Hai...
Saya lupa up date hari ini huhuu... Karena terlalu 'sibuk' memikirkan pilihan hari ini, saya lupa kalau sekarang hari Rabu. Well, semoga teman-teman di sini tidak menyia-nyiakan suaranya ya. Dan semoga pilihanmu menang dan bisa mengemban amanah untuk tahun-tahun ke depannya. Aamiinn.
Oh ya, karya saya yg berjudul KALA SENJA sudah mencapai 4k viewers, jika berkenan silahkan mampir, nanti ada kejutan spesial di sana, tunggu saja hahaha...
Last but not less, jangan lupa like, rate, dan komen bagian mana dari chapter ini yang merasa kurang juga bagian mana yang dirasa jadi bagian favoritmu.
Salam hangat,
SR
.
.
.
.
Kami pulang sebelum acara itu selesai, bahkan tiup lilin dan potong kuenya kami lewatkan. Akibat pertengkaran Axel dan pamannya, pria dingin, arogan, dan tajam itu semakin menjadi, mungkin kenaikannya sekitar seratus persen. Dan mood pria di sampingku ini lebih buruk dari biasanya. Sepanjang jalan Axel hanya memandang jalanan lewat jendela kecil di sampingnya, sambil berpangku tangan.
Sejujurnya, aku merasa bersalah padanya.
Aku ingin bertanya apakah Axel baik-baik saja, tapi dipikir-pikir jika aku di posisi Axel lalu ditampar sekeras itu oleh pamanku sendiri, pasti aku kesal, marah, dan sedih, tapi karena ia pamanku yang kulakukan hanya diam sambil menahan rasa kesal. Mungkin yang dirasakan Axel sekarang tak jauh berbeda seperti itu.
Setelah kami sampai, Axel segera naik tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Dari bawah aku bisa mendengarkan suara pintu yang dibanting. Aku hanya bisa memandangi anak tangga yang tadi dilewatinya.
“Nona.”
Grine membuatku tersadar kemudian. Aku memberikan mantel yang sejak tadi membalutku padanya.
“Grine, apa Axel baik-baik saja ya?”
“Sepertinya Tuan masih agak kesal Nona.”
“Iya juga ya, siapa yang tidak kesal ditampar sekeras itu.”
Kemudian aku menaiki anak tangga lalu masuk ke dalam kamarku. Aku bercermin dan memandangi diriku yang masih terbalut gaun merah indah dan wajah yang lebih tertata rapi dari biasanya. Gaun ini sangat indah, aku terlihat seperti seorang putri lewat pantulan diriku sendiri. Menari di tengah-tengah ruangan sambil diiringi musik dari soundtrack Beauty and The Beast. Ternyata khayalanku waktu kecil dulu bisa jadi kenyataan, dengan cara yang berbeda dan minus berdansa di tengah ruang pesta. Lagi pula itu adalah pesta yang kacau. Kuharap Axel baik-baik saja.
Esok paginya Axel melewatkan sarapan. Pagi-pagi sekali ia sudah pergi bersama Grine dan entah kemana, Chas hanya mengatakan jika Axel akan pulang larut malam. Jangan-jangan ia akan pergi menemui pamannya lalu berkelahi di rumah pamannya. Jika aku sedang khawatir, perutku suka tiba-tiba kram.
Kalung yang pernah diberikan Axel masih setia kugunakan meskipun kusembunyikan di balik kaos over size-ku.
Hal yang jarang terjadi di mansion ini, suara ketukan pintu terdengar jelas ketika aku sedang membaca di ruang santai. Aku buru-buru menghampiri pintu tersebut sebelum salah seorang pelayan mendahuluiku.
“Biar aku saja,” kataku menginterupsi. Kemudian pelayan itu kembali pada pekerjaannya.
Begitu aku membuka pintu tersebut, Paman Axel muncul lengkap dengan perawakannya yang tinggi, wajahnya yang tak kalah dinginnya dari Axel, dan tongkat jalannya, ditambah topi tinggi yang menutupi kepalanya.
“Kau!” katanya geram.
Aku sempat menelan ludah dan cukup takut melihat pria angkuh di hadapanku ini. Apalagi saat kami bertemu beliau kuakui lebih galak dari preman-preman yang sempat membawaku dulu.
“Dimana Axel?” tanyanya dengan nada mengintimidasi.
“Axel sedang pergi, ia akan kembali nanti petang.”
“Ck! Anak itu malah kabur!” omelnya.
Lalu Paman Axel yang masih tidak kuketahui namanya itu pun menatap sinis ke arahku.
“Namamu?”
“Elena, Tuan.”
“Kau manusia yang bersamanya? Tak kusangka Axel sampai mengajakmu tinggal bersama juga? Kau tidak malu tinggal di rumah seorang laki-laki?”
Nyonya Aurora kemarin mengatakan jika ‘kumpul kebo’ di dunia vampir adalah hal yang wajar, tapi berlawanan dengan ucapan Paman Axel ini. Apa mungkin maksud Nyonya Aurora adalah jika vampir dan vampir berbeda jenis berada di atap yang sama tanpa ada ikatan adalah hal yang wajar, tapi tidak bagi seorang manusia sepertiku.
“Aku hanya mengatakan satu kali saja dan kau harus paham. Aku datang jauh dari Selatan untuk meminta Axel menikah dengan wanita yang kupilih. Dan kau harap bisa tahu diri di mana tempatmu berada.”
Setelah kalimat yang cukup tajam itu terdengar lantang di telingaku, Paman Axel pergi begitu saja tanpa sempat masuk ke dalam mansion ini. Di tambah dengan tatapan sinisnya melihat cara berpakaianku tadi, aku yakin tahu diri yang dimaksud Paman Axel adalah tempatku bukan berada di samping Axel, lebih rendah dari itu.
Kemudian di tambah Axel yang akan pulang larut malam, maka sempurnalah kegundahan dan kegalauanku sepanjang hari ini. Sungguh sial sekali!
****
Axel benar-benar pulang larut malam, bahkan ia melewatkan makan malamnya. Tapi aku masih tetap terjaga, ragaku memang lelah, tapi pikiranku masih bekerja keras. Sejak siang yang aku pikirkan adalah perjodohan yang dikatakan Paman Axel. Rasanya sungguh menyesakkan dadaku.
“Kau masih di sini?”
Suara Axel membuatku bangkit dari sofa yang ada di ruang santai. Aku buru-buru menghampirinya, Axel terlihat heran dengan tingkahku ini.
“Kau jangan terjaga hingga larut malam seperi ini, fisikmu tidak kuat. Sana tidur.”
Seperti tidak menyadari tingkah anehku, Axel justru berbalik untuk pergi meninggalkanku. Tapi aku menahan jubahnya dan membuat Axel kembali berbalik padaku.
“Kau menghindariku?” tanyaku.
Sekilas raut wajah Axel sedikit mengeras, kemudian pria dengan tatapan tajamnya itu menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
“Aku memang sedang sibuk, bukan sengaja menghindarimu. Pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin kau tanyakan padaku, bukan? Kalau begitu biar besok saja kau tanyakan, sekarang sudah terlalu malam.”
Kata-katanya mungkin terdengar romantis dan penuh perhatian, walaupun dari nada bicaranya ia agak kaku dan terkesan memerintah.
“Satu saja,” kataku menuntut. “Pamanmu tadi kemari, dan ia mengatakan akan menjodohkanmu dengan pilihannya.”
“Apa?!”
Axel kemudian mengusap kasar wajahnya, ia kini meraih kedua bahuku seolah memaksaku untuk tetap melihat ke arahnya.
“Dengar, tolong jangan pikirkan apapun yang dikatakan pamanku, apapun itu, kau tak akan pernah pergi dari rumah ini.”
Aku sempat khawatir apakah nantinya aku akan dibuang ketika Axel menikah seperti yang dilakukan ayahku padaku dulu. Tapi kata-katanya bisa kusimpan dan kugantungkan harapanku padanya. Kali ini saja, aku tidak ingin dibuang lagi.
“Sekarang kau istirahat, kita akan membahasnya besok.”
Aku mengangguk dan kali ini mendengarkan ucapannya, pikiranku yang sempat bekerja keras tadi akhirnya luluh hanya dengan ucapannya. Semakin lama tinggal di sini, hidup bersama pria ini, ada hal lain yang mulai bermunculan seperti koloni tentara. Perasaan-perasaan variasi yang aku sendiri sulit untuk menjelaskannya.
Esok paginya, setelah sarapan Axel membawaku ke kamarnya. Tenang, mood pria itu tidak sedang kacau sehingga aku berani untuk masuk ke dalam sarangnya.
“Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?” tanya Axel menyeruput teh hangat pemberian Grine.
“Pertama-tama, kau baik-baik saja?” tanyaku.
“Aku baik, kenapa?”
“Waktu itu aku lihat kau ditampar oleh pamanmu, pasti rasanya menyakitkan.”
“Aku sudah biasa dididik seperti seorang militer saat Paman Thomas menjadi waliku.”
Jadi Paman Axel itu bernama Thomas, baik, akan kuingat.
“Begitu ya. Lalu kemarin kau kemana? Kenapa sampai pulang malam segala?”
“Ada masalah di beberapa perkebunan milik warga di desa, hampir semua tanaman layu dan gagal berbuah. Aku dan Grine sedang mencari siapa yang membawa bibit tanaman terakhir kali.”
“Bukannya tanaman itu hanya bisa berkembang jika ada matahari agar terjadi fotosintesis ya?”
“Grine menemukan penjual bibit tanaman di pegunungan Tibet dan akhirnya kami mengimpor bibit tanaman yang bisa di tanam di dunia tanpa matahari ini.”
“Lalu kemarin kenapa?”
“Sepertinya ada orang yang salah mengambil bibit tanaman saat ke dunia manusia, aku sedang mencarinya.”
“Oh!”
“Jadi kau hanya ingin bertanya kepergianku saja?”
“Tidak, percakapan kita sepertinya akan tambah panjang.”
“Baiklah.”
Aku menyeruput teh milikku sebelum benar-benar menjadi dingin, lalu menarik nafas dan kembali memborbardir Axel dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
“Pamanmu, apa sengaja datang kemari hanya untuk mengatakan soal perjodohan?”
“Mungkin. Jauh sebelum itu, saat rapat dengan Tuan Gray, berita mengenai dirimu ternyata sudah sampai ke telinga para petinggi vampir. Beberapa tidak mempermasalahkannya, sementara pamanku itu benci sekali dengan manusia yang tinggal di sini.”
“Jika tahu begitu kenapa kau masih membawaku?”
“Karena darahmu manis.”
“Ucapanmu itu terasa ganjil di telingaku, Axel. Kau hanya membuat pamanmu semakin benci padaku.”
“Kenyataannya memang begitu. Lagi pula pamanku hanya menggertak, ia tidak akan berani mengusikku.”
“Kenapa yang kudengar justru pamanmu tidak akan segan-segan menendangku dari sini.”
“Kau tidak perlu khawatir, memangnya sejak kapan aku memikirkan wanita lain selain dirimu?”
“Hn?”
Axel tiba-tiba bangkit lalu berjalan ke arah pintu.
“Aku masih harus membantu Grine soal bibit tanaman itu, dan kali ini tolong percaya padaku, aku akan mempertahankanmu di sini.”
Lalu Axel pergi meninggalkanku, padahal pertanyaanku masih banyak terutama soal perempuan yang akan dijodohkan oleh Axel, tapi semua kuurungkan ketika Axel mengatakan jika aku satu-satunya wanita yang ia pikirkan, apalagi ditambah ia yang terlihat salah tingkah. Ucapannya semakin membuatku percaya dan seperti terbang ke awang-awang.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan