Satria baru saja tiba di rumah Mia, teman semasa kecilnya.
"Mi...lo kenapa?" tanya Satria saat melihat sahabatnya menangis, Mia menatap Satria sendu sambil menyerahkan sebuah surat yang ia terima dari Pemuda itu, Satria menerima surat itu kemudian membacanya sekilas lalu menatap Mia sambil berkata, "Udah Mi, masih banyak laki-laki yang lebih baik dari dia" Mia menggelang sambil berkata "Enggak!, aku enggak akan ngelepasin dia!"
Satria menghela napas mendengar ucapan Mia, mengingat sifat Mia yang keras kepala apapun yang ia inginkan, selalu saja harus tercapai apapun caranya. Satria menatap Mia yang berhenti menangis dan berganti dengan seringai yang menakutkan, membuat bulu kuduk Satria langsung berdiri.
Hari ini adalah hari kelulusan Mila, Tifa dan yang lainya telah tiba, di hari itu semuanya terasa begitu menyenangkan, sepulang dari kelulusan sekolah Pemuda itu mengajak Sang Gadis pergi ke sebuah taman, di taman itu keduanya berlari-lari sambil tertawa bersama, membuat Mia mengepalkan tangannya menahan cemburu lalu menyeringai sambil berkata "Ini terakhir kalinya lo bisa tertawa".
Sang Gadis berlari menuju jalan kota yang sepi oleh kendaraan, namun tiba-tiba. "AWAS..." teriak Pemuda itu, Tapi semuanya telah terlambat sebuah mobil menabrak Sang Gadis lalu pergi begitu saja, di dalam mobil itu Mia tersenyum senang melihat rencananya berhasil.
Pemuda itu buru-buru membawa Sang Gadis menuju rumah sakit, di rumak sakit Sang Gadis langsung mendapatkan penanganan dan tak beberapa lama kemudian dokter keluar menyatakan bahwa Sang Gadis koma, Pemuda itu tertunduk lemas saat mendengar kabar itu membuatnya merasa dunia ini runtuh menimpanya.
Dari kejauhan seorang pemuda yang lebih tua dari Pemuda itu berlari menuju tepat kearah kamar Sang Gadis yang tengah terbaring koma. Buk...sebuah pukulan telak mengenai pemuda itu pelakunya adalah Sang pemuda yang baru saja tiba.
"Jauhi dia" ucap Pemuda yang baru saja datang
"Tapi, Kak"sela Ra
"Tapi apa hah, lo mau dia tambah parah gara-gara lo!" tanya Sang pemuda, membuat Ra terdiam lalu berkata "Baik kak..."
Di depan Rumah Sakit, sebuah mobil berhenti di susul dengan keluarnya seorang gadis, yang terlihat sedang menahan tangis, Gadis itu berlari menuju ke dalam Rumah Sakit sambil berlari,tanpa mengiraukan orang-orang di sekitarnya yang sempat ia tabrak, begitu sampai di hadapan kedua pemuda tadi, Gadis itu langsung bertanya "Bagaimana?" dan di jawab dengan gelengan kepala kedua pemuda itu.
Gadis itu menggeleng pelang sambil bergumam "Enggak mungkin" lalu jatuh tertunduk sambil menangis.
"Harusnya... aku...enggak ....biarin dia ...pergi ...sendiri" racau Gadis itu pelan, kedua pemuda tadi hendak membantu Gadis itu untuk berdiri. Namun, Ra membatalkan niatnya dan memilih untuk pergi dari sana.
"Tunggu Ra, kamu mau kemana?" tanya Gadis itu sembari menarik lengan baju Ra, Ra melepaskan gengaman Gadis itu sambil berkata, "Maaf, gue harus pergi"
"Tapi, Mila..."
"Udahlah, biarin dia pergi" sela Pemuda di belakang Gadis itu, dengan suara yang begitu dingin, Gadis itu terdiam menatap kepergian Ra yang mulai menjauh, lalu beralih menatap pemuda di sampingnya.
"Kenapa?" tanya Gadis itu, Pemuda itu menatap Gadis itu "Kenapa?" ulang Pemuda itu.
"Kenapa Kakak melakukan ini, Ra adalah sumber kebahagiaan Mila"
"Karena gue enggak mau kehilangan lagi" ucap Pemuda itu tajam, Gadis itu tersentak sambil berkata, "Tapi, Kak, Ra adalah..."
"Cukup Fa!" bentak Raka, membuat Tifa seketika terdiam menatap Pemuda di hadapannya bingung.
"Yang dia lakukan hanya membuat adik ku menderita, sama seperti Lo" ucap Raka, tifa menatap Raka sambil bertanya, "Maksud Kakak?" Raka tertawa sinis mendengar pertanyaan Tifa.
"Lo ini bego atau apa, Lo sama dia SAMA AJA yang bisanya cuman nyakitin orang yang sayang sama LO" jawab Raka mengebu-gebu, Tifa mundur beberapa langkahsambil menunduk setelah terdiam beberapa saat, Tifa berkata, "Lo egois kak!" Raka tertawa sumbang.
"Egois Lo bilang...siapa yang egois GUE atau LO" bentak Raka, keduanya terdiam sibuk dengan pikiran mereka masing-masing dan membuat mereka tidak menyadari kedatangan Putra di antara mereka.
"Ka, Fa, gimana?" tanya Putra, hening sampai Tifa membuka suara "Kakak, tanya aja Kak Raka" yang membuat Putra menyerengit heran karena tidak biasanya Tifa memangil Raka dengan sebutan Kakak, Putra menatap Tifa yang menunduk seperti menahan sesuatu.
"Kamu kenapa Fa?" tanya Putra, Tifa menggeleng pelan sambil hendak berjalan pergi, namun Putra menarik Tangan Tifa mencegah gadis itu menjauh.
"Fa?" tuntut Putra, Tifa menggeleng kuat sambil berkata, "Tifa hanya enggak kuat melihat keadaan Mila" isaknya. "Fa kamu kenapa?" ulang Putra, Tifa melepaskan gengaman tangan Putra sambil berkata "Tifa, hanya ingin pergi" lalu menatap Raka, yang di tatap tampak acuh, membuat Tifa langsung berlari menjauh.
"Ka, kamu apain Tifa?" tanya Putra, Raka memalingkan mukanya dari Putra sambil berkata, "Kakak enggak perlu tahu" Putra menghela napas lalu berkata "Jelas gue harus tahu karena..."
"Terserah Kakak!" potong Raka lalu pergi dari sana.
Tifa berhenti berlari saat sampai di dekat mobilnya, kemuadian membua kunci mobil dan masuk kedalamnya, Raka berlari menuju ke parkiran, namun saat Raka tiba Tifa telah memacu mobilnya keluar dari Rumah Sakit.
"Tunggu Fa!" teriak Raka, namun mobil itu tetap melaju meninggalkan Raka yang mengerang frustasi, tadi ia terbawa emosi sehingga membentak Tifa meski kata-kata tadi tidak sepenuhnya salah.
Tifa sampai di rumahnya, setelah memasukan mobil ke garasi, Tifa masuk ke rumah sambil mengucapkan salam "Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam" balas Rista dari arah dapur, Tifa menghempaskan tubuhnya ke sofa lalu menghapus sisa-sisa air mata di pipinya sambil bertanya, "Mah, Papah sama Kakak masih belum pulang?" Rista keluar dari dapur sambil membawa segelas teh hangat sambil berkata, "Iya Fa, sepertinya masih di jalan" Tifa hanya mengangguk sambil menatap langit-langit rumahnya dan tanpa sadar Rista sudah duduk di samping kepala Tifa.
"Ada apa sayang?" tanya Rista sambil mengelus kepala putrinya itu, karena melihat anaknya tidak seperti biasanya melamun sampai tidak menyadari kehadirannya, kemuadian memindahkan kepala Tifa kepangkuannya.
"Tifa cape mah" keluh Tifa
"Ya udah tidur aja, nanti sebelum ashar Mamah bangunin" ucap Rista, Tifa mengangguk pelan lalu mulai menutup matanya, setelah memastikan Tifa terlelap Rista memindahkan kepala tifa ke bantal sofa lalu berkata, "Tidur yang nyenyak, ya, sayang" kemudian mengecup kening Tifa pelan, Rista merasa putrinya benar-benar tengah kelelahan karena sesuatu.
Di sisi lain, Ra mendapat informasi jika mobil yang menabrak Mila tempo hari adalah milik salah satu sahabatnya dan Mila.
"Apa-apan Ini semua?" Bentak Ra memalui sambungan telepon, Gadis itu tertawa sambi berkata, "Gue enggak suka lo deket sam cewek mana pun jadi stop deketin Mila". Ra terdiam lalu berkata dengan pasrah "Oke gue jauhin Mila asal lo janji sama gue enggak bakalan nyakitin dia lagi"
"Oke tapi inget kalau lo bongkar semua yang udah gue lakuin berarti perjanjian kita batal" ancam Mia, Ra berkata "Fine" lalu mematikan sambungan telpon tersebut, binaran di matanya terlihat meredup, dan Ra memilih memejamkan matanya sambil berkata, "Sorry la".
Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)
Comment on chapter Prologue