Kalian masih ingat cerita Beauty and The Beast? Cerita tentang seorang gadis cantik yang harus tinggal di sebuah istana milik Si Buruk Rupa. Yang pada akhirnya mereka saling jatuh cinta dan cinta itu ternyata bisa mematahkan kutukannya. Sebenarnya, banyak sekali cerita-cerita klasik yang berakhir bahagia seperti itu. Mungkin orang-orang mengira jika cerita semacam itu hanya karangan si penulis semata, tapi orang-orang itu mungkin tidak mengira, jika sebuah cerita klasik bisa saja terinspirasi dari suatu kejadian nyata.
Hari itu mulai masuk musim gugur. Pohon-pohon di sepanjang jalan mulai menguning dan menumpukkan dedaunannya di atas trotoar jalan. Orang-orang sudah mulai mengamankan tubuh mereka dengan pakaian hangat dan tebal. Meskipun di dalam rumah akan terasa lebih hangat, namun mereka memilih untuk tetap beraktivitas di luar rumah yang dingin itu. Sama sepertiku.
Jaket tebal yang kugunakan seolah tidak cukup untuk menangkal hawa dingin di jalanan Kota London. Kedua tanganku kumasukkan ke dalam kantung jaket agar jari-jari tanganku tidak membeku.
Lonceng berbunyi setelah aku membuka pintu sebuah toko swalayan.
“Selamat siang,” sapaku.
“Selamat siang, Elena,” balas orang yang kuberi salam itu. Nametag bertuliskan ‘Manajer’ menghampiriku sembari membuka celemek yang dipakainya. “Cuaca di luar pasti dingin sekali.”
“Sangat.”
Aku mengambil celemek yang diberikan Pak Manajer lalu memakainya tanpa membuat jaketku sebelumnya.
“Hari ini Si Kacamata tidak datang, jadi kuharap kau mau bekerja hingga malam nanti.”
“Tak masalah, Pak.”
“Lagipula aku akan di sini sampai malam. Mendata beberapa barang yang baru masuk tadi pagi, kau tidak perlu khawatir.”
Aku mengangguk. Lalu Pak Manajer masuk ke sebuah ruangan yang letaknya berada di sudut.
“Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan ayahmu? Dia baik-baik saja?” Pak Manajer bertanya sebelum benar-benar masuk ke dalam gudang.
“Masih tetap mengerikan. Kemarin hampir saja ayahku memecahkan kaca spion sebuah mobil yang terparkir di depan apartemen.”
“Ya Tuhan! Kuharap itu masalah terakhir yang dilakukannya. Tetaplah semangat, Elena!”
Dengan senyum palsu, juga semangat yang sengaja kupupuk, aku melayani setiap pelanggan dengan senyuman dan semangat seolah hari-hariku tidak seberat melengkungkan sudut bibirku ke atas.
Setelah lulus SMA aku bekerja di toko swalayan yang tak jauh dari apartemenku. Memiliki seorang Ayah yang pemabuk membuatku harus terbangun dari mimpi dan mendaratkan tubuhku di atas kenyataan yang bergerigi dan tajam. Hanya aku satu-satunya anggota keluarga yang dimiliki oleh ayahku, mau tidak mau, aku harus bisa menjalani kehidupan ini dengan uang yang pas-pasan karena hobi ayahku yang selalu berjudi dan minum-minuman keras. Hidup ini sungguh mengenaskan!
****
Pukul delapan malam.
Setelah berpamitan dengan Pak Manajer, aku kembali menyusuri jalanan yang mulai gelap untuk kembali ke apartemen. Melewati makan siang dan makan malam, aku sudah berniat untuk segera terlelap ke alam mimpi sebab kaki-kakiku sangat kelelahan akibat berdiri berjam-jam lamanya tadi.
Begitu sampai di gedung apartemen yang sangat sederhana, aku membuka pintu apartemenku. Tidak ada siapa-siapa dan gelap. Ayahku pasti sedang pergi mabuk-mabukan dan akan kembali keesokan paginya. Mengabaikan kehadiran ayahku, aku pun segera masuk ke dalam kamar dan benar-benar terlelap tanpa mengganti pakaianku. Aku benar-benar lelah sekali.
Sebelum kesadaranku sepenuhnya hilang, aku memandangi sejenak foto mendiang ibuku yang terpajang di dinding kamar yang sudah mulai kusam.
“Selamat malam, Bu.”
****
Mungkin sekitar jam dua pagi ada sebuah suara bising yang mengganggu tidurku. Tadinya kupikir itu suara ayahku yang baru pulang dan sedang mabuk, tapi jantungku seakan mau lepas melihat dua orang berbadan tegap menggunakan pakaian serba hitam sedang berdiri di balik pintu apartemenku.
“Ayahku belum pulang,” kataku menahan rasa gugupku yang kentara.
Sebelah tanganku menggenggam ujung jaket yang masih melekat ditubuhku. Aku tidaklah bodoh melihat dua orang asing mengetuk pintu apartemenku secara kasar di tengah malam semacam ini. Jika bukan orang jahat, lalu apa lagi?
“Kami sedang mencarimu, Elena Taylor,” kata salah satu dari mereka.
Aku memundurkan langkahku. “Aku tidak bisa keluar hari ini, maaf, lain kali saja.”
Aku segera menutup pintu apartemenku, namun sayangnya mereka lebih cepat untuk menahan pintu sehingga sekuat apapun aku mendorong pintu itu, mereka tidak tertutup sama sekali.
Mereka menarik kedua lenganku dan memaksaku untuk keluar dari apartemen dengan kasarnya. Aku meronta, berteriak, dan berharap ada seseorang yang mau menolongku. Tapi sepertinya nasib buruk selalu menimpaku, di tengah-tengah perlawananku, salah seorang dari mereka memukul tengkukku keras sekali hingga membuatku kehilangan kesadaran dan aku tidak ingat apa yang terjadi padaku selanjutnya.
Tiba-tiba saja aku sudah berada di sebuah jalanan yang terasa asing. Sebuah mobil yang sedang mengangkutku melaju cukup kencang di jalanan sepi itu. Matahari baru separuh menampakkan dirinya. Dua orang yang tadi menarikku pun sedang berada di kursi depan. Kini tanganku terikat.
Mereka membawaku ke sebuah daerah pinggiran yang tak kalah sepinya. Mobil itu terhenti di depan sebuah motel yang tak terawat. Aku diminta untuk turun dan mengikuti mereka masuk ke dalamnya. Di lantai satu, bau alkohol dan bekas botol-botol minuman berserakan di mana-mana. Entah ini sebuah motel atau sebuah klub hiburan, tapi suasananya sungguh membuatku dihampiri rasa cemas.
Aku dipaksa masuk ke sebuah ruangan di lantai tiga. Ada seorang wanita paruh baya dengan pakaian norak sedang mengisap cerutu. Asapnya sengaja mengenai wajahku hingga membuatku terbatuk-batuk.
“Ayahmu berhutang cukup banyak namun tidak bisa melunasinya. Sebagai jaminan, ia memintaku untuk membawamu kerja di tempatku,” ucapnya.
“Hutang? Berapa banyak? Akan kulunasi hutang ayahku secepatnya, jadi tolong lepaskan aku,” pintaku.
“Ayahmu mengatakan hal yang sama lalu kemudian ia menghilang hingga hari ini. Lantas, apa yang bisa menjadi jaminan untuk ucapanmu itu? Ayah dan anak sama saja.”
Jujur aku ingin pergi dari tempat ini, tapi melihat dua orang yang membawaku tadi juga lokasi yang tidak kuketahui membuatku kebingungan untuk kabur dari tempat ini.
“Bawa gadis itu ke kamar kosong, kurung dia, pasti nanti malam orang-orang berebut untuk mendapatkannya.”
“Baik Lady Mi.”
“Tunggu!!! Tolong jangan lakukan itu padaku! Aku janji akan melunasi hutang ayahku!”
Protesku sepertinya tidak berpengaruh pada wanita yang dipanggil Lady Mi itu. Aku kembali diseret dua orang tadi dan dikurung di sebuah ruang tidur khas motel-motel. Aku menggedor-gedor pintu kamar tersebut, tapi tidak ada seorang pun yang medengarnya.
Sial! Benar-benar sial hidupku!!!
****
Dentuman musik tidak jelas terdengar hingga ke ruangan tempat aku dikurung. Dengan ancaman dari Lady Mi beberapa saat lalu, kini akupun memakai pakaian minim hingga separuh bagian atas tubuhku terekspos begitu saja. Berulang kali aku membetulkan pakaian tidak nyaman tersebut dengan degup jantung yang kian berdetak kencang seiring detik waktu.
Aku takut. Cemas. Dan tidak tahu harus melakukan apa.
Aku tidak mau menjadi wanita rendahan hanya karena hutang ayahku. Meskipun tidak punya mimpi, bukan berarti aku mau menjadi wanita jalang yang menjajakan tubuhnya pada laki-laki hidung belang!
Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatianku. Jantungku benar-benar akan melompat dari tempatnya. Sekujur tubuhku kini tegang luar biasa. Seorang pria mengenakan jubah hitam dan hampir menutupi separuh wajahnya. Secara otomatis aku berjalan mundur hingga terjatuh di atas kasur.
Pria itu seperti penuh dengan aura hitam di sekitarnya. Seolah-olah ada pesan misterius yang akan keluar di setiap ucapannya. Ia memandangiku. Sorot matanya yang tajam begitu kontras dengan kulit wajahnya yang pucat. Tubunya tinggi meskipun tidak setinggi orang-orang dewasa pada umumnya.
Ia duduk di sebuah sofa yang terletak di samping jendela besar. Sementara itu mataku masih menatapnya penuh curiga dan penuh kewaspadaan. Pria itu lalu memandang ke arah jendela yang mulai berembun akibat cuaca dingin di luar sana. Tanpa kuketahui, tatapannya itu akan memakan waktu lama malam ini.
Satu jam terlewati dengan keheningan kami. Mataku tetap waspada terhadap pria penuh misteri itu. Sementara suara dentuman hebat dari klub lantai satu kian menantang malam itu. Dua suasana yang saling berlawanan.
“Kau percaya vampir?” Pria itu membuka suara. Ia kemudian memandangiku yang masih duduk tegap di sisi ranjang.
Pria itu mabuk ya?
“Kau tahu vampir?” tanyanya lagi dengan suaranya yang berat.
Tentu aku tahu makhluk fantasi yang selalu muncul di dalam novel-novel best seller. Lalu kenapa ia bertanya tentang makhluk menyeramkan penghisap darah seperti itu.
“A-aku tahu,” jawabku gugup.
Pria itu bangkit dan menghampiriku secara perlahan. Aku semakin beringsut mundur hingga punggungku mengenai ujung ranjang. Pria itu seperti tidak kenal ampun melihatku yang mulai ketakutan setengah mati.
Setelah jarak kami begitu dekat, wangi lavender tercium di indra penciumanku. Pria itu sedikit menundukkan tubuhnya hingga aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang pucat.
“Wangimu manis,” katanya.
“Hah?!”
Pria itu menangkap salah satu lenganku. Sekuat tenaga aku menarik lenganku agar terlepas dari genggamannya, namun pria itu mendekatkan lenganku pada wajahnya, bukan, tepatnya ke arah bibirnya yang merah.
Di ciumnya pangkal lenganku. Aku masih meronta tapi kekuatana pria itu tidak masuk akal. Gigi taringnya tiba-tiba saja memanjang, sorot matanya yang hitam berubah merah menyala. Aku menutup mulutku karena terkejut melihat makhluk fantasi yang kini ada di hadapanku.
“Aarrgghh!!!!”
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Dia tidak sedang mengincar harga diriku. Dia sedang mengincar nyawaku melalui darah yang akan ia hisap hingga tubuhku mati mengering.
“Lepas!!! Lepas!!!! Tolong!!!! Tolong!!!!”
Tidak ada yang mendengarkan teriakanku. Mereka semua salah paham. Mereka salah! Yang mereka undang bukan manusia, melainkan monster penghisap darah.
Gigi tajam itu menembuk kulit lenganku tanpa aba-aba. Seperti sepasang jarum tajam dan besar, ia mengigit pangkal lenganku hingga darah mengalir begitu derasnya. Makhluk itu menghisap darahku hingga tidak menetes sedikit pun ke atas ranjang. Ia menikmati darahku sementara tanganku mulai gemetar hebat. Entah karena takut, entah karena aku mulai kehabisan darah.
Kepalaku tiba-tiba saja berputar. Pandanganku memudar. Dan aku kehilangan kesadaranku di saat makhluk itu tengah asyik meyesap segarnya darahku. Mungkin ini adalah akhir hidupku. Tak apalah, kematian tidak akan semengerikan hidupku yang menyedihkan ini. Mungkin aku memang harus menyusul ibuku secepatnya.
****
Hai...
Kembali lagi bersamaku dalam cerita baru di tahun yang baru. Ini genre fantasy pertama yang kubuat, mungkin tidak sempurna, tapi semoga terhibur. Berbicara tahun baru, Selamat Tahun Baru untuk teman-teman semua, terlalu siang untuk merayakan memang, tapi di tahun yang baru ini semoga doa-doa di masa lampau bisa terkabul di sepanjang 12 bulan ke depan.
Dan juga terima kasih untuk teman-teman yang membaca karya-karyaku sebelumnya. FYI nih, KALA SENJA udah masuk 3000 hits loh! Sungguh pencapaian terbesar untukku. Mari mampir karya-karyaku sebelumnya.
Salam hangat,
SR
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan