Tepatnya pukul 21.00.
Bocah kecil tampan berumur 8 tahun, berambut sedikit pirang, dan berkulit kuning langsat, melirik lelaki setengah baya—yang sangat mirip dengannya—dengan tatapan gelisah. Air Conditioner dari bilik kapal yang akan membawa mereka dari Batam ke Singapore berhembus kencang, ditambah kondisi cuaca yang tengah dingin menusuk, membuat lelaki setengah baya itu memeluk si bocah kecil erat.
“Kenapa Mama nggak ikut kita?” protes bocah kecil itu.
“Kamu akan tinggal bersama Papa di Singapore,” jawab lelaki setengah baya yang menyebut dirinya ‘Papa’, “Jangan khawatir, kehidupan disana lebih enak dibandingin di Indonesia.”
Bocah itu menggeleng, memberontak, kemudian menangis sembari berteriak. Tangisan dan teriakannya sontak mengundang tatapan bingung dari penumpang seisi kapal. Lelaki setengah baya itu hanya bisa memeluk putranya erat. Mencoba menenangkan sebisanya.
Entah anugrah darimana, bocah kecil itu berhenti menangis. Sepasang matanya seketika terpaku melihat tawa gadis kecil—mungkin seusianya—manis seperti peri. Gadis kecil itu berada dipangkuan ibunya, dengan ayahnya tak henti-henti memberikan kecupan manja pada pipi gadis kecil itu. Ia tertawa. Tawa yang murni, lepas... dan tak ada kepalsuan. Tawa yang tak pernah bocah lelaki itu rasakan selama 8 tahun ia hidup.
Ketenangan itu berlangsung tak lama.
Tiba-tiba, terdengar bunyi dentuman keras dan goncangan yang amat dahsyat. Seketika, teriakan demi teriakan ketakutan terdengar seketika. Bocah kecil itu kembali menangis dalam pelukan Papanya. Rasa takut dan gelisah kembali menjalarinya.
Di tengah riuh ketakutan para penumpang, speaker yang berada di dalam bilik berbunyi. Menyeru para penumpang untuk segera menggunakan pelampung karena kapal akan karam. Tak lupa, suara wanita di dalam speaker itu tetap menenangkan orang-orang dengan mengatakan TIM SAR akan segera datang karena telah di hubungi.
Karena hanya tersisa satu pelampung, lelaki setengah baya itu memasangkan pelampung pada putranya. Ia tersenyum menenangkan.
“Nggakpapa. Papa jago berenang,” ucapnya menenangkan. Tentu saja berbohong.
Lelaki setengah baya itu langsung menggendong tubuh mungil putranya, sembari melangkah keluar bilik kapal bersama lautan manusia lainnya yang berusaha menyelamatkan diri. Sesak yang memenuhi pintu keluar bilik menyebabkan bocah kecil itu terlepas dari gendongan Papanya, jatuh, kemudian terinjak-injak.
Bocah kecil itu berteriak. Papanya juga berteriak sekencang-kencangnya. Namun sayangnya, mereka tak dapat mendengar suaranya satu sama lain kala itu.
Bocah itu bisa menyelamatkan diri. Namun sayangnya, ia melangkah tergopoh-gopoh berlawanan arah dengan Papanya. Berpisah. Dan tak pernah bertemu lagi setelah itu.
Langkahnya terhenti ketika melihat gadis kecil bak peri tengah menangis terisak-isak di pojokan. Mulutnya tak henti-henti meneriaki ‘ibu’ dan ‘ayah’. Bocah lelaki itu langsung berlutut di depannya, berniat menenangkan.
“Aku juga terpisah dari Papa,” Ia berbicara agak keras sembari menggenggam kedua tangan gadis kecil itu, “Kita cari orang tua kita sama-sama, ayo!”
Gadis kecil itu mengangguk, lalu berdiri. Bocah lelaki itu langsung merangkulnya dan berjalan pelan keluar kapal, agar tidak terinjak. Hingga ketika mereka tiba di balkon kapal.
Gadis kecil itu berteriak ketika merasakan goncangan yang teramat keras. Perlahan-lahan—bak adegan film titanic—kapal perlahan-lahan akan karam ke arahnya. Bocah lelaki yang telah mengenakan pelampung itu memeluk gadis kecil—yang tak mengenakan pelampung itu—erat.
Tanpa bisa dicegah, para manusia yang dirundung malang, mulai berjatuhan ketika kapal semakin miring. Dalam hitungan detik, kapal itu menerobos dinginnya lautan yang kini berwarna hitam pekat. Hawa dinginnya menusuk ke sela-sela tulang, disertai air yang mulai memasuki rongga mulut, hidung, dan telinga. Beberapa serpihan badan kapal pecah dan mengapung di lautan—membuat beberapa orang cedera karena terkena serpihan kapal tersebut.
Termasuk gadis kecil itu.
Ketika tubuhnya bersama bocah kecil—yang mengenakan pelampung itu—terangkat, serpihan badan kapal yang mengapung menghantam kepala gadis kecil seperti peri itu. Membuat kesadarannya hilang seketika.
Bocah lelaki itu meraba kepala gadis itu. Sudah berdarah.
***
Bocah itu terbangun setelah tidur selama beberapa jam. Ia menguap beberapa kali kemudian menoleh ke kiri. Gadis kecil yang sedari tadi ia lindungi terkulai lemas di sebelahnya. Keadaannya parah. Berbagai peralatan medis seperti selang menghujami tubuh gadis kecil itu. Kepalanya di perban. Nafasnya ngos-ngosan. Tak beraturan.
Sebuah kalung terlepas dari leher gadis itu kemudian jatuh ke lantai. Bocah kecil itu bangkit kemudian meraihnya, kemudian membaca tulisan yang tertera pada benda itu.
Tiara Olinien.
Terdengar langkah kaki berlarian menuju kamar rawatnya. Perempuan setengah baya yang tak dikenal langsung memeluk gadis kecil seperti peri itu sembari berseru, “Ara!”
Bocah kecil itu beringsut mundur. Pandangan matanya tiba-tiba bertemu dengan sepasang mata milik gadis kecil seumuran Tiara Olinien—yang berada tepat di sebelah perempuan setengah baya yang kini menangis tersedu-sedu sembari memeluk tubuh Tiara. Seketika.. Bocah kecil itu teringat sesuatu.
Papa!
Tanpa berfikir panjang, ia melangkah pergi dengan sisa-sisa kekuatannya. Demi menemukan seseorang yang teramat ia cintai.
Gadis kecil nan manis dan mungil—seumuran Tiara Olinien itu—memperhatikan punggung bocah lelaki itu yang perlahan menjauh.
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG