Warning :
Kalian akan menemukan banyak filter shuojo (imajinasi remaja cewek) dan teori yang menabrak dinding rasionalitas. Teman-teman koala, ini novel pendek pertama yang coba koalathor buat. Koalathor ingin membuat romance-misteri.
- Koalathor yang baru menetas-
PART 4
Ethan jatuh ke sisi Rose. Rose menatap mata Ethan. Mata itu menunjukkan emosi yang kuat. Jantung Rose berdegup kencang. Rose tidak pernah berada di posisi itu. Wajah Ethan semakin mendekat, Rose panik dan mendorongnya. Dia berdiri dan mundur perlahan. Tangannya menyenggol sesuatu. Kopi itu tumpah mengenai buku-buku yang baru datang. Rose bingung, dia pergi meninggalkan Ethan.
*****
Usapan lembut tangan nenek membangunkan Rose. Nenek sangat hangat, dia jadi semakin terlelap karena nyaman. Sebuah kelitikan membangunkannya.
“Hahahaha iya nenek aku bangun.” Ucap Rose yang menguap lalu memeluk neneknya.
“Nenek ceritakan padaku tentang putri Alexa!” pinta Rose.
“Baiklah dengarkan ini ya. Ini adalah lanjutan cerita dari bagian yang hilang.” ucap nenek.
Saat pertama putri Alexa jatuh cinta.
Putri sedang berjalan-jalan di alun-alun kota. Tentu saja putri melakukan penyamaran, supaya tidak membuat heboh penduduk kota. Sang putri berjalan ditemani pengawal dan pelayan terpercayanya. Sejujurnya sang putri tidak suka ada pengawalan. Dia ingin berjalan-jalan sendiri. Dia melirik kepada bibi pelayan yang sudah dia anggap kakak. Sang pelayan menggeleng, namun akhirnya luluh karena wajah memelas putri. Dengan taktik jitu sang putri dapat meloloskan diri dari mereka.
Hal ini bukan yang pertama. Alexa memang pandai menghilang di antara kerumuman orang. Sang pelayan berpura-pura kehilangan sang putri, akting paniknya luar biasa. Dia bersembunyi di sebuah kedai kecil di pinggir kota menunggu mereka pasrah mencari. Disaat ia bersembunyi, dia melihat seorang yang aneh bahkan penampilannya pun lusuh. Orang itu tergesa-gesa akan satu hal. Alexa penasaran dan mengikuti orang itu. Raut wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca. Tangannya mengepal tinju dan melampiaskan tinju itu ke segala arah. Dia mengambil kudanya yang sepertinya dia rawat dengan baik.
Alexa ingin bertanya apa yang terjadi, namun dari kejauhan terdengar suara pengawal memanggilnya. Alexa terkaget dan ikut melompat ke kuda orang itu. Mata mereka bertemu, Alexa memberikan senyum dan sebuah permintaan untuk membawanya pergi. Pria itu memenuhi permintaan Alexa dan membawanya pergi. Alexa melambaikan tangannya ke pengawal seraya berteriak, bahwa dia akan pulang secepatnya.
Kuda itu melesat cepat, setiap melewati pohon yang tumbang dan bukannya menghindar kuda itu melompatinya. Hal itu membuat Alexa takut dan tanpa sengaja memeluk pria itu supaya tidak jatuh. Barulah Alexa sadar pria itu memiliki tubuh yang cukup atletis. Alexa terdiam merasakan degup jantung, iya milikinya dan pria itu. Dilihatnya wajah pria itu dari belakang, tidak terlihat jelas. Tapi guratan emosi terpancar di wajah pria itu. Apa yang sedang dialaminya? Ketika sampai barulah dia sadar apa yang terjadi. Itu adalah pertama kalinya Alexa datang ke Motherland.
Rose teringat saat dia pertama berkuda dengan Zoe. Dia tersenyum-senyum mengingat hal itu tapi dia juga teringat kejadian kemarin sore, hal itu tak mudah dilupakan Rose. Dia tak bisa selamanya berdiam diri mengasingkan Ethan. Rose memutar otak tentang apa yang harus dilakukannya. Memikirkan apakah Ethan menyukainya atau itu hanya salah satu aktingnya sungguh membuat pusing kepalanya.
“Nenek aku memberikan masalah pada Ethan. Tapi aku tidak sepenuhnya salah. Semua karena Ethan bodoh.” Ucap Rose.
“Aku ingat kue pertama mu, kamu belajar mati-matian membuat kue sendiri untuk diberikan kepada Ethan karena mematahkan mainannya. Jadi kenapa kau tidak melakukannya lagi? Dalam pertemanan selalu ada masalah, tak peduli siapa yang salah. Jika salah satunya mengucapkan kalimat ajaib, pertemanan akan kembali.” Ucap nenek
“Dan kalimat ajaib itu adalah, Maaf. Nenek aku mencintaimu.”
Rose memeluk erat nenek dan menciumnya. Nenek adalah malaikat lain selain Ibu.
*****
Ethan berjalan menuju perpustakaan dengan sedikit gelisah. Ia teringat kejadian kemarin. Dia berpikir mungkin terlalu cepat Rose tahu perasaanya. Dia takut menemui Rose tapi dia juga tidak ingin kehilangan Rose. Akhirnya dia bertekad akan berbicara dengan Rose setelah berjaga untuk meminta maaf.
Beberapa langkah menuju pintu perpustakaan. Rose dengan balutan syal merah yang menutupi wajarnya berdiri di depan pintu. Dia sempat melirik ke arah Ethan lalu kembali menunduk. Ethan menghampiri Rose dan mengusap kepala rose.
“Hei kau merusak rambutku.” Keluh Rose.
“Kukira memang tidak disisir.” Sahut Ethan.
Mereka tertawa bersama seolah tidak ada yang terjadi.
Ethan membuka perpustakaan dan mereka berdua berjalan masuk.
“Ethan, Ethan, aku bawa kue kesukaanmu.” Ucap Rose.
Ethan hanya tersenyum dan melakukan pekerjaanya.
“Ethan, kau sungguh harus aku yang memulainya?” Tanya Rose.
“Kemarilah.” ucap Ethan menggenggam Rose.
Rose mendekat kepada Ethan. Dia sedikit menjauh terlihat bahwa Rose sedang berjaga jarak. Ethan gemas melihat tingkahnya, dia memegang kepala Rose dan menyundulnya.
“Aw, sakit bodoh!” Ucap Rose mengelus-elus keningnya.
“Harusnya kau mendapatkan itu kemarin! Satu lagi.” Ucap Ethan yang menarik kepala Rose ke ketiaknya.
“Tidak mau!!! Siapa pun tolong!!!” Teriak Rose.
Ethan puas mengerjai Rose. Dia tertawa terbahak-bahak. Rose mencari parfum dari tasnya dan mulai menyemprotkan parfum ke wajahnya.
“Kau sengaja tidak mandi ya?” Tanya Rose kesal.
“Hei aku ini wangi.” Ucap Ethan sambil mencium ketiaknya.
“Aku lupa aku habis olahraga.” Lanjut Ethan.
“Oh iya buku-buku itu bagaimana? Maaf ya, aku tidak sengaja mengotorinya.” Ucap Rose.
“Huh, gara-gara kau aku harus mengeringka dan membungkusnya dengan sampul plastik. Jangan diulangi.” Tegas Ethan.
“Aku kan tidak sengaja. Kau juga yang menyebalkan!” Kesal Rose.
“Menyebalkan? Ah … kau berpikir aku akan mencium mu ya? Kau ini terlalu berharap ya.” Balas Ethan.
“Ya … aku kan hanya berhati-hati.” Rose memalingkan wajahnya.
“Kau ini… bantu aku merapihkan buku.” Pinta Ethan.
Rose membantu Ethan merapihkan buku. Rose juga belajar untuk ujian masuk sekolah hukum beberapa bulan ke depan. Dia belajar dengan giat. Berapa kali Ethan mencoba memberitahukan jawaban yang benar tapi Rose angkuh tidak percaya. Rose tertidur ketika belajar. Ethan memberikan jaketnya pada Rose.
*****
Penduduk sudah memasuki rumah masing-masi, malam telah tiba. Tidak ada yang spesial di malam hari. Kecuali kedai minum di ujung jalan, tentu saja ramai oleh para pekerja yang melepas lelah atau hanya sekedar membuang waktu bersama teman-temannya. Malam semakin larut. Dua orang laki-laki mengenakan jubah hitam berjalan di sekitar alun-alun Motherland. Laki-laki itu tinggi dan besar. Langkah kakinya panjang dan cepat. Mereka berhenti tepat di Museum.
“Cepat buka pintunya. Atau seseorang akan memergoki dan menangkap kita.” ucap lelaki pirang.
“Aku butuh 3 detik lagi.” balas lelaki bertubuh besar.
Mereka berhasil membongkar kunci pintu Museum. Apapun yang mereka lakukan, itu bukan hal baik. Mereka mencari-cari barang yang mereka inginkan. Suasana Museum malam hari senyap dan gelap. Digunakannya senter sebagai penerangan. Setiap sudut ruangan mereka telusuri sampailah mereka di sebuah patung seorang pahlawan, putri Alexa, di depannya terdapat kotak berisi busur yang digunakannya untuk memanah.
“Aku menemukan busurnya. Tapi tidak ada panah di dalamnya.” ucap lelaki berambut pirang.
“Dia memisahkannya!! Tentu saja. Cepat ambil saja. Kita selangkah menuju impian.” jawab lelaki bertubuh besar.
PRAAANG....
Suara itu mengejutkan mereka. Diarahkannya senter mereka ke sumber suara, namun tidak ada siapa pun. Merasa keberadaannya terancam, mereka mengambil busur lalu kabur. Esok harinya, berita museum terampok menjadi headline koran dan pembicaraan utama di Motherland. Polisi sudah mencari pentunjuk, namun tidak menemukan apapun.
*****
Gedung polisi sangat ricuh, banyak polisi yang keluar masuk. Semenjak kejadian perampokan itu polisi memperketat penjagaan termasuk orang-orang yang masuk dan keluar desa. Baru kali polisi desa Motherland sesibuk ini. Sebelumnya tidak pernah terjadi perampokan di desa. Orang-orang lebih suka membantu orang lain kesusahan daripada melihatnya hilang akal sehingga dapat dibilang Motherland sejahtera. Terlebih tanah di Motherland sangat subur. Rose menghentikan langkahnya memperhatikan hal itu cukup lama. Seseorang yang kenal dengannya menyapanya.
“Rose, Apa yang kamu lakukan? Maaf ya kami sibuk. Apa butuh bantuan?” Tanya Ron.
“Hai kak, tidak. Aku heran. Tidak pernah polisi desa kita sepanik ini. Ada apa?” Tanya Rose.
Ron menghela nafas sebentar lalu berkata bahwa semua baik-baik saja.
“Aman Rose. Kami hanya memperketat penjagaan supaya tidak ada lagi barang yang hilang di desa. Kau mau aku lindungi?” Tanya Ron menggoda.
“Sebelum mereka menyentuhku, aku sudah memanah mereka. Tenang saja.” Jawab Rose.
“Haha, kau mau kemana?” Tanya Ron.
“Perpustakaan.” Jawab Rose.
“Oh begitu, sampaikan salamku pada pacar mu ya.” Ucap Ron.
“DIA BUKAN PACARKU.” Rose marah sekaligus blushing.
“Jadi kamu putus? Sayang sekali, bagaimana jika kau jadi istri keduaku nanti?” Tanya Ron.
“Oh astaga urusi saja pernikahan mu itu.” Ucap Rose dengan muka masam.
“Ron cepat rapat dimulai, kita harus membahas surat ancaman itu.” Teriak salah seorang rekan kerja Ron.
“Ah baik.” Jawab Ron.
“Rose, semua baik-baik saja. Tetapi lebih baik kamu sampai di rumah sebelum matahari terbenam ya. Sampai jumpa lain waktu.” Rose hanya membalas dengan senyuman.
*****
Ethan tidak seperti biasanya hari ini. Bahkan perpustakaan tutup tanpa pemberitahuan sebelumnya. Langkahnya tergesa-gesa menuju suatu tempat. Dia bergegas ke kedai yang ada di ujung jalan dan bertemu seseorang di sana. Ethan membicarakan sesuatu yang serius dengan orang itu. Baru kali ini Ethan memasang mengerenyitkan dahinya. Percakapan itu cukup singkat mereka berbicara seperlunya dengan suara berbisik supaya tidak ada yang mendengar. Sesuatu yang serius pasti sedang terjadi.
“Iya memang benar, aku mengetahuinya tapi hanya sedikit aku tidak tahu apakah itu dia atau bukan.” Ucap Ethan.
“Kami butuh bantuan kamu Ethan. Tolong.” Ucap pria itu.
“Dia seorang pelajar hukum, dia kemungkinan berasal dari kota.” Balas Ethan.
“Terima kasih, akan kami tindak lanjuti.”
Tanpa salam perpisahan, pria tersebut meninggalkan Ethan sendirian.
Ethan menghela nafas dan menatap keluar jendela. Matanya menangkap sesuatu yang indah, Rose. Bergegas dia keluar dan menemuinya.
“Rose, kau sedang apa?” Tanya Ethan.
“Aku mencarimu, kenapa perpustakaan tutup?” Tanya Rose kembali.
“Maaf, aku lapar, tapi aku bingung ingin makan apa.” Jawab Ethan.
“Ayo ke rumah, ku buatkan pancake dan aku ingin membicarakan sesuatu padamu.” Pinta Rose.
“Rose.” Ucap Ethan.
“Iya?” Sahut Rose.
“Apa kau mencoba menjadi istri yang baik?” Tanya Ethan.
“Aku berusaha menjadi majikan yang baik dan manusiawi.”
Ethan tertawa kecil mendengar jawabannya. Dia tahu bahwa dirinya tidak bisa menolak permintaan Rose. Mereka pun bergegas menuju rumah Rose. Sesampainya di rumah, Rose bergegas ke dapur dan Ethan menunggu di meja makan sambil melihat Rose. Rose mengenakan apron berwarna pink. Dia mengikat rambutnya menunjukkan leher jenjangnya terlihat indah. Jari jemarinya lihai dalam membuat adonan maupun memegang peralatan dapur.
‘Rose sorry, hard to stop loving you’ gumam Ethan. Dia mencoba berhenti memandangi gadis itu dan tidur di meja beralaskan lengannya.
Aroma pancake membangunkan Ethan. Kue itu terlihat sangat enak. Tidak butuh waktu lama untuk dia melahap semua itu. Kelembutan lapisan roti dibalut madu dan blueberry sungguh kombinasi luar biasa.
“Thanks for the food, wife.” Ucap Ethan.
“Ethan, begini. Kejadian waktu itu sejujurnya tidak bisa aku lupakan. Aku bingung memikirkan maksudmu. Lalu aku duduk di alun-alun sambil melihat bintang. Aku tidak sadar aku menghabiskan waktu cukup lama. Saat ingin pulang aku melihat dua orang mengenakan jubah berjalan dengan misterius. Aku mengikuti mereka, aku melihat semuanya. Pencurian itu! Aku melihatnya.” Ucap Rose serius.
“Rose, kau sungguh nekat sekali bagaimana jika kamu tertangkap dan mereka melukaimu?” Balas Ethan khawatir.
“Aku baik-baik saja Ethan!” Tegas Rose.
“Oke, apa kamu ingat ciri-ciri mereka?” Tanya Ethan.
“Mereka tinggi, yang satu berbadan besar, dan satunya memiliki rambut yang pirang. Aku tidak ingin menuduh, dia terlihat seperti Zoe. Aku tidak sengaja menyenggol vas. Aku berusaha sembunyi, mereka panik dan bergegas mengambil busur itu. Salah satu dari mereka menjatuhkan ini.” Ucap Rose sambil mengulurkan sebuah kunci kecil dengan bentuk dan logo yang unik.
“Kamu yakin ini milik salah satu dari mereka?” Tanya Ethan.
“Iya tentu!” Tegas Rose.
“Tunggu, kita bisa mencari sidik jadi mereka!” Lanjut Rose.
“Dengan sidik jarimu di situ? Selamat kamu berusaha masuk penjara, aku akan mengjengukmu.” Jawab Ethan sambil sedikit tertawa.
Rose lupa bahwa sedari tadi dia menggenggam kunci itu. Dia malu dan menunjukkan wajah kesal.
“Ayo berikan ini pada polisi.” Pinta Rose.
“Kurasa tidak akan berhasil, di tubuh polisi terdapat pengkhianat.” Balas Ethan.
“Darimana kamu tahu?” Tanya Rose penasaran.
“Aku tadi bertemu kakak ku di kedai, dia memberi tahu hal tersebut. Polisi Motherland sudah mendapat surat ancaman bahwa jika mereka bertindak desa lah yang menjadi taruhannya. Tentu itu hal yang berbahaya. Kakakku masih merahasiakan satu hal, yang mungkin tidak boleh bocor ke umum. Aku mengetahuinya karena dia terlihat begitu tergesa-gesa. Rose aku tidak tahu pastinya, mungkin si rambut pirang itu terlibat.” Ucap Ethan.
Rose terdiam sejenak dan merasa tidak percaya dengan ucapan Ethan.
“Zoe tidak bersalah, malam itu pasti bukan dia. Aku bisa pastikan itu!” ucap Rose.
“Baiklah, ayo kita ke pandai besi desa kita mungkin beliau tahu sesuatu tentang kunci ini.” Lanjut Ethan.
“Kamu mau membantu aku membuktikan Zoe tidak bersalah?” Tanya Rose.
“Rose, aku ini pintar. Aku hanya ingin memamerkan bahwa aku lebih mampu menyelesaikan masalah ini dari polisi. Lalu aku mendapat uang kompensasi dari semua itu.” Jawab Ethan.
Rose menatap Ethan dan tertawa karena ucapannya. Ethan pun tersenyum. Bukan karena melihat Rose tertawa, tapi dia tersenyum karena pancake itu benar-benar enak. Dasar pecinta gula.