Read More >>"> Princess Harzel (Gumpalan Cacing) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Disinilah aku berdiri, menatap gadis yang membuat insting kuat milikku buyar hanya dengan melihat senyum manisnya. Seseorang yang menjadi sumber ketenangan bagiku hanya dengan mendengar suaranya dan melihatnya menari-nari di balik gorden putih. Seseorang yang membuatku gemas meski terkadang membuatku kesal—Revandira Papinka.

***

            “Mama gue nyiapin bekal lagi!” ujar Harzel bersemangat di hari keempat mereka latihan.

            Revan mendelik sebal, “Gue nggak mau makan roti lo lagi. Gue nggak suka.”

            Harzel memasang tampang memelas, ia memandang Faraz, Liana, dan Revan bergantian, “Sebenernya, gue lagi pengen makan bakso. Tapi Mama gue tiap hari bawain roti. Kalo nggak dimakan, dia bisa marah. Please, bantuin gue, ya?”

            Faraz mengangguk, “Yaudah deh. Tapi besok-besok, suruh Mama lo bawain pudding! Gue lagi ngidam, nih.”

            Harzel mengangguk, “Beres.”

            “Eh, gue mau pesen jus,” ujar Liana sembari berdiri dari tempat duduknya, “Kalian mau?”

            “Gue mau. Ayo, Li!”

            Faraz dan Liana melangkah menuju  stand penjual jus. Kini tinggal Harzel dan Revan yang sedang duduk berhadapan. Hening. Tak ada yang mengatakan apa-apa. Baik Harzel maupun Revan, masing-masing mengatur detak jantungnya sendiri.

            Harzel mengeluarkan kotak makanan dari dalam ranselnya. Lalu menaruhnya di atas meja, “Lo yang harus makan roti gue duluan. Oke?”

            Revan mendelik sebal, “Nggak!”

            Harzel menghela nafas pelan, kemudian langsung membuka kotak makanannyaq. Nafasnya langsung tercekat melihat pemandangan di depannya.

            Harzel hampir menjerit, namun berhasil ia tahan melihat keramaian di sekitarnya. Ia menjauhkan kotak makanan itu dari hadapannya, lalu memangku dahinya yang tiba-tiba terasa nyeri.

            Revan—yang langsung meraih kotak makanan itu—langsung terperangah melihat isinya bukanlah roti isi, melainkan gumpalan cacing tanah yang masih hidup dan meliuk-liuk.

            Dengan hati-hati, Revan mengambil lipatan kertas kecil di antara gumpalan cacing itu. Ia membukanya dan mulai membacanya.

            Berhenti dari group ballet, atau gue bakal ngelakuin sesuatu lebih dari ini!

            Harzel mengambil kertas yang sedang dibaca lelaki itu, lalu membacanya. Seketika, bara api di dalam hatinya langsung hidup dan memanas. Matanya menegang dan rahangnya mengeras. Ia tidak bisa diam lagi. Tidak!

            “Gue nggak bisa diem aja!” Harzel berdiri dengan murka sembari menghentakkan meja, “Dia fikir dia siapa?”

            Pandangan orang-orang yang berada di kantin tertuju pada Harzel yang tengah berteriak. Gadis itu tidak memperdulikan sekitarnya. Dengan gejolak emosi yang membara, Harzel berlari meninggalkan Revan. Mencari seseorang yang akan ia beri pelajaran tanpa memikirkan resikonya.

            Setelah menaruh kertas teror dalam saku seragamnya, Revan berlarian menyusul Harzel.

Menyadari ada yang menyusulnya, Harzel membalikkan badan dan memandang Revan penuh amarah. Mata yang biasanya tenang kini berkaca-kaca menunjukkan emosi pemiliknya yang telah berada di ambang batas.

            “Jangan hentikan gue kali ini!” Teriaknya.

            Revan menangkap kedua lengan Harzel, “Lo jangan gegabah!”

            Harzel terus memberontak, “Lepasin!”

            Revan yang memiliki kekuatan lebih dari Harzel, merapatkan pegangannya, “Liat gue!” Perintahnya pelan.

            Harzel mulai melemahkan tenaganya, ia menunduk lalu menggeleng gusar, “Revan, gue tau apa yang harus gue lakuin.”

            “Nggak!” Tukasnya sembari terus menatap gadis yang sedang kalap di depannya, “Lo nggak pernah tau apa yang lo lakuin. Lo nggak pernah mikirin resiko yang terjadi saat lo sedang emosi!”

            Harzel melirik Revan dengan tatapan kesal. Ia tak bisa diremehkan siapapun. Tidak! Ia punya harga diri. Harzel sudah dewasa dan ia pasti tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tak butuh siapapun. Ia tak butuh Revan.

            Harzel memberontak agar lengannya lepas dari tangan Revan, “Lo nggaktau apa-apa! Bahkan lo baru kenal gue!”

            Revan melingkarkan tangannya di pinggang Harzel. Semakin Harzel memberontak, semakin Revan mempereratnya.

            Revan menatapnya hangat. Tatapan itu membuat nafas Harzel tercekat. Seketika, ia lupa bagaimana cara bernafas normal. Tidak! Ia tidak tahan.

            Harzel tertunduk, melepaskan segala gundah dan rasa sesaknya dengan membiarkan Revan terus merengkuhnya.

            Pandangannya mengabur. Matanya memanas. Satu persatu air mata berkumpul di pelupuk matanya, membuat matanya berkaca-kaca. Dengan sekali kerjapan saja, air bening itu mulai menetes menuruni pipinya.

            Revan memandang sekelilingnya. Tidak ada orang!

            Ia menarik Harzel ke dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menangis terisak-isak di dadanya—meski harus merelakan seragamnya basah. Lelaki itu mampu merasakan detak jantung Harzel yang bergemuruh menyatu dengan detak jantungnya sendiri. Entah mengapa, ia merasakan kesakitan yang sama.

            “Gue bakal nemuin siapa orangnya. Gue janji,” tutur Revan pelan.

***

            Liana berteriak histeris melihat gumpalan cacing dalam kotak makanan Harzel. Liana yang fobia terhadap cacing, memeluk Faraz secara tiba-tiba.

            Mendengar teriakan Liana, anak-anak yang berada di kantin mengerumuninya. Mereka menggerutu kesal melihat tingkah Liana yang berlebihan hanya karena cacing tanah. Satu persatu kerumunan pun mulai buyar, membuat Liana langsung mendelik kesal.

            “Gue bukannya lebay! Tapi gue kaget!” Teriaknya kesal.

            “Udah, Li,” ujar Faraz menenangkan, “Mendingan kita cari Revan dan Harzel.”

            Mereka menelusuri sekolah untuk mencari Revan dan Harzel. Setelah berkeliling, mereka menemukannya di koridor tepi kolam ikan yang sepi. Baik Faraz maupun Liana, langsung mendelik kaget melihat Revan sedang memeluk Harzel.

            “Me..mereka?” Faraz terperangah kaget.

            Liana menarik tangan Faraz menuju Revan dan Harzel. Setelah berada di dekat mereka, Liana mengeluarkan suara batuk yang di buat-buat. Revan langsung melepaskan pelukannya.

            “Ehem,” sahut Faraz, “Gue udah duga, kalian pasti punya hubungan yang spesial.”

            Liana tertawa geli. Gadis itu langsung menghentikkan tawanya ketika melihat mata Harzel sembab, “Lo nggakpapa?”

            “Ini nggak seperti yang kalian liat, kok,” jawab Harzel, memasang wajah seolah ia baik-baik saja, “Gue mau ngambil sesuatu di ruang ballet, tiba-tiba ada kecoak, jadi refleks gue langsung meluk Revan.”

            Liana menatapnya penuh tanda tanya, “Trus, kenapa di kotak makanan lo ada cacing? Jijik banget gue liatnya.”

            Harzel menggigit bibir bawahnya, “Itu..” Harzel bingung harus memberikkan alasan apa pada Liana. Untung saja ia menemukan ide dengan cepat, “Kotak makanan gue sama dengan kotak makanan adik sepupu gue yang baru datang semalem. Dia hobby mancing, jadi kotak makanan itu tempat umpan cacing. Sialnya, gue malah salah bawa.”

            Faraz menghela nafas lega, “Lo tau? Liana langsung meluk gue! Untung aja nggak ada Bimo, bisa-bisa habis gue.”

            “Cewek memang penakut,” komentar Revan. Ia melirik Harzel di sebelahnya. Gadis itu menatapnya seperti mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

***

            Latihan berjalan sangat lancar, meski Harzel harus mengakui bahwa latihannya tidak semulus seperti yang dilihat. Kalau saja tidak ada pelatih ballet yang baik hati padanya, ia akan habis di keroyok Ika dan teman-temannya.

            Sekuat tenaga, Harzel menahan emosinya yang menggebu-gebu setiap kali melihat Ika. Entah mengapa, firasatnya makin hari makin menunjukkan bahwa Ika adalah pelakunya. Ika yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur tenang dengan teror-teror kampungan yang ditujukan padanya.

            Bukan hanya itu—cacian yang dilontarkan Ika padanya—membuatnya tidak tahan. Namun setelah ingat tujuannya—agar  bisa tampil di atas panggung dengan lancar—ia menahan diri untuk tidak menyerang gadis sombong itu. Harzel hanya membalaskan cacian Ika dengan kata-kata yang tak kalah pedasnya.

            Seperti sekarang ini..

            Tanpa sengaja, Harzel menabrak Ika ketika sedang melakukan gerakan memutar. Membuat gadis itu teriak histeris, padahal Harzel hanya menyenggolnya sedikit. Bahkan digigit semut rasanya lebih sakit dibandingkan ditabrak Harzel.

            “Lo nggak punya mata, ya? Udah enam hari latihan masih aja bego!”

            Harzel menggertakkan giginya. Jika hukum negara tidak ada, mungkin ia sudah meremuk wajah Ika hingga hidung dan matanya tertukar posisi.

            Harzel memalingkan wajahnya dari Ika, ia mendengus dan bersikap sesantai mungkin, “Elo kali yang bego! Ditabrak dikit aja responnya lebay. Norak!”

            “Cukup!” Teriak sang pelatih, “Jangan berdebat lagi dan lanjutkan latihannya!”

            Harzel tersenyum puas sembari melirik wajah Ika yang sudah memerah menahan kesal. Gadis itu tidak peduli apapun yang terjadi. Yang jelas, ia harus melawan Ika dengan caranya sendiri.

Lagi-lagi, perkataan Revan memberikannya pelajaran berharga. Alasan Revan melarangnya menghajar Ika bukan karena Harzel perempuan lemah yang tidak bisa melawan, melainkan agar Harzel tidak dipermalukan karena menghajar seorang Ika Marissa tanpa bukti yang kuat.

Perang diantara ia dan Ika bukanlah perang mepertaruhkan fisik dan nyawa, melainkan perang mempertaruhkan harga diri. Karena itulah pentingnya mengontrol emosi agar harga dirinya tetap terjaga. Percuma, Ika babak belur kalau akhirnya satu sekolah makin menghujat dirinya.

Hanya saja, ia masih bingung, mengapa Ika menerornya terus menerus dengan cara kampungan seperti itu? Padahal dengan mulutnya, Ika bisa mempropaganda keadaan hingga membuat Harzel terpuruk. Harzel kenal betul siapa itu Ika Marissa, senior yang paling ditakuti oleh adik kelas, sedangkan Harzel bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Lalu, apalagi yang dia inginkan?

***

            Harzel mengusap keringatnya dengan saputangan yang senantiasa ia bawa. Meski ruang latihannya ber-AC, keringat tetap bercucuran di tubuhnya. Bahkan keringatnya terkesan tidak normal dari yang lainnya. Inilah kelainan yang di deritanya hingga ia harus mengundurkan diri dari eskul tari. Ia tidak bisa lama-lama menari, gejolak yang begitu nyeri di kepalanya bisa menyerangnya kapan saja dan membuatnya pingsan dimana saja jika ia memaksakan diri.

            Mama dan Papa tidak memberitahu penyebabnya, hanya saja mereka senantiasa menyediakan obat kalau penyakit Harzel tiba-tiba kambuh.

            Selama enam hari latihan, Harzel telah meneguk obat sebanyak enam kali. Karena beberapa hari ini, kepalanya terasa sakit, meski tidak terlalu menyiksa dirinya. Ia juga mengalami susah tidur akibat efek samping obat.

            Dan saat ini.. Harzel terduduk lemas di pojok ruangan ballet yang sudah sepi. Hari ini latihannya dipercepat karena pelatihnya sedang ada urusan keluarga. Gadis itu memutuskan untuk menemui Revan di ruang latihan musik setelah keadaannya sedikit membaik.

            Harzel merogoh ranselnya, mengeluarkan sebuah botol berisi obat yang diminumnya sejak dulu saat kepalanya mulai tak bersahabat. Dan saat ini.. ia merasakan nyeri di kepalanya yang begitu hebat, lebih hebat dari yang kemarin-kemari ia rasakan.

            Harzel membalikkan tubuhnya menghadap dinding. Hendak meminum obat. Tiba-tiba seseorang menyerobot botol obat yang dipegangnya.

            Ika.

            “Oh,” Ika menatap botol obat itu, “Ternyata lo penyakitan, ya?”

            Harzel melototi gadis menyebalkan yang tengah berdiri di depannya, namun tatapamn tajamnya tak bisa menyembunyikan wajahnya yang kini memucat.

            “Balikin!”

            Ika mendengus, “Oke!” Dengan sekali sentakkan, Ika membanting botol itu ke lantai dengan kasar hingga pecah. Serpihan kaca bertaburan dimana-mana bersamaan dengan pil-pil obat berwarna putih.

            Harzel yang tersulut emosi, memaksakan dirinya untuk berdiri, “Mau lo apa sih, hah? Gue tau lo kurang kerjaan, tapi tolong..” Harzel menunjuk Ika dengan murka, “Kali ini gue nggak mau diganggu siapapun!”

            Mendengar penuturan Harzel yang membuatnya semakin panas, Ika meraih salah satu serpihan kaca yang ujungnya tajam. Dengan cepat, ia langsung mencekik Harzel dan menyodongkan kaca itu ke wajahnya.

            “Lo tau rasanya gimana rasanya dipermalukan depan semua orang di kedai kopi kemarin??” ucapnya pelan, namun menusuk, “Bahkan, kalo gue mencabik muka lo sekarang, nggak bakal bisa gantiin rasa malu gue!” Teriak Ika histeris.

            Harzel ketakutan melihat ujung kaca yang tajam begitu dekat dengan wajahnya, dengan sekali sentakkan saja bisa menusuk matanya.

            Gue nggak boleh nunjukkin rasa takut ini. Nggak!

            Tanpa berfikir panjang, Harzel langsung menarik rambut Ika dengan keras, lalu menerjang perutnya, hingga Ika jatuh terjerembab. Dengan mudah, Harzel langsung mengambil serpihan kaca yang berada di tangan Ika saat gadis itu terguling di lantai.

            Kini, Harzel yang mencondongkan serpihan kaca itu di wajah Ika ketika posisi Ika sedang terlentang. Tangan Ika mencoba meraih tangan Harzel, namun gadis itu menepisnya.

            “Jangan macem-macem, Ika!” Harzel menuturkan sebuah peringatan dengan lembut, “Gue bersedia kok masuk penjara, asalkan wajah mulus lo ini gue hancurin sekarang!”

            Harzel tersenyum mengejek. Kemudian bangkit berdiri dan mengulurkan tangan kanannya pada Ika yang masih terbaring. Dengan tatapan tajam, gadis sombong itu menepis tangan Harzel.

            “Gue emang lagi nggak enak badan. Jadi, kalo lo nyerang gue sekarang..” tutur Harzel, lalu menatap Ika tajam, “Lo pengecut!”

            Harzel meraih ranselnya yang tergeletak di lantai, pandangannya kembali tertuju pada Ika, “Awalnya gue salut sama kelicikan lo. Lo bisa mempropaganda keadaan hingga semua orang benci gue tanpa alasan! Gue salut dengan perang harga diri di antara kita, yang lagi-lagi lo menangin,” tutur Harzel pelan, namun ia menatap Ika dingin dan menusuk. Tatapan yang menggambarkan kelelahannya menghadapi perang tak berkesudahan hanya karena masalah sepele, “Tapi kali ini lo norak, Ka! Sebanyak apapun lo berusaha nyakitin gue, jangan harap gue takut!”

            Harzel berbalik, hendak melangkah pergi. Namun Ika yang sudah terbakar emosi langsung menarik rambut Harzel yang dikuncir satu dengan kasar, hingga rambut itu tergerai.

            “Aaaa!” Harzel menahan sakit sembari berusaha melepaskan tangan Ika dari rambutnya.

            “Gue nggak akan pernah diem aja!” Teriak Ika murka, “Gue nggak akan biarin lo buat gue malu depan semua orang. Nggak!”

            Harzel menginjak kaki Ika yang berada di belakangnya dengan keras, gadis itu langsung terlonjak kaget menahan nyeri yang datang tiba-tiba. Harzel langsung berbalik badan.

            “Ika!” Teriak Harzel murka, “Gue udah capek dengan tingkah lo ini! Masalah Paul udah lama dan gue sampe sekarang nggak merasa salah. Lo udah tau kalo cowok lo yang gatel bukan gue!”

            Harzel mendorong Ika keras, hingga gadis itu kembali terjerembab ke lantai, “Apakah salah Revan nyelamatin gue dari kelicikan lo, hah? Bukan gue yang malu-maluin lo, tapi lo yang malu-maluin diri lo sendiri! Kenapa? Lo iri?” Harzel mendengus, “Nggak nyangka, Ika Marissa yang katanya hebat, malah iri sama gue yang katanya nggak punya apa-apa!”

            Mendengar kata-kata terakhir Harzel, Ika langsung bangkit dan balik mendorong Harzel. Tanpa berfikir panjang, ia menarik rambut Harzel dengan kasar. Harzel mencoba melawan dengan menerjang Ika. Terjadilah perkelahian hebat setelah adu mulut yang cukup dahsyat. Baik Harzel maupun Ika, sama-sama merasakan kepedihan yang sama, baik di hati maupun di jasmani.

***

            Revan, Faraz, dan Liana—yang pergi ke ruang ballet untuk menjemput Harzel—justru dihadapkan dengan perkelahian antar dua perempuan yang cukup sengit.

            Dengan cepat, mereka memisahkan keduanya sebelum terlambat. Faraz menarik Ika, Revan menarik Harzel, dan Liana memisahkan kedua pasang tangan yang saling mencengkram.

            Faraz kewalahan memegangi Ika yang terus memberontak untuk kembali menyerang Harzel. Sedangkan Harzel yang sudah melemas dan tak tahan menahan gejolak nyeri di kepalanya, langsung pingsan dalam rengkuhan Revan.

            Revan mendelik panik. Tubuh Harzel berkeringat dingin dan wajahnya memucat. Revan juga sempat melihat obat berserakkan di lantai bersama serpihan kaca—sebelum akhirnya ia mengangkat tubuh Harzel dan membawanya ke unit kesehatan sekolah.

***

            Harzel membuka matanya pelan-pelan. Lambat laun, pandangan gelap menjadi kabur. Pandangan kabur menjadi sebuah titik cahaya yang lama-lama membentuk paduan warna. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, Harzel mampu melihat segalanya dengan jelas.

            Pandangan yang pertama ia lihat adalah dokter di klinik sekolahnya—yang kemudian menyenteri kedua mata Harzel bergantian—membuatnya merasa silau.

            Setelah kesadaran Harzel benar-benar pulih, dokter itu mengajukan pertanyaannya, “Harzel, apakah kamu pernah menderita cedera kepala sebelumnya?”

            Harzel menggeleng, “Nggak, Bu.”

            “Saya menemukan obat di botol yang kamu bawa. Itu memang obat sakit kepala, tapi untuk orang-orang yang pernah mengalami gangguan saraf otak. Benar kamu tidak pernah cedera?”

            Harzel menggigit bibir bawahnya. Jujur saja, gadis itu hanya tahu bahwa ia pernah mengalami kecelakaan. Tapi sampai cedera otak? Ia rasa.. Ah entahlah! Ia hanya percaya apa yang telah diberikan Mama dan Papanya. Tidak mungkin kedua orang tuanya—yang telah membesarkannya dengan sepenuh hati—memberinya obat sembarangan.

            “Saya nggak tahu, Bu.”

            Dokter itu tersenyum maklum kemudian melirik Faraz, Liana, dan, Revan yang berada dalam ruangan itu, “Sejauh ini Harzel tidak apa-apa. Dia hanya kecapekan.”

            Setelah mengucapkan kata-kata menenangkan, dokter itu pergi. Kini tinggal Harzel yang tengah terbaring di ranjang UKS, dengan Liana dan Faraz yang menduduki sisi ranjangnya. Sedangkan Revan.. lelaki itu berdiri di tepi jendela sembari melihat keluar, tanpa melirik gadis itu sama sekali.

            “Kenapa lo bisa berantem sama Ika, sih?” tanya Liana.

            Harzel menelan ludah, “Dia yang ngedatengin gue, trus melempar botol obat yang lagi gue pegang.”

            Liana mendelik heran, “Trus, kenapa Ika bilang lo berniat malu-maluin dia?”

            Harzel mengangkat bahu, “Gue juga nggaktau. Dia langsung terbakar emosi, gue juga..”

            “Udahlah, namanya juga Ika. Inget nggak lo waktu masalah Paul nembak Harzel?” tanya Faraz yang semakin keki dengan kelakuan gadis sombong itu, “Dia bilang Harzel yang centil deketin cowoknya, padahal kan cowoknya yang kegatelan.”

            Untuk kesekian kalinya, Harzel melirik Revan. Lelaki itu tidak bergeming sama sekali. Ia hanya terdiam sembari memandang keluar jendela.

            Faraz yang paham dengan lirikan Harzel, langsung menyahut Revan, “Woy bro! Kok diem aja?”

            Mendengar sahutan Faraz, Revan berbalik memandang ketiga temannya. Ia menatap Harzel begitu dingin. Tatapan yang mengartikan kemarahan sekaligus kekhawatiran.

            “Lo udah enakan? Ayo kita pulang!” Ucapnya dingin pada Harzel. Lalu meraih ransel dan jaketnya.

            “Gue belum betul-betul enakan,” jawab Harzel, “Gue pulang sendiri aja.”

            Revan menurunkan kembali jaket dan ranselnya dengan sentakkan yang cukup kuat. Lalu memandang keluar jendela lagi.

            Melihat situasi ini, Faraz mengerti apa yang telah terjadi meski Revan terus-terusan membisu. Ia merasa Princess Harzel mulai mempengaruhi hidup lelaki itu.

            Faraz berbisik di telinga Liana, “Li, kita keluar bentar yok!”

            Liana yang mengerti, langsung mengangguk dan mengikuti langkah Faraz. Harzel pun tak menghentikan kedua temannya, gadis itu merasa perlu berbicara dengan Revan berdua saja.

            Setelah kedua temannya pergi, Harzel menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bangkit dari tempat tidur UKS. Ia melangkah pelan mendekati Revan.

            “Lo pasti tau gimana rasanya emosi, Van,” ujar Harzel yang kini telah berdiri di samping lelaki itu, “Ada kalanya, kita harus melawan bukan berarti kita gegabah. Kalo gue nggak ngelawan Ika, mungkin muka gue udah lecet sekarang.”

            Mendengar penuturan Harzel, Revan langsung menoleh dan menatapnya meminta penjelasan.

            Harzel mengangguk, “Dia cukup berbahaya. Setelah mecahin botol obat gue, dia langsung nodong serpihan kaca di depan muka gue. Gue takut, tapi gue inget pesen lo kemarin. Jadi, gue berusaha tenang. Syukurnya, gue bisa ngelawan dia.”

            Revan mendesah pelan kemudian tertunduk. Menyesal. Awalnya ia mengira Harzel di teror lagi lalu melabrak Ika tanpa fikir panjang.

            “Gue nggak bahas masalah teror itu,” tambah Harzel seperti membaca fikiran Revan, “Dia masih marah dengan kejadian di kedai kopi kemarin.”

            Revan melirik luka kecil seperti bekas cakaran di pipi kanan Harzel, “Lo dicakar?”

            Harzel meraba pipinya, lalu mengangguk, “Tapi gue atau dia yang menang menurut lo?” tanya Harzel yang sama sekali tak penting. Gadis itu tersenyum. Senyum ceria milik Princess Harzel yang menenangkan.

            Revan ikut tersenyum, “Kayaknya dia, deh. Soalnya dia nggakpapa, sedangkan elo pingsan.”

            Harzel memasang tampang cemberut sembari tertunduk, lalu kembali menatap Revan, “Pulang, yuk?”

            Revan terus menatapnya dengan ekspressi yang tak bisa Harzel baca. Tatapan yang membuat Harzel salah tingkah. Sontak, gadis itu langsung mengalihkan diri dengan mengambil ranselnya yang terkapar di pinggir ranjang.

            “Makasih ya, lo udah datang tepat waktu sebelum gue dihabisin Ika,” tutur Harzel memecah keheningan di antara mereka. Keheningan yang mampu membuat mereka kewalahan mengatur detak jantungnya masing-masing.

            Harzel berbalik memandang Revan. Lelaki itu sama sekali tidak bergerak, ia terus menatap Harzel.

            “Tapi Revan, gue agak keberatan lo selalu jadi pahlawan gue,” celoteh Harzel, “Seakan-akan gue nggak bisa ngatasi masalah gue. Seakan-akan gue nggak bisa hidup tanpa lo.”

Harzel tertawa kecil. Kemudian langsung menghentikan tawanya. Lelaki itu tetap tidak bergeming mendengar ucapannya.

Revan menunduk dan menarik nafas, lalu kembali menatap Harzel yang terpaku di depannya, “Bagus deh kalo lo ngerasa selalu butuh gue,” tuturnya, “Kayaknya, gue juga nggak bisa hidup tanpa lo.”

Harzel mengerjapkan matanya. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Rasanya semua ini seperti mimpi. Rasanya.. ia belum bangun dari pingsan yang melandanya. Namun pada kenyataannya, kejadian ini nyata dan ada.

Revandira Papinka berdiri di depannya, mengucapkan kata-kata yang membuat isi hatinya terasa ingin meledak. Lelaki itu terus menatapnya. Membuat Harzel tertunduk. Tidak tahan.

Entah keberanian apa yang melanda Revan hingga menatap gadis itu lama. Sangat lama. Memikirkan Harzel saja membuat ia bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa.

Disinilah Revan berdiri, menatap gadis yang membuat insting kuatnya buyar hanya dengan melihat senyum manisnya. Seorang gadis yang menjadi ketenangannya hanya dengan mendengar suaranya dan melihatnya menari-nari di balik gorden putih. Seorang gadis yang membuatnya gemas meski terkadang membuatnya kesal.

Revan menyadari satu hal.. hal yang selalu ia hiraukan karena gengsinya. Hal yang selalu dianggapnya sebagai angin lalu dan selalu di tepisnya setiap saat, meski lelaki itu tak jarang tersenyum sendiri mengingat Harzel. Kini, ia sadar hal itu ada dan nyata. Kini ia sadar, Harzel sangat berarti baginya, membuatnya berjanji pada diri sendiri bahwa tidak ada siapapun yang boleh menyakiti Harzel meski hanya satu detik.

Ia melangkah pelan mendekati Harzel yang telah tertunduk gugup. Segenap keberanian membuncah di dadanya. Segenap kata-kata dari hatinya memberontak ingin keluar. Ia mengangkat dagu Harzel hingga pandangan mata mereka bertemu. Dan akhirnya..

Gadis itu jatuh dalam pelukannya secara tiba-tiba. Kembali tak sadarkan diri.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
My Sunset
6222      1340     3     
Romance
You are my sunset.
TAKSA
354      271     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Secret Elegi
3769      1086     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
ADITYA DAN RA
15617      2589     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
Azzash
263      213     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
Ballistical World
8756      1690     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Finding Home
1939      913     1     
Fantasy
Bercerita tentang seorang petualang bernama Lost yang tidak memiliki rumah maupun ingatan tentang rumahnya. Ia menjelajahi seluruh dunia untuk mencari rumahnya. Bersama dengan rekan petualangannya, Helix si kucing cerdik dan Reina seorang putri yang menghilang, mereka berkelana ke berbagai tempat menakjubkan untuk menemukan rumah bagi Lost
I'll Be There For You
1062      498     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
A - Z
2490      847     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Selfless Love
3950      1144     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.