuannya. Aku tak berbalik untuk menangkap tubuhnya lalu menangis dalam pelukannya. Aku melepaskan genggamannya lalu berjalan menjauh darinya. Aku memang harus seperti ini, meskipun tak kupungkiri berat rasanya melepaskan sesuatu yang sudah kuanggap rumah. Sayangnya, sebagian hatiku menemukan keraguan dan kekecewaan yang kentara padanya.
Yang aku tahu, ternyata aku pun mencintainya.
****
Aku membuka mataku yang terasa berat sama seperti kepalaku. Tanganku menyentuh kepalaku yang ternyata dilapisi kain kasar yang kemungkinan adalah perban. Punggung tanganku menempel selang infus dan langit-langit ruangan berwarna putih dengan bau khas rumah sakit.
“Kau sudah bangun, Miss?” Seorang perawat menyapaku lalu keluar dari ruangan tersebut. Lalu tak berapa lama seorang pria yang terlihat tak asing bagiku memakai jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya datang menghampiriku.
Dokter itu melakukan beberapa pemeriksaan padaku, seperti detak jantung, refleks mataku, lalu infus yang menggantung di sampingku. Ia mengatur ranjang yang kugunakan hingga sedikit terangkat di bagian kepala.
“Miss, apa kau bisa mendengarku?” tanyanya.
Aku memicingkan mataku ketika ia memberikan pertanyaan padaku.
“Miss, apa kau mendengarku?” tanyanya sekali lagi.
“Grine?”
Entah bagaimana aku memanggil namanya dengan nama Grine, nama yang justru asing bagiku tapi terasa akrab di telingaku.
“Miss, Grine itu siapa?” tanyanya begitu hati-hati.
Aku pun tidak tahu siapa itu Grine, Dok!
-END-
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan