Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Setelah mengetahui segalanya, aku mengerti kepedihan yang dialami lelaki itu. Kepedihan yang ia simpan dalam-dalam agar siapapun tidak tahu apa yang tengah dirasakannya—Princess Harzel

***

            6 bulan kemudian..

            Bel pulang berbunyi. Sontak semua warga kelas 12 IPA A berteriak kemenangan. Bagaimana tidak? Untuk menjelang ujian nasional, mereka harus menghadapi pelajaran yang lebih padat, mulai dari pelajaran kelas sepuluh sampai kelas dua belas.

            Setelah Harzel memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel, ia langsung melesat menuju bangku Revan.

            “Gue mau beli es bubble di depan sekolah. Lo temenin gue, ya?”

            Revan menghela nafas malas, “Nggak.”

            Harzel mendelik sebal, “Gue lagi ngidam minum es itu!”

            “Gue ada janji sama Adrian,” jawab Revan, “Disitu antrenya rame banget,” Revan berdiri merangkul ranselnya, lalu menepuk bahu Harzel pelan, “Lain kali aja, ya.”

            Harzel menelan ludahnya. Berfikir. Tak lama kemudian matanya berbinar-binar.

            “Gini aja, gue beli esnya di depan, lo ambil motor di parkiran. Nanti gue tunggu disana, oke?”

            Tanpa menunggu perkataan Revan, Harzel langsung melesat berlari. Kalau tidak seperti itu, Revan akan menahannya, sedangkan keinginan di dalam dirinya untuk mencicipi es itu sudah memuncak. Revan hanya menghela nafas pelan melihat gadis itu berlari kecil meninggalkan bangku lelaki itu, sembari merangkul ranselnya yang berat.

            Sejauh ini, Harzel dapat menjalani hidupnya dengan tenang. Teror itu tidak menghantuinya lagi selama enam bulan ini. Entah mengapa. Dan Ika, gadis itu sepertinya berhenti mencari masalah meski Ika dan Harzel tetap melakukan perang dingin.

***

            “Harzel,” seseorang menyahutnya sembari memegang pergelangan tangannya.

            Harzel sontak kaget, ia menoleh, “Kak Ian?”

            Adrian yang tengah mengenakan jaket berwarna hitam—serta topi jaket yang menutupi kepalanya—mengangguk mantap.

            “Bisa ikut aku sebentar?”

            Harzel menyerngitkan dahi. Ia nampak bingung.

***

            Revan menghentikan motornya di kedai es depan sekolah. Revan celingak-celinguk mencari Harzel di tengah keramaian, namun tidak menemukan gadis itu. Akhirnya ia memutuskan untuk memarkirkan motornya dan turun, lalu melangkah menuju keramaian di depan kedai es bubble yang membuat Harzel mengidam.

            “Kak Revan? Nyari Kak Harzel, ya?” sahut salah satu perempuan, sepertinya adik kelas.

            Revan menoleh ke sumber suara—melirik dua orang gadis yang tidak ia kenal—ia hanya tahu bahwa dua orang ini adalah adik kelasnya.

            “Tadi Kak Harzel jalan sama cowok, entah siapa.”

            Revan menyerngitkan dahi. Tidak mempercayai perkataan perempuan di depannya.

            “Kami punya fotonya,” jawab salah satu dari mereka melihat keterdiaman Revan, mereka pun menunjukkan layar Handphone tepat di depan wajah Revan.

            Revan meraih benda itu, lalu melirik gambar di dalamnya. Gambar yang sangat jelas menunjukkan Harzel sedang digandeng seseorang, wajahnya tak terlihat karena lelaki itu mengenakan jaket berwarna hitam yang juga menutupi kepalanya.

            Revan mengembalikan benda itu ke pemiliknya. Kemudian berbalik dan melangkah menuju motornya. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa lelaki itu? Apakah Rangga? Seketika, rasa khawatir menjalari dirinya. Bagaimana jika Harzel dalam bahaya setelah teror yang menghilang selama enam bulan ini?

            Dengan cepat, Revan menaiki motor kemudian merogoh Handphone dari saku celananya, hendak menelpon Harzel. Namun Handphone miliknya berdering pelan tanda pesan masuk, sebelum lelaki itu sempat menekan tanda ‘Call’.

            Revan, maaf ya gue nggak bilang sebelumnya. Tiba-tiba aja Keyla minta temenin belanja. Maaf ya. Nanti gue pulang sendiri.

            Rahang lelaki itu mengeras setelah membaca SMS dari Harzel. Untuk pertama kali, gadis itu berbohong padanya. Entah apa alasannya. Apakah Harzel memang bersedia dibawa lelaki berjaket hitam itu? Entahlah!

            Ia menekan nomor Harzel—menelponnya—lalu mendekatkan benda itu ke telinganya. Tidak dijawab.

            Ia mencoba sekali lagi. Dua kali lagi. Tiga kali lagi. Tetap tidak dijawab.

            Revan mematikan Handphone miliknya dengan hati yang kesal, lalu memasukkan benda itu ke saku jaketnya. Sesaat kemudian, Revan menghidupkan motornya dan melaju kencang. Melampiaskan rasa kesal dan emosinya.

***

            “Kenapa nggak diangkat aja?” tanya Dewi yang tengah duduk di depan kemudi.

            Harzel menggeleng setelah telepon dari Revan yang keempat kali, “Aku nggak tau harus ngomong apa, Tante.”

            “Maaf ya, Harzel,” tutur Dewi merasa tidak enak, “Tante harus culik kamu seperti ini. Bahkan tante pun tau Revan paling nggak suka di bohongi, tapi tante bener-bener pengen ngomong sama kamu.”

            Harzel tersenyum, “Aku bakal ngatasin masalah dengan Revan nanti, Tante.”

            Dewi mengangguk. Setelah menghembuskan nafas, ia melajukan mobil menuju apartement yang cukup jauh dari sekolah Harzel.

            Hanya hening yang tercipta selama perjalanan. Sibuk dengan fikiran masik-masing. Dewi berfikir keras harus mengatakan apa untuk memulai pembicaraan dengan Harzel. Sedangkan fikiran Harzel berkecamuk tentang Revan. Bagaimana jika lelaki itu tak percaya padanya? Dan disisi lain, gadis itu penasaran mengapa mama Revan menculiknya seperti ini.

***

Harzel mengikuti Dewi tanpa berkata apa-apa. Wanita itu mengajaknya menuju apartement yang terletak di lantai 8. Sesampai disana, Dewi mempersilahkan Harzel masuk dengan ramah.

            “Tante tau kamu pasti laper,” tuturnya basa-basi. Wanita itu mengeluarkan dua minuman dingin dan dua kotak—yang masing-masing berisi hotdog dan kentang goreng—dari dalam plastik putih, “Tante nggak tahu kamu suka atau nggak.”

            “Aku suka semua makanan, Tante.” Potong Harzel.

            Dewi tersenyum senang, “Oh, ya?” ia menyerahkan satu kotak hotdog dan kentang goreng, serta minumannya pada Harzel, “Bagus dong!” Komentarnya sembari tersenyum manis, “Soalnya, Revan bener-bener pemilih dalam makanan. Lebih baik dia nggak makan daripada makan sesuatu yang dia nggak suka.”

            Harzel menyerngitkan dahi. Lalu apa hubungannya dengan Harzel yang menyukai semua makanan? Gadis itu mendesah pelan. Menatap makanan yang tersaji di depannya. Sangat tidak mungkin ia langsung makan begitu saja. Ia harus berbasa-basi agar tidak di cap rakus.

            “Sebenernya.. istirahat tadi aku udah makan..”

            Dewi tersenyum, “Makan lagi!” Serunya pelan, “Tante nggak suka ditolak, loh.”

            Harzel tersenyum geli. Lebih geli pada dirinya sendiri. Ia pun mengangguk, lalu melahap makanannya dengan pelan, demi menjaga harga dirinya. Jujur saja, ia sudah lama tidak makan hotdog dan kesempatan ini tidak boleh disia-siakan pastinya.

            “Sebenernya,” Dewi berujar pelan setelah mereka menghabiskan makanannya, “Tante mau minta tolong,” Wanita itu menggigit bibirnya, “Tapi sebelumnya.. Tante harus buat kamu mengerti.”

            Harzel menatap Dewi, menunggu wanita itu berbicara. Setelah menghela nafas panjang, Dewi menceritakan segalanya.

***

            Revandira Louis Papinka bagaikan bayangan yang terpantul dari Arnold Louis Papinka, pemuda sederhana keturunan Inggris—yang menetap cukup lama di Singapore—sebagai warga yang tidak mampu. Karena Ayah Arnold membuka usaha kecil-kecilan di Indonesia, mereka pun pindah dan menetap di Indonesia.

            Sebagai anak pertama, Arnold menanggung beban yang berat terhadap kedua adik lelakinya, yaitu William Louis Papinka yang kini telah menjadi perwira polisi dan Pranata Louis Papinka yang kini berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, yaitu ayah dari Adrian Paradista Papinka. Sedangkan Arnold?? Ia hanya bekerja sebagai pegawai instansi produk pakaian dan sepatu yang cukup terkenal. Salah satu perusahaan milik ayah Dewi Annisa. Dewi merupakan salah satu model sekaligus direktur perusahaan disana.

            Arnold dan Dewi terbilang sering bertemu. Namun pertemuan yang paling berkesan adalah saat Arnold menyelamatkan Dewi dari sorakkan karena wanita itu terjatuh ketika catwalk. Sejak saat itu—baik Arnold maupun Dewi—merasakan perasaan yang sama.

            Ayah Dewi tidak menyetujui rencana Dewi untuk menikah dengan Arnold. Alasannya sederhana, Arnold tidak sekasta dengannya. Namun, Dewi tetap bersikeras. Ia terlanjut kagum dengan sesuatu yang dimiliki Arnold. Arnold memiliki wibawa, ketegasan, serta rasa tanggung jawab, meski lelaki itu terkesan emosional dan keras kepala.

            Demi kebahagiaan putri satu-satunya, ayah Dewi pun menyetujui pernikahan mereka. Rumah tangga Arnold dan Dewi pun berjalan lancar selama tujuh tahun, meskipun profesi Dewi sebagai direktur dan Arnold sebagai karyawan tetap terjaga. Alasan utama tidak lain karena malaikat kecil yang Dewi lahirkan di dunia, yang diberi nama Revandira Louis Papinka. Malaikat kecil yang sangat identik dengan ayahnya—Arnold. Namun Revan memiliki warna kulit yang tidak seputih ayahnya. Karena Dewi Annisa memiliki warna kulit kuning langsat sedikit exotic.

            Hingga tahun ke delapan.. saat putra kecilnya berusia tujuh tahun. Sebuah keributan terjadi karena masalah yang Dewi timbulkan, wanita itu bersikeras untuk pergi ke London demi membuka usaha butik dan memperlancar kariernya.

            “Tapi gimana dengan Revan?? Kamu bukan cuma wanita karier, kamu juga seorang ibu!” Bentak Arnold melampiaskan rasa kesalnya. Selama ini, ia selalu sabar mengurus Revan seperti seorang ibu, sedangkan Dewi jelas-jelas masih ada. Namun kali ini tidak lagi.

            “Tapi, Arnold,” ujar Dewi, “Aku nggak bisa ngecewain Papa lagi. Ini permintaannya.”

            “Jangan nguji kesabaran aku kali ini!” Tukas arnold, “Sekali aku bilang nggak, tetep nggak!”

            Dewi mendelik kesal, “Selama ini kamu kan yang dekat dengan Revan, lalu kenapa kamu seperti ini? Kamu bosan mengurus anak kamu sendiri??”

            Arnold menatap Dewi murka, “Aku nggak pernah bosan mengurus anakku! Tapi, aku bosan dengan semua ini! Aku bosan jadi ibu bagi Revan sedangkan kamu sebagai ayah baginya!!”

            Dewi melotot, sebagian hatinya memberontak untuk melawan, “Tapi aku nggak bisa membantah keinginan Papa! Sudah cukup!” Ia berteriak, “Menikahi kamu juga bentuk perlawananku pada Papa, aku nggak mau melawan lagi!”

            “Jadi, kamu nyesel?’ Arnold menarik nafas panjangnya. Berusaha mengatur gejolak emosi di dadanya. Membuatnya tak bisa bernafas normal, “Baiklah, dua pilihan.. pilih keinginan ayahmu atau pilih aku dan Revan.” Suara Arnold melembut.

            Arnold melangkah keluar kamar dengan gontai, lalu menutup pintu perlahan. Ia tertunduk. Tanpa sengaja, ia melihat putra kecilnya yang tengah terduduk. Wajahnya menampakkan kesedihan yang sama seperti yang dirasakan ayahnya. Karena menatap ayahnya, bocah kecil itu meneteskan air mata.

            Arnold mengangkat tubuh putra kesayangannya, lalu mengecup pipinya, “Eh, Revan nggak boleh nangis. Jagoan Papa nggak boleh cengeng!!”

***

            Harzel menatap wanita di depannya dengan prihatin. Matanya ikut berkaca-kaca mendengar tuturan demi tuturan cerita dari Dewi Annisa yang kini tengah menangis sedih saat mengenang masa lalunya.

            “Jadi, apa keputusan tante?” tanya Harzel.

            Dewi menyeka air matanya, “Saat itu, tante rela meninggalkan semua pekerjaan demi kembali pada suami dan anak tante. Tapi..” Dewi kembali terisak, “Papa terkena serangan jantung saat mendengar keputusan tante, selama ini dia masih belum sepenuhnya rela dengan pernikahan tante dan Arnold.”

            “Tante memutuskan untuk menuruti kemauan Papa. Tapi sebelum tante menjelaskan.. Arnold sudah terlanjur marah dan membawa Revan pergi.”

            Masih hangat dalam fikiran Dewi bagaimana kemarahan Arnold yang membuncah saat itu.

            “Aku sudah memberimu dua pilihan. Kalau kamu memilih itu, baiklah!” Arnold menatap Dewi yang menangis di depannya lekat-lekat, “Jangan harap kamu bisa bertemu aku dan Revan setelah ini! Pegang semua ucapanku!”

            Tanpa mendengar perkataan Dewi, Arnold melangkah penuh amarah. Mengabaikan Dewi yang terus berteriak memanggil namanya. Kemarahan dan kesakitannya mereda saat melihat putra kesayangannya—Revandira Louis Papinka—yang terduduk lemas dan menangis tersedu-sedu.

            Tanpa fikir panjang, ia membereskan baju miliknya dan Revan seadanya, lalu membawa putra kecilnya pergi. Saat itu, Revan mengikuti dengan pasrah kemanapun Arnold akan membawanya. Di lubuk hatinya yang paling dalam, Revan bisa saja hidup tanpa ibunya, namun tak bisa hidup tanpa ayahnya. Ayah yang selama ini memberikan kasih sayang padanya.

            “Sampai saat ini, Revan hanya tau tante yang menyebabkan semua ini.”

            “Om Arnold.. kemana?” tanya Harzel hati-hati.

            Dewi memecahkan tangisnya mendengar pertanyaan Harzel, ia sendiri tak sanggup menjawabnya. Harzel yang merasa tak enak, langsung memancarkan tampang bersalahnya.

            “Dia.. udah nggak ada.”

            Harzel terperangah kaget, seketika ia merasa tidak enak, “Ma.. maaf, Tan..”

            Dewi menyeka air matanya, “Semua ini salah, Tante,” Ia kembali terisak, “Revan nggak bisa berhenti nangis saat tau Papa kesayangannya udah nggak ada. Tante yang berperan sebagai ibu dan ayah Revan saat itu, lebih mementingkan karier daripada Revan..” ceritanya dengan suara serak, “Karena, tante nggak bisa membendung kesedihan saat tante berdiam diri di rumah. Melihat semua kenangan yang membuat pertahanan tante hancur. Tante nggak bisa melupakan Arnold, itu menyakitkan.”

            Wanita itu terisak. Kali ini ia menutup wajah dengan kedua tangannya, “Revan begitu mirip dengan Arnold. Tante nggak sanggup ngeliat dia..” Ucapannya terbata-bata. Wanita itu sangat menikmati tangisnya.

            Dewi masih ingat bagaimana keadaannya setelah mendengar kabar suaminya meninggal. Wanita itu tidak mengurus perusahaan selama 1 tahun. Hidupnya berantakan. Bahkan ia sama sekali tidak memikirkan sekolah Revan yang juga berantakan waktu itu.

            Dewi menghabiskan waktu berdiam diri di ruang piano. Menekan tuts demi tuts piano. Melantunkan lagu-lagu sedih. Menangis. Terisak. Terkadang berteriak. Bahkan ia tak pernah absen memandang foto Arnold sembari mengumpat kesal—mengapa lelaki itu meninggalkannya.

            Dari makan Revan hingga urusan sekolahnya, diatur oleh asisten rumah tangga. Wanita itu rela membayar mahal. Revan kecil tak pernah mengeluh untuk urusan apapun. Membuat Dewi lebih tenang. Namun wanita itu tidak tahu, putra kecilnya merasakan kehilangan dua kali lipat—kehilangan ayah dan juga ibunya.

            Hingga malam itu. Entah mengapa setelah lebih dari setahun mengabaikan Revan, Dewi merindukan buah hatinya. Ketika itu usia Revan hampir 9 tahun. Wanita itu melangkah membuka kamar Revan. Putra kecilnya sudah tertidur lelap.

            Dewi duduk di tepi ranjang kemudian mengusap lembut rambut anak lelakinya. Dewi menatap wajah Revan yang tenang. Matanya terpejam.

            Namun semakin lama wanita itu menatap Revan, semakin nafasnya memburu kemudian tercekat. Wajah Revan.. rambutnya, hidungnya, matanya ketika tertutup, bibirnya, dan semua yang ada pada dirinya..seperti Arnold. Identik sekali. Dan beberapa detik kemudian, Dewi benar-benar melihat Arnold yang sedang terlelap bukan Revan. Wanita itu langsung memeluk Revan—yang dalam imajinasinya adalah Arnold—sembari terisak. Hingga orang yang dipeluknya terbangun.

            “Mama..” Seru Revan kecil, “Mama.. aku sesak.”

            Dewi sontak berdiri menyadari bahwa itu putranya, bukan suaminya. Wanita itu menatap Revan yang kini terduduk sembari menatap Mamanya bingung. Ada semburat rasa bahagia di mata putra kecilnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama, Mama memeluknya.

            Namun momen indah itu hanya sementara. Wanita itu kemudian berbalik. Terisak. Dan tak pernah kembali untuk memeluk Revan. Bahkan tidak pernah mengurus kehidupan Revan lagi setelah itu. Sekolah, masa kecil lelaki itu, kursusnya, latihan silatnya, Dewi tidak pernah tahu.

            “Bahkan, tante nggak pernah ngambil rapot Revan saat dia masih SD. Tante nggak pernah menyediakan waktu untuk datang di acara rapat orang tua di sekolahnya. Tante nggak pernah mengikuti perkembangannya..”

            “Tante ke psikologi saat itu. Mengobati batin tante yang terluka, hingga melihat Revan seperti melihat Arnold. Tante sangat tersiksa dengan semua itu hingga tidak berani menemui Revan. Melihatnya..”

            Kini, Harzel menatap prihatin pada wanita anggun yang kelihatannya tegar saat pertama kali berjumpa. Wajah Dewi tampak segar ketika menyapanya beberapa jam yang lalu. Harzel tak pernah membayangkan bahwa kehidupan yang dialami Revan dan ibunya semenyakitkan ini.

            “Puncak perlawanannya.. Revan memutuskan untuk keluar dari kehidupan tante.”

            Harzel menahan nafasnya sejenak. Selama ia berada di dekat lelaki itu, ia tidak pernah tahu alasan Revan pindah sekolah. Kini—setelah mengetahuinya—Harzel mengerti kepedihan yang dialami Revan. Hingga lelaki itu marah pada siapapun mencampuri urusan keluarganya, bahkan ia menyimpan kepedihan itu dalam-dalam agar siapapun tidak tahu apa yang tengah dirasakannya.

            Dewi menggenggam kedua tangan milik Harzel, “Tante mohon.. bisakah kamu kembalikan putra tante? Bisakah kamu buat dia ngerti kalau tante nggak akan bisa hidup tanpa dia?”

            Harzel menelan ludahnya. Misinya begitu besar untuk menerjang dinding baja yang melapisi hati seorang Revandira Louis Papinka. Sangat sulit memang. Namun demi mengembalikan kebahagiaan Revan yang terselimuti oleh kesalahpahaman. Harzel mengangguk menyetujui.

            “Akan kucoba.”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Ballistical World
9857      1941     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Error of Love
1300      621     2     
Romance
Kita akan baik-baik saja ketika digoda laki-laki, asalkan mau melawan. Namun, kehancuran akan kita hadapi jika menyerah pada segalanya demi cinta. Karena segala sesuatu jika terlalu dibawa perasaan akan binasa. Sama seperti Sassy, semua impiannya harus hancur karena cinta.
Panggil Namaku!
8562      2197     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
Dibawah Langit Senja
1573      927     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
Sunset In Surabaya
362      264     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
Salendrina
2405      889     7     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
Letter hopes
1080      605     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Loading 98%
633      386     4     
Romance
Begitulah Cinta?
17328      2612     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
CINTA DALAM DOA
2415      970     2     
Romance
Dan biarlah setiap doa doaku memenuhi dunia langit. Sebab ku percaya jika satu per satu dari doa itu akan turun menjadi nyata sesungguhnya