Melihatnya tertawa, segala pemandangan seakan-akan menjadi blur. Hanya ada satu objek yang menjadi titik fokus. Dia. Ya dia! Apa yang salah dengan senyumnya?—Revandira Papinka.
***
“Revan, ayo makan dulu!” Tawar Adrian—Kakak sepupu Revan yang ia panggil dengan sebutan ‘Ian’—sembari membuka satu persatu kantung plastik berisi lauk pauk, lalu menuangnya ke dalam mangkuk.
Revan mendekatinya, lalu memperhatikan lauk pauk yang baru saja Adrian beli. Ada soto lamongan, dua potong ikan bakar, dan satu bungkus sambal merah. Semua dibeli dalam porsi kecil, mengingat mereka hanya tinggal berdua dan lauk pauk ini cukup untuk mengisi perut malam ini.
“Kenapa?” Adrian menyerngitkan dahi, “Lo nggak suka makanannya? Nggak masalah. Gue bisa beli makanan yang lo mau. Lo mau apa?”
Revan menggeleng sembari tersenyum tipis. Ia langsung menarik kursi kemudian duduk. Tangannya langsung meraih piring dan mengisinya dengan nasi.
“Nggak masalah,” Revan mengangkat satu potong ikan bakar, lalu memasukkannya dipiring, “Gue suka semua makanan. Apa aja. Pasti gue makan.”
Adrian tersenyum puas. Ia sangat paham bahwa selama ini Revan hidup mewah dan bergelimang harta. Jangankan makanan, apapun yang diinginkannya pasti dipenuhi oleh Mamanya. Sedangkan Adrian, ia belum termasuk keluarga mewah, tapi tidak bisa juga disebut miskin. Ayahnya seorang pegawai negeri dan Ibunya, Ibu rumah tangga. Satu tahun yang lalu, Ayahnya pindah dinas ke Banjarmasin sehingga Ibunya ikut Ayahnya bersama adik perempuannya—yang saat ini masih duduk dibangku SMP dan dua adik kembar berjenis kelamin laki-laki—yang saat ini masih berumur dua tahun. Akhirnya, Adrian tinggal sendiri karena harus melanjutkan kuliah. Dia mendapat beasiswa dan menempuh program studi fakultas ekonomi di Universitas Indonesia.
Adrian memperhatikan Revan makan dengan lahap. Sepertinya Revan memang belum makan sama sekali sejak kemarin. Ia bisa melihat itu dari mata dan wajah Revan yang terlihat lelah. Lelaki itu mendadak bingung sekarang. Apakah Revan bisa mengikuti gaya hidupnya yang sederhana?
Revan yang terbiasa mewah dan boros tidak semudah itu berada di lingkungan baru yang berbeda atmosfer. Berbeda dengan Adrian yang seringkali kerja part time untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena gaji ayahnya sudah pas-pasan membiayai ketiga adiknya di Banjarmasin.
Ayah Adrian adalah adik dari Ayah Revan. Keluarga sebelah Ayah Revan tergolong keluarga sederhana. Hingga Ayah Revan menikah dengan atasannya sendiri, yang merupakan putri konglomerat ternama. Perbedaan kasta itulah yang menyebabkan perceraian itu terjadi.
Revan menelan ludah sembari menatap piringnya yang kosong melompong, ia merasa bahwa perutnya masih sangat lapar. Namun ia sadar diri, ia tidak bisa menyusahkan Adrian hanya karena gejolak perut.
“Masih lapar?” tanya Adrian, seperti mengetahui apa yang difikirkan Revan. Revan hanya menatapnya tanpa ekspressi, “Nggakpapa, nggak usah sungkan begitu. Gue punya telur untuk tambahan lauk,” Adrian langsung berdiri. “Biar gue masak.”
“Eh, nggak usah.” Potong Revan cepat, “Gue.. gue bisa masak sendiri.”
Revan berdiri lalu melangkah menuju kompor yang tidak jauh dari meja makannya. Ia mengambil satu butir telur dari dalam lemari es, lalu memecahkannya dan memasukkan isi telur tersebut ke dalam mangkuk kecil. Revan terpaku sejenak. Ia bahkan tidak tahu berapa banyak garam yang harus ditambahkan, lalu bagaimana cara menggorengnya agar tidak gosong. Bahkan yang lebih parah.. ia tidak tahu bagaimana keadaan minyak yang sudah panas. Sangat buruk! Gumam Revan dalam hati.
Revan menoleh setelah menyadari Adrian berdiri disebelahnya. Adrian mengambil sedikit garam lalu dimasukkannya ke dalam mangkuk kecil berisi telur. Dengan sekejap, ia mengaduk telur tersebut.
“Gue..” ucap Revan, merasa tidak enak hati.
Adrian tersenyum, “Nggakpapa. Gue bakal ngajarin lo masak telur.”
Revan mengangguk. Dengan gerakan cepat, Adrian menyalakan kompor. Tak lama kemudian minyak di atas wajan kecil itu panas. Dengan lincah, lelaki itu memasukan telur yang kini berwarna kekuningan. Tak lama kemudian membaliknya, membiarkan bagian yang satunya juga matang. Setelah masak, Adrian memasukkan telur dadar itu ke dalam piring kecil dan memberikannya pada Revan.
“Oke, makan yang banyak.” Revan meraihnya sambil tersenyum puas, “Mulai besok, lo udah mulai sekolah.” Adrian melangkah menuju meja makan untuk melahap makanannya yang belum habis. Revan mengikuti langkahnya.
“Untuk hari pertama, gue anterin elo sekolah,” ujarnya, lalu meneguk segelas air. “Tapi untuk seterusnya, gue rasa elo bisa berangkat sendiri. Lo bisa pakek motor gue.”
Revan mengangguk sembari tersenyum, lalu menghabiskan makanannya.
***
Revan mengamati dirinya di depan kaca toilet. Ia sudah berganti pakaian dinas harian sekolahnya. Revan sangat bersyukur dalam hati, seragamnya tidak kebesaran. Sepertinya Adrian memang cukup mengenalnya, meski hanya ukuran baju.
Revan menelusuri koridor sekolah menuju kelasnya—12 IPA A—yang terletak di lantai tiga. Lagi-lagi, ia merasakan bahwa ia jadi pusat perhatian. Terutama kaum wanita. Membuatnya semakin kikuk dan tidak nyaman.
***
“Revan!!”
Mendengar namanya dipanggil, ia langsung menoleh ke sumber suara yang berada di belakangnya.
Matanya terpaku seketika. Darahnya mengalir deras. Jantungnya terus berdebar tak berirama. Semuanya serasa hening ditelinga. Dan pandangan sekelilingnya kabur seperti blur. Hanya satu yang menjadi titik fokus pandangannya seperti sebuah lensa kamera.
Senyumnya. Tawanya. Membuat sekujur tubuh Revan bergetar. Senyum perempuan itu. Manis sekali. Tak pernah sebelumnya ia merasakan getaran hebat hanya dengan melihat perempuan tersenyum dan tertawa. Perempuan itu mengenakan blues hitam bermotif dan rok merah jambu sebatas lutut, dengan rambut hitam panjang—nan halus sebatas punggung—dibiarkan terurai begitu saja. Kulit kuning langsat bersihnya sangat indah berpadu dengan cahaya matahari. Sederhana sekali.
“Lo yang namanya Revan?” tanya lelaki—bertubuh tinggi dan berkulit eksotik nan tampan—yang memanggil namanya tadi. Pandangannya langsung buyar, teralih pandang pada orang didepannya, “Lo dipanggil Ibu Nike, wali kelas kita.” Sambung lelaki itu.
Revan mengangguk lalu mengikuti langkah lelaki itu. Ia kembali melirik perempuan manis berambut panjang yang telah membuat hatinya berdebar. Gadis itu melangkah bersama temannya menelusuri lapangan. Langkahnya semakin menjauh dan menghilang.
Melihatnya tertawa, segala pemandangan seakan-akan menjadi blur. Hanya ada satu objek yang menjadi titik fokus. Dia. Ya dia! Apa yang salah dengan senyumnya?
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG