Alam ini gelap. Tanah gersang yang terhampar luas sejauh mata memandang. Aku sendiri tidak menemukan ujung dari tanah ini. Sumber cahaya satu satunya adalah sinar redup yang berasal dari kilatan energy yang berputar dengan kecepatan tinggi yang dihasilkan oleh gerbang antardunia yang terbuka. Benar, aku menyaksikannya sendiri. Suatu dunia di luar jangkauan waktu. Terombang ambing di tengah kekosongan yang tak terhingga.
Banyak hal yang ingin kuketahui. Aku mengejar sebagian besar dari mereka, keingintahuanku, dan hal itu mengarahkanku ke tempat ini. Tidak, bukan itu, aku mengejarnya terlalu jauh hingga aku berakhir terseret ke dalam sebuah malapetaka yang hampir merenggut nyawaku. Peristiwa itu mengubah hidupku untuk selamanya. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaranku pada saat itu, semua tampak seperti biasanya. Hingga beberapa saat kemudian, aku merasakan suatu dorongan besar yang mendadak muncul dari dalam diriku. Ada apa denganku? Dorongan itu diikuti oleh sebuah aliran energi yang tak terukur besarnya mengisi diriku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, dorongan itu datang begitu saja. Pikiranku pun tidak mengehendaki munculnya dorongan tersebut. Dari mana asalnya? Mengapa?
Aku ingin memahami hal tersebut. Keingintahuanku menuntutku untuk bersikap sedemikian rupa agar Ia terpuaskan. Karena dorongan tersebut tidak terkehendaki oleh ku, maka akulah yang akan menyesuaikan dengan kehendaknya. Kuikuti keinginan dorongan tersebut, melakukan apa yang diperlukan dan diinginkan olehnya. Aku sempat berpikir untuk membiarkan ini terjadi sebagai timbal balik dari aliran energi yang diberikan kepada diriku ini, dan pada saat itu aku merasa seperti seseorang yang terberkati. Pada saat yang sama pula aku juga sadar bahwa firasat baik ku, secara fakta, terkalahkan oleh firasat buruk ku.
Energi yang mengalir tanpa henti pada diriku ini, memanglah sangat besar. Energi ini memanglah masif. Namun, ini bukan sebuah pemberkatan. Melainkan, ini sebuah kutukan. Energi ini perlahan lahan menghancurkanku dari dalam, apabila aku tidak melakukan apa yang ingin dilakukan olehnya. Sehingga secara tidak langsung, hal ini telah menjadi tanggung jawab mutlakku. Benar aku menolak untuk dihancurkan sehingga tanggung jawab ini menjadi mutlak bagiku.
Pada akhirnya, hingga saat ini pun aku masih bertahan, entah bagaimana dan mengapa. Potensi dari energy ini sungguh dahsyat. Tidak semua orang bisa memilikinya. Tidak semua orang bisa menggunakannya dan melaksanakan tanggung jawab yang digantungkan olehnya. Tidak semua orang cukup kuat untuk menjalankan tanggung jawab tersebut. Seandainya hal itu tidak terlaksana, maka individu yang menolak untuk melaksanakannya akan dihapuskan dengan segera olehnya. Kekuasaan yang besar berarti tanggung jawab yang besar pula. Kalimat itu masih tetap berlaku bahkan pada tanah gersang tak berwaktu ini.
Tepat sekali, di tanah yang gersang ini, tidak dijumpai kesenangan, tidak dijumpai canda tawa, tidak dijumpai wajah wajah yang terlihat bangga atas pencapaiannya. Melainkan, hanya ada tanggung jawab mutlak. Hanya ada kesengsaraan. Hanya ada kesakitan. Tuntutan ini pun selalu datang kepadaku, tanpa pandang kondisi, tanpa belas kasih, setiap saat, setiap tarikan nafas. Semakin lama, kegersangan tanah ini merasuki diriku, menjadikan diriku gersang pula. Tidak, mungkin aku telah menjadi satu dengan kegersangan tanah ini dari awal. Tiada ruang untuk perenungan, tiada ruang untuk kesedihan, tiada ruang untuk penyesalan, bahkan keputusasaan sendiri pun juga tidak memiliki tempat disini. Ah ya, benar sekali. Jika demikian, bukankah makhluk hidup biasa tidak pantas untuk ini? Bukankah mereka akan segera terhancurkan apabila berada pada kondisi seperti ini?
Paling tidak, berdasarkan pengamatanku, aku masih tidak menemukan individu yang pantas untuk menerima ini. Aku rasa tidak ada yang pantas. Sehingga aku masih memiliki alasan untuk tidak membagi kekuatan ini begitu saja. Maksudku, andaikan aku membaginya ke suatu individu dan pada akhirnya individu itu terhancurkan oleh kekuatan ini sendiri karena dia tidak mampu mengembannya, tidakkah itu termasuk tindakan yang…entahlah, menyimpang dengan etika?
Aku menghidupi pandangan tersebut, hingga aku menjumpai satu sosok yang tindakannya menentang pandangan yang selama ini aku hidupi. Suatu pribadi yang secara implisit telah membuktikan bahwa dirinya mampu untuk memegang kekuatan ini. Setelah kuberikan dia pecahan dari kekuatan ini, dia menyatakan kesetiaannya sebagai seorang murid, pelayan, bimbingan di bawah naunganku. Sekali lagi suatu hal terjadi begitu saja. Aku tidak pernah menginginkan seseorang yang demikian di sisiku. Namun, aku dapat menyadari sendiri bahwa gadis ini memiliki inisiatif dan tekad yang sangat tinggi. Aku yakin, dia ingin orang orang di sekitarnya aman, dan atas dasar itulah dia mengambil tindakan tersebut.
Akupun juga memiliki dasar tersendiri untuk menerima tawaran tersebut. Akan kujadikan dia subyek tesku, seberapa sanggup dia dalam menjalankan tanggung jawab ini. Jika dia mampu, dia akan tetap bersamaku. Jika tidak, kurasa tidak perlu dikatakan lagi.
Banyak hal yang telah berlalu sejak hari itu…tidak, sejak hari pada garis waktu itu. Selama ini sikapnya menunjukkan bahwa dia sanggup dalam mengemban tanggung jawab ini, dan rasanya aku cukup yakin bahwa itu akan bertahan untuk selamanya. Dasarnya? Dia telah kuberi berbagai macam kewajiban dan berhasil melakukannya. Dengan sempurna? Tidak, bukan itu. Aku tidak mendengar keluhan sama sekali yang berasal dari sistem audionya. Dia juga membuat kesalahan terkadang, aku pun juga memberikannya peringatan saat itu terjadi. Beberapa rintanganpun juga pernah berhasil merundukkannya, namun itu hanya sementara sebelum Ia kembali bangkit dan memusnahkan apa yang menghalanginya.
Benar benar ambisi yang sesuai dengan harapanku. Dengan demikian, aku pun memutuskan bahwa dia telah siap untuk melangkah ke tingkatan yang lebih tinggi, dan memberikan kepengajaran yang tidak pernah dilalui individu individu lainnya.
Dalam hal itu pun, dia juga telah menunjukkan padaku bahwa tekad yang dia miliki adalah suatu hal yang nyata. Aku pun juga harus mengapresiasi kedisiplinannya. Dia mendalami apa yang telah kuajarkan tanpa perintah dariku, dia selalu patuh pada peraturanku. Dua hal itu, serta kesigapannya dalam menjalankan perintahku cukup meyakinkanku bahwa seseorang telah berhasil mewariskan ajaran kedisiplinannya kepada perempuan ini.
Harus kuakui pula bahwa akhir akhir ini, ketegangan yang kuterima rasanya lebih ringan dari sebelumnya. Apakah ini dampak dari membagi kekuatanku? Sepertinya untuk saat ini akan kuasumsikan demikian. Mungkin memang, dengan adanya sosok yang sedemikian rupa, aku selalu dapat membagi tanggung jawab ini dengannya. Orang itu benar, bahwa dia adalah sebuah ganjaran untukku. Sebuah ganjaran yang benar benar pantas.
“Tuan, mohon maaf. Engkau telah berdiri di titik itu selama…satu setengah jam apabila diukur dari dunia asal saya. Apa ada sesuatu yang tiba tiba muncul lagi dalam pikiranmu tuan?”
Itu dia. Mendengar suaranya yang lembut serta dipenuhi rasa ingin tahu tersebut, membuatku tidak bisa menolak untuk memberikannya perhatianku.
“Tentu wahai muridku. Aku selalu dan akan selalu terisi degan pikiran pikiran tertentu. Maksudku, secara alamiah, hal ini adalah salah satu dampak utama yang akan kau terima disaat engkau menerima kekuatan ini. Aku yakin seharusnya kau sudah sadar akan hal itu.”
“Tentu tuan. Sesungguhnya saya telah menyadari setiap konsekuensi yang harus saya terima saat memiliki kekuatan ini. Namun, saya yakin bahwa terkadang suatu hal lebih baik menjadi sebuah tanggung jawab daripada sekedar pikiran.”
Tanggung jawab? Itu mengingatkanku bahwa aku telah memberinya suatu tugas beberapa saat yang lalu dan…tunggu, dia sudah menyelesaikannya?
“Atas dasar apa engkau, dengan kepercayaan diri yang demikian, berkata yang demikian pula muridku?”
“Jawabannya sederhana, yang sebelumnya sudah terselesaikan tuan.”
Tebakanku benar rupanya. Tidak kusangka, saat itu kuberikan dia suatu tanggung jawab sehingga aku bisa menyendiri untuk beberapa saat.
“Tuan, sepertinya engkau telah melalui banyak sekali pemikiran dalam kurun waktu itu. Apakah demikian?” Dia melanjutkan dengan pertanyaan. Harus kuakui bahwa pilihan yang tersedia untukku hanyalah mengaku bahwa…, ya memang banyak pemikiran yang baru saja kupikirkan, yang baru saja kurenungkan. Sebuah renungan yang tak pernah kulakukan sejak aku menerima kekuatan ini.
Responku tersampaikan hanya dalam anggukan. Aku kembali menatap langit langit tak hingga yang kosong. Rasanya jawaban tersebut kurang memuaskan, dan akhirnya aku memutuskan untuk memberikan sedikit pelengkap.
“Bukankah hal ini wajar muridku? Semua akal sehat juga akan mengalaminya jika berada dalam situasi seperti ini.”
“Sepertinya pernyataan tuan memang benar.”
Aku tidak memperhatikannya saat ini, namun entah mengapa aku dapat merasakan sendiri bahwa gadis itu masih berdiri menatapiku. Kupejamkan mataku sejenak dan kubiarkan beberapa saat berlalu.
Saat kupalingkan badanku, aku menyimpulkan bahwa dugaanku benar. Dia masih berdiri disana, menatapiku. Maksudku, tentu saja, dia masih menunggu tugas yang berikutnya dariku. Jujur saja aku belum menyusun daftar terkait tugas berikutnya yang akan kuberikan, sehingga aku akan membiarkan dia kosong untuk sementara ini. Aku memutuskan untuk duduk. Untungnya di sampingku ada batu besar yang kurasa bisa kududuki.
“Kau yakin tidak memiliki hal yang ingin kau lakukan wahai muridku?”
“Tidak tuan. Saya…, saya sebenarnya masih menunggu perintah dari anda.”
Dan sebenanya juga, renunganku selama ini masih tidak menghasilkan kesimpulan apa apa. Lalu apa yang harus kulakukan?
“Tuan?”
Aku jadi merasa kasihan kepadanya, Ia memohon kepadaku untuk diberikan perintah yang dapat diselesaikan namun aku tidak memiliki apa apa saat ini dalam daftar ku. Bicara tentang itu, apakah dorongannya itu disebabkan oleh hal yang serupa yang terjadi kepadaku? Bisa jadi demikian, tapi tunggu, kasihan? Bagaimana bisa aku menjadi kasihan terhadap orang lain dalam kondisiku seperti ini?
“Hmmh, masih ada beberapa hal yang perlu kurenungkan. Sehingga…”
"Sehingga?”
“Duduklah.”
“Baik.”
Sekali lagi, gadis itu menjalankan perintah sepele ini seperti perintah yang kuberikan biasanya, terkait degan tanggung jawab. Dia duduk dalam posisi seiza, dan sikapnya itu mulai menarik perhatianku. Tapi, aku harus memfokuskan diri lagi dan kembali pada renung…
“Tuan, mohon maaf atas gangguan yang saya buat lagi, tapi sepertinya batu itu terlihat nyaman untuk disandari.”
Aku menghela nafas. Haruskah?
“Ya baiklah, silahkan muridku.”
“Terima kasih tuan.”
“Dan, engkau kuizinkan untuk duduk bersila.”
“Dimengerti tuan. Terima kasih banyak.”
Gadis itu pun mendekat dan duduk bersandar di batu yang kududuki ini dengan arah pandang sekitar 120 derajat dari arah pandangku. Situasi menjadi hening. Rupanya kami berdua berakhir tenggelam dalam renungan masing masing, tanpa pengetahuan apa apa terkait apa yang dipikirka oleh satu sama lain.
Untuk beberapa saat, aku masih terdiam memperhatikan kekosongan hingga tiba tiba…
“Tuan, tidakkah mereka terlihat indah bagimu?”
Iya, gadis itu berbicara. Lebih tepatnya, berkomentar.
“Indah?” Aku sejenak memikirkan hal tersebut sambil menatap ke arah salah satu gerbang yang sekarang sedang terbuka. Oh ya, Gerbang Agung yang menghubungkan dunia dunia yang terpisah dengan ceritanya masing masing. Tak ada pemandangan apapun yang dapat dilihat melalui gerbang gerbang itu dari sini kecuali kekosongan yang tak dapat dibedakan dengan langit tempat gerbang itu berada. Kilatan periodik cahaya biru yang diemisikan energi yang bergerak mengelilingi gerbang itu mengenai mataku. Gerakan melingkar dari energi tersebut membedakan gerbang gerbang itu dengan langit kosong tempatnya berada serta memberikan bentuk kepada gerbang gerbang agung itu, lingkaran. Aneh, memandangi gerbang gerbang itu terasa lebih tenang sekarang daripada sebelumnya. Apa yang terjadi?
”Entahlah, bagaimana menurutmu?”
“Aku juga tak tahu tuan. Pernyataan tadi tidak melibatkan pemahaman apa pun sama sekali. Murni perasaan yang muncul dari dalam diri saya.”
“Murni perasaan?” Tanyaku. Dia hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Aku mulai memahami arah dari pembicaraan saat ini.
“Tapi apakah mereka seindah itu?”
Sekarang aku menoleh kearahnya.
“Maksudku, melihat mereka terombang ambing ditengah kekosongan tak hingga benar benar mendorongku untuk menjelajahi mereka.” Dia menjulurkan tangannya ke atas seolah olah ingin meraih sesuatu. “Menemui hal hal baru atau bahkan mengalami peristiwa berbeda yang terjadi di balik gerbang gerbang itu. Saat itu terjadi, aku mungkin akan merenungkan apakah kata ‘indah’ masih layak digantungkan ke mereka.”
Sekarang gadis itu menoleh ke arahku, tepat ke arah wajahku yang masih terpaku padanya, dan menurunkan tangannya kembali. Wajahnya tersembunyikan oleh penutup muka khusus yang kuberikan kepadanya agar identitasnya tidak terungkap oleh para individu di balik gerbang gerbang itu. Meski demikian, entah mengapa aku tetap bisa menerawang wajahnya, menggambarkan setiap detail tersebut di kepalaku, terutama matanya yang sekarang sedang menatapku. Mata itu, rasanya aku pernah melihatnya sebelumnya, rasanya aku tidak asing dengan tatapan mata itu. Suaranya yang lembut itu, aku juga tak asing terhadap hal itu. Entah mengapa aku merasa pernah mendengarnya sebelumnya, entah mengapa aku merasa bahwa kami berdua pernah memiliki hubungan khusus pada suatu cerita.
“Tuan, anda mengatakan bahwa menjelajahi mereka adalah sebuah kewajiban bagi anda.”
“Engkau mengharapkan sesuatu? Wahai muridku?”
“Hmm, entahlah. Mungkin sebuah gambaran besar sudah cukup untuk membuatku puas tuan.”
Gambaran besar ya…, aku terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk memenuhi keinginannya.
“Baiklah. Aku harap apa yang akan kupaparkan dapat membuatmu puas muridku.”
“Aku akan memperhatikan, tuan.”
“Aku mulai. Pertama tama, tentunya kau telah paham bahwa memiliki kekuatan ini bukanlah sesuatu yang biasa. Kau ingin bermain main dengannya, melakukan hal hal yang tidak bisa kau lakukan sebelumnya, tanpanya.”
Aku menoleh ke arahnya dan menemukan fakta bahwa pandangannya benar benar terpaku padaku.
“Aku memaklumi itu. Fakta bahwa kau sekarang hidup diantara dunia dunia, dan juga berkemampuan untuk mengunjungi mereka kapanpun engkau mau, menghasilkan dorongan tersendiri untuk melakukannya.”
Aku menunjuk ke arah salah satu dari gerbang garis waktu yang sedang terbuka sekarang, tepat di depanku, agak lebih tinggi.
“Dengan demikian gerbang gerbang itu akan terlihat indah bagimu dan itu pun juga berlaku untukku. Tapi tentu saja, kenyataan yang ada tidak sesuai seperti yang diharapkan. Untuk setiap gerbang, terdapat cerita sendiri dibalik mereka. Mereka semua beragam, dan tidak memiliki keterkaitan. Di lain fakta bahwa cerita yang berada di balik mereka tidak seindah itu, beberapa memiliki cerita yang…katakan saja tidak patut untuk diceritakan. Dan bayangkan banyaknya jenis peristiwa yang terjadi, apabila jumlah gerbang gerbang itu tak terhitung.”
Situasi menjadi hening sejenak
“Oh iya, engkau juga mengatakan bahwa engkau sendiri kewalahan menghadapi itu. Ada apa memangnya?”
“Sebenarnya seperti ini kenyataannya. Aku telah mencapai tingkatan dimana mengejar keingintahuanku sudah menjadi kewajiban yang tak dapat ditinggalkan. Konsekuensinya, aku harus terus membuka gerbang gerbang ini dan melakukan interaksi dengan dunia yang ada dibaliknya, hanya untuk mencari tahu arti dibalik semua ini.”
Iya, dia masih menatapiku.
“Mungkin,” Lanjutku. “Memang kelihatannya bahwa aku memang memegang kekuasaan untuk mengendalikan peristiwa peristiwa di balik gerbang itu. Nyatanya tidak peduli sekeras apa aku mencoba, peristiwa peristiwa tersebut tidak berujung pada satu peristiwa yang sama, dalam skala yang bahkan sangat kecil dan sepele. Hal inilah yang terkadang membuat moralku turun.”
“Apakah untuk alasan itu engkau membiarkan aku menetap pada pada sisimu tuan?”
“Umm, jujur saja sejak adanya kehadiranmu disini, aku merasa beban ku sedikit berkurang. Ah, ya aku merasa sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Jadi akan kuasumsikan bahwa salah satu alasannya adalah demikian. Tapi jangan khawatir muridku, aku sudah menyusun gambaran besar kewajibanmu di saat saat yang akan datang.”
“Hoo. Baik tuan, jika itu perintahmu, dan jika itu kewajibanku, maka akan kulaksanakan.”
Akan kuasumsikan pula bahwa dia telah puas dengan paparanku.
“Tuan, keberatankah anda apabila anda…umm, memberi tahu sedikit dari gambaran besar kewajibanku yang disusun oleh tuan kepadaku?”
Hmm, sedikit. Namun, aku rasa kesetiaannya tidak perlu dipertanyakan lagi sehingga tidak ada salahnya untuk memberitahukan sedikit tentang hal itu.
“Ada kenalanku yang secara tiba tiba mendedikasikan beberapa hal kepadaku. Dengan itu, aku dapat menciptakan alat alat yang berguna untukku, dan mungkin untukmu juga. Salah satunya adalah unit unit android yang kutunjukkan padamu waktu itu.”
“Oh…”
“Tapi, belum sepenuhnya aku memanfaatkan sumber daya tersebut, dan kurasa kau sendiri paham mengapa. Sehingga dengan kehadiranmu disini, yah kau pasti paham ini arahnya kemana. Itu salah satunya.”
“Iya tuan, saya mengerti.”
“Bagus.” Aku menoleh kembali ke salah satu gerbang di langit langit yang kosong tersebut.
“Tuan, tunggu, engkau bilang kenalan? Bukankah hanya ada kita disini? Maksudku bagaimana dan mengapa?”
Aku rasa aku terpaksa untuk menjelaskannya juga.
“Umm, dia…adalah salah satu individu yang hidup di balik gerbang gerbang itu. Dan…entah bagaimana dia bisa mengenalku.”
Aku meliriknya kembali dan menemukan bahwa dia masih terpaku padaku.
“Maksudku, dia tiba tiba muncul begitu saja di hadapanku dan secara tiba tiba juga menawarkan beberapa hal kepadaku. Aku memikirkan bahwa hal hal yang ia tawarkan dapat memberikan keuntungan kepadaku sehingga aku menerimanya.” Aku kembali mengarahkan pandangan ke arah gerbang waktu itu.
“Apakah dia juga mengetahui keberadaan, suasana ini, dan keinginan kita?”
“Sayangnya iya. Tapi aku dapat meyakinkanmu bahwa dia tidak akan mengganggu tujuan kita.”
Aku menoleh ke arahnya lagi. Iya, dia masih menatapiku.
“Yah, seandainya ada kasus dimana Ia mengganggu, kau akan kuizinkan untuk menyingkirkannya.”
“Dimengerti tuan.”
Aku berdiri, dan melihat gerbang itu, dia pun juga ikut berdiri.
“Tuan apa ada sesuatu?” Mungkin, aku tak yakin apakah aku harus mendefinisikannya sebagai sesuatu.
“Wahai muridku, sekarang lihat dan perhatikanlah, panggung telah dipersiapkan, dan pertunjukan yang akan digelar menjadi keputusan kita.” Suasana mendadak menjadi tegang saat ku berkata demikian. Saat aku melihatnya lagi, dia telah berada dalam posisi tegak.
“Saksikanlah, dan biarkan ini menjadi pelajaran bagi para makhluk hidup dibalik gerbang itu.”
Gadis itu hanya mengangguk dan tetap dalam posisi tegak.
Sebuah kilatan cahaya muncul tepat di depanku. Kilatan itu berputar, semakin lama semakin cepat dan permukaan yang dibentuk semakin meluas. Satu gerbang lagi terbuka dan aku akan segera kembali pada tanggung jawabku.
********
Pesan dari Penulis
Cerita ini adalah bagian kecil dari runtutan cerita besar yang sedang dalam penulisan. Penulis berencana untuk mengunggah kelanjutan dari cerita ini dalam urutan yang acak karena penulis butuh mengukur seberapa besar jumlah pembaca yang tertarik membaca cerita yang telah ditulis oleh penulis sebelum mengunggah cerita secara runtut. Dengan demikian, penulis akan membuka diri terhadap kritik, saran dan pemikiran apapun yang dimiliki oleh pembaca terhadap cerita yang ditulis. Sekian yang dapat disampaikan, terima kasih banyak atas kerjasamanya serta waktunya untuk membaca cerita ini .
Aku keasikan baca sampai kelewatan stasiun wkwkwk. Goodjob kakk
Comment on chapter Tanah Gersang yang Tak Terjangkau oleh WaktuMampir ka aku ya kak, ditunggu krisarnya, ehehehehe