Pagi-pagi sekali para pelayan sudah ramai membawa beberapa potong gaun untuk di simpan di ruang santai ketika aku dan Axel baru selesai sarapan. Ruang santai di mana terdapat grand piano itu pun sudah berubah seperti butik ternama di London. Gaun-gaun indah yang sepertinya berasal dari dunia manusia itu mengundang kecurigaan dariku. Begini, satu-satunya manusia di mansion ini hanya aku, dan para pelayan perempuan terbiasa mengenakan pakaian khas maid era 80-an. Pastilah yang kulakukan memicingkan mataku pada Axel.
“Ada pesta ulang tahun istri Lord Vampir, aku ingin membawamu ke sana.”
Benar bukan dugaankku?
“Aku tidak mau pergi menemui para petinggi vampir. Walaupun mereka tidak bar-bar sepertimu, aku tetap tidak sanggup menghadapi aura mereka yang membuatku gugup.”
“Aku tidak menawarkanmu, aku memang akan membawamu meskipun kau menolak. Chas tolong pilihkan gaun untuknya.”
Kemudian Axel pergi dari ruang santai meninggalkanku dan para pelayan perempuan yang tengah mencarikan gaun untukku. Melihat anehnya pakaianku di tempat yang kental akan budaya Eropa tahun 80-an ini rasanya Axel benar-benar serius membawaku ke hadapan para petinggi dunia vampir, termasuk Lord Vampir dan istrinya. Apa mereka lebih dingin, tajam, dan minim ekspresi seperti Axel ya? Aku benar-benar gugup.
Sudah sejam aku mencari-cari gaun yang menurutku pantas untuk dikenakan di acara istana tersebut, tapi tak ada satu pun yang menurutku pantas. Lihatlah bagaimana si vampir ini memilihkan gaun, warnanya mencolok, bagian atasnya terbuka, atau yang lebih parah sedikit transparan. Memangnya tamu mana yang akan mengenakan pakaian semacam itu ke sebuah istana?
“Kau belum selesai memilihnya?”
Axel datang menghampiriku yang masih saja memilih-milih puluhan gaun yang terpajang di sini.
“Memangnya tidak ada gaun malam yang cukup normal untuk kupakai? Lihat semua gaun ini, terbuka semua!”
Tubuhku kan tidak sebagus itu juga untuk dipamerkan. Apalagi aku tidak pernah memakai gaun-gaun seperti ini seumur hidupku, itulah kenapa gaun yang diberikan Axel masih tersimpan rapi di lemari kamarku. Aku tidak terbiasa memakainya.
“Pakai yang mana saja, menurutku semua ini cocok untukmu.”
Di telingaku itu bukan pujian, sungguh. Axel menyebalkan sekali mengatakan kalimat itu, memangnya ia pernah melihat tubuhku yang kering dan kurus ini? Tidak ada cocok-cocoknya memakai gaun.
Kemudian Axel ikut melihat-lihat gaun-gaun yang sebagian sudah tidak terbungkus plastik. Ia mengambil sebuah gaun berwarna merah menyala persis seperti warna bunga mawar yang ada di halaman belakang. Gaun panjang itu sedikit terbuka di bagian atasnya, terlihat sederhana karena tidak ada aksen apapun sepanjang gaun tersebut, sebenarnya tadi aku sudah menimbang-nimbang gaun tersebut, tapi ayolah, warnanya merah menyala. Seperti membungkus sebongkah daging segar ke hadapan singa-singa kelaparan. Orang-orang nanti akan membuatku menjadi pusat perhatian.
“Tidak, tidak. Warnanya terlalu mencolok.”
“Ini bagus dan cocok untukmu, terlebih ukuran dadamu di bawah rata-rata, aksen di bagian atas gaun ini bisa menutupi kekuranganmu.”
“Hei!!!”
Aku menyilangkan tanganku di depan dada. Axel seenaknya mengatakan fakta yang tak ingin kuakui tersebut, dasar vampir brengsek dan cabul!
“Warnanya bagus sepertimu.”
“Aku tak ingin menjadi pusat perhatian. Sudah menyebalkan rasanya aku datang ke tempat para vampir, kemudian aku memakai gaun mencolok seperti itu, bisa-bisa aku dimakan oleh mereka.”
“Sudah kubilang mereka tak akan menyadari kehadiranmu. Mereka hanya akan mencium kehadiranku saja. Selama kau tidak melepaskan kalung itu. Jangan takut.”
Tetap saja aku takut. Aku tidak suka keramaian semacam pesta-pesta, saat prom night dulu pun aku tidak hadir, kemudian pesta di istana yang dihadiri para vampir, mana mungkin aku tidak cemas.
****
Aku tidak percaya Chas bisa mendandaniku. Peralatan make up yang dimilikinya bahkan bisa menyaingi para make up artis yang biasa aku lihat di Youtube.
“Aku tidak tahu Chas pintar berdandan. Kenapa kau tidak pernah berdandan? Minimal pakai lipstick.”
“Mana mungkin seorang pelayan merias dirinya Nona, jika pekerjaannya di dapur. Memangnya untuk siapa saya berdandan?”
“Hahaha… Mungkin untuk seseorang yang kau sukai diam-diam di mansion ini. Memangnya tidak ada?”
Chas tiba-tiba menghentikan gerakannya merapikan alisku yang lumayan tebal. Aku penasaran apakah pertanyaanku sedikit kurang sopan.
“Saya tidak punya waktu untuk jatuh cinta Nona.”
“Padahal kau cantik sekali.”
Apalagi ditambah ukuran dadanya yang jauh dari milikku. Gara-gara Axel aku jadi sering membanding-bandingkan dengan milik orang lain di mansion ini.
“Nona jauh lebih cantik.”
“Aku ini cuma anak muda yang tidak punya mimpi atau hal-hal yang kusukai. Jauh berbeda denganmu, melihat peralatan milikmu ini saja aku tahu jika make up adalah hal yang paling kau sukai.”
“Sejak dulu saya selalu memimpikan bisa mendandani perempuan yang ada di mansion ini. Menyiapkan segala sesuatu yang membuat kecantikan perempuan itu lebih terlihat lagi, mendandaninya dengan kemampuan yang selalu saya asah selama ini. Seperti yang saya lakukan pada Nona.”
Aku tersenyum melihat pantulan diriku di balik cermin kecil. Wajahku jadi lebih cantik dengan make up yang dibuat oleh Chas.
“Tinggal lipstick.”
Chas memoleskan lipstick berwarna merah burgundy di atas bibirku. Sempurnalah karyanya ini.
“Wah! Kau hebat sekali, Chas.”
“Saya hanya memoles wajah Nona sedikit saja. Sejak awal Nona memang sudah cantik.”
“Kau ini selalu memujiku, nanti aku jadi sombong. Hahaha…”
“Hahaha…”
Setelah itu Chas mengambil gaun malam berwarna merah yang dipilihkan Axel. Ia membantuku mengenakan gaun malam itu yang ternyata pas ditubuhku. Bahkan tinggi badanku yang tidak seberapa itu pun ternyata pas mengenakan gaun tersebut. Harus kuakui ternyata aksen di bagian atas gaun yang tidak menutupi kedua pundakku ini sanggup memberikan ilusi pada bagian dadaku yang rata.
“Nona sepatunya.”
Aku tidak tahu sejak kapan ada sepasang sepatu berwarna hitam mengkilap di kamarku, aku tidak yakin jika itu pilihan Axel karena laki-laki itu tidak mungkin bisa memilihkan sesuatu yang normal, ini pasti Grine.
“Kau tahu cerita Cinderella? Rasanya aku sedang memerankan ia sekarang,” kataku setelah mengenakan sepatu yang tingginya hanya sekitar lima senti itu.
Aku melihat pantulan tubuhku di depan cermin, terlihat seperti bukan diriku saja. Biasanya aku berkeliaran di mansion ini dengan mengenakan celana jins dan kaos atau kemeja kebesaran, rambutku pun tidak pernah ditata secantik ini sehingga leherku terpampang jelas begini, dan aku tidak sadar ternyata rambutku yang selalu aku urai itu bisa terlihat indah dan sehat. Chas memang hebat!
“Nona siap?”
“Aku belum pernah ke acara pesta seperti ini, apalagi di istana.”
“Ada Tuan Axel yang akan membantu Nona.”
Aku berjalan cukup kaku ketika akan menghampiri Axel yang sudah menungguku di bawah. Sedih rasanya melihat diriku yang tak pernah mengenakan pakaian indah, cantik, dan feminin seperti ini. Di sini saja aku sudah susah berjalan. Menyedihkan sekali.
Axel dan Grine sudah menunggu kami di depan pintu, Grine dengan setelan khasnya seperti seorang kepala pelayan, dan Axel dengan tuxedo yang memang selalu sempurna tak berbeda jauh dari yang biasa aku lihat sehari-hari.
Tapi diantara keduanya, hanya Axel yang tak berkomentar apapun, ia terlihat minim ekspresi seperti biasanya, namun Grine dengan senangnya memujiku.
“Nona kelihatan berbeda.”
“Terima kasih Grine.”
“Ayo kita pergi.”
Hanya itu yang dikatakan Axel, laki-laki itu memang aneh dan membingungkan. Kukira ia akan memujiku barang sedikit saja, setidaknya ia berusaha menyenangkan hati Chas yang sudah membantuku mempersiapkan diri. Memang salah berharap lebih padanya.
Ada sebuah kereta kencana yang terparkir di depan mansion. Seperti kereta kencana yang biasa aku lihat di film-film romansa Eropa 80-an, ternyata budaya di dunia ini sedikit mirip dengan keadaan Eropa jaman dahulu. Ini pertama kalinya aku menaiki kereta kencana seperti di film-film saja. Dan ini pun menjadi yang pertama bagiku keluar mansion dan melihat keadaan di dunia vampir.
Dunia vampir mirip seperti sebuah desa di pinggiran Kota London. Beberapa rumah sederhana yang kutemui terlihat berjejer rapi dengan cerobong asap yang mengepul ke atas. Di kiri kananpun aku melihat ladang dan tanah lapang juga sesekali peternakkan hewan-hewan yang umum kujumpai di dunia manusia.
“Sapi dan ayam bisa hidup di sini?” tanyaku melihat beberapa ekor sapi masih berkeliaran di sebuah kandang besar.
“Kau saja bisa hidup di sini.”
Aku memandangi Axel dengan tatapan malas.
“Kau menyamaiku dengan hewan ternak? Oh iya, aku memang hewan ternakmu,” kataku ketus.
“Kau selalu saja memancing keributan.”
“Aku kan hanya bertanya, kau saja yang selalu membuatku memulai keributan.”
Kemarin ia menciumku lalu esoknya ia menyamaiku seperti hewan ternak. Besok ia kembali menciumku, lalu lusa ia kembali mencampakanku. Apa permainan seorang Axel berpola seperti itu ya? Sepertinya ia memiliki gangguan bipolar.
Di ujung sebuah jalan besar yang dikelilingin deretan pertokoan kecil, aku bisa melihat bangunan istana mewah dan megah dengan dominasi warna putih dan biru untuk atapnya. Satu per satu kereta kencana berjajar menurunkan para tamu dengan balutan busana berkelas namun kesannya sedikit gothic. Aku masih sedikit ragu ketika menuruni kereta kencana tersebut dan masuk ke dalam istana vampir. Tapi Axel mengulurkan lengannya.
“Ayo turun. Jadilah dirimu sendiri.”
Aku menghembuskan napasku sebelum turun dan meraih uluran tangan Axel. Benar. Apapun yang terjadi nanti, aku hanya harus menjadi diriku sendiri. Perutku sedikit kram.
Grine saat itu bertugas sebagai pelayan Axel. Ia menjadi supir, lalu pergi membawa kereta kencana itu untuk diparkirkan. Axel menarikku masuk ke dalam istana tersebut. Tidak seperti mansion Axel yang suram itu, istana ini sudah seperti istana-istana yang sering ditemui di cerita kerajaan. Ada lampu hias besar menggantung di tengah-tengah lobi utama, lalu sebuah pintu besar di hadapan kami yang ketika dibuka, suasana khas perayaan pesta kerajaan membuat para tamu itu terlihat terpukau, termasuk aku.
Perayaan pesta itu seperti perayaan pada umumnya kutemui di dunia manusia. Bedanya hampir semua tamu memakai busana monoton, seperti hitam, putih, atau abu-abu. Iya, hampir semua, kecuali aku yang tiba-tiba kikuk melihat orang-orang itu memandangiku ketika aku melewati mereka.
“Itu tunangan Tuan Easter?”
“Tidak mungkin, parasnya biasa-biasa saja.”
“Sepertinya ia hanya gadis desa yang kebetulan diminta untuk menemani Tuan Easter.”
“Dadanya rata.”
Kalimat terakhir yang kudengar benar-benar menancap langsung ke hatiku. Ternyata kamuflase dari gaun ini tidak memberikan efek yang sama pada setiap orang yang melihatnya. Salahkan saja para perempuan vampir itu, dada mereka justru yang tidak normal.
Kulirik sejenak pria yang dipanggil Tuan Easter ini, nama keluarga dari Axel, yang ternyata tetap minim ekspresi, dingin, dan matanya yang terlihat tajam. Kenapa pria seperti dia banyak digandrungi oleh para perempuan itu? Menurutku Shawn Mendes atau Robert Pattinson yang pernah memerankan tokoh vampir lebih tampan dari Axel.
Axel membawaku sedikit menepi dari ruang besar tersebut, mungkin semacam ball room yang biasa ada di hotel-hotel berbintang. Bedanya di sudut ruangan besar ini ada anak tangga yang melingkar. Kemudian suara seorang pengawal menginterupsi kami untuk memberi sambutan pada Lord dan istrinya yang akan turun memlalui tangga melingkar itu.
Namun tidak sesuai dugaanku, justru hanya seorang pria paruh baya yang menuruni anak tangga tersebut. Jika dilihat mungkin seusia ayahku, tapi yang pasti lebih tua dari yang bisa dibayangkan. Kemudian seluruh tamu yang ada di ruangan itu pun memberi hormat pada pria paruh baya yang pastinya dia sang Lord Vampir.
“Maaf semuanya, tapi istriku sedang tidak bisa hadir untuk memberi salam pada kalian.”
Kata-katanya jauh dari kesan seorang raja yang biasanya berwibawa dan sedikit membuat orang yang mendengarnya ciut, tapi yang kudengar justru ia sangat ramah dan mengayomi, jauh sekali dengan sifat dingin Axel yang hanya seorang bangsawan semata.
Aku jadi penasaran dengan pasangan raja tersebut. Lord Leonhard Gray adalah raja kedua dari pewaris tahta keluarga Leonhard, pemimpin yang membantu para vampir mengasingkan diri setelah peristiwa genosida yang dilakukan oleh manusia berabad-abad silam. Lord Leonhard, orang-orang memanggilnya, menyalami satu per satu tamu yang hadir di acara perayaan itu. Begitu ia sampai pada kami berdua, aku sedikit canggung ketika menyalaminya, sementara Axel seolah tidak gentar meskipun dihadapannya itu adalah seorang raja.
“Axel, sudah lama aku tidak melihatmu,” ucapnya ramah.
“Tuan menemuiku dua minggu yang lalu,” jawab Axel tidak ada ramah-ramahnya.
“Hahaha… Kau masih saja memanggilku Tuan. Lalu ini siapa?”
Lord Leonhard menoleh ke arahku, aku tersenyum canggung tapi kemudian Lord Leonhard memelukku.
“Kau manis sekali, sayang. Bisakah kau menjadi anak angkatku?”
“Eh!”
“Tuan Gray!”
Ketika yang lain memanggilnya dengan Lord Leonhard, Axel dengan santainya memanggil nama kecil Lord Leonhard.
“Maaf, maaf. Aku sangat suka dia, gadis yang manis.”
Lord Leonhard lalu melepaskan pelukannya, aku semakin terlihat canggung ketika ia tersenyum padaku. Aku jadi berprasangka buruk, jangan-jangan raja yang sebenarnya adalah Axel? Tapi akan lebih buruk jika laki-laki ini yang akan memimpin para vampir, aku tebak mungkin akan terjadi pertumpahan darah dengan para manusia.
“Dimana Nyonya?” tanya Axel.
“Istriku sedang tidak enak badan, jadi aku memintanya untuk istirahat saja,” jawab Lord Leonhard.
“Ini kan ulang tahun Nyonya, kenapa justru beliau yang tidak hadir?”
Gila! Laki-laki di sampingku ini bahkan terang-terangan mengkritik rajanya sendiri. Ya ampun!
“Hahaha… Aku tak mau membuatnya kelelahan. Silakan nikmati makanannya, aku akan menyalami tamu-tamu yang lain.”
Kemudian Lord Leonhard pamit meninggalkan kami berdua di tengah keramaian. Aku melihat-lihat para pelayan yang membawa nampan dengan beberapa gelas wine di atasnya. Salah satu dari mereka menghampiri kami dan Axel mengambil segelas wine itu untuknya.
“Kau tidak menawariku?” tanyaku.
“Kau suka darah hewan ternak?” tanya Axel lalu menyesap isi dari gelas wine tersebut yang ternyata lebih kental dari wine pada umumnya.
“Itu benar-benar darah?!”
“Memangnya apa lagi?”
Aku menatap jijik gelas tersebut. Memang apa enaknya meminum darah amis begitu? Ahhh… Rasanya perutku yang tadi kram mulai merasa mual-mual dan ingin muntah saja.
“Aku ingin pergi menepi sebentar. Tak perlu mengekoriku,” kataku memegang perutku yang mulai bergejolak.
“Panggil Grine jika kau butuh sesuatu.”
Aku hanya memberikan kode ‘ok’ lewat tanganku tanpa menoleh pada laki-laki itu. Aku sungguh-sungguh ingin mengeluarkan semua isi perutku sekarang.
Aku berjalan di sekitar lahan hijau luas yang berada tepat di samping ruangan tempat pesta itu berlangsung. Lahan ini seperti kebun dengan kolam ikan berbentuk persegi panjang dan ada sebuah kursi taman tak jauh dari kolam ikan tersebut. Dan seorang wanita yang sedang duduk di antara temaramnya malam itu.
Wanita itu tersenyum padaku, sepertinya ia menyadari bahwa sejak tadi aku sedang memandanginya. Walaupun pencahayaan hanya bergantung pada cahaya bulan, aku yakin wanita itu sangat cantik. Aku berinsiatif menghampirinya, minimal memberi salam karena rasanya kurang sopan jika aku pergi begitu saja.
“Halo Nona,” sapanya.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Wanita itu mengenakan gaun putih dengan aksen bunga-bunga rambat berwarna biru di bagian bawahnya. Ia mengenakan mantel untuk menutupi bagian atas tubuhnya. Rambutnya yang cukup bergelombang sengaja di sisikan hingga terlihat perpotongan lehernya. Sederhana dan anggun.
“Bolehkah kau menemaniku sebentar? Sepertinya kau pun sedang pusing melihat keramaian orang-orang di sana.”
Dari pada harus berkeliling tidak jelas di kebun luas ini dengan mengenakan heels, sebaiknya aku menemani wanita ramah ini sebentar saja. Aku pun duduk di sampingnya, jika dilihat dari dekat, wanita anggun ini lebih gelap dari kebanyakan kulit pucat para vampir, tapi ia tetap putih mempesona.
“Kau pasti teman kencan Easter, siapa namamu, Nak?”
Wanita itu menebak dengan tepat jika aku dibawa Axel kemari, tapi kami bukan teman kencan. Ia harus kuberi tahu jika Axel memaksaku ikut kemari.
“Elena Taylor, Nyonya. Panggil saja Elen,” jawabku.
“Nama yang bagus. Persis sepertimu.”
“Terima kasih.”
“Pasti berat ya hidup bersama Easter?”
“Hmm?”
“Sudah bukan hal tabu lagi jika para vampir hidup satu rumah sepertimu.”
Tadinya aku takut sedang kumpul kebo dengan Axel, walaupun memang tidak dipungkiri kami memang kumpul kebo bersama beberapa pelayan di mansionnya.
“Tapi, mungkin Nyonya sedikit keliru, meski begitu aku ini hanya seorang manusia, bukan, tepatnya seekor hewan ternak.”
“Hm? Hewan ternak?”
“Mungkin setiap vampir yang membawa seorang manusia untuk tinggal di rumahnya, semata-mata mereka hanya ingin meminum darah manusia itu. Tidak ada bedanya seperti hewan ternak.”
Wanita itu tak menyanggah ucapanku, dan mungkin aku sudah menyinggungnya juga. Dasar mulut besarku ini, susah sekali untuk mengontrolnya.
“Boleh aku memberikan saran? Dari pada membandingi dirimu sendiri sebagai hewan ternak, kenapa tidak mengibaratkan dirimu sendiri sebagai dopamin mahal untuk para vampir. Semakin kau merasa dirimu berharga, maka kau akan menyadari betapa pentingnya dirimu untuk sosok vampir.”
Dopamin?
Kata-katanya cukup mirip dengan kata-kata yang pernah Grine katakan padaku. Tapi mengingat Axel memang tidak sesering itu meminum darahku, bisa jadi jika aku ini dopamin mahal untuk tubuhnya, aku memang dibutuhkannya.
“Maaf jika aku terkesan menyinggung.”
“Tidak, tidak. Wajar jika manusia yang baru tiba di dunia ini merasa rendah diri. Tapi melihat bagaimana Easter memperlakukanmu, kuyakin kau bahkan lebih berharga dari sebuah dopamin.”
Aku kembali hanya bisa tersenyum menanggapinya. Aku baru menyadari hal yang penting untuk kelangsungan hidupku sendiri, sejak aku mencoba merelakan kebebasanku direnggut Axel, justru ia memberikan pintu yang terbuka lebar di rumahnya, agar aku tidak sesak jika menghabiskan sisa hidupku di mansionnya. Mungkin yang kucari bukan sebuah kepasrahan tanpa berusaha apapun, tapi membuat sudut pandang yang lebih baik untuk menatap apa yang akan terjadi ke depannya.
“Terima kasih Nyonya.”
“Melihat bagaimana Easter memperlakukanmu seperti setangkai mawar kristal yang selalu diberikannya padaku setiap tahun, membuatku menyadari betapa Easter sangat memperlakukanmu begitu istimewa. Elena, jangan takut untuk percaya padanya dan menitipkan kebahagiaanmu padanya.”
Tadinya aku ingin menanyakan siapa Nyonya baik hati yang ada di sampingku ini, tapi seseorang menghampiri kami dan berbisik pada Nyonya ini.
“Elena, terima kasih sudah menemaniku sebentar. Lain kali kita bertemu lagi ya.”
“Anu, Nyonya, apa saya boleh tahu nama Nyonya? Agar suatu hari saya bisa menemui Nyonya kembali.”
“Namaku Aurora, kita pasti akan bertemu kembali.”
Aku sedikit membungkuk ketika Nyonya Aurora pamit. Kemudian aku mengelus kelopak bunga yang sudah menjadi kalung yang menggantung di leherku ini. Grine lalu menghampiriku dan mengajakku untuk menemui Axel di dalam ruang pesta. Aku pun mengikuti langkah Grine, namun ada hal lain ketika aku menemui Axel.
Di hadapan Axel muncul seorang pria berwibawa dengan membawa tongkat jalannya dan memandangiku dan Axel secara bergantian dengan geramnya.
“Kau tidak memberi tahuku jika ada manusia yang tinggal di rumahmu? Aku sudah katakan, tidak boleh ada darah manusia yang mengalir dari keturunan Easter.”
Rasanya jantungku mau copot saja melihat murkanya pria tersebut, walaupun Axel tidak bergeming bukan berarti ia gentar sepertiku. Axel justru memandangi pria yang jauh lebih tua darinya.
“Paman tidak bisa seenaknya mengatur kehidupanku!”
“Axel!!!”
Pria yang ternyata paman Axel itu menampar wajah Axel dengan penuh amarah di tengah-tengah pesta istana. Walaupun perdebatan keduanya cukup kentara, untungnya tidak membuat orang-orang di ruangan ini teralihkan seratus persen pada keributan keluarga Easter.
Yang sepertinya dipicu oleh kehadiranku sebagai manusia satu-satunya.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan