Malam bertabur bintang dilangit terlihat indah. Semuanya bagaikan tersenyum bahagia. Kerlap-kerlip lampu perkotaan terlihat semakin meramaikan suasana. Terlihat indah dari atas kamar apartement di lantai 7. Berbeda dengan seorang gadis yang iri melihat semuanya yang seolah bersenang-senang di atas kesedihannya. Dia membenci masa lalunya. Kesalahpahaman antara dia dan teman sekelasnya membuat penat hari-harinya. Terasa menyesakkan dada. Dia ingin kembali ke beberapa hari sebelumnya sebelum kejadian itu menimpa dirinya.
"Terresa! Ini apa?" tanya gadis berwajah keturunan china yang memperlihatkan buku gambarnya yang terkena coretan.
"Kok tanya aku?" Terresa memang tidak mengerti mengapa hal itu menjadi kesalahannya. Dia memang meminjam buku gambar Li Fei untuk melihat gambar proyeksi perspektifnya. Hanya sebentar, setelah itu Irena yang meminjamnya. Irena berkata padanya bahwa dia sudah izin Li Fei.
"Jangan ngeles. Yang pinjam juga kamu."
"Lohhh tadi Irena setelah aku. Jangan nyalahin aku dong." Terresa masih tidak mau mengalah. Lagipula buat apa mengalah kalau memang dia tidak salah.
"Ngarang, gue nggak pegang kok. Lo itu yang jangan nyalahin orang." Irena justru membentak Terresa. Terresa benci orang itu, orang yang memang suka mengada-ada cerita.
"Udah Ren, biarin aja orang munafik itu. Nih, semoga lo bahagia." Li Fei melempar buku gambar sketch booknya ke wajah Terresa. Buku yang lebih berat dari buku gambar biasa. Kulit pipi Terresa juga tergores oleh kertas gambar tebal itu. Memang tidak semenyakitkan dengan tuduhan Irena dan Li Fei, tapi cukup untuk memperlihatkan betapa tidak berharganya dirinya. Padahal selama ini dia sudah berusaha diam sekalipun dia dihina dan dicaci maki oleh penghuni kelas lainnya. Namun sekali lagi, jika ada yang tidak beres pasti dia yang akan disalahkan.
Terresa menghembuskan napasnya. Kilas balik masalah dihidupnya kembali berputar dipikirannya. Jika berhenti itupun tidak sertamerta bersih dari masalah melainkan masalah dengan kadar yang lebih bisa diselesaikan dengan mudah. Kenyataan semua orang memang punya masalah. Namun rasanya baru kali itu dia merasa ingin mengakhiri hidupnya. Semua raut wajah kesal, suara teman-temannya seolah membuatnya ingin segera pergi dari kehidupan ini. Kata-kata pedas mereka yang tidak sadar selalu terngiang di telinganya. Apalagi ingatan Terresa begitu tajam, dia akan ingat semuanya dengan jelas.
Teressa menutup jendela kamarnya. Sekali lagi, dia menatap bintang yang kerlap-kerlip seperti lampu satelit di atas sana. Entah mengapa keinginannya untuk kembali ke masa lalu sangat tinggi. Dia kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur. Berharap keesokan harinya dia terbangun di tanggal sebelum tanggal saat ini. Entahlah beberapa hari belakangan dia menginginkan hal itu terjadi.
***
Syatttt.....
Suara pedang mengiris tubuh seseorang dengan kasar kembali terdengar. Di malam yang gelap dengan bintang-bintang bertaburan di atas sana seolah menjadi saksi kunci atas kematian beberapa prajurit yang terbunuh dalam perang itu. Tak jauh dari kejadian, ada perempuan berpakaian kesatria yang memegang luka dilengannya. Wajahnya pucat seiring darahnya yang banyak keluar dari tubuhnya.
"Sial!! Dia belum tandinganku." Perempuan itu memuntahkan darah dari mulutnya. Sebelum kesadarannya habis, dia pergi darisana. Langkahnya tertatih seolah tidak mempunyai tenaga untuk berdiri kembali. Sekuat yang dia bisa dan sisa kekuatannya. Dia berjalan kemanapun dia bisa mengobati dirinya.
Keberuntungan mungkin belum berpihak padanya. Jendral komandan yang membantai pasukannya telah lebih dulu menemukannya. Matanya menatap perempuan itu dengan tajam, bibirnya menyeringai seolah menemukan mangsa yang sudah lama dia incar.
"Jadiii, hari ini ajalmu kesatria Bever? Atau harus saya panggil panglima Beverla seperti prajuritmu yang lain?" Ujar pria itu dengan sinis sambil mendekat ke arahnya. Beverla mundur selangkah demi selangkah. Dia tidak ingin melukai dirinya lebih dalam jika dia mengeluarkan kekuatannya.
"Apa maumu?" tanya Beverla dengan sisa napasnya.
"Melihatmu mati ditanganku."
"Jangan harap. Aku tidak akan mudah dikalahkan olehmu."
"Heuhhh. Orang sebangsamu telah mati. Dan kau masih bersikap sombong heuh?" Komandan itu meninggikan suaranya. Pedang di tangan kanannya dia pegang kuat-kuat. Bersiap akan diluncurkan ke arah Beverla.
Beverla harus menyelamatkan dirinya. Dia perlu dan harus membunuh orang licik di depannya. Seorang komandan yang telah menghabisi keluarganya tanpa sebab. Dan dibalik itu semua yang lebih penting adalah membunuh raja yang memerintah komandan itu menyerang keluarganya.
Ini gila, dia harus mengorbankan sedikit waktu hidupnya jika ingin selamat. Ketika dia menggunakan kekuatannya saat terluka, saat itu dia harus menerima konsekuensi untuk terlelap lebih lama nantinya. Tapi itu tidak masalah, yang terpenting dia bisa lepas dari situasi ini sekarang.
"Bagaimana? Sudah ingin menyerah?" tanya komandan itu dengan tawa kemenangan.
Beverla merilekskan tubuhnya. Dia akan memulai menggunakan kekuatannya. Matanya menutup. Dia bisa mendengar detak jantung dan peredaran darahnya yang mengalir didirinya. Semakin dia fokus, semakin dia merasakan tubuhnya ringan bagai kapas. Kemudian dengan kekuatan angin yang dia punya, tubuhnya bergerak dengan cepat meninggalkan sang komandan.
"Kamu adalah orang bodoh yang memilih mati secara mengenaskan Beverla," gumam sang komandan yang hanya bisa melihat tubuh Beverla terbang meninggalkannya.
Tubuh Beverla tidak kuat lagi dipaksakan untuk menggunakan kekuatannya hingga tubuhnya jatuh di atas padang rumput yang terasa lembab. Dengan sekuat tenaga dia berjalan ke arah gua yang ada di sana. Malam itu begitu dingin, tidak mungkin juga dia akan membiarkan tubuhnya mati kedinginan dan hewan-hewan buas datang ke arahnya untuk memakan bangkainya.
Bervela bisa merasa sedikit tenang. Di dalam gua itu tidak ada mahluk lain selain dia. Dia mengambil kertas yang berada di selipan baju ksatrianya beserta pena bulu angsanya. Dia menuliskan sesuatu hal yang penting di sana. Setelah selesai, dia meniup kertas itu kembali, berdoa semoga kertas itu sampai ke tempat tujuan.
***
Terresa terbangun dari tidurnya. Matanya dengan awas menatap ke sekeliling ruangan. Dia tidak ada di hutan dan lengannya juga tidak terluka. Ia memegang dahinya, keringat dingin terasa di kulit tangannya.
Dia bermimpi melihat seseorang yang mirip dengannya berpakaian seperti seorang ksatria dengan luka parah yang ada disekujur tubuhnya. Tapi mimpi itu terlihat nyata untuknya. Seolah memang dirinyalah yang terluka. Namun kenyataanya dia masih di zaman sekarang. Di mana dia harus menghadapi teman sekelasnya yang masih memusuhinya.
Terresa merapikan seprai seperti kebiasaannya setiap hari. Ajaran dari sang bunda yang harus dilakukannya. Namun, matanya menangkap sebuah kertas mirip kertas kuno. Dengan ragu dia mengambilnya. Kertas itu mirip dengan kertas yang digunakan ksatria perempuan yang ada di mimpinya. Dengan perlahan dia membukanya, tulisan rapi beraksen klasik langsung menyambutnya. Terlihat memukau dimatanya.
Duniaku membutuhkan bantuanmu. Ku mohon tolonglah aku, masa lalu. Kamu hanya perlu menjadi diriku selagi aku menyembuhkan diri di duniamu nantinya
Dari masa lalu
Terresa menjadi gugup. Dia tidak mengerti maksud isi kertas itu. Masa lalu yang seperti apa yang dimaksud dan bagaimana dia kesana. Di zaman modern ini masih tidak ada alat untuk ke masa lalu. Mungkin hanya perasaannya saja yang terlalu menginginkan kembali ke masa lalu.
Dilemparnya kertas itu ke atas meja belajarnya. Dia harus mandi dan bersiap-siap ke sekolah sebelum bundanya memarahinya.
Jika biasanya dia naik kereta bawah tanah, hari ini mamanya memilih mengantarnya. Jarang-jarang beliau mau melakukan hal seremeh itu. Di zaman saat ini semua anak dituntut untuk melakukan semuanya sendiri. Seolah prinsip hidup adalah hidupmu urusanmu dan hidupku urusanku. Sangat mengecewakan bukan.
"Terresa, mama nanti tidak bisa menjemputmu. Ada urusan di luar kota," ujar mamanya seperti biasa sebelum dia membuka pintu mobil.
"Iya ma." Sudah biasa Terresa mendengar kata-kata itu. Mamanya cenderung tidak punya waktu untuk menetap barang sehari saja di sampingnya begitu juga dengan papanya. Bahkan di hari libur pun dia tidak menemukan kedua orang tuanya ada di rumah.
"Terre!" Mamanya menyembulkan kepalanya dari kaca mobilnya. Terresa menoleh ke arah mamanya. "Jangan lupa makan siang ya!"
"Mama emang ngerti aku makan apa nggak? Mamakan nggak pernah peduli." Ucapnya sebelum kembali melangkah.
Gera-mamanya hanya bisa menatap kepergian anaknya dengan perasaan bersalah. Dia tahu Terresa menginginkan perhatian darinya. Namun tuntutan karir tidak bisa dia tinggal begitu saja.
Gera bersiap melajukan mobilnya kembali. Hanya saja suara tabrakan yang ada di depannya saat ini seolah menghantam dirinya. Di sana, anak semata wayangnya. Terresa Agni Tritapanula dihantam oleh mobil keluaran terbaru tahun ini. Jantung Gera rasanya ingin melesak keluar bersamaan dengan tubuh Terresa yang terpental setelah tertabrak. Kejadian itu sangat cepat melintasi matanya.
Dunianya terasa hancur melihat anaknya terjatuh berlumuran darah. Beberapa orang mengerubungi mobil sang penabrak agar tidak melarikan diri. Dengan sekuat tenaga Gera berlari menembus beberapa orang yang mulai mengerbungi anaknya. Sebelumnya dia menelpon ambulan terlebih dahulu. Dia memangku kepala anaknya, matanya menutup dan darah mengalir dari kepala Terresa. Gera hanya bisa menangis sambil menunggu ambulan datang.
***
Terasa dingin, gelap, dan sesak. Itulah yang dirasa Terresa ketika dia terbangun di dunia yang entah dunia apa. Dia terasa berjalan cepat menembus kabut-kabut berwarna hitam disekelilingnya. Dia mendapati kesatria perempuan yang ada dimimpinya bergerak secepat dirinya saat ini mendekat ke arahnya.
"Terimakasih kamu mau membantuku Terresa. Aku meninggalkan kekuatanku disana."
Suara itu menggema ditelingannya. Bayangan kesatria perempuan itu lenyap begitu saja. Dirinyapun telah terlelap kembali. Apa yang baru saja terjadi seolah hanya kilasan melewatinya. Padahal apa yang terjadi saat ini adalah pertukaran roh mereka.
@ShiYiCha hehe. Makasihhh. Okeyy
Comment on chapter Prolog